RSS

Rabu, 31 Maret 2010

PPIA (Pengalaman Pertama Ikut Aksi) Seri 1

Aksi tu apaan siy? Hmhm…Aksi itu ternyata demonstrasi..Atau yang biasa disingkat dengan demo. Sebelum kuliah, aku biasane pake bahasa ‘demo’ untuk menggambarkan ada mahasiswa yang turun ke jalan, berarak, bawa spanduk, mikrofon, dan keliput di tivi atau di media laen…Soale sebelum kuliah, aku sama sekali dak pernah melihat dengan mata kepala sendiri, kayak mana yang namanya demo. Eh, belakangan kutau, ternyata demo itu ndak sesimple yang aku bayangin..Misalane dalam penggunaan ‘demo memasak’..Nah lho, kalo kaya gitu, berarti demo itu apa dwonk?

Demo khan sebenere kependekan ato singkatan dari demonstrasi..Maka kalo demonstrate, tu berari mempertontonkan, memperagakan, dan memperlihatkan. Oh, jadi gitu..Berati? Then? Kalo demo-demo mahasiswa itu berarti mempertontonkan apa? Wong bukan teatrikal? Mm..mungkin lebih enaknya menyuarakan aspirasi mereka kali ye..aspirasi yang mungkin bisa berupa sikap atau tuntutan ato apalah, yang berhubungan dengan hajat orang banyak…Mm…Dan biasanya praktik ini dilaksanakan dengan aksi teatrikal, pawai, bahkan anarkshis. Masih inget khan, peristiwa 98 yang menewaskan beberapa mahasiswa yang tengah berdemo?

Nah…pas aku duduk di bangku kuliah, aku masih sering menggunakan kata ini untuk menggambarkan aksi serupa. Tapi belakangan malah ikut-ikutan temen-temen ganti pake bahasa AKSI. Biasane nek pake demo ya untuk menggambarkan kalo di tipi ada liputan tentang demo, pas ke UGM da demo di bunderan, di kampus ada demo gajebo..Gitu thok. Nah..Kenapa dalam bahasa PG-nya jadi aksi ya? Aku ndak tau juga..Mungkin ada latar belakang stigma, diksi yang berpengaruh terhadap konotasi, ato apalah, aku dak faham juga..

Ok, stop talking about it’s textuality..Sekarang aku mau cerita ajah. Jadi…Kemarin, tggal 29 Maret, hari Senin yang cerah, untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, AKU IKUTAN DEMO. Hehehe, untuk urusan yang satu ini, aku sebenere cukup emoh…Bukan duniaku tu, tereak-tereak berjalan kaki sejauh mungkin, palagi aku tergolong orang yang males berpanas-panas, apalagi harus terancam berdekatan dengan aksi anarkhisme..(masih tergambar jelas di ingatanku pas tragedi PKD kemaren..)

Lalu, kenapa aku maksain ikut aksi kali ini? Hm..Jawabannya satu ajah, dan cukup simpel..Karena tuntutannya nyata, konkret, dan aku sendiri sangat berkepentingan. Hohohoho..Apakah itu? Ne terkait dengan masa depanku. Meski masa depan tidak sepenuhnya ditentukan oleh yang namanya titel ato gelar, tapi tu juga yang akan melekat sampe kita mati. Bahkan ntar di akhirat, kabarnya juga akan dimintai presentasi ma Tuhan..Hehehehe…Jadi aku rasa penting, untuk menindaklanjuti masalah titel di t4ku kuliah yang tengah terancam mendapatkan porsi yang kurang menguntungkan.

Aku mungkin dak akan ngebahas materi dan tuntutan aksi di tulisan ini secara panjang lebar. Cuma…Intine, aksi pagi itu merupakan reaksi dari keputusan Menteri Agama no. 39 tahun 2009 tentang penyematan gelar baru untuk sarjana-sarjana di PTA. Aku sich, ngerosone koq ngasep banget ya. Masa tu keputusan diratifikasi November, tapi reaksinya masih Maret! Akhir pula…Huhuhu..Dak ok! Tapi usut punya usut, kabarnya ne keputusan juga sempat mampet di entah drainase yang mana hingga akirny terlambat sampai di meja rektor, dekan, dan telinga mahasiswa…Yang juga disayangkan sebenere, karena birokrat kampus tidak diikutsertakan dalam perumusan keputusan tu. Aku sih mikirnya sederhana aja. Kementrian agama khan dak hanya ngurusi PTA ajah…Jadi pandangannya juga dak akan semendetail pihak birokrat kampus. Masalane banyak yang diurusin..Selaen hanya masalah gelar untk sarjana PTA.

Jadi kupikir, hal ini emang sangat disayangkan sekali…Birokrat kampus khan sedikit banyak lebih tau, gelar ne cocok ndak, untuk sarjanan ne, bisa marketable nda, bisa representaif terhadap kajian yang ditekuni ndak, dll. Nah..Cuma keputusan ne bukan tanpa alasan sich..Aku pikir cukup beralasan..Cuma kemudian malah jadi miopis dan chaunvinistik. Apaaaa pula, artine dua istilah ne? Hehehe..Intine ada yang diuntungkan dan dirugikan gitu ajah lah…Sayangnya aku berada dalam golongan yang dirugikan…Khan nelonGsowwwwwww….

Isu ini sebenere uda pernah disampaikan kajurku pas aku ambil kuliahnya di MPH, Rabu menjelang siang yang cukup menegangkan…Waktu itu respon temen2 bisa diprediksi. TERKEJUT DENGAN GUAYA YANG LEBBBBBAAAAAAAAAAAAAYYYYYYYY!!! Cuma ya, hanya sekadar terkejut ajah…Nah, jadi, agar ga cuma bisa terkejut, sekaranglah saatnya untuk TURUN KE JALAN!!

Aku semangat 45 pokoe, di event ini. Bukan apa-apa ato ada siapa, cuma aku ngeroso, ini kesempatan yang bagus untuk menambah input pengalaman..Sebab aku yakin suatu saat, pengetahuan dan pengalaman di jalan ne pasti bisa menyelematkan aku dari suatu keadaan yang barangkali belum siap kuhadapi. Karena aku tetep menggunakan kaidah, ingin tahu sedikit tentang banyak hal, maka aku bela-belain ikut rapat persiapan aksi ini tiga kali. Empat kali sebenere, cuma rapat terakhir aku absen dengan alasan..JALAN-JALAN!

Dan benerean, aku tau banyak hal baru..tau apa ajah perlengkapannya, tau pihak-pihak terkait, tau bagaimana teknis lapangannya, tau job discription sekaligus division of labor, dan lain-lain. Dan mendapatkan hal baru, buat aku selalu mengasyikkan…Jadi perlengkapannya tu macem2, dari kaen warna putih yang paling murah, cat, spidol, tali rafia, bambu, press release, kamera, konsumsi, dan mungkin masih ada lagi tapi aku lupa. Aku juga baru tau kalo aksi tu dak sembarangan aksi..Harus ada lobi, koneksi, dan konsolidasi dengan beberapa pihak. Ya media, satpam, dll dll. Beh, teryata keren..Dak sesimpel yang aku bayangkan. Aku pikir aksi tu langsung turun ke jalan ga jelas gitu..Tapi mungkin ngga juga sich, masalane aksi pagi itu khan aksi damai..Jadi ga ada ceritanay tuch, ada persediaan ban, senjata tajam, apalagi gas aer mata dan kerikil yang akan dijadikan sarana untuk melempar. Aku hanya menggantungkan hidupku siang itu dengan SLEYER item yang biasa kubawa ke mana-mana. Untuk ngindari dari polusi dan asap rokok ajah sich, sebenere…

Terus, di situ aku cuma ikut-ikutan dwonk? Hm..Ndak juga, karena aku jadi PJ dokumentasi. Ya, setidaknya ada dua alasan..Aku punya kamera dan aku narsis. He, apa hobongannya ya? Ah, koq jadi ndak indah gini bahasanya. Yaudah gini ajah..Aku punya filosofi hidup mendokumentasikan waktu. Oalah..Ngelindur uda omongannya. Ga tau tekan pundi.

Tulisan ini masih akan dilanjutkan insyA, dalam seri berikutnya..Untuk sementara ini dulu, sekdar mencairkan otakku yang barangkali akan semakin beku jika dibiarkan. Hm, satu lagi input baru dari kejadian itu!! Koordinator umum jadi KORDUM, kenapa koordinator lapangan tetep KORLAP? Bukan KORDLAP? Tanya kenapa…(Ya, dalam ilmu I’lal—suatu kata yang mengingatkanku pada guru diniyahku bernama Pak Rasyid—disebabkan karena pengucapan KORDLAP sangat sukses membuat pengucapan jadi sulit dan ribet. Sehingga, jika diteruskan, maka hal ini bertentangan dengan sisi ESTETIKA bahasa…Oalahhhhhhhh)

Kamis, 25 Maret 2010

Sok-sokan edc

Alowha...Uda cukup lama agaknya aku dak brainstorming ngeblog. Ngeblog pun biasanya cuma mosting sesuatu yang berasal dari bangku kuliahku, ndak update status ya gandaan tugas. Hmhm, jadi sok-sokan sibuk karena kena skorsing dan ngebut proyek..Sebenere banyak banget waktu yang cukup kebuang sia-sia...Hm, apologizenya mungkin sampai di sini ajah..Tiga keadaanku saat ini adalah, UTS di depan mata, aku lagi kere banget, dan aku uda berhasil beli hape baru pas dapet rejeki dak dinyana kemaren..he

Sekarang...What will i write?
Aku jadi ikut2an kebingungan dan kesulitan nentuin judul tulisan..Masalane aku maunya yang gaya-gaya dan tidk terlalu normatif. Sok-sokan niru ksatria sebenre, lagian aku juga lebih suka baca essai ketimbang artikel ilmiah yang kadang 2ton-an itu. Alhasil aku selalu bikin judul yang gaya-gaya sok ngesai gitu pas bikin tulisan untuk kepentingan akademik. Dari situ juga aku malah kikuk untuk bikin judul yang normatif..Hmhm, yakni di SKRIPSIku!! Ow, em ji..bagaimanakah yang terjadi? Hehehe..Yaudahlah, hari ini aku ingin menulis tentang...

