PENGANTAR WACANA
POLIGAMI; SOLUSI (ATAU) PROBLEMATIKA
Dalam bahasa keseharian, poligami adalah suatu istilah untuk menggambarkan keadaan di mana seorang lelaki memiliki lebih dari satu orang isteri. Padahal dalam ilmu sosial, poligami ini senyatanya bermakna umum, yakni adanya lebih dari seorang pasangan dalam sebuah ikatan pernikahan. Poligami ini kemudian dibagi menjadi dua, yakni poliandri dan poligini. Poliandri adalah istilah yang menggambarkan seorang isteri yang memiliki lebih dari satu suami, sedangkan poligini adalah istilah untuk merepresentasikan keadaan di mana seorang suami memiliki lebih dari seorang isteri.
[1]
Akan tetapi realitasnya, istilah untuk menggambarkan lelaki yang memiliki isteri lebih dari satu lebih lumrah disebut poligami. Istilah ini juga digunakan sebagai lawan kata dari monogami yang berarti hanya ada dua manusia yang menjalani sebuah pernikahan.
Di Indonesia sendiri, isu poligami mengalami perkembangan yang cukup fluktuatif. Pada zaman orde lama, masyarakat kita telah melihat fenomena poligami yang dipraktikkan oleh presiden Soekarno, meski dengan istilah selir. Sedangkan pada masa orde baru, wacana poligami mulai bergerak ke wilayah legal yurisprudensial. Hal ini misalnya dibuktikan dengan dilahirkannya pasal yang memuat permasalahan pernikahan yang salah satu pasalnya menyebutkan syarat-syarat poligami. Syarat-syarat poligami tersebut ada yang berlaku umum kepada seluruh warga dan ada yang berlaku khusus pada pegawai negeri.
Selanjutnya, tumbangnya orde baru yang membidani lahirnya euforia multidimensi di Indonesia juga menyimpan catatan yang penting dalam klaedoskop isu poligami ini. Sebuah sumber menyebutkan bahwa setelah tumbangnya orde baru, euforia dalam wacana poligami ini juga muncul. Salah satunya adalah adanya penyematan gelar “polygamy award” kepada Puspowardoyo, pemilik rumah makan Ayam Bakar Wong Solo pada Agustus 2003.
[2]
Dalam diskursus Islam sendiri, poligami secara khusus dan isu perempuan secara umum merupakan salah satu bidikan utama orientalis dalam beberapa wacananya. Beberapa di antara orientalis menduga poligami adalah tradisi genuine Islam yang kemudian diwarisi oleh dunia luas. Tersebarnya praktik poligami ini, dalam hemat mereka merupakan salah satu tanda terbesar dibukanya gerbang subordinasi dan domestifikasi peran wanita.
Terlepas dari beberapa data lapangan dan wacana di atas, penjelasan yang cukup memadai tentang poligami sebenarnya sudah termaktub dalam Al-Qur`an. Jumhur mufassirin berpendapat bahwa ada dua ayat dalam surat An-Nisa` yang secara langsung mangatur rambu-rambu poligami dalam Islam. Yang pertama adalah ayat ketiga dan yang kedua adalah surat an-Nisa` ayat 129.
Lalu sebenarnya, benarkah poligami adalah sebuah alternatif permasalahan sosial –seperti yang digagasa beberapa pemikir- ataukah justru praktik yang memunculkan permasalahan baru yang lebih rumit dan berkepanjangan? Mengapa kemudian banyak fakta yang menunjukkan bahwa praktik poligami justru menyuburkan kekacauan, perpecahan, dan perseteruan dalam ranah keluarga bahkan mengantarkan pada gerbang perceraian?
BAB II
EKSPLORASI
I. HISTORISITAS POLIGAMI; DULU, KINI, DAN NANTI
Banyak orientalis maupun cendekiawan muslim sendiri yang menduga bahwa poligami merupakan budaya genuine Islam yang kemudian dianut oleh masyarakat secara luas.
