RSS

Rabu, 31 Maret 2010

PPIA (Pengalaman Pertama Ikut Aksi) Seri 1

Aksi tu apaan siy? Hmhm…Aksi itu ternyata demonstrasi..Atau yang biasa disingkat dengan demo. Sebelum kuliah, aku biasane pake bahasa ‘demo’ untuk menggambarkan ada mahasiswa yang turun ke jalan, berarak, bawa spanduk, mikrofon, dan keliput di tivi atau di media laen…Soale sebelum kuliah, aku sama sekali dak pernah melihat dengan mata kepala sendiri, kayak mana yang namanya demo. Eh, belakangan kutau, ternyata demo itu ndak sesimple yang aku bayangin..Misalane dalam penggunaan ‘demo memasak’..Nah lho, kalo kaya gitu, berarti demo itu apa dwonk?

Demo khan sebenere kependekan ato singkatan dari demonstrasi..Maka kalo demonstrate, tu berari mempertontonkan, memperagakan, dan memperlihatkan. Oh, jadi gitu..Berati? Then? Kalo demo-demo mahasiswa itu berarti mempertontonkan apa? Wong bukan teatrikal? Mm..mungkin lebih enaknya menyuarakan aspirasi mereka kali ye..aspirasi yang mungkin bisa berupa sikap atau tuntutan ato apalah, yang berhubungan dengan hajat orang banyak…Mm…Dan biasanya praktik ini dilaksanakan dengan aksi teatrikal, pawai, bahkan anarkshis. Masih inget khan, peristiwa 98 yang menewaskan beberapa mahasiswa yang tengah berdemo?

Nah…pas aku duduk di bangku kuliah, aku masih sering menggunakan kata ini untuk menggambarkan aksi serupa. Tapi belakangan malah ikut-ikutan temen-temen ganti pake bahasa AKSI. Biasane nek pake demo ya untuk menggambarkan kalo di tipi ada liputan tentang demo, pas ke UGM da demo di bunderan, di kampus ada demo gajebo..Gitu thok. Nah..Kenapa dalam bahasa PG-nya jadi aksi ya? Aku ndak tau juga..Mungkin ada latar belakang stigma, diksi yang berpengaruh terhadap konotasi, ato apalah, aku dak faham juga..

Ok, stop talking about it’s textuality..Sekarang aku mau cerita ajah. Jadi…Kemarin, tggal 29 Maret, hari Senin yang cerah, untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, AKU IKUTAN DEMO. Hehehe, untuk urusan yang satu ini, aku sebenere cukup emoh…Bukan duniaku tu, tereak-tereak berjalan kaki sejauh mungkin, palagi aku tergolong orang yang males berpanas-panas, apalagi harus terancam berdekatan dengan aksi anarkhisme..(masih tergambar jelas di ingatanku pas tragedi PKD kemaren..)

Lalu, kenapa aku maksain ikut aksi kali ini? Hm..Jawabannya satu ajah, dan cukup simpel..Karena tuntutannya nyata, konkret, dan aku sendiri sangat berkepentingan. Hohohoho..Apakah itu? Ne terkait dengan masa depanku. Meski masa depan tidak sepenuhnya ditentukan oleh yang namanya titel ato gelar, tapi tu juga yang akan melekat sampe kita mati. Bahkan ntar di akhirat, kabarnya juga akan dimintai presentasi ma Tuhan..Hehehehe…Jadi aku rasa penting, untuk menindaklanjuti masalah titel di t4ku kuliah yang tengah terancam mendapatkan porsi yang kurang menguntungkan.

Aku mungkin dak akan ngebahas materi dan tuntutan aksi di tulisan ini secara panjang lebar. Cuma…Intine, aksi pagi itu merupakan reaksi dari keputusan Menteri Agama no. 39 tahun 2009 tentang penyematan gelar baru untuk sarjana-sarjana di PTA. Aku sich, ngerosone koq ngasep banget ya. Masa tu keputusan diratifikasi November, tapi reaksinya masih Maret! Akhir pula…Huhuhu..Dak ok! Tapi usut punya usut, kabarnya ne keputusan juga sempat mampet di entah drainase yang mana hingga akirny terlambat sampai di meja rektor, dekan, dan telinga mahasiswa…Yang juga disayangkan sebenere, karena birokrat kampus tidak diikutsertakan dalam perumusan keputusan tu. Aku sih mikirnya sederhana aja. Kementrian agama khan dak hanya ngurusi PTA ajah…Jadi pandangannya juga dak akan semendetail pihak birokrat kampus. Masalane banyak yang diurusin..Selaen hanya masalah gelar untk sarjana PTA.