Mmm...Cinta, egoisme, dan Kebesaran Hati *)

Aku tiba-tiba inget dengan perkataan guruku pas aku masih di NJ dulu. Guru itu adalah orang seetnisku yang ambil jurusan psikologi..Namun jangan kira dia bukan kitabiyah. Dia itu genuine orang yang bahasa Arab, Nahwu, dan Sharrafnya bisa diandalkan. Bapak ne kueren banget..Dan cara ngajarnya juga lumayan enak..Meski kalo spoilednya kumat, dia bisa manyun-manyun long term pake acara ga masuk kelas..(Loh, koq malah ngomongin guru di sini? He...Sekadar mengingat beliau dech, lagian aku ndak nyebutin namanya..jadi kalo bukan anak WaliSongo, agaknya gak akan mudeng..)

Ok, dia pernah bilang..Bahwa sebenere egoismu itu kerap dibahasakan dengan cinta..Is it right? Ya pas itu aku tolak asumsinya mentah2 dan gajebo2. Apalagi pas beliau bilang gini, kita sering merasa takut kehilangan orang lain..dengan dalih bahwa kita mencintai orang tersebut. Sebenernya tidak demikian. Kita takut orang –yang katanya kita cintai itu pergi—karena kita membayangkan, alangkah sepi dan berbedanya kehidupan kita jika orang tersebut tidak lagi di sini. Alangkah ga enaknya hidup kita tanpa orang itu..Alangkah sepinya..Alangkah ga berwarnya..Dan semua hal yang ga ngenakin..

Well, aku kemudian berpikir, sering banget aku nulis..I am afraid of missing him..Ato pernah juga aku sampaikan ma orang yang bersangkutan viasms, i am afraid of missing you...Namun sebenere, mengapa aku harus takut kehilangan dia? Mengapa aku seakan dak rela jika orang itu pergi? Benerkah itu karena aku menyanyanginya? Ato, seperti yang disampaikan guruku, hanya simbol sekaligus perwujudan dari egoismeku? Hm, sampai di sini aku mulai menaruh curiga pada diriku sendiri..Jangan-jangan aku sok-sokan bilang gitu karena emang aku egois dan dak mau beranjak dari babak kehidupan yang buat aku kerasa mengasyikkan?

Lama aku berpikir, menghubungkan beberapa kejadian yang kualami dengan praduga itu...Diam-diam aku membenarkannya..Kadang aku hanya menjadikan orang yang kusayangi sebagai simbol dari egoismeku..Lalu seberapa besar? Dan benarkah mutlak begitu? Apa tidak ada anomali? Hm..Aku juga belum tau dan belum berani memprediski..Intine aku baru pada tahap menyadari, bahwa term cinta itu mungkin dan barangkali benar adalah term yang serrrrrrrrring banget dijadikan legalitas sekaligus justifikasi untuk (melakukan) hal apapun, bahkan hal yang pada esensinya bertolakbelakang dengan cinta itu sendiri..Seperti halnya juga egoisme pribadi..

Aku bilang, aku sayang sama seseorang dan aku mau dia tetap di sini dan dak ke mana-mana. Kalopun sebenere perasaan itu ada, tapi seberapa jauh aku bisa mereduksi perasaan –yang katanya tulus—itu dari egoisme diri? Lha misalnya, kalo dia pergi dan dak lagi di sini, apa urusanku? Bukankah dia memiliki dunianya sendiri? Dan aku hanya bagian dari kehidupannya? Bukankah pada akhirnya manusia akan benar-benar sendiri dan mengandalkan dirinya sendiri?

Tidakkah sebenernya yang paling bercokol di pikiranku adalah...Mmm..Kalo dia pergi, ga ada lagi orang yang akan selalu ada untuk aku, ga akan ada lagi ritual-ritual unplanned tapi juga addicted itu, dan ga akan ada lagi hal-hal yang sudah biasa aku lewati pada momen-momen sebelumnya. Jika begitu, sebenere aku lebih mengkhawatirkan keadaanku sendiri setelah orang itu pergi tow? Bukan karena aku lebih menghawatirkan keadaan orang yang aku sayangi itu? Aku lebih membayangkan bagaimana diriku akan sendiri jika tak ada dia lagi. Bukan begitu??

Lalu, lebih jahat siapa dwonk, orang yang meninggalkan dan yang ditinggalkan? Embuh ah, yang jelas buat aku sekarang, sesakit apapun alur yang diciptakan Tuhan, nyeri dan pedih itu akan menelan dan ditelan waktu..Asal manusianya aja mau selalu terus mencari langit yang lebih biru..Membesarkan hatinya sendiri, mengkondisikan diri agar semuanya segera baik-baik saja, dan juga meyakini bahwa Tuhan dak pernah sembarangan ngatur alur bagi hamba-Nya..He will always give the best...Ya, sebab dalam teoriku, seberapapun seseorang itu mendapatkan kesialan, pasti masih ada celah-celah yang bisa membuat dia bersyukur. Misalnya dengan membandingkan kejadian yang lebih ga ngenakin. Pada akhirnya dia akan bilang gini, ‘Untung masih ndak gini gini..., walaupun aku uda gitu gitu..’

Wewlwh, kenapa bisa selancar ini nulisnya meski mungkin terlalu berapi-api dan akhirnya kalimatku malah acak-adut? Hm..Aku sebenere ga tengah merasa kehilangan seseorang hingga aku merasa ada tarik menarik antara perasaan cinta dan egoisme diri. Cuma emang ada beberapa kejadian—yang dialami orang lain dan secara dak sengaja aku ketahui—dan kemudian mengilhamiku untuk menulis selancar itu. He, nyaris tanpa rem...Ide-ide seakan berhamburan menghujani otak dan jari-jariku...

Nah trus...Aku kemudian berpikir, hal teraman dan ternyaman apakah yang bisa dilakukan manusia yang mengaku mencintai seseorang dalam mereduksi egoisme pribadinya?! Hehehe..Ne aku siapin cadangan untuk diriku sendiri aja sebenere...Meski semuanya hanya teori, tapi aku pikir mending dech, dibanding ga ada sama sekali teori. Heheeeee. Mmm..Alternatifnya menurut aku adalah, berbesar hati ajah...Dengan mengambil kaidah ‘aku bahagia bila kamu bahagia’..

Hehehe..jadi melanko. Nda gitu amat sech..Aku sebenere cuma berpikir bahwa cara teraman dan ternyaman itu adalah membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri...dalam artian kalo pun seseorang itu harus pergi (karena pada akhirnya semua manusia akan melewati alur kehidupannya seorang diri), kita harus bisa make sure kalo dia baik-baik saja. Dan jika dia sudah berada dalam keadaan yang lebih enak dari sebelumnya, kita bisa tersenyum mengingat segala hal tentang dia. No tear anymore. No regret anymore...dan biarkan alur hidup mengalir dengan sendirinya...

Emang urgen banget tu, untuk sejak dini membangun apa yang namanya ketegaran, kebesaran hati, dan silabi-silabi lain kurikulum kehidupan. Ya, sebab Tuhan pasti ngasih yang terbaik untuk hambaNya...Dan juga yang tidak kalah penting adalah bahwa...Mmm..Aku harus segera belajar mengurangi ketergantungan pada orang lain..Dalam segala hal apapun. Sebab memang pada akhirnya, manusia akan benar-benar sendiri. Lalu sampai kapan kita akan mengandalkan orang lain? Tidakkah kita punya sangat banyak potensi untuk bertahan dan mengandalkan diri sendiri??

*) Untuk beberapa kejadian
Yang mengilhami lahirnya tulisan ini..

Sabtu, 20 Maret 2010

Smoga smua akan baik2 saja..

3 Pertanyaan dan Jawaban tentang
Tafsir Al Bayani Karya Bint Syathi’
Oleh Ita, Farhan, Abrori


Mukaddimah

Ada dua alasan dasar mengapa Bintu Syathi’ maupun tafsirnya bisa memiliki daya tarik untuk dibahas. Alasan yang pertama adalah karena Bintu Syathi’ merupakan murid langsung (sekaligus isteri) seorang cendekiawan yang disebut-sebut turut ikut andil dalam melahirkan ‘madzhab’ revolusioner tafsir sayap adabi ijtimai, yakni Amin Al Khuli. Kelahiran tafsir adabi ijtimai yang merupakan ‘tawaran alternatif’ dari penafsiran klasik (maupun sayap tafsir ilmi) tentu merupakan angin segar bagi dunia penafsiran Al-Qur’an. Semangat untuk memberikan tawaran baru yang lebih representatif dalam dunia tafsir memang patut diapresiasi. Semangat tersebut agaknya masih bisa sangat dirasakan dengan membaca tafsir Bintu Syathi’ ini.

Alasan kedua adalah adanya pertanyaan besar dalam benak penulis, mengenai arah tafsir adabi-ijtimai maupun madzhab tafsir tematik yang disebut-sebut merupakan dua hal yang melekat pada tafsir ini. Jika memang tafsir bintu Syathi’ merupakan tafsir tematik, mengapa tidak ada tema besar yang diusungnya (seperti halnya Sayyid Quthb yang mengusung tema riba)? Bintu Syathi’ justeru menafsirkan empat belas surat pendek yang berada dalam bagian akhir mushaf Ustmani. Asumsi bahwa keempat belas surat tersebut membahas satu tema besar yang sama agaknya tidak bisa dipertahankan meski hanya dengan sekilas melihat ayat-ayat tersebut. Lalu bagaimanakah menggabungkan nuansa tafsir sastra-sosial dengan tafsir tematik dalam sebuah karya? Beberapa pertanyaan itulah yang menjadi starting point penulisan makalah ini.


Siapakah Bintu Syathi’?

Seperti kebanyakan para cendekiawan lain, Bintu Syathi’ termasuk orang yang beruntung sebab sedari kecil beliau memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan suportif bagi perkembangan akademiknya. Sebelum usia sepuluh tahun, Bintu Syathi’ kecil sudah dikirim ke sebuah lembaga pendidikan untuk belajar membaca dan menghafalkan Al-Qur’an. Kakek Bintu Syathi’ sendiri adalah seorang ulama’ besar Azhar, sehingga tidaklah mengherankan jika pada usia sedini itu, Bintu Syathi’ telah dikondisikan untuk bisa akrab dengan iklim akademik.

Mufassir yang pada awal karier akademiknya ini menggeluti kajian bahasa dan sastra Arab bernama asli Aisha Bintu Abdurrahman. Konon ia menggunakan nama pena Bintu Syathi’ untuk menyembunyikan identitas dari sang ayah. Penamaan Bintu Syathi’ sendiri dilatarbelakangi oleh setting geografis tempat Aisha dilahirkan dan dibesarkan, yakni di tepi sungai nil. Tiga jenjang pendidikan tinggi yang dilaluinya tidak begitu banyak menghadapi rintangan berkat kejeniusan dan ketekunannya.