[3] Pendapat ini, dalam pandangan sebagian orang dianggap sebagai salah satu upaya untuk mendiskrediktkan Islam. Senyatanya, catatan sejarah yang cukup valid dan bisa dipertanggungjawabkan cukup membuktikan bahwa budaya poligami ini senyatanya sudah ada dan berlaku sebelum kehadiran Islam. Contoh sederhananya adalah beberapa hadist Nabi yang menyuruh sahabat menceraikan isteri yang dimilikinya sehingga ia memiliki maksimal jumlah isteri empat orang.
Hal ini cukup mengindikasikan bahwa sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah memiliki akar budaya dan tradisi poligami. Islam kemudian merespon fenomena ini dengan konsep taghyir, yakni menetapkan tradisi yang berlaku namun dengan menyepuh nilai-nilai substansial di dalamnya. Poligami tetap dilegalkan oleh Islam, namun diperketat dengan beberapa rambu-rambu baru yang terkait erat dengan kuantitas isteri dan kualitas keadilan dalam praktik poligami.
Jauh-jauh sebelumnya, praktik poligami ini ternyata sudah dilakukan oleh beberapa Nabi sebelum Muhammad, semisal Nabi Daud yang memiliki ratusan isteri dan Nabi Sulaiman yang diceritakan memiliki tujuh ratus isteri.
[4] Bahkan, Berbagai mitos dan legenda Hindu menceritakan tentang beratus-ratus isteri dari para Dewa seperti halnya Dewa Krishna
[5] Dengan demikian, pendapat yang menyimpulkan bahwa poligami dilahirkan pertama kali oleh Islam sangatlah tidak beralasan.
Dewasa ini, negara-negara di dunia memiliki aturan dan ketentuan yang berbeda terkait masalah poligami. Agama Katolik secara tegas menolak poligami. Sehingga bisa dipastikan, negara yang memakai Katolik sebagai dasar negaranya tidak akan melegalkan poligami. Sedangkan Turki adalah contoh negara yang juga tidak melegalkan poligami. Namun, alih-alih untuk memperbaiki kehidupan berkeluarga, peraturan ini justru menyuburkan adanya perselingkuhan atau bahkan pernikahan di bawah tangan. Bahkan, sebuah catatan menyebutkan bahwa lebih dari setengah jumlah semua pernikahan dan perceraian yang terjadi di Turki dilaksanakan tanpa administrasi yang sah.
[6]Indonesia sebagai negara yang berasaskan Pancasila mengambil sikap yang cukup moderat dalam permasalahan ini. Dan agaknya, meski UU Indonesia tidak berbajukan syariat Islam, banyak elemen-elemen di dalamnya yang bernafaskan Islam, semisal dalam masalah poligami. Dalam hal ini, UU no. 1 tahun 1974 mengatur beberapa hal terkait perkawinan. Sedangkan alasan diperbolehkannya poligami yang tercantum dalam pasal ini ada tiga, yakni istri tidak bisa menjalankan kewajiban, memiliki cacat badan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.
[7]Tidak hanya berhenti sampai di situ. Poligami legal dalam UU Indonesia haruslah memenuhi beberapa kelengkapan administrasi berikut, seperti adanya persetujuan resmi dari istri tua, adanya kepastian suami bisa menafkahi semua istri yang menjadi tanggungannya, dan adanya jaminan bahwa si suami akan bersikap adil.
[8] Bahkan, ada pasal yang secara khusus membahas poligami pegawai negeri, yakni PP no. 10 tahun 1983.
Dalam masyarakat sendiri, anggapan yang luas berkembang adalah asumsi yang memposisikan pelaku poligami sebagai orang yang ‘kurang baik’. Stigma ini misalnya tercermin saat seorang dai kondang pada November 2006 seketika menurun reputasinya setelah ia melakukan poligami. Tak dapat dipungkiri, hal ini disebabkan oleh praktik poligami yang baru saja dilakukannya dan seketika menjadi santapan hangat insan media.
Memang ironis. Pernikahan legal secara agama dan negara mendapat kecaman dan sanksi sosial yang cukup keras dari masyarakat. Sikap masyarakat yang kurang mau menerima tradisi ini pada akhirnya menjadikan perselingkuhan, pernikahan di bawah tangan, atau praktik prostitusi sebagai satu-satunya pelarian dan alternatif dari poligami legal.
Entah bagaimana esok hari menyikapi isu ini. Namun agaknya, poligami masih akan menjadi santapan yang mengundang kontroversi dan silang pendapat. Antara mereka yang mendukug dan menolak, antara yang mereka berani berkoar dan mereka yang diam, antara mereka yang hanya bisa berwacana dalam teori dan mereka yang mengalaminya langsung.
II. POLIGAMI DALAM KACAMATA MUFASSIR
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Beberapa sumber menyampaikan asbabun nuzul yang senada dari ayat ini. Ayat ketiga dalam surat An-Nisa` ini turun setelah terlaksananya perang Uhud yang merupakan perang di mana muslimin mengalami kekalahan. Saat itu, 70 tentara muslim gugur dan syahid di medan perang dan hal ini juga berarti menjamurnya beberapa janda dan anak yatim yang merupakan isteri atau anak tentara yang mati syahid tersebut.
[9]
Dalam keadaan ini, beberapa sahabat yang masih hidup membaiat diri menjadi wali dari anak yatim yang mengurus segala keperluan anak yatim tersebut serta mengelola harta peninggalan orang tuanya. Hal ini merupakan sesuatu yang mulya sebab dalam usia belum baligh, seorang anak yatim masih belum bisa mengelola harta mereka sendiri. Sebab itulah, peran wali sangatlah signifikan dalam hal ini. Terlebih, ada beberapa anak yatim yang memiliki harta cukup banyak dari peninggalan orang tuanya.
Sayangnya, posisi ini kemudian disalahgunakan oleh beberapa wali kala itu. Dalam beberapa kasus, para wali tersebut ada yang tidak mengelola harta anak yatim dengan baik dan jujur. Mereka hanya mengeruk keuntungan dari posisinya sebagai wali dalam segi finansial. Harta anak yatim yang menjadi amanah untuknya dengan sengaja dicampurbaur dengan harta yang dimilikinya sendiri. Inilah yang sebenarnya disinggung dalam ayat kedua surat An-Nisa`. Ketika anak yatim yang diasuhnya telah beranjak dewasa, maka si wali seringkali menghalangi kekuasaan anak yang sebenarnya sudah mampu untuk mengelola harta miliknya sendiri. Begitu juga dalam hal pernikahan.
[10]Ayat ketiga surat An-Nisa` ini secara khusus memberikan teguran dan solusi alternatif kepada wali yang tertarik menikahi anak yatim yang berada dalam perlindungannya karena harta dan kecantikan anak yatim tersebut. Ia bermaksud menikahi anak tersebut tanpa membayar mas kawin atau memberikan mas kawin yang sangat rendah. Karena itulah, Allah kemudian memberi alternatif untuk menikahi wanita yang bukan yatim agar lelaki tersebut tidak terjebak dalam wilayah yang rentan akan membuatnya tidak bisa berlaku adil dalam pengelolaan harta anak yatim.
[11]
Selanjutnya, ayat ketiga surat An-Nisa` ini memberikan dua nuansa baru dan nilai luhur yang sebelumnya tidak didapatkan dalam tradisi Arab pra-Islam mengenai praktik poligami. Pertama adalah pembatasan poligami pada batas maksimal empat. Sebelumnya, bangsa Arab praIslam melakukan praktik poligami dengan jumlah isteri yang tidak terbatas. Kedua adalah adanya konsep keadilan dalam memberi perlakuan kepada masing-masing isteri. Keadilan dalam konteks poligami ini sedikit berbeda dengan keadilan yang disinggung sebelumnya dalam pembahasan harta anak yatim.
Dalam hal ini, Quraisy Syihab memberikan pemaparan yang cukup jelas tentang perbedaan qisth dan adl dalam ayat ketiga surat An-Nisa`. Dalam pandangannya, istilah yang pertama menunjukkan adanya keadilan di antara dua orang, dan dua orang yang dimaksud di sini sama-sama merasa senang. Sedangkan adl bermakna lebih umum, sebab ia bermakna adil bagi diri sendiri dan orang lain. Dan adil dalam hal ini bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak.
[12]Lalu bagaimana mufassirin merespon persoalan poligami kontemporer? Jumhur mufassirin agaknya cenderung membolehkan praktik poligami ini, namun dengan beberapa syarat yang tergolong cukup ketat. Riffat Hasan bahkan dengan tegas meyebutkan bahwa haruslah ada keadaan darurat yang membolehkan terjadinya poligami.
[13] Sedangkan Abdul Mustaqim mengatakan bahwa poligami adalah praktik yang kental dan sarat nunsa sosial dan praktik poligami hanyalah merupakan sebuah sarana (wasilah) untuk menunaikan kewajiban sosial (ghayah).
[14] Syarat yang umumnya diajukan mufassirin dalam hal ini umumnya banyak berkutat di sekitar masalah adil yang disinggung secara eksplisit dalam ayat ketiga surat An-Nisa`. Dalam hal ini, jumhur mufassirin menganggap adil yang dimaksud dalam ayat ini adalah adil dalam hal-hal yang berkaitan dengan fisik lahiriyah, bukan persoalan cinta dan kasih sayang. Mereka beralasan bahwa persoalan cinta dan kasih sayang adalah hal yang tidak bisa direkayasa. Dalam artian, di antara sekian banyak isteri, pasti ada isteri yang paling disayang di antara yang lain.
[15] Keadilan dalam hal kasih sayang inilah yang disinggung dalam ayat ke-129 surat An-Nisa`berikut;
`s9ur (#þqãè‹ÏÜtFó¡n@ br& (#qä9ω÷ès? tû÷üt/ Ïä!$¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹t�ym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâ‘x‹tGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Y‘qàÿxî $VJŠÏm§‘ ÇÊËÒÈ
Lelaki manapun tidak akan bisa berlaku adil dalam hal cinta dan kasih sayang kepada isteri-isterinya. Dalam ayat ini Allah menegaskan yang demikian dan juga melarang untuk terlalu menampakkan kecondongan itu ke dalam ranah-ranah lahiriyah sehingga mendorong suami untuk tidak berlaku adil. Rahman memandang ayat ini secara implisit mengisyaratkan bahwa secara moral, Al-Qur`an mengharamkan poligami. Kalapun terpaksa dilakukan, maka hal itu lebih didasari oleh semangat sosial.
[16] Agaknya, anggapan Rahman ini cukup beralasan mengingat cinta dan kasih sayang juga akan tampak dalam perilaku keseharian. Misalnya dalam hal perhatian, kepedulian, dan lain sebagainya.
Al Maraghi, seperti halnya para mufassir lain beranggapan bahwa pernikahan yang ideal dan sejahtera kebanyakan adalah pernikahan monogami. Hanya ada satu suami dan isteri dalam sebuah rumah tangga.
[17] Namun kaidah ini tidak akan bertahan terlalu lama manakala terdapat hal-hal natural yang kurang menyenangkan, semisal adanya penyakit yang diderita salah satu person sehingga ia tidak bisa normal menghasilkan keturunan (mandul). Dalam hal ini, maka poligami merupakan alternatif terbaik mengingat tujuan utama pernikahan salah satunya adalah mendapatkan keturunan.
Namun di balik alasan natural tersebut, hal lain yang biasanya menjadi penyebab poligami adalah hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas maupun komunikasi, misalnya ketidakpuasan salah satu pihak dan atau kurang harmonisnya hubungan keduanya. Hal yang demikian sangat rentan memicu terjadinya poligami sebab itu, dalam tulisannya, Nurul Huda Haem menyarankan pasangan suami-isteri untuk sesering mungkin membangun komunikasi yang baik sehingga tercipta keharmonisan dan perilaku poligami dapat dihindari.
[18]III. MENYOAL POLIGAMI RASULULLAH
Barangkali kita memang kebakaran jenggot mendengar tuduhan yang mengatakan bahwa poligami yang dilakukan Rasulullah semata-mata didasarkan pada keadaan beliau yang hyperseks.
[19] Wacana ini tidak hanya mengemuka dalam beberapa karya ilmiah beberapa penulis, namun juga sempat mewarnai harian Denmark Jyllands Posten dalam rubrik karikaturnya yang kemudian melahirkan kecaman luas di kalangan muslim dunia.
Namun, jika harus menggunakan praduga tak bersalah, anggapan tersebut memang beralasan. Taruhlah alasannya adalah karena tidak memiliki pengetahuan dan referensi yang cukup memadai, serta barangkali mindset yang kurang objektif, maka kesimpulan tersebut kemudian muncul.
Ya, catatan sejarah memang menulis bahwa Rasulullah melakukan poligami dengan beberapa orang isteri. Namun, ada banyak hal yang menarik untuk direnungkan kembali dalam rangka mengcounter pendapat yang mengatakan hyperseksualitas Nabi Muhammad. Hal yang paling menonjol adalah bahwa di antara beberapa wanita yang dinikahi Rasulullah, hanya Aisyah-lah yang dikawini Rasulullah dalam keadaan gadis. Selain Aisyah, semua isteri yang dinikahi Rasulullah adalah janda.
Kasarnya, jika benar Rasulullh hyperseksual, mengapa Rasul lebih memilih wanita-wanita janda dibanding wanita yang masih gadis? Apalagi jika diamati, beberapa wanita yang dinikahi Rasul kebanyakan merupakan wanita yang sudah cukup berumur. Khadijah misalnya, berumur lima belas tahun lebih tua dari Rasul dan ia pun berstatus janda ketika menikah dengan rasul. Dan lagi, rasulullah menjalani pernikahan monogami dengan Khadijah dalam kurun waktu yang cukup lama, yakni 28 tahun. Selama masa itu, rasulullah adalah monogam. Rasulullah memulai kehidupan sebagai seorang poligam setelah beliau berumur 54 tahun, usia di mana seorang lelaki sudah mengalami penurunan hasrat seksual.
Pun juga, dalam suatu kesempatan, rasul pernah ditanyakan oleh seorang sahabat, mengapa beliau tidak menikahi wanita anshor yang masih muda dan cantik. Dalam kesempatan ini, rasul menjawab bahwa beliau tidak enggan menikahi wanitA-wanita Anshor yang cantik sebab wanita tersebut penuh rasa cemburu dan tidak akan siap dimadu.
[20] Karena itulah saya cukup mendukung bahwa poligami rasul lebih disebabkan unsur dakwah dan teologis. Beberapa wanita dinikahi rasul setelah mendapat wahyu dari Allah secara langsung ataupun dalam beberapa keadaan yang menuntut rasul untuk menikahi seorang wanita.
Kendati rasul kemudian menjadi seorang poligam, dalam suatu kesempatan, beliau sempat melarang Ali untuk menikah lagi setelah Ali menikahi Fatimah binti Rasulullah. Barangkali hal ini pulalah yang menjadi celah kritik beberapa ilmuan. Senyatanya, permasalahan ini tidak akan terlalu rumit dan membingungkan jika kita bisa sedikit memperhatikan beberapa alasan Rasulullah melakukan poligami.
Selain itu, dalam hemat saya, naluri seorang ayah pun bermain dalam peristiwa ini. Rasulullah agaknya merasa kasihan dan iba jika Fatimah putrinya akan menjalani kehidupan poligami. Hal ini bisa saja disebabkan rasulullah yakin bahwa Ali akan sangat sulit (untuk mengatakan ‘tidak mampu’) berbuat adil terhadap Fatimah dan isteri mudanya. Terlebih saat itu, anak-anak Fatimah masih kecil sehingga masih memerlukan perhatian dan kasih sayang penuh dari kedua orangtuanya.
Agaknya, pernikahan poligami Rasulullah yang didasari beberapa alasan teologis dan pelarangan beliau atas rencana poligami yang akan dilakukan Ali cukup bisa mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan bahwa poligami merupakan suatu hal yang sebisa mungkin dapat dihindari. Barangkali hal ini disebabkan oleh kecilnya kemungkinan suami untuk sepenuhnya bisa berlaku adil, kendatipun dalam aspek lahiriyah saja. Selain itu, keharmonisan sebuah keluarga juga terancam dengan praktik poligami. Adanya dua isteri akan menciptakan suasana koompetisi yang tidak sehat, baik antar anak maupun antar isteri.
IV. KOMPLEKSITAS POLIGAMI
Membincang poligami seperti membahas sebuah komplikasi masalah sosial yang selain rumit, juga akan merembet ke aspek-aspek lain. Semisal ekonomi, nikah bawah tangan, broken home, dan lain sebagainya.Tidak dapat dipungkiri, dalam masyarakat kita, poligami masih dianggap hantu yang menakutkan dan bisa menurunkan derajat sosial seseorang. Wibawa seseorang akan turun manakala ia kedapatan memiliki lebih dari seorang isteri.
Namun di balik itu semua, sebagaimana contoh kasus di Turki, pelarangan poligami bukanlah pilihan yang arif. Hal ini justru memperparah keadaan sosial. Perselingkuhan, pernikahan di bawah tangan, dan hubungan gelap lain kemudian menjadi pilihan yang paling sering diambil oleh masyarakat Turki. Pilihan ini menjadi satu-satunya alternatif solusi sebab poligami tidak dilegalkan. Akibatnya, kerusakan moral dan keretakan dalam rumah tangga yang sebenarnya ingin dihindari dalam UU ini justru menyuburkan tindakan amoral tersebut.
Sikap pemerintah Indonesia yang tercermin dalam UU pernikahan sudah cukup representatif dan kontekstual dalam menghadapi problematika poligami dewasa ini. Adanya syarat idzin dari isteri pertama cukup menunjukkan upaya untuk membangun sebuah rumah tangga yang tetap sehat meski dengan beberapa orang isteri. Dalam agama, poligami memang tidak mensyaratkan adanya idzin dari isteri pertama. Akan tetapi secara moral, hal ini patut dan sangat perlu dilakukan untuk tetap memperkokoh tujuan utama pernikahan, yakni hubungan yang saling melengkapi. Tanpa adanya idzin dari isteri pertama, maka mustahil cita-cita tersebut bisa terwujud. Namun demikian, UU ini perlu terus ditinjau dan diperbaharui agar tetap bisa kontekstual dan mampu menjawab tuntutan dna kebutuhan zaman.
Namun realitasnya, poligami yang dilegalkan dengan beberapa syarat ini tidak cukup mampu menekan angka protitusi, perselingkuhan, hubungan gelap, atau bahkan nikah di bawah tangah yang cukup marak di Indonesia. Hal ini barangkali disebabkan sterotype dan sanksi sosial yang masih cukup berat dilamatkan bagi warga negara yang melakukan praktik poligami. Sehingga, banyak masyarakat kita yang masih merasa ragu untuk meresmikan pernikahan keduanya. Anggapan adanya beberapa hal yang harus dipenuhi untuk melegalkan poligami agaknya cukup menciutkan niat mereka. Akhirnya, hubungan gelap merupakan pilihan yang cukup anyak diminati.
Hal yang sering diidentikkan dengan poligami adalah aspek sosial dan ekonomi. Beberapa data yang masih perlu diverifikasi kebenarannya menyebutkan bahwa hingga hari ini, jumlah wanita relatif lebih besar daripada jumlah pria. Hal ini disebabkan dua hal, yakni tingginya angka kelahiran wanita yang juga lebih besar dibanding pria dan tingginya angka kematian pria karena pria relatif lebih mudah terserang penyakit sedang wanita memiliki daya tahan yang cukup baik.
[21] Selain itu, Murtadha juga menegaskan bahwa secara naluriah, lelaki memang memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup berpoligami. Hal ini semakin didukung dengan keadaan pria yang tidak mengalami masa manopouse seperti wanita.
Menyoal ketimpangan jumlah wanita dan pria dalam data tersebut, maka poligami merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat mengangkat derajat dan memmberdayakan kaum wanita. Bagaimanapun, tanpa adanya lembaga pernikahan yang sah, maka perempuan (baik janda atau perawan yang tidak cepat menikah) sangat rentan malah menjadi pemicu meluasnya tindak prostitusi, hubungan gelap, atau bahkan pernikahan di bawah tangan. Beberapa tindakan tersebut tidak boleh tidak akan dijalani wanita yang juga memilii tuntutan ekonomi untuk bisa survive alive. Sebab itulah, tidak salah jika pemerintah Indonesia mensyaratkan adanya kesanggupan suami secara finansial untuk menikahi beberapa isteri.
Namun, agaknya memang diperlukan suatu data yang cukup bisa dipertanggungjawabkan mengenai perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan untuk memverifikasi data Murtahda tersebut. Masalanya, sampel di Indonesia saja menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam jumlah pria dan wanita. Hal ini terlihat dari hasil sensus tahun 2000 yang menunjukkan bahwa perbandingn jumlah pria dan wanita adalah 49,87 dan 51, 23.
[22]
Pada akhirnya, poligami, jika bisa dijalankan dengan cukup ideal (baca: menegakkan keadilan di antara isteri), maka hikmah poligami di antaranya adalah dapat mengasihi dan mengayomi anak yatim, janda, dan wanita sebatang kara yang tidak memiliki kemampuan untuk bertahan hidup. Namun begitu, kemungkinan terburuk yang juga perlu diperhitungkan dalam poligami adalah rentannya perceraian, tidak adanya harmonisasi kehidupan rumah tangga, terlantarnya anak-anak, `sakit hati` isteri yang akan berdampak lebih jauh, dan hal-hal lain yang perlu diantisipasi dan disikapi searif mungkin.
V. SEKADAR PENUTUP
Beberapa data yang dipaparkan sebelumnya mengntarkan pada beberapa kesimpulan berikut; Pertama, bahwa poligami bukanlah suatu kewajiban, meskipun disajikan dalam bentuk amar. Penyajian keterangan tentang poligami dalam surat An-Nisa` lebih mengisyaratkan sebuah kebolehan dan alternatif solusi. Kedua, pembolehan poligami dalam Islam ini hanya berlaku dalam keadaan darurat dan dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga, monogami masih merupakan pilihan yang ideal dalam sebuah ikatan pernikahan. Adanya seorang suami dan seorang isteri dalam sebuah biduk rumah tangga merupakan keadaan yang ideal dan menjadi dambaan semua orang, utamanya pihak wanita. Namun demikian, dalam beberapa keadaan tertentu yang pastinya emergency, baik suami maupun isteri harus selali siap mengahadpi segala kemungkinan terburuk, termasuk pilihan hidup rumah tangga dalam format poligami.
Untuk itu, antisipasi terhadap penyebab dan pemicu poligami adalah salah satu hal yang perlu diperhatikan, seperti menjaga kesehatan alat reproduksi dan membangun komunikasi yang baik dengan pasangan. Allah Knows Best
DAFTAR PUSTAKA
Al Hakam, Al Husain (ed), tt. Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, terj. Jemala Gembala, Jakarta: Al Huda
Hathout, Hassan. 2006. Panduan Seks Islami, terj: Yudi, Jakarta: Zahra Publishing
Polygamy in Islam,
Rohmaniyah, Inayah, Poligami atau Monongami (Menggagas Penafsiran Engineer terhadap Surat An-Nisa` ayat 3), dalam http://keepdoingthebest.blogspot.com/2008/04/poligami-atau-monogami-by-inayah.html Diakses pada 13 April 2009
Latif, M. Nasaruddin. 1986. Ilmu Perkawinan; Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Jakarta: Pustaka Hidayah.
Machali, Rochayati (ed). 2005, Wacana Poligami di Indonesia, Bandung: Mizan.
Kisyik, Abdul Hamid. 1991. Hikmah Pernikahan Rasul; Mengapa Islam Memperbolehkan Poligami, Bandung: Al Bayan.
Imani, Allamah Kamal Faqih 2003. Tafsir Nurul Qur`an, terj. Anna Farida, Jakarta: Al Huda
Al Maraghi, 1974. Tafsir Al Maraghi juz IV, terj. Al Humam MZ, Semarang: Toha Putra
Syihab, Quraisy. 2002. Tafsir Al Misbah, vol. 2, Jakarta: Lentera Hati
Syihab, Quraisy. 1996. Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
Mulia, Musdah. 1999. Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta: The Asia Foundation.
Haem, Nurul Huda. 2007. Awas! Illegal Wedding, Jakarta, Mizan
Mustaqim, Abdul. Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur, Jurnal Ilmu Al-Qur`an dan Hadist vol. 8, no., Januari 2007, hlm. 45.
http://basahfc.multiply.com/journal/item/18Muthahhari, Murtadha. 1998. The Rights of Women in Islam, Iran: World Organization of Islamic Source.
[1]Lih. Al Husain Al Hakam (ed), Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, terj. Jemala Gembala, (Jakarta: tt, Al Huda), 214.
[2]Lih. David Herre, Poligami Mengalami Reformasi?, pengantar dalam Rochayati Machali, Wacana Poligami di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. xxviii
[3]Lih. Hassan Hathout, Panduan Seks Islami, terj: Yudi, (Jakarta: Zahra Publishing, 2006), hlm. 59
[4]Lih. Polygamy in Islam,
[5]Lih. Inayah Rohmaniyah, Poligami atau Monongami (Menggagas Penafsiran Engineer terhadap Surat An-Nisa` ayat 3), dalam http://keepdoingthebest.blogspot.com/2008/04/poligami-atau-monogami-by-inayah.html Diakses pada 13 April 2009
[6]Lih. M. Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan; Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1968), hlm. 86.
[7] Lih. Rochayati Machali (ed), Wacana Poligami di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 25.
[8] Lih. Rochayati Machali, Ibid, 30
[9]Lih. Abdul Hamid Kisyik, Hikmah Pernikahan Rasul; Mengapa Islam Menmperbolehkan Poligami, (Bandung: Al Bayan, 1991), hlm. 13
[10]Campur tangan wali dalam masalah pernikahan misalkan menghalangi pernikahan si anak ketika ada orang yang melamarnya atau mengambil alih mas kawin dalam pernikahannya. Lih. Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur`an, terj. Anna Farida, (Jakarta: Al Huda, 2003), hlm. 457
[11]Lih. Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi juz IV, terj. Al Humam MZ, (Semarang: Toha Putra, 1974), hlm, 217.
[12]Lih. Quraisy Syihab, Tafsir Al Misbah, vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 338. dan Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 199-200
[13]Keadaan darurat ini semisal keadaan istri yang mandul sehingga tidak bisa mendapatkan keturunan atau ketika ada sangat banyak anak yatim dan janda yang membutuhkan santunan dan perlindungan. Lih. Abdul Mustaqim, Op. Cit, hlm. 49.
[14]Lih. Abdul Mustaqim, Abdul Mustaqim, Konsep Poligami Menurut Muhammad Syahrur, Jurnal Ilmu AL-Qur`an dan Hadist vol. 8, no. Januari 2007, hlm. 55
[15]Lih. Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta: The Asia Foundation, 1999), hlm. 45
[16]Lih. Fazlur Rahman, Interpreting the Qur`an, hlm. 45-49, dalam Abdul Mustaqim, Op. Cit, hlm. 48.
[17] Lih. Al Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, vol. 4
[18]Lih. Nurul Huda Haem, Awas! Illegal Wedding, (Jakarta, 2007, Mizan), hlm.215
[19]Wacana ini salah satunya disebutkan oleh Welliam Vanlow, lih., hlm. 45.
[20]Lih. Musdah Mulia, Op. Cit, hlm. 24. Bagi Musdah, hadist ini cukup menunjukkan bahwa poligami pada hakikatnya memuat unsur yang bisa menyakiti hati perempuan.
[21]Lih. Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, (Iran: World Organization of Islamic Source, 1998), hlm. 31-35.
[22]Lih.
http://basahfc.multiply.com/journal/item/18