Jadi kupikir, hal ini emang sangat disayangkan sekali…Birokrat kampus khan sedikit banyak lebih tau, gelar ne cocok ndak, untuk sarjanan ne, bisa marketable nda, bisa representaif terhadap kajian yang ditekuni ndak, dll. Nah..Cuma keputusan ne bukan tanpa alasan sich..Aku pikir cukup beralasan..Cuma kemudian malah jadi miopis dan chaunvinistik. Apaaaa pula, artine dua istilah ne? Hehehe..Intine ada yang diuntungkan dan dirugikan gitu ajah lah…Sayangnya aku berada dalam golongan yang dirugikan…Khan nelonGsowwwwwww….

Isu ini sebenere uda pernah disampaikan kajurku pas aku ambil kuliahnya di MPH, Rabu menjelang siang yang cukup menegangkan…Waktu itu respon temen2 bisa diprediksi. TERKEJUT DENGAN GUAYA YANG LEBBBBBAAAAAAAAAAAAAYYYYYYYY!!! Cuma ya, hanya sekadar terkejut ajah…Nah, jadi, agar ga cuma bisa terkejut, sekaranglah saatnya untuk TURUN KE JALAN!!

Aku semangat 45 pokoe, di event ini. Bukan apa-apa ato ada siapa, cuma aku ngeroso, ini kesempatan yang bagus untuk menambah input pengalaman..Sebab aku yakin suatu saat, pengetahuan dan pengalaman di jalan ne pasti bisa menyelematkan aku dari suatu keadaan yang barangkali belum siap kuhadapi. Karena aku tetep menggunakan kaidah, ingin tahu sedikit tentang banyak hal, maka aku bela-belain ikut rapat persiapan aksi ini tiga kali. Empat kali sebenere, cuma rapat terakhir aku absen dengan alasan..JALAN-JALAN!

Dan benerean, aku tau banyak hal baru..tau apa ajah perlengkapannya, tau pihak-pihak terkait, tau bagaimana teknis lapangannya, tau job discription sekaligus division of labor, dan lain-lain. Dan mendapatkan hal baru, buat aku selalu mengasyikkan…Jadi perlengkapannya tu macem2, dari kaen warna putih yang paling murah, cat, spidol, tali rafia, bambu, press release, kamera, konsumsi, dan mungkin masih ada lagi tapi aku lupa. Aku juga baru tau kalo aksi tu dak sembarangan aksi..Harus ada lobi, koneksi, dan konsolidasi dengan beberapa pihak. Ya media, satpam, dll dll. Beh, teryata keren..Dak sesimpel yang aku bayangkan. Aku pikir aksi tu langsung turun ke jalan ga jelas gitu..Tapi mungkin ngga juga sich, masalane aksi pagi itu khan aksi damai..Jadi ga ada ceritanay tuch, ada persediaan ban, senjata tajam, apalagi gas aer mata dan kerikil yang akan dijadikan sarana untuk melempar. Aku hanya menggantungkan hidupku siang itu dengan SLEYER item yang biasa kubawa ke mana-mana. Untuk ngindari dari polusi dan asap rokok ajah sich, sebenere…

Terus, di situ aku cuma ikut-ikutan dwonk? Hm..Ndak juga, karena aku jadi PJ dokumentasi. Ya, setidaknya ada dua alasan..Aku punya kamera dan aku narsis. He, apa hobongannya ya? Ah, koq jadi ndak indah gini bahasanya. Yaudah gini ajah..Aku punya filosofi hidup mendokumentasikan waktu. Oalah..Ngelindur uda omongannya. Ga tau tekan pundi.

Tulisan ini masih akan dilanjutkan insyA, dalam seri berikutnya..Untuk sementara ini dulu, sekdar mencairkan otakku yang barangkali akan semakin beku jika dibiarkan. Hm, satu lagi input baru dari kejadian itu!! Koordinator umum jadi KORDUM, kenapa koordinator lapangan tetep KORLAP? Bukan KORDLAP? Tanya kenapa…(Ya, dalam ilmu I’lal—suatu kata yang mengingatkanku pada guru diniyahku bernama Pak Rasyid—disebabkan karena pengucapan KORDLAP sangat sukses membuat pengucapan jadi sulit dan ribet. Sehingga, jika diteruskan, maka hal ini bertentangan dengan sisi ESTETIKA bahasa…Oalahhhhhhhh)

0 comMentz: