RSS

Senin, 31 Mei 2010

Is oVer

Lanjutan..

1. Kritik Sanad
Kritik sanad adalah proses lanjutan yang dilakukan seorang peneliti hadist untuk mengetahui segala hal mengenai orang-orang yang terlibat dalam proses transmisi sebuah hadist. Kritik sanad ini hanya bisa dilakukan setelah seorang peneliti melakukan takhrij dan i’tibar. Jika dalam i’tibar peneliti hanya meneliti kuantitas rawi dalam tiap thabaqah, maka kritik sanad berupaya memperluas kajian dengan juga membahas kualitas seorang rawi.

a) Skema Hadist




















Skema di atas menunjukkan jalur periwayatan hadist satu jalur yang berasal dari Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih Bukhari nomor 4941. Ada enam rawi yang terlibat dalam periwayatan hadist ini dan akan peneliti urutkan berdasarkan term rawi dan sanad.

No Nama Periwayat Urutan Periwayat Urutan Sanad
01 Abu Hurairah Rawi I Sanad VI
02 Hammam Rawi II Sanad V
03 Ma’mar Rawi III Sanad IV
04 Abdur Razaq Rawi IV Sanad III
05 Yahya Rawi V Sanad II
06 Bukhari Rawi VI / mukharij Sanad I/mukharij


b) Kualitas Perawi
Pada bagian ini peneliti akan memberikan paparan dan ulasan singkat mengenai biografi para rawi yang terlibat dalam transmisi hadist yang berasal dari Abu Hurairah dan tercantum dalam hadist Bukhari nomor 4941. Pembahasan biografi akan dimulai oleh rawi pertama yang menerima langsung dari Rasulullah, yakni Abu Hurairah yang akan dilanjutkan hingga sampai pada mukharij hadis yang bersangkutan, yakni Imam Bukhari. Bagian ini menjadi sangat penting untuk menunjang kemudahan penelitian dalam bagian ketersambungan sanad pada bagian selanjutnya.

Abu Hurairah yang bernama asli Abdurrahman bin Shakhr ini mendapat kunyah demikian karena kecintaannya pada kucing. Ia termasuk sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadist dan karenanya, hadist yang berasal darinya banyak tersebar dalam berbagai bab maupun kitab. Abu Hurairah berkarier dan wafat di Madinah, tepatnya pada tahun 57 H.

Kredibiltas intelektual (tsiqah) dan kepribadian (‘adalah) pun sudah diakui sebagian besar ulama’. Hal ini menjadi sangat wajar sebab banyaknya hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah menandakan bahwa Abu Hurairah sangat dekat dengan Nabi dan selalu bersama Nabi. Sehingga, bisa dipastikan beliau juga turut ‘tertular’ kepribadian Nabi yang begitu sempurna. Apalagi, adanya kaidah bahwa ‘semua sahabat memiliki kredibilitas dalam keadilan’ juga turut menguatkan asumsi ini.

Sebagai seorang sahabat, sudah barang tentu Abu Hurairah berguru dan mendapatkan hadist dari Rasulullah. Selain itu, beliau juga berguru pada Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Aisyah, Hasan bin Tsabit, dan lain sebagainya. Jumlah murid Abu Hurairah melebihi jumlah guru yang dimilikinya. Salah satu murid beliau adalah Hammam bin Munabbah yang dalam hadist ini mendengar langsung perkataan Abu Hurairah. Murid Abu Hurairah lainnya adalah Abu Ja’far, Abu Humaid, Anas bin Malik, dan lain sebagainya.