Dalam tiga jenjang pendidikan tinggi tersebut (sarjana, magister, dan doktoral), Bintu Syathi’ menekuni satu konsentrasi, yakni bahasa dan sastra Arab. Namun begitu, Bintu Syathi’ bukanlah seorang mahasiswi akademisi an-sich yang hanya berkutat dengan diktat-diktat kuliah. Di luar kesibukannya di kampus, Bintu Syathi’ juga memiliki karier yang cukup cemerlang di dunia jurnalistik. Tulisannya banyak muncul di mana-mana dan momen inilah yang kemudian menjadi setting historis dicetuskannya nama pena Bintu Syathi’.

Meski sedari kecil Bintu Syathi’ sudah memiliki intensitas yang cukup tinggi dengan segala hal tentang Al-Qur’an, akan tetapi minatnya ke arah tafsir baru muncul manakala ia berkenalan dengan dosen yang keudian menjadi suaminya, Prof. Amin Al Khuli. Dari sinilah, muncul keinginan Bintu Syathi’ untuk menggunakan keahliannya (dalam bidang bahasa dan sastra Arab) sebagai andalan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Meski begitu, Bintu Syathi’ tidaklah hanya berhasil menulis kitab tafsir ini, ada banyak karya-karyanya yang lain dan telah terpublikasi secara luas, meski tidak sepopuler tafsir Al Bayaninya.

Pada awal Desember 1998, cendekiawan yang juga produktif ini menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 85 tahun. Meskipun tafsir Al Bayani yang ditulisnya tidak membedah semua ayat dan surat dalam Al-Qur’an, akan tetapi metode yang digunakan Bintu Syathi’ dalam tafsirnya ini banyak berpengaruh terhadap produk-produk tafsir sesudahnya. 1


Sekilas Pandang (Metodologi) Tafsir Al Bayani

Tafsir Al Bayani lil Quranil Karim ini adalah sebuah tafsir yang ditulis oleh Bintu Syathi’ dengan membedah empat belas surat pendek yang ada dalam Al-Qur’an. Keempat belas surat itu adalah; Surat Al-duha, Al-syarh, Al-zalzalah, Al-adiyat, Al-nazi’at, Al-balad, Al-takatsur (juz I), Al-alaq, Al-qalam, Al-ashr, Al-lail, Al-fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un (juz II). Sejauh ini penulis belum menemukan referensi yang menyebutkan alasan mengapa Bintu Syathi’ lebih memilih keempat belas surat ini dibanding surat-surat lain yang ada dalam Al-Qur’an.

Alsan paling konkret dalam pemilihan keempat belas surat itu adalah karena surat-surat tersebut tersusun berurutan dalam standar mushaf Usmani. Kendati hanya membedah empat belas surat ini secara mendetail, hal ini tidak berarti bahwa ayat-ayat dalam surat lain tidak tercover dalam penjelasan-penjelasan yang dipaparkan Bintu Syathi’. Sebab dalam tafsirnya ini, Bintu Syathi’ sangat jelas menggunakan metode munasabah antarayat, khususnya untuk mengetahui akar kata dan ragam penggunaan suatu lafadz dengan mengkomparasikan beberapa ayat lain yang tidak masuk dalam pembahasan inti.

Kendati Bintu Syathi’ dianggap sebagai mufassir era kontemporer, perempuan satu ini agaknya belum bisa tercerabut dan melepaskan diri dari kaidah yang dipakai mufassir sebelumnya, yakni bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhum ba’dha.

Ada rentang waktu lima tahun antara penerbitan tafsir Al Bayani jilid pertama dan jilid kedua. Menurut pengakuan Bintu Syathi’ sendiri, hal ini dilatarbelakangi oleh kesibukannya yang bejibun dan banyaknya perangkat yang harus dikantonginya untuk benar-benar menseriusi karya masterpiece-nya ini2. Penulis membayangkan sendainya Allah masih memberikan umur yang lebih panjang pada Bintu Syathi’, barangkali Srikandi ini akan menulis jilid ketiga tafsirnya atau bahkan menulis tafsir ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.

Sebagai tafsir yang muncul pada era kontemporer, tidaklah mengherankan jika kemudian tafsir Al Bayani ini sarat dengan semangat-semangat pembaharuan tafsir yang dicetuskan oleh satu generasi sebelumnya. Meski tidak bisa sepenuhnya terlepas dari kaidah-kaidah yang dipakai mufassir era klasik ataupun mufassir sayap ilmi, akan tetapi tafsir kontemporer adabi ijtimai, yang salah satunya direpresentasikan oleh tafsir Al Bayani ini sudah mampu memberikan tawaran yang cukup berasalan dan argumentatif; dengan tidak hanya mendekonstruksi, namun juga merekonstruksi.

Salah satu ciri yang –barangkali—begitu ingin diminimalisir dari produk tafsir klasik adalah pembahasan yang masih atomistis dan miopis. Hal ini diwujudkan Bintu Syathi’ dengan penjelasan yang cukup memadai mengenai suatu term tertentu. Jika dalam sebuah ayat terdapat term kunci, maka Bintu Syathi’ akan memberikan pemaparan mengenai beberapa penggunaan lafad (kata kunci tersebut) dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an yang juga memuat lafadz yang sama, meski terkadang dalam bentuk (sighat) yang berbeda.
Dengan langkah ini, Bintu Syathi’ agaknya mengharapkan pembacanya untuk bisa memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai sebuah term kunci dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, pemahaman terhadap sebuah term tidak hanya didasarkan pada penggunaan term tersebut dalam sebuah ayat, namun juga dibandingkan dengan ayat lain yang memuat term yang sama. Hal ini tentu berbeda dengan mufassir klasik yang cenderung menafikan aspek munasabah dalam konteks yang satu ini dan hanya menjelaskan sebuah term dalam suatu ayat tanpa membandingkannya dengan ayat-ayat yang lain.

Untuk menulis tafsirnya ini, Bintu Syathi’ menggunakan empat metodologi mayor yang menjadi acuannya dalam menulis keseluruhan bagian dalam tafsir ini. Keempat metodologi ini sebenarnya merupakan kolaborasi antara gagasan Al Khuli dengan Bintu Syathi’. Al Khuli yang juga dianggap sebagai pelopor dan atau pendukung garda depan tafsir adabi ijtima’i ini tidak sempat mengaplikasikan teori yang dicetuskannnya dalam bentuk tafsir. Faktor inilah yang barangkali juga mendorong Bintu Syathi’ untuk mengembangkan teori yang digagas suaminya dan menuliskannya dalam bentuk tafsir.

Produk pemikiran Bintu Syathi’ yang tidak terkover dalam empat point tersebut di atas ternyata juga banyak memberikan pencerahan dalam dunia tafsir. Terlebih, teori yang dicetuskan Bintu Syathi’ diperkuat dengan bebeapa bukti yang sangat menguatkan. Sebagai contoh, saat Bintu Syathi’ menggagas bahwa tidak ada sinonimitas dalam Al-Qur’an, beliau juga sudah siap dengan data-data lengkap yang bisa mengukuhkan teorinya tersebut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan spesifikasi jurusan yang ditekuni Bintu Syathi’, yakni kajian bahasa dan sastra Arab.


3 Pertanyaan dan Jawaban tentang Tafsir Al Bayani

Seberapa besar Bintu Syathi’ terpengaruh oleh Amin Al Khuli?

Kontaminasi Al Khuli dalam metodologi dan produk tafsir Bintu Syathi’ setidaknya tercermin dari dua gagasan Al Khuli yang belakangan dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dalam empat metodologi tafsirnya. Al Khuli menggagas bahwa ada dua konsep metode penafsiran kesusateraan, yakni studi tekstual Al-Qur’an dan studi kontekstual Al-Qur’an. 3

Point pertama kemudian dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dengan mengatakan bahwa pilar pertama penafsiran kesusateraan adalah dengan memperlakukan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diinginkan Al-Qur’an secara objektif. Hal ini berkaitan erat dengan aspek tekstualitas Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an yang memakai Bahasa Arab tentunya mewakili apa yang ingin disampaikan Tuhan pada manusia. Karena bahasa adalah sebuah alat komunikasi yang sifatanya konvensi dan fleksibel (misalnya dalam penggunaan), maka langkah yang kemudian diambil oleh Bintu Syathi’ adalah dengan mengumpulkan ayat-ayat yang memuat lafadz yang sama untuk kemudian dibandingkan dan ditentukan makna manakah yang paling representatif.
Pilar pertama ini berkutat pada aspek bahasa dan sastra, seperti apakah akar kata term kunci dalam sebuah ayat, bagaimanakah evolusi penggunaannya, dan apa saja pengertian yag dikandung oleh sebuah term. Permasalahan bahasa juga dikupas dalam point ketiga dan keempat yang mengatakan bahwa untuk memahami dilalah alfadz yang disampaikan Al Qur’an, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistik asli dan dalam memahami pernyataan-pernyataan yang sulit dalam sebuah ayat, maka ayat tersebut harus dipelajari dan diperhitungkan semua kemungkinan maksudnya dengan juga mengkomparasikan dengan pendapat para ulama.
Sedangkan studi kontekstual yang digagas Al Khuli kemudian dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dengan mencetukan pilar kedua dari empat metodologinya, yakni bahwa untuk memahami konteks pewahyuan, maka ayat-ayat di sekitar gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul). Namun begitu, sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat mutlak pewahyuan, sebab “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi la bikhususi sabab”.
Dengan demikian, penulis sementara berkesimpulan bahwa metodologi yang dicetuskan Bintu Syathi’ merupakan follow-up dan atau pengembangan dari dua kriteria yang sebelumnya digagas oleh Al-Khuli. Jika kemudian metodologi yang dijadikan acuan oleh Bintu Syathi’ lebih mendetail dan aplikatif, maka hal yang demikin –barangkali—dilatarbelakangi karena Bintu Syathi’ sudah masuk dalam ranah praktik atau aplikasi metodologi penafsiran, tidak seperti Al Khuli yang tidak sempat menerapkan metodologinya dalam bentuk sebuah karya tafsir.

Bagaimana Aplikasi Metodologi Bintu Syathi’ dalam Produk tafsir yang Dihasilkan?

Ada empat pilar metodologi yang dipakai Bintu Syathi’ dalam menghasilkan produk tafsirnya, yakni: 4
Memperlakukan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diinginkan Al-Qur’an secara objektif
Untuk memahami konteks pewahyuan, maka ayat-ayat di sekitar gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul).Namun begitu, sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat mutlak pewahyuan, sebab “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi la bikhususi sabab”.
Untuk memahami dilalah alfadz yang disampaikan Al Qur’an, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistik asli
Dalam memahami pernyataan-pernyataan yang sulit dalam sebuah ayat, maka ayat tersebut harus dipelajari dan diperhitungkan semua kemungkinan maksudnya dengan juga mengkomparasikan dengan pendapat para ulama.

Adapun aplikasi dalam keempat metode ini dalam produk tafsirnya, yakni Tafsir Al Bayani adalah sebagai berikut;

Ketika menafsirkan asbabun nuzul surat Al-Duha, Bintu Syati’ memaparkan beberapa pendapat ulama’ mengenai asbabun nuzul ayat ini. Pendapat beberapa ulama’ tersebut berbeda-beda antarsatu dengan yang lain. Bintu Syath’ kemudian menutup penjelasannya tersebut dengan menegaskan bahwa asbabun nuzul tidak lebih dari sekadar qarinah-qarinah (konteks) di seputar nash.

Jadi andaikan asbabun nuzul dalam ayat ini (yang menurut sebagian ahli adalah pada saat Nabi Muhammad terlambat menerima wahyu) tidak terjadi, maka ayat ini tetap akan turun. Asbabun nuzul bagi Bintu Syathi’ bukan merupakan sebuah keniscayaan apalagi syarat mutlak turunnya ayat, akan tetapi hanyalah sekadar konteks yang melatarbelakangi (dan kebetulan berbarengan dengan) turunnya suatu ayat.

Asumsi Bintu Syathi’ yang demikian ini bukannya tanpa alasan. Ia beranggapan demikian setidak-tidaknya karena tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbabun nuzul dan rwayat mengenai asbabun nuzul masih memiliki sangat banyak wahm. Inilah aplikasi dari pilar metodologi kedua yang digagas oleh Bintu Syathi’. 5

Sedangkan aplikasi metodologi penafsiran dari sisi tekstual yang oleh Bintu Sytathi’ kemudian dikembangkan menjaid tiga pilar metodologinya dapat dilihat dalam penjelasan berikut berikut:

Pada pilar metodologi pertama, Bintu Syathi’ menegaskan bahwa Al-Qur’an harus diperlakukan secara objektif. Hal ini dilakukan dengan pengumpulan semua ayat yang memuat term yang ingin dibedah. Sebagai contoh, saat Bintu Syathi’ membahas term kunci duha, maka beliau tidak hanya mengupas ayat pertama surat Al-Duha, namun juga memaparkan term-term duha yang terdapat dalam ayat lain, semisal ayat 46, 29 surat Al-Nazi’at, ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat 59 surat Thaha.

Setelah mengumpulkan beberapa ayat yang memuat term kunci duha (aplikasi dari pilar pertama metodologi Bintus-Syathi), maka Bintu Syathi’ kemudian menerapkan pilar ketiga metodologinya, yakni mencari arti linguistik dari term duha. Pemaparan beliau kemudian dikemas dengan penyebutan beberapa bentuk (sighat) dan penggunaan yang akar katanya adalah duha, semisal al-dahiyah (unta yang minum pada waktu duha), dahha (mengorbankan kambing pada waktu duha), yaum adhha (hari berkumpulnya kambing yang akan disembelih pada hari raya qurban—waktu duha—) dahiyah (langit yang terkena sinar matahari), dan bebeapa term lain serta penyebutan maknanya.

Bintu Syathi’ juga mengemukakan bahwa bahwa Al-Qur’an menjadikan lafadz duha sebagai antonim dari lafadz ‘asyiyyah (senja hari) pada ayat 29 dan 46 surat Al-Nazi’at, ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat 59 surat Thaha. Ia kemudian juga membeberkan beberapa pandangan ulama’ mengenai arti kata maupun penggunaan term duha ini, sebelum pada akhirnya menyatakan di mana posisinya dalam memandang term duha. 6 Beberapa hal inilah yang menjadi aplikasi dari pilar ketiga metodologi penafsiran Bintu Syathi’. Dari point ini kita juga bisa melihat bahwa Bintu Syathi’ sangatlah apresiatif terhadap hasil pemikiran dan atau penafsiran ulama terdahulu, meski ia selalu menegaskan posisinya, baik mendukung atau menentang pendapat terdahulu tersebut.

Adapun aplikasi dari pilar keempat metodologi penafsiran Bintu Syathi’ senyatanya masih berkaitan erat dengan contoh yang baru saja dipaparkan. Dengan demikian setelah mengumpulkan beberapa ayat yang memuat sebuah term kunci, membandingkan ragam makna dalam berbagai penggunaannya dan mengutip (dengan mendukung atau menolak) pemikiran mufassir sebelumnya, Bintu Syathi’ berusaha memperhitungkan semua kemungkinan makna yang dimiliki sebuah lafadz. Dan untuk melakukan hal ini, Bintu Syathi’ menggunakan analisis tekstual dan kontekstual dari tiga pilar metodologi yang sudah disebutkan sebelumnya. Ia memperhitungkan dan membahas semua kemungkinan ma’na yang bisa dimiliki oleh sebuah ayat, namun dalam point ini juga, ia menjauhkan ‘intervensi’ israiliyat, paham sektarian, dan takwil yang berbau bid’ah untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sebuah term dan atau ayat.

Bagaimana implikasi dari ‘semangat tematik’ yang diinginkan Bintu Syathi’?

Jika tafsir ini dikatakan sebagai tafsir tematik, maka tafsir ini berbeda dengan kebanyakan tafsir tematik lain yang mengumpulkan beberapa ayat yang membahas sebuah tema. Sebut saja misalnya tafsir Sayyid Quthb, Tafsir Ayat Riba yang membahas masalah riba. Ia memilih semua ayat (dari beberapa surat Al-Qur’an) yang membahas permasalahan riba untuk kemudian memiliki pemahaman yang utuh mengenai term tersebut. Bintu Syathi’ tidaklah demikian. Aroma tematik yang terdapat dalam produk tafsirnya lebih kepada tafsir tematik sastra.

Dalam artian, ketika menafsiri sebuah ayat, ia memfokuskan pembahasan pada satu atau bebeapa term kunci yang ada dalam ayat tersebut. Dalam ayat pertama surat Ad-Duha misalnya, ia memfokuskan pembahasan pada term duha. Bintu Syathi’ akan membahas lafadz-lafadz duha yang tersebar dalam surat-surat yang berbeda. Dengan demikian, tematik di sini tidak pada aspek bahasan secara umum, namun lebih kepada pembahasan sebuah kata (term) menurut beberapa sighat, penggunaan, dan maknanya.

Pemahaman yang utuh mengenai sebuah term kata kunci ini kemudian akan menjadi bekal untuk bisa menentukan kemungkinan makna manakah yang paling representatif untuk sebuah ayat.

Khatimah
Sebuah tafsir adalah jembatan akademik yang menghubungkan periode sebelum dan sesudah kelahirannya. Kehadiran sebuah tafsir kurang lebih merupakan kritik dan alternatif dari produk-produk tafsir sebelumnya, meski ia tidak bisa lepas dari metodologi maupun produk penafsiran sebelumnya. Jika tafsir Al Bayani merupakan sebuah karya tafsir yang berupaya menawarkan gagasan alternatif setelah dunia tafsir lama dikuasai oleh hegemoni penafsiran klasik yang atomitis dan penafsiran ilmi yang apologetik, maka tafsir ini juga mengilhami lahirnya beberapa karya sesudahnya.

Hemat penulis, tafsir ini lebih menonjolkan sisi adabi-nya, hal ini misalnya dapat diketahui dengan aksentuasi pembahasan yang sangat terfokus pada aspek kebahasaan, sastera, dan linguistik. Sehingga dalam banyak kesempatan, Bintu Syathi kerap hanya terfokus pada pembahasan sastera dan melupakan aspek aplikasi tafsirnya dalam hidup keseharian muslim (sisi ijtima’i). Padahal dalam hemat penulis, idealnya, sebuah tafsir adalah karya yang berupaya membuat Al-Quran lebih mudah difahami dan down to earth bagi muslimin. Meski begitu, karya ini merupakan sumbangan yang patut diapresiasi tinggi. Allah Knows Best


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aisha. 1977. Tafsir Al Bayani li Al-Qur’ani Al-Karim juz II, cet. 5, Kairo: Dar Al- Ma’arif
Abdurrahman, Aisha. 1996. Tafsir Bintu Syathi’ terj. Mudzakir Abdussalam, Banding: Mizan.
Farhan, Ali. 2010. Amin Al Khuli (1895-1966), makalah, tidak dipublikasikan.
www.islamwomenstudies.com

Selasa, 09 Maret 2010

JUMPA LAGI, PREND!!!!

Update Status ClassbOok, 09 Maret 2010..
MK SKH II Bapak DN

Iduy : Page2 dah update..Aku ga mau yang pertama!!
Tashir : Kirain uda telat, ternyata aku yang pertama..Luar biasa!! Smangat terus, Coy!
El-Maturidi : Kitab Al Adzkar An-Nawawi, Coy..Mari kita berdzikir..Ingat Tuhan!
Ubed : Selasa pagi pasti telat, heran? Biasanya masuk 9.20, Selasa malah 7.30. Salah siapa tuh? Yang ngatur jadwal ato yang nginput jadwal?
A’Din : Aa ganti nomor hape ne; 085740982506. Simpen ya!!
UnyiL : Telat, euy..padahal dah siap-siap mau berangkat pagi..eeee…Tebengannya malah belum siap, jadi telat dech.. 
El Farhan : Pagi-pagi dah gerah, laper, ngantuk..Ngopi yukkk,,
Kang Tur : Enaknya maen hom pim pa..Hahahah…Ayo nang lulus, nang kawin, mumpung durung kiamat…
Mumtaz : Akhirnya hapeku kembali juga, setelah dua hari ilang entah ke mana..
Aling : Kera apa yang ngamuk-ngamuk sambil tereak-tereak?  KERASUKAN SETAN!!!
Boy Yat : Makasi, Tuhan..Dah Engkau berikan aku nikmat kesehatan walaupun batuknya belum sembuh total..n mudah-mudahan engkau juga memberikan nikmat keuangan kepadaku…Hahahahaha…
An-Mel : Ceneng dweh, semua baik-baik ajah..kesehatan..tambah ilmu tyus..tambah memukau..hihihihi…
Ocka : Lega juga dah presentasi walaupun ga ada komentar heheh..Yang penting semangat!!
Tata : SKRAPSA-SKRIPSI,,bosen tau!! Judul ajah ndak ada bayangan sama sekaleeeee!!! Ayow!!

Minggu, 07 Maret 2010

DecLare Ur Luv b4 it’z tOo LatE…(Resensi Pilem MERANTAU)

Beh, pas pertama kali baca kalimat ini, sense touching banget. Bikin merinding…pas itu di kovere novel yang judule Love is Cinta. Kapan ya? Pas kelas akhir Aliyah kayaknya…Jadi ceritane tu, nyatain cinta itu harus pake timing..Dak boleh terlalu awal dan dak boleh terlalu ngasep. Ntar dibilangin, Don’t say you love me, you don’t even know me,,,kayak M2M. itu yang kasus terlalu awal. Untuk yang terlalu ngasep, banyak kasusnya. Selain ceritane Bagas, ada juga ceritane Ryan. Jadi intine dua orang itu harus merelakan cintanya ga tercapai hanya karena ngasep ngucapin cinta. Dari dulu suka ngulur-ngulur waktu dan dak ngasih ketegasan. Pas mau bilang, waktu uda nda mengidizinkan..

Yap. Ternyata faktor timing itu juga menentukan banget…Harus proporsional emang, memperlakukan waktu yang dak sama sekali mau peduli ma alur kehidupan manusia. Eits, daritadi ternyata lagi ngomongin cinta. Sok sweet kalo gene ceritane. Mmm…sebenere ini semua ingin aku mulai setelah aku abis nonton sebuah pilem laga yang masih agak fresh, judule MERANTAU. Jadi, ada adegan –yang sebenere merupakan adegan inti—yang nyiratin kalo…menyatakan cinta itu emang harus disiasati biar timingnya enak. Beh, adegan ini sukses bikin aku tersedu sedan mpe tereak ga karuan…

Bayangin aja, dari sudut pandang aku sebagai perempuan, ngenesin banget pas ada seorang cowo yang luar biasa bela-belain dan jagain kita abis-abisan, e…ternyata baru menyatakan cinta sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Beh, speechless kalo gitu kejadiannya…aku ajah yang nonton seorang diri waktu itu berderai-derai dengan air mata yang melompat satu persatu. Huuuuuuuuuuu…Ngenesin banget. Ga tau kenapa. Pernah ngerasain kejadian serupa ndak juga, ngebayangin seseorang ndak juga, tapi intine aku terenyuuuuuuh banget pas nonton adegan itu..

Mana ngomongnya formal banget pula, “SAYA SAYANG SAMA KAMU”..Beh..keren gile ini emang, sebuah kalimat pendek yang kadang sulllllllllllllllliiiiiiit banget diucapkan. Ada gengsi lah, ada ragu lah, ada ga pede lah, dan ada hal-hal lainnnya.

Ok, yang juga terkesan sangat formal dari pilem ini adalah judulnya, “MERANTAU”. Temen kelasku yang bernama Oka, hari itu kebetulan maen ke kos dan kami saling bedah lepi masing-masing. Dia cekikikan nonton kawin kontrak dua di biibii, eh akunya malah setengah idup setengah mati nonton MERANTAU di lepinya. Hmhmh…pas itu aku emang loyo banget. Semalem sebelumnya aku nonton pilem India yang beberapa adegannya sukses bikin aku nangis pas dinihari terus sulit tidur mpe jam tigaan pagi. Di kelas SKH II, aku seakan dak bisa melek barang lima detikpun tanpa menguap…

Bale lagi ke suasana kamar kosku di Selasa yang—masyaAllah—sangat panas itu, aku akhirnya tertidur dengan lepi yang terus menyala. Cape dan ngantuk banget waktu itu..Aku nyenyak pwol hingga Oka membangunkanku untuk pamit pulang. Hmhm…Aku belum sempat menyelesaikan nonton pilem itu sampe habis, lepinya uda keburu mau dibawa pulang dan akupun belum sempat mikir untuk ngopy ke biibii. Oka pulang, aku tidur lagi. Eh, abis itu aku kepikiran banget ma lanjutan pilem itu…

Sebenere awalnya ga ada yang menarik dan berbeda dengan pilem2 yang uda biasa aku tonton. Cuma karena pilem ne adalah karya anak negeri, mau dak mau aku apresiasi. Apalagi aku sukanya cuma pilem Indo ma pilem Inggris. Si Oka juga bilang kalo pilem ne baru rilis. Jadi aku bisa dak gitu ketinggalan jaman kalo segera nonton pilem ini. Dipiki2 juga, ne pilem bakal keren soale ada penampilan spesial dari Kristine Hakim, senior penggiat seni peran di Indonesia yang uda berkali-kali dapet award di bidang yang digelutinya ini…

Dan tentunya, cerita yang diangkat di sini itu dak jauh beda dengan kehidupanku selama empat tahun belakangan. Aku berpisah jauh dari orang tua, berjuang dan belajar di negeri orang, dan…Ya, berusaha belajar tentang hidup di tempat yang jauh dari tempat aku dilahirkan dan kemudian dibesarkan. Cuma mungkin yang bikin beda ma Yuda (tokoh utama) dalam pilem itu, aku merantau itu semata-mata karena keinginanku dan pernah karena keadaan yang memaksa. Tidak seperti Yuda yang mengikuti adat Minangkabau, salah satu di antara aturannya mengatakan bahwa lelaki yang sudah beranjak dewasa harus belajar banyak tentang kehidupan di tanah perantauan. Seperti halnya orang tua Yuda di pilem itu, ortuku sebenere juga ga gitu ngedukung aku untuk jauh dengan mereka. Dualisme juga mungkin, mereka takut aku kenapa2 (apalagi karena aku perempuan, kabarnya) namun di sisi lain mereka juga ingin aku belajar banyak tentang kehidupan dengan menapaki proses yang…Hm…Mungkin mengharuskan aku mengandalkan diriku sendiri…

Dan beberapa hal itu cukup jadi alasan untukku segera menggandakan file pilem itu ke biibii..seperti biasa aku nonton seorang diri, bertemankan riuh ramai monolog batinku..

Ok, Yuda. Yuda itu adalah seorang penggiat silat. Dia uda lumayan mahir dalam olahraga ini dan sampai di Jakarta, Yuda berniat ingin mengamalkan ilmunya ini sekalian cari duit. Niat yang luhur memang, namun sayang Jakarta tak seramah yang dibayangkan Yuda, setidaknya dalam kasus yang menimpa Yuda. Buat aku, apa Jogja senyaman yang aku bayangkan sebelumnya? Jawabannya…ga seperti yang aku bayangkan ajah. Banyak hal mengejutkan terjadi di kota ini..Plus minusnya. Jogja ga seserem yang aku bayangin namun juga ga seramah yang aku bayangin. Ya, sebatas penilaianku ajah…apalagi dibandingkan dengan keadaanku pas hanya bisa ngebayangin,,jogja tu kayak apa ya,,,?

Yuda belum lama sampe di Jakarta. Ternyata sosok ne ini dak kayak aku dulu pas baru sampe Yk. Dia punya komitmen kuat untuk bertahan dengan prinsip yang dibawanya dari rumah. Pas itu ditawari salah seorang temennya untk mencari nafkah di sebuah tempat yang –aku ndak jelas juga gimana—insyA ga gitu bae…dia menolak dengan tegas meski uda dirayu dengan seribu jurus ampuh. Dulu sich, aku dak segitu oonnya. Cuma…aku emang ngersa shock ajah dengan keadaan Yk yang sama sekali berbeda dengan suasana di tempat2ku sebelumnya. Jadinya pas itu dak kerasan, karena juga dak tau harus ke mana dan ngapain, selain kuliah..

Ok, kembali ke Yuda. Cowo yang sebenere ga gitu cakep tapi kalo diliat2 malah ngademin ati ini dak sengaja terlibat dalam sebuah skenario yang mempertemukannya dengan seorang cewe yang cukup cantik…above standard lah, dalam hematku. Jadi adik cewe itu (namanya Adit) berusaha nyolong dompete Yuda, kemudian berhasil kekejar Yuda, dan akhirnya Yuda ketemu ma kakak si Adit (yang namanya Astri). Tu pertemuan pertama mereka dan di sni si Yuda uda jagain dan belain cewe yang sama sekali dak dikenalnya itu abis-abisn..dengan segenap jiwaraganya. Hm, jadi pas tu si Astri lagi tengkar sama orang yang mempekerjakannya –sebagai penari kalo ga salah—mengenai DOIT gitu. Dasar si Yuda punya ilmu silat yang mumpuni, dia dak butuh banyak proses untuk melumpuhkan cowo yang nyiksa Astri gitu…

Bukannya berterimakasih, si Astri malah marahin Yuda atas tindakannya itu. Ga tau berterimakasih banget emang waktu itu, kesannya. Aku bisa bayangin posisi si Astri saat itu berada dalam dua kutub yang berketegangan. Di satu sisi, dia lega karena selamat dari cengkeraman orang yang –sebenere—hanya mau mengeksploitasinya, namun di sisi lain, dia juga khawatir karena di terancam kehilangan pekerjaan. Si Astri ne tipe cewe yang keras juga, mungkin karena kehidupan dia yang emang juga keras. Jadinya ya gitu..dia malah dengan lantang bilang sama Yuda, “Puas, low, jadi pahlawan kesiangan gue!!!”

Sadis banget emang…Aku dak tau kapan Yuda mulai tertarik pada Astri, atau mungkin sebaliknya juga. Cuma setelah kejadian itu, secara –lagi-lagi—karena dak sengaja dipertemukan oleh skenario Tuhan, dan kembali lagi si Yuda menjadi pahlawan bagi Astri. Pas itu, Yuda dengan pesonanya, bilang, “Kamu gak papa?” duh…dan saat itu, si Astri kayaknya uda mulai terenyuh gitu, dengan sikapnya Yuda yang beh…heroik banget. Hebat pula. Yuda berhasil melewati rintangan kedua itu…Tapi malem itu ternyata dia masih belum bisa tidur nyenyak sesegera mungkin seperti apa yang dia inginkan. Ia kembali terlibat dalam sebuah perkelahian dengan beberapa orang…untuk menyelematkan Adit…

Yuda malam tu agaknya uda kepalang basah…jadi mandi sekalian. Apalgi sosok ini cukup bertanggungjawab agaknya. Pas itu soswit banget pas Astri dan Yuda saling berbagi di tempat yang juga rowmantis…Aku dak tau nama tempatnya tu, intine tu sebenere dak layak untuk tempat orang tidur, tapi malah jadi romantis. Mungkin dari situ sinyal merah jambu itu mulai muncul…Cuma ga ada yang berani memulai. Ini nech, yang bikin pergelaran kisah asmara dak jua bisa dimulai..Ya karena ga ada yang berani memulai…pas itu malah si Astri yang bilang “Met night” ma Yuda. Yuda hanya nanggapin dingin… Selama ne sikap dan semua perhatiannya tu sebenere uda lebih dari cukup untuk nggambarin kalo ada yang lebih dibanding perhatian atas dasar rasa manusiawi. Cuma, mungkin ngomongnya sulit kale yeeeee…gataulah…

Astri dak gitu ajah bisa idup tenang, meski si Adit uda berhasil di sampingnya. Ia malah menghadapi masalah yang jauh lebih serem dari sebelumnya. Astri ini ternyata masuk dalam audisi cewe yang akan dikirim ke abroad dalam rangka trafficking. Ini ne, yang jadi masalah besar dan akhirnya mengantarkan alur pada gerbang-gerbang ending. Astri keburu masuk dalam lingkaran setan itu sebelum sempat diselametin oleh Yuda dan dalam waktu yang sama tengah menyelamatkan uang tabungan Astri yang disimpen di bawah tanah. Mereka bertiga (Yuda, Astri. Dan Adit) berencana akan ke Minangkabau ajah..sebab keadaan di Jkt uda ga memungkinkan lagi. Keren banget kalimate Yuda pas ngajakin Astri, dia bilang..”Kamu ikut aku ajah ke t4 aku,,di sana kita bisa idup tenang..Memetik tomat setiap hari”

Sangat disayangkan emang, Astri harus –dengan sangat terpaksa dan tanpa daya sedikitpun—menyerahkan keperawamannya pada bule yang juga menjadi EO trafficking itu. Adegannya sich ga ada yang panas, cuma aku langsung inget ma adegan-adegan di virgin2 gitu. Kasian banget emang…Naudzubillah banget dech, sebagai perempuan aku weddi bangat ngebayanginnya. Wis, abis gitu Astri agaknya akan segera berangkat ke abroad, sebab dia adalah peserta terakhir yang akan diberangkatkan dalam trafficiking edisi itu…

Paz itu, Yuda mati-matian membobol keamanan tempat itu…Demi menyelamatkan Astri tentunya. Wis dia abis-abisan. Banyak banget rintangan yang akhirnya berhasil ia lalui…Meddeni banget adegan laga kayak gene. Palagi kayak sing natural karena ndak pake senjata-senjata kayak gitu. Aku berkali-kali tereak dan miris saat Yuda mulai terkalahkan. Namun untungnya orang ne masih bisa bertahan mpe dia berhasil nyelametin Astri, juga semua orang yang rencananya akan diberangkatkan ke abroad itu…

Sayang, dan ini endingnya. Yuda ketusuk dari belakang ma aktor alias dalang ato EO trafficking yang juga bule itu…Yuda nyangka orang itu uda mati. Dia masih tercenung sebentar menyadari bahwa dia telah menyelamatkan jiwa banyak orang (selaen Astri) dan terlihat ingin mengistirahkan lelah..Memandangi sosok perempuan di hadapannya yang mati-matian dia selamatkan. Sial banget emang…Dan adegan inilah yang bener-bener nguras aer mataku..memaksanya melompat dari benteng-benteng ketegaran yang sedari tadi dibangun-hancurkan oleh adrenalinku yang nae turun…

Yuda pun sukses meninggal di pelukan perempuan yang baru dikenalnya beberapa hari namun uda membawa perubahan cukup besar dalam hidupnya. Menjadi stimulus paling kuat untuk melakukan suatu hikayat heroik yang bahkan belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Menyedihkan pasti..Palagi adegannya emang didramatisir. Pake acara kayak ngasih wasiat gitu..Yuda uda terbata-bata menahan sakit…saat itu. Dia cuma ngasih pesesn untuk disampaikan ke keluarganya di Minangkabau..ngasih tasbih yang dijadikan sangu oleh ibunya—sebelum Yuda berangkat ke Jkt—dan…Mmm..yang bikin teriris, baru pada saat itu Yuda berani ngucapin jujur kalo dia sayang sama Astri. Pas itu darah yang berceceran di tangannya tu ga cukup menghalangi Yuda untuk nenangin si Astri yang merengsek dalam tangis sedannya, menuju kerapuhan.

Soswit banget pas Yuda ngelus pipine Astri tu…Hffffffffffhhhh…sayang itu adalah yang pertama dan terakhir. Hmhm..Si Astri sebenere masih punya dikit arepan agar Yuda masih akan bertahan. Dia masih ngeyakinin Yuda gitu…Kalo mereka akan segera mewujudkan keinginan yang sempat tertunda..Pulang bersama ke Minangkabau..Tapi sayang banget dan banget disayangkan, Yuda meninggal sesaat setelah itu..Dak lama. Aku dak bisa bayangin gimana kehilangannya Astri saat itu. Cuma bisa bantuin dia nangis thok aku…gatau gimana kacaunya pikirnku saat itu. Intine satu. Apapun bentuknya, perpisahan itu pasti HURT!! MENYAKITKAN!!

And the tears scroll down on my faces..Saat Astri digambarkan sudah betah tinggal di rumah Yuda. Bersama keluarga Yuda dan tentu si Adit yang pagi itu mau berangkat sekolah. Astri bener-bener metik tomat-tomat seger di pagi yang cerah itu..Cuma…sayang,,dia ga bareng dengan orang yang uda mengajaknya ke tempat ini. Kasian banget si Yuda. Banyak yang keilangan sosoknya…Ibunya, ayahnya, abangnya, Adit, dan tentunya Astri…

Otw btw, dosen yang juga kajurku pernah bilang kalo merantau itu kerap menjadi stimulus bagi pelakonnya untuk melakukan sesuatu yang terbaik, yang bahkan lebih baik dari apa yang bisa dilakukannya di tempat kelahirannya. Ada benernya juga, meski dak selamanya gitu. Ya dak selamanya manusia tu malah enak berkarier di perantauan. Kadang dia uda menemukan dunianya malah di tempat ia dilahirkan dan dibesarkan gitu…jadi inget Yuda yang punya cita-cita simpel thok, kalo dia cuma ingin ngelakuin yang terbaik..Untuk semua orang yang sudah terlanjur menitip harap di pundaknya, utamanya dalam episode perantauannya itu..

Dan Yuda emang berhasil membuktikan, kalo dia uda ngasih his best untuk membuat orang yang dicintainya bisa membanggakannya…dia dak sama sekali nyia-nyiain kerpecayaan dan harapan suci itu…

Dan epilognya…(karena lengan kananku uda keburu ngilu abis badmintonan tadi sehingga ga bisa lanjutin ngetik terlalu lama), ternyata cukup menyakitkan, bagi seorang Astri, yang terlambat menyadari bahwa ada seseorang yang luar biasa sayang sama dia…Somenone luv her much but she didn’t even know until the time is up…sayangnya, waktu emang dak akan pernah kembali dan memberikan kesempatan kedua bagi orang yang menyia-nyiakannya…

Bravo untuk pilem ini!!

Kamis, 04 Maret 2010

TOP THREE OF EETA…

3 Hal yang PALING bisa bikin aku kangen
Musik
Pena (include of tuts-tutsnya biibii)
Bantal (guling juga)

3 Aktivitas PALING bikin aku seneng
Jalan-jalan (include of wisata kuliner)
Watching movie…
Brainstorming

3 barang yang akan aku selametin pertama kali pas ada bencana*)
Biibii Nyny Hape
Dompet
Motor cs

3 Hal PALING bisa bikin aku menjauh
Rokok
Pilem horor
Jotos-jotosan

3 Hal yang PALING sering aku bawa pas keluar
Dompet
Nyny
Hape

3 Hal PALING bisa bikin aku klepek-klepek
Puisi
Petikan Gitar
Retorika

3 Makanan PALING aku suka…
Seafood (khususnya cumi-cumi cuma-cuma)
Nasi Goreng
Bebakaran

3 Taste I can’t eat without
Spicy
Savory
Fresh

3 Nomor yang akan khubungi pas aku lagi dalam bahaya*)
+ 62818-03194-XXX (ex +62817-371-XXXX)
+ 62878-6610-XXXX (ex +62817-0355-XXXX)
+ 62878-5008-XXXX (ex +62817-0300-XXXX)

3 Situs yang PERTAMA aku buka pas ol
facebook.com
mail.yahoo.com
blogger.com

3 Hal yang PALING bisa bikin aku jenuh
Membaca
Menunggu
Ritme idup yang single

3 Tempat REKREASI paling aku suka
Pantai dan aer terjun
Property of Heritage
Famous and speCta ones

3 Tempat yang lage PALING ingin aku kunjungi (untuk jalan2)
Bali
JeKaTe
Bromo

3 Tempat jalan-jalan yang dekat dengan tempatku tapi belum terjamah
Borobudur
Taman Sari
Purawisata-Taman Pintar

3 Mimpi Paling Gile
Punya kakak
Kuliah abroad
Jadi orang kaya

3 Tempat tongkrongan yang PALING sering dikunjungi (karena ga ada yang laen)
Pojok kamar
MP dan climbing kampus
Malioboro

3 Kata PALING pas gambarin aku
Simpel
Moody
Defining mine


*) Sedang menggunakan daya imajinasi yang gajebo

Tak-Tik-Tuk-Digicam

Memang terlambat mungkin, cuma masih lebih baik dibanding tidak sama sekali. Well, awalnya, aku ndak gitu ingin punya digicam. Lha buat apa, aku butuhnya sekali-kali aja..biasane pas lage travelling, makrab, jalan-jalan, ada gawe, dll. Tapi emang kadang butuh banget. Lha masa ada acara penting (pas itu makrab GM ultah I dan syukuran Pemilwa), ga ada digicamnya. Ga ada pula dokumentasinya. Payah banget. Jadi kalaupun ngerasa butuh, frekuensinya dak gede.

Liburan semester genap kemaren, aku terlibat dalam sebuah alur kehidupan bersama mimin dan jenghar. Pas itu aku lagi ultah keduapuluh tahun dan—alhamdulillah—dapat pinjeman digicam dari saudaranya temenku. Hehehe. Mereke Casio. Aku inget banget bagaimana gapteknya aku menggunakan barang elektronik itu. Hmhm, jadi terlibat dalam arus persahabatan bersama dua orang itu, aku jadi ikut-ikutan narsis dan suka bereksyen di depan kamera. Bae di digicam pinjeman maupun di hape 6600 yang saat itu baru aku pegang.

Aku juga tau kalo jeng har maupun mimin memiliki hobi yang hampir sama, yakni berpose di depan kamera dengan gaya yang –masyaAllah—beraneka ragam dan kadang bikin aku dak habis pikir. Jeng Har memperlihatkan koleksi foto-fotonya padaku. Beh, ternyata orang ini lumayan suka jalan-jalan dan punya kekebalan PD yang cukup tinggi. Ya, buktinya dia kerap berpose dengan aduhai di tempat-tempat umum, kayak Tugu dll. Sedang si Mimin mengatakan bahwa hampir di setiap kamera maupun hape temen yanga da ada kameranya, pasti ada foto dia. Hhh? Dan emang bener juga. Orang ini punya hobi pose-pose yang tidak kalah ma Jeng Har. Dari situ mereka juga bilang ma aku, “Mbok kalo foto jangan natural-natural terus…”, melihat gayaku yang alamiah dan –saat itu—masih dak banyak gaya.

Aku terang-terangan protes ma dua orang ini kalo naturality itu punya power lebih. Eh, ternyata aku kemakan omonganku sendiri…Setelah melepas alur kebersamaan yang pertama dan terakhir dan mungkin dak bisa terulang lagi (kecuali dalam reuni mungkin), aku jadi doyan berpose di depan hape 6600 jadil itu. Pas itu uda di rumah.

Well, balik lagi ke alur keberasamaan itu, jeng Har pas itu lagi ngidam digicam…jadi hampir tiap saat, dia selalu menggumam dan kadang merengek pada Tuhan, memohon agar keinginannya beli digicam bisa dikabulkan. Hmh…Aku jadi ikut-ikutan ingin beli digicam meski ga ada sama sekali anggaran ke sana. Kalaupun dalam waktu deket aku gajian, uda ada anggaran untuk hal laen, semisal bayar kredit, utang, dan membeli barang-barang. He. Jadi saat itu kupikir, kapan2 dech, aku ingin beli digicam..Biar bisa menyalurkan hobi kecilku dan mendokumentasikan waktu…

Dan waktupun bergulir..Ga mau sedetikpun berhenti…Masuk semester lima, setelah aku sembuh dari sakit yang nyaris membuatku putus asa itu, aku bale ke Yk dan mendengar kabar dari Mimin kalo Jenghar uda berhasil mewujudkan keinginannya, beli DIGICAM. Wah, asyik pikirku. Kapan-kapan bisa tak tebengin. Mm…tapi dibanding nebeng, mengapa aku tidak berusaha membeli digicam sendiri ya? Hm? Beli digicam? Ah, masa iya? Buat apa? Aku khan masih lebih butuh barang-barang laen, semisal hape, printer, modem, dll…

Mmmm..Tapi AKU INGIN!! Awalnya mungkin emang ikut-ikutan Jeng Har dan karena aku ngeroso ‘panas’, dia berhasil mendahuluiku membeli digicam…Tapi lama-lama aku bener-bener berambisi untuk membeli barang itu. Dan gayung pun bersambut..Aku punya kerjaan yang bisa wujudin mimpi aku mengantongi sejumlah uang untuk kemudian bisa cukup membeli digicam…Hm, tapi kerjaane butuh kekuatan ekstra, otak maupun tenaga. Karena aku harus ngebut dalam waktu yang tidak sebentar itu…

Tapi aku mulai juga, kupikir tak ada salahnya mencoba dan belajar di bawah tekanan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang aku inginkan. Aku tulis besar-besar di hati, pikiran, dan whiteboard kamarku bahwa AKU AKAN PUNYA DIGICAM sebentar lagi!! Sebab itulah, aku merasa fully motivated dengan barang kecil itu. Ya, meski bosen, suntuk, jenuh, dll selalu menghantuiku pas menyelesaikan pekerjaan itu, tapi membayangkan digicam ada di hadapanku terus menjadi semangat buatku untuk bertahan dan tidak menyerah…Beh, heroik banget..Pas itu emang cukup kondusif keadaane, karena ngidamku uda keterlaluan…

Prosese ga terlalu sulit sich, cuma karena aku terlalu sering menunda waktu, ya akhirnye lama juga seleseinya. Jadi uang dari proyek itu juga aku maksudkan sebagai sangu pulang ke Madura. Ada dua hal dech, yang mendorong aku untuk segera menyelesaikan tugas itu..; PULANG KE MADURA dan BELI DIGICAM. Lebay mungkin, tapi yo terserah, kalo bukan power of the dream, aku yo dak mungkin bisa berhasil melewati proses yang cukup melelahkan itu..SEORANG DIRI pula. Lagen saat itu, aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri. Jadi mau dak mau lah, aku bekerja banting otak juga akhirnya…

Dan..Hari itu, 28 Januari 2010, setelah aku selesaikan semua urusan registrasi, KRS, plus revisinya, aku berangkat ke Superindo di Jalan Urip Sumoharjo. Pas itu uangku uda ga ada sama sekali dan aku belum makan sedari pagi. Di tempat itu, ada ATM yang menyediakan pecahan dari 20rebu mpe 100rebu. Jadi agar tidak ada saldo yang masih nyangkut di ATM, aku harus mensiasati sistem gitu ceritanye. Apalagi ATM itu aku pinjem dari seorang temen yang dalam waktu deket akan berangkat ke rumah camernya di Jawabarat. Jadi aku memang harus bertindak cepat jika tidak mau si waktu melindesku.

Abis ambil duit, wah,,bukan maen tebelnya dompetku saat itu…hehehe…Soale langsung aku abisin saldonya..aku langsung ngisi perut. So swiit banget hari itu meski sempet kehujanan. Aku merasa jadi jutawan paling keren siang itu. Heheheh, lebay. Tapi ya biarin, euforia ajah dikit-dikit. Gapapalah. Nach abis makan, aku langsung berniat menipiskan isi dompetku dengan mengunjungi salah satu pusat penjualan barang-barang digital gitu.

Aku berdua ma temenku. Dari kemaren aku uda tanya beberapa orang yang aku anggap cukup banyak memiliki pengetahuan di bidang kamera. Merk apa yang harus aku utamakan dibanding yang lain. Spesifikasinya apa ajah, dan lain-lain. Jadi berangkat dari kos, otakku ne uda punya planning2 tersendiri. Kebetulan beberapa hari sebelum berangkat, aku juga sempet browsing di internet berkali-kli untuk mencari kamera yang sesuai dengan budgetku dan spesifikasnya pun dak terlalu malu2in. Plus juga, cari tempat yang enak buat beli. Saat itu aku mikir bahwa aku sedang memanfaatkan promosi online gray offline. He, ya gitu dech.

Aku go ke Artha Digital. Salah satu temen yang aku jadikan tempat konsultasi ngusulin lokasi ini..katanya murah dan pilhannya cukup banyak. Aku juga uda bandingin harga beberapa toko dan hasilnya menunjukkan, toko ini cukup murah ngasih harga. Lokasinya di Jakal. Alhamdulillah dak perlu terlalu bingung nyarinya…sampe sana, aku—dengan bantuan temenku—berbasa-basi ringan untuk sampai pada pokok pembahasan. Ya, kami tanya-tanya gitu..Gimana-gimananya. Dengan gaya profesionalnya, pelayan tu bilang kalo tiap kamera tu ada kekurangan dan kelebihannya, kita milih kamera disesuaikan dengan kebutuhan ajah..Kata dia.

Agar tidak terkesan terlalu oon, aku menggunakan beberapa pengetahuan yang kukantongi saat berkali-kali browsing onthenet dan infomrasi dari beberapa temenku. Intine aku mengarahkan pembicaraan agar tu pelayan tau, aku ga oon-oon banget. Wis gitu keadaane. Aku arahin perbincangan dan tanya-tanya tentang kamera SLR lah, batre litium lah, optical zoom lah, dll. Intine aku cuma ingin pelayan tu tau, kalo aku juga punya pengetahuan yang cukup..(cukup kurang,,hehe)

Akhire aku emang harus menentukan pilihan. Untuk merk, aku uda keukeuh milih Sony…Soale pertimbangan harga dan body juga. Ada sich, Canon yang seharga dengan Sony 10 MP tapi batrenya masih ndak litium. Kalo aku maksa milih Canon, budgetku hanya mengidzinkan aku beli Canon 10 Mp dengan batre yang bikin bodi kamera gembrot. Jadi wis pilih Sony ajah..Maunya yang 12 MP, tapi duitku mepet. Bisa keabisan uang aku, di Madura ntar. Lagean ngapaen ninggi-ninggi-in MP, aku beli kamera khan hanya untuk seneng2, bukan alasan profesionalitas gitu. Jadi, seadanya ajah lah…gausah terlalu maksain.

Ya kalo nafsu ne diturutin, ga akan pernah ada habisnya. Alhamdulillah juga, masih ada satu kamera yang warnanya item…dengan spesifikasi 10 MP itu. Jadinya ya…aku sedikit terhibut juga dengan warna itu. Item ga bikin bosen ajah..fleksibel, metalik, dan keren. Yang putih ga ada sich, adanya silver. Aku uda ilfil duluan ngeliat kamera warna silver. Hm, ok, pilihan uda ditentukan. Sekaranglah saatnya aku membayar ke kasir. Duh, sumpe waktu itu aku sebenere masih ragu, inikah jalan yang aku pilih? Kenapa aku merasa barang ini sebenere tidak begitu aku butuhin ya?

Hm, tapi akhirnya, aku bayar juga…Miris bin ngerasain banyak hal saat mengitung lembaran-lembaran hasil jerih payahku itu. Kemudian menyerahkannya ke kasir. He, uda mulai lebay nech…aku segera pulang setelah memastikan semua bonus yang mendampingi kamera Sony DSC-W/180 itu sudah masuk dalam tas punggung yang sedari tadi aku bawa. Hhh…Alhamdulillah..aku tak henti mengucap syukur karena barang yang –seakan—hanya merupakan mimpi ga jelas itu bener-bener diamanahkan Tuhan padaku. Aku akan menjaganya dengan segenap daya yang aku miliki. Hehehe…

Welcome to my world, Nyny…

AKU INDIVIDUAL???

Ya pasti aku jawab nda. He. Apologi memang. Meski kadang aku merasa bahwa aku harus bisa menjadi seseorang yang individual dan egois dalam beberapa momen tertentu. Bukan gimana, kadang aku pikir, menjadi mahluk yang terlalu sosialis itu ndak enak juga. Ya masalane idup khan maunya memang menyajikan dua hal yang kadang saling tarik menarik dan bertentangan. Di satu sisi kita inginnya gini, dan sedang orang laen inginnya gitu. Kalo terlalu sosialis, kasian kitanya sendiri donk..kalo bukan kita yang neserin diri sendiri, terus siapa lagi?

Contohnya aja, beberapa hari yang lalu…ada temenku yang berencana mau pinjem kamera. Hmh, aku sich sebenere ga mungkin lupa kalo aku uda berjanji ma diriku sendiri, tu kamera ga boleh bermalam di manapun tanpa aku di sampingnya. Weleh, ya intine…aku uda berkali-kali dpat wejangan dari temen2ku bahwa barang elektronik bernama kamera itu ga bisa seenaknya dipindahin tangan ke mana-mana. Risikonya besar…RENTAN RUSAK dan kalo uda rusak (naudzubillah), biaya reparasinya juga segede gunung. Jadi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, aku buat keputusan kalo kamera itu hanya boleh dibawa oleh AKU..ke manapun aku pergi.

Banyak alasan lah, mengapa aku sayang banget dan protektif abis ma kamera tu. Yang paling utama mungkin adalah karena aku membelinya dengan proses yang sangat tidak bisa dikatakan mudah. Bagaimana aku berdarah-darah menghabiskan malam, begadang bersama biibii hanya untuk bisa mengantongi barang ini. Sweet struggle banget.. makanya aku ndak ingin kameraku tu napa-napa. Aku sayang dia banget, intinye begitu.

Tapi temenku yang mau pinjem juga adalah temen yang bisa dikatakan deket, meski kami baru intens komunikasi sejak beberapa bulan yang lalu. Sungguh aku bingung harus bagaimana waktu itu..Aku harus mengorbankan kepercayaan seorang temen atau merelakan kameraku berada jauh dariku dan aku akan sangat mengkhawatirkannya. Aku bingung banget, mana yang harus aku korbanin. Aku pending aja jawabannya dengan alasan yang sebenere kurang bisa diterima. Alhamdulillah dia mau mengerti. Hhh..Endingnya, dengan alasan yang super jujur dan polos, aku bilang ajah ma temenku kalo kamera itu hanya untuk PRIVATE USAGE. Aku ndak tau dia marah, kecewa, ato gimana..tapi intine dia berusaha sebisa mungkin bersikap wajar di depan aku.

So dari satu sampel ini, aku individual donk?

Eits..tunggu dulu. Aku juga banyak mempunyai contoh lain yang membuktikan bahwa aku ndak se-individualis itu. Hehehe. Gausa disebutin lach..Ntar kesane pamer ato gimana. Oya, satu hal lagi tentang diriku dalam cerita itu, buru-buru aku menyadari bahwa kadang dalam sebagian besar momen, aku sulit memberikan kepercayaan penuh pada orang lain, terutama yang berhubungan dengan namaku. Misalane tugas kelompok. Aku berkali-kali ngumpulin tugas individu ke dosen hanya karena ngerasa bahwa aku dak sreg numpuk tugas kelompok di mana aku tidak bertindak sebagai editor dan eksekutor akhir dalam penulisan makalah. Malu-maluin kadang, tapi aku tetep keukeuh. Hmhm,,ya begetolah diriku. Makanya meski sering ngerasa berat dan misuh2, aku lebih seneng bikin tugas individual. Lebih nge-taste.

Ok, pertanyaan yang ingin aku ajukan pada dirku sendiri adalah, seberapa jauh aku punya kemungkinan untuk bersikap individualis? Kapan saja dan dalam keadaan apa saja?

Well, aku hanya boleh bersikap demikian sebutuhnya saja. Misalnya saat aku sedang dikejar deadline proyek, aku harus bersikap ekstra cuek terhadap siapapun juga. Terhadap orang-orang di sekitarku, terhadap orang-orang di pikiranku, terhadap orang-orang di hapeku, dan semuaaaaaaanya. Cucianku, setrikaan, tugas kuliah, kamar yang belum kubersihin, dan lain sebagainya. Dan yang ada di pikiranku hanya satu..; SELESAIN PROYEK SEBELUM BESOK!!! Tak pelak dalam keadaan ini, pikiranku itu jadinya linear-linear saja. Ga berwarna. Yang ada hanya kebingungan, konsentrasi, kejenuhan, laper, ngantuk, dan semua hal yang silih berganti datang menemaniku…

Ada kalanya aku malah mencari beberapa supporting tool untuk melancarkan aksi individualismeku ini. Yang paling sering ya menyendiri, mengasingkan diri, berjalan entah ke mana, terus..,menutup telinga dengan headphone sambil dengerin musik dalam volume yang above standard. Biasane cara-cara ini akan aku tempuh mana kala aku lagi introuble, ada beban pikiran yang tidak bisa terselesaikan, ada masalah yang bikin aku pusing setengah mati, dan…beberapa hal yang pokoe bikin aku dak enak untuk berinteraksi dengan orang,,,

Saat itulah biasanya, aku mulai sok-sokan menggelar monolog-monolog riuh di batin dan pikiranku. Kalo uda ndak bisa, baru aku mendatangkan motivasi eskternal berupa ndegerin musik ato nonton pilem, juga jalan-jalan ga jelas ke mana untuk sekadar memotret kehidupan. Tapi aku tetep suka sendiri. Aku pikir itu lebih menentramkan dan lebih membebaskan, sebab aku bisa bebas berekspresi..tanpa harus terhalangi karena ada temen di sampingku. Intine pas saat itu, aku merasa kalo semua yang ada di sampingku nyebelin…meski sebabnya cuma satu orang ato satu kejadian. Ga fair banget emang, tapi yang penting, aku uda berusaha (meski ga sepenuhnya berhasil) untuk mengenali titik kelemahanku dan sedikit demi sedikit mengatasinya…

Meski begitu, aku memang tidak bisa cuek pada beberapa orang tertentu, seberapa nyebelinnya mereka buat aku. Ya sebabnya sederhana, karena aku sayang mereka, maka aku perhatian ma mereka. Jadi seberapapun aku berusaha untuk dak care ma urusan mereka (dengan menggunakan kaidah lu-lu gw-gw), aku yo tetep ndak bisa. Jadi untuk urusan beberapa orang ne, aku yo..sebisa mungkin ga terlalu nampakin kalo aku sayang ma mereka. Harus tetep jaim. Bisa-bisa mereka over GR lage. Ga boleh tu..

Aku dak tau berapa porsentase individualis-sosialis yang ada dalam diriku. Apa 50-50. 70-30, ato berapapun. Agak sulit rasanya mendeteksi orang yang moody kayak aku, meski itu dilakukan dan dialami oleh aku sendere. Hehehe. Tapi yo, aku penah denger, katanya seorang kutu buku itu cenderung individualis. Aku ya jelas ga masuk dala mkualifikasi ini, karena aku males banget untuk urusan baca buku. Tapi, benarkah aku sosialis? Sementara aku sering emoh berinteraksi dengan orang yang lebih tua dibanding aku..biasana famili ato keluarga yang ga gitu intens komunikasi. Ya gatau dech, untk saat ini kayaknya aku belum bisa menentukan manakah yang lebih dominan ada pada diriku antara du kutub berseberangan itu…

Epilognya, buat aku, porsi individualis dan sosialis itu harus seimbang ajah lah..jangan mpe terlalu sosialis mpe ngorbanin diri sendiri terlalu jauh, jangan pula mpe individualis keterlaluan terus ga peduli sama sekali dengan orang sekitar.

Rabu, 03 Maret 2010

Edisi Neraka Bocor

UPDATE STATUS ClassBook, TH B-C 2007

MK: Pemikiran Tafsir Kontemporer

Unyil Ona :Panas2 gene kul..Malez sebenere, tapi aku khan gak pernah masuk sebelumnya..Hikz..Hikz…
Aidha :Aku lage saltum (Salah Kostum), panas2 pake item. Huh..Tapi tetep harus semangat! Cayoo…!!!
Ocka :Capek…Baru aja datang dari rumah, langsung kuliah dech…!!!
Chiko :Duh…Gatel buanget nich, tenggorokan..jadi ga pw kulnya…
Dinta :Break dulu ah..Dosennya ge nerima telpon.
Mila :Sama dewh, ma Chiko..Kayaknya mau dateng tuch, radang tenggorokannya..
Wha2 :Huffffffh..Gerah pwol!! Ga mud jadinya..Mana saltum lagi..hiks…hiks…
Umi :Semangat woooooooooiii!!!
Boy_Yat :Tuhan, berikan aku kekuatan!!
An-Amel :Telat lagi…Mogok di jalan…
Iduy :Males bangeeeeet nech…Lihat muka anak-anak kelas pada suntuk…Panas kali yaaaaa…
El Maturidi :Kobarkan semangatmu!!!
Awan :Iklan bagus; Reading Text Pak Yusron dah menabung nilai A 2X. Gak serrem seperti semester II. I am happyfull…
Ubed :Hari ini, mulai dari kemaren, hati rasanya eeeeenak banget, tapi perutnya dan crut…crut…dari tadi
Turnadi :Berikanku kenikmatan dan kesegaran, dengan senyumanmu yang menawan..
Farhan :Puaaaaaaaaaaaaannassssssss banget ya..Kayaknya nerakanya bocor…
Tashir :Seggggggggarrrrrrr..sensasi plong…spriteeee,,,
Duyz :Senyummu..Buat aku segaaaaaarr..di panasnya hari ini..
Tata :Panas matahari siang ne…Seterik angkuhmu..Nyebelin tapi ngangenin..hehehe..(Misyupwolll dech…)