Hammam yang sebelumnya disebutkan sebagai murid Abu Hurairah adalah putra Munabbah bin Kamil. Ia merupakan tabi’ien senior yang hidup di Yaman dan wafat pada tahun 132 H. Hammam ini memiliki nama kunyah Abu Uqbah. Ia merupakan salah satu murid Abu Hurairah dan juga banyak memiliki murid, di antaranya adalah Ma’mar bin Rasyid. Selain Abu Hurairah, Hammam juga memiliki beberapa guru lain, semisal Qatadah bin Da’amah, Muhammad bin Hajadah, dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Sedangkan murid yang dimiliki Hammam, selain Ma’mar bin Rasyid adalah Wahab bin Munabbah, Uqail bin Mu’qil, Affan bin Muslim, Abdus Shamad bin Abdul Warits, dan lain sebagainya. Adapun kredibilitas yang dimiliki Hammam cukup bisa dipertanggungjawabkan, sebab semua ulama’ yang memberi penilaian pada rawi yang satu ini sama-sama memuji kredibilitas Hammam dengan gelar tsiqah. Hanya ada satu ulama’ yang memberikan gelar tsubut pada Hammam ini, yakni Adz-Dzahabi.

Ma’mar bin Rasyid adalah seorang atba’ tabi’in senior yang berdomisili di Yaman. Ia banyak berguru dan menerima hadist serta menyampaikan hadist yang telah diterimanya pada orang lain. Beberapa guru Ma’mar di antaranya adalah Hammam bin Munabbah, Hisyam bin Urwah, Hisyam bin Hasan, Washil Maula Abi Uyainah, dan lain-lain. Sedangkan murid Ma’mar, artinya orang yang mendengar hadist yang disampaikan Ma’mar di antaranya adalah Abdur Razaq, Abdul Aziz bin Yusri, Abdurrahman bin Muhammad, Muhammad Ja’far, dan lain-lain.

Perawi yang biasa dipanggil Abu Aurah ini mendapat penilaian yang positif dari semua ulama’. Semua ulama’ yang menilainya memberikan ta’dil padanya, meski dengan predikat dan lafadz yang berbeda-beda. Predikat ta’dil yang diberikan kepada Ma’mar ini di antaranya adalah tsiqah, ashdaq al-nas, tsiqah ma’mun, tsiqah shalih, hafidz mutqin, dan tsiqah. Meski begitu, ada juga ekseptasi ta’dil yang diberikan ulama’ pada hadist yang Ma’mar riwayatkan dari Tsabit, A’masy, dan Hisyam. Peneliti belum menelusuri lebih lanjut mengapa hadist yang didapatkan Ma’mar dari tiga gurunya tersebut termasuk dalam pengecualian. Abu Aurah yang berkebangsaan Bashrah ini wafat pada 154 H.

Abdur Razaq adalah salah satu murid Ma’mar yang merupakan atba’ tabi’in junior yang juga terlibat dalam transmisi hadist Bukhari nomor 4941 ini. Rawi yang akrab disapa Abu Bakar ini memiliki cukup banyak murid, tiga di antaranya memiliki nama depan yang sama, yakni Yahya bin Ja’far, Yahya bin Muayyan, dan Yahya bin Musa. Yahya bin Ja’far inilah yang menjadi penerus Abdur Razaq dalam mentransmisikan hadist yang menjadi inti penelitian dalam makalah ini. Selain Yahya bin Ja’far, murid Abdur Razaq yang lain adalah Hasan bin Ali dan Muhammad bin Rafi’ (keduanya adalah mutabi’ dari Yahya), Abdul Malik, Abdurrahman bin Basyar, Abbas bin Abdul Adzim, dan lain-lain.

Selain itu, Abdur Razaq juga memiliki banyak guru, selain tentunya Ma’mar bin Rasyid. Guru-guru Abdur Razaq yang lain adalah Ibrahim bin Umar, Israil bin Yunus, Basyar bi Rafi, Ja’far bin Sulaiman, dan lain sebagainya. Rawi yang tinggal di Yaman ini juga wafat di kota yang sama pada tahun 211 H.

Ada bermacam penliaian yang dialamatkan pada rawi asal Yaman ini. Abu Daud, Ya’qub bin Syibah, dan Abu Zur’ah mengatakan bahwa ketsiqahan rawi ini mutlak adanya, berbeda dengan Al-Ijli dan Ibnu Hibban yang mengatakan bahwa ketsiqahan Abdur Razaq tidak mutlak, dalam artian ia bisa saja lupa atau keliru. Sedangkan Ibnu Adi menganggap rawi ini sebagai rawi yang berpredikat la baa’sa biih.

Yahya bin Ja’far bin A’yn adalah salah satu rawi yang menyampaikan hadist pada Bukhari. Rawi yang juga menjadi senior atba’ tabi’-tabi’in ini merupakan salah satu murid Abdur Razaq yang wafat di Bukhara, tepatnya pada tahun 234 H. Dari tanda ini saja, bisa dipastikan bahwa Yahya pernah menjadi guru dari Imam Bukhari yang memang lahir dan berkarier di Bukhara. Guru yang dimiliki Yahya selain Abdur Razak adalah Muhammad bin Khazim, Muhammad bin Abdillah, Waki’ bin Jarah, dan Yazib bin Harun. Dalam software mausuah, dijelaskan bahwa Yahya ini hanya memiliki satu murid, yakni Imam Bukhari.

Kualitas keilmuan Yahya ini telah terjamin dengan tidak adanya jarh sama sekali yang dialamatkan pada rawi ini. Oleh dua ulama’, yakni Ibnu Hibban dan Adz-Dzahabi, Yahya ini dinilai tsiqah dan shuduq. Imam Bukhari yang terkenal mutasyaddid tentunya juga tidak akan asal ‘comot’ hadist dari sembarang orang.

Imam Bukhari memiliki nama lengkap Muhammad bin Ismail. Nama Bukhari yang melekat pada dirinya dan begitu populer hingga saat ini berasal dari kota kelahirannya, yakni Bukhara. Dalam termionologi ilmu hadist, ulama satu ini dianggap sebagai ulama’ hadist paling kredibel dan karenanya kitab shahih yang ditulisnya dianggap sebagai kitab kedua setelah Al-Qur’an.

Bukhari telah akrab dengan dunia hadist semenjak kecil, pada usia belasan tahun ia bahkan telah membuktikan kekuatan hafalannya dengan menghafal beberapa kitab ulama yang paling terkemuka kala itu. Tak pelak ketika umurnya sudah dewasa., Bukhari semakin menseriusi kajian hadist dan ia pun berkelanan dari suatu kota ke kota lain bahkan dari sebuah negara ke negara lain hanya demi kepentingan mencari hadist. Tak heran jika kemudian ia memiliki sangat banyak guru, semisal Ahmad bin Hanbal, Isaq bin Mansur, Ayyub bin Sulaiman, dan lain sebagainya.

Software mausuah tidak menyebutkan keseluruhan guru yang dimiliki Bukhari, termasuk dalam hal ini Yahya bin Ja’far sebab saking banyaknya jumlah guru yang dimiliki Bukhari. Tidak adanya nama Yahya ini bukan kemudian menandakan bahwa Yahya bukanlah guru Bukhari, namun lebih disebabkan Yahya kalah populer dibandingkan guru-guru lain yang disebut.

Sedangkan murid-murid Bukhari di antaranya adalah Abu Zur’ah, beberapa mushaniif kitab hadist terkemuka (Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Khuzaimah), Abu Abdullah, Abu al-Fadhl, dan lain-lain.

Krediibilitas Bukhari agaknya sudah tidak perli diragukan lagi. Sebab kalau bukan karena kredibilitasnya, kitab Shahih-nya tidak akan sukses menjadi kita referensi hadist nomor wahid dalam dunia Islam. Selain itu, sifat kehati-hatian (tasyaddud) yang dimiliki Bukhari juga mengindikasikan bahwa hadist yang diterima dan disampaikannya adalah benar-benar hadist yang berkualitas dan bisa diamalkan. Misalnya saja, Bukhari menyaratkan adanya pertemuan fisik antara guru dan murid, tidak hanya semasa. Dengan begitu, ia akan mendiskualifikasi hadist yang salah dua rawinya hanya semasa dan tidak pernah melakukan pertemuan.

c) Persambungan Sanad
Persambungan sanad dalam terminologi ilmu hadist bisa disamakan dengan persambungan mata rantai sebuah hadist, yang dalam hal ini berupa orang yang mentransmisikan sebuah hadist. Ada beberapa periode atau generasi yang berhasil menyampaikan berita empat belas abad yang lalu pada generasi kita saat ini. Banyaknya orang yang terlibat serta terpisahnya jarak dan waktu sangat memungkin terjadi pengurangan, penambahan, ataupun pengubahan matan suatu hadist. Sebab itulah ketersambungan sanad dijadikan sebagai barometer utama keshahihan suatu hadist.

Namun demikian, persambungan sanad ternyata tidak hanya menjadi satu-satunya ukuran dalam hal ini. Teori ini disampaikan oleh Syuhudi Ismail dalam karyanya, Kaidah Kesahihan Sanad Hadist. Bagi Syuhudi, ada tiga kriteria yang bisa dijadikan penentu tersambung-terputusnya mata rantai periwayatan sebuah hadist. Yang pertama adalah predikat tsiqah yang dimiliki semua perawi. Bagi peneliti, hal ini wajar adanya sebab walaupun seorang rawi jelas semasa-beguru dan menerima hadist dari gurunya, namun jika rawi tersebut tidak tsiqah, maka ada kemungkinan rawi yang menjadi murid melakukan penyimpangan-penyimpangan.

Salah satu contoh penyimpangan tersebut lebih jelas disampaikan pada bagian kriteria kedua, yakni bahwa rawi yang bersangkutan tidak boleh melakukan tadlis (penyembunyian cacat) sebuah hadist. Peneliti melihat bahwa rawi tsiqah yang disyaratkan pada kriteria pertama tentu tidak akan melakukan tadlis. Sedangkan kriteria yang ketiga adalah adanya sighat tahammul wa al adah (perangkat transmisi) yang bisa dipertanggungjawabkan.

Hemat peneliti, kriteria pertama dan kedua yang digagas oleh Syuhudi Ismail sudah terkover dalam bagian sebelumnya yang memaparkan biografi singkat masing-masing rawi. Dari pemaparan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa walaupun ada satu-dua rawi yang tidak mendapat predikat yang berkualitas secara aklamatif, namun secara umum, enam orang yang teribat dalam periwayatan hadist Bukahri 4941 ini adalah mereka yang tsiqah, terpercaya, dan tidak akan melakukan penyimpangan-penyimpangan. Sebab itulah dalam bagian ini, peneliti akan lebih memfokuskan pembahasan pada posibilitas bertemu—dan bergurunya—beberapa rawi yang bersangkutan serta perangkat transmisi yang digunakan dalam meriwayatkan hadist ini.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini, peneliti memiliki hipotesis awal bahwa semua sanad yang mentransimisikan hadist ini memang benar-benar bersambung. Asumsi ini ditandai dengan ditemukannya hubungan guru-murid dalam semua mata rantai rawi yang ada. Namun begitu, ada baiknya peneliti melakukan kroscek ulang untuk menyajikan data dan analisis yang lebih akurat dan bisa diterima. Dengan begitu, peneliti tidak hanya akan mengandalkan hubungan guru-murid, namun juga memperhatikan aspek kualitas personal rawi, perangkat transmisi, dan beberapa hal lain.

Pasangan guru-murid pertama yang akan diteliti adalah Abu Hurairah dengan Rasulullah. Asumsi pertama yang bisa menguatkan adanya ketersambungan sanad adalah masa hidup guru dan murid yang semasa. Rasulullah wafat pada tahun 11 H sedangkan Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H. Tahun wafat yang tidak terlalu terpaut jauh ini (berkisar 46 tahun) menandakan bahwa Abu Hurairah sudah lahir sebelum Rasulullah wafat, sehingga keduanya bisa dikatakan semasa. Sedangkan asumsi kedua dan ketiga, yakni bertemu dan melakukan transmisi hadist dikuatkan oleh banyaknya hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Hadist-hadist yang diriwayatkannya pun selalu berkualitas dan ia banyak memiliki syahid.

Indikasi yang paling menguatkan bahwa keduanya memang pernah bertemu dalam keperluan transmisi hadist adalah penggunaan perangkat transmisi berupa an. Perangkat ini digolongkan sebagai katagori al-sama’ oleh beberapa ulama, sehingga bisa dipastikan bahwa Abu Hurairah mendengar sendiri ucapan Rasul yang demikian. Apalagi, Abu Huraiah memang terkenal sebagai sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadist Nabi. Dan dalam hal ini, peneliti juga akan menukil definisi sahabat, bahwa sahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan Nabi Muhammad.

Subjek penelitian kedua adalah Abu Hurairah dengan Hammam bin Munabbah bin Kamil. Dalam perangkat transmisi hadist, Hammam menggunakan perangkat al-sima’ yang merupakan level tertinggi dalam perangkat transmisi hadist. Hal ini menandakan bahwa Hammam mendengar langsung hadist ini disampaikan oleh Abu Hurairah. Apalagi, nama Hammam tercatat sebagai salah satu di antara murid Abu Hurairah yang sangat banyak dan Abu Hurairah pun tercatat sebagai salah satu di antara guru Hammam.

Dari data yang diolah, peneliti juga memperoleh dua faktor lain yang bisa menguatkan potensi ketersambungan antara Abu Hurairah dan Hammam. Faktor pertama adalah karena posisi Abu Hurairah sebagai sahabat dan posisi Hammam yang merupakan tabi’in senior. Maka bisa dipastikan, walaupun Hammam tidak bertemu dengan Rasulullah, ia masih semasa dengan para sahabat, di antaranya adalah Abu Hurairah. Faktor kedua adalah jarak tahun wafat antar dua orang ini. Abu Hurairah wafat pada 57 H, sedangkan Hammam wafat pada 132 H. Meskipun ada rentang jarak sekitar 75 tahun, akan tetepai pertemuan dua orang ini masih sangat dimungkinkan, namun perangkat transmisi yang digunakan Hammam sangatlah kuat dan bahkan menempati level tertinggi.

Selanjutnya, peneliti akan menelisik ketersambungan sanad antara Hammam dan Ma’mar bin Rasyid. Hammam adalah tabi’in pertengahan sedangkan Ma’mar tergolong dalam senior atba’ tabi’in. guru-murid ini hanya terpisah oleh satu thabaqah, yakni tabi’in junior dan karenanya kemungkinan bertemu dan terjadinya transmisi hadist menjadi sangat besar dalam hubungan dua orang ini. Apalagi, jarak antara tahun wafat keduanya hanya terpaut 22 tahun, dan keduanya juga tinggal di kota yang sama, yakni kota Yaman. Adapun sighat tahammul yang digunakan, yakni an, meski bukan merupakan sighat dengan predikat tertinggi, namun oleh sebagian ulama’ tetap dianggap bahwa si murid mendegar penuturan sang guru. Beberapa pendukung ini setidaknya bisa mengimbangi predikt tsiqah Ma’mar yang belum dispekati secara mutlak dan aklamatif.

Ma’mar bin Rasyid dan Abdur Razaq adalah pasangan guru-murid yang jarak tahun wafat keduanya berkisar pada angka 57 tahun. Meski jarak ini cukup jauh, akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dan memungkinkan terjadinya persambungan sanad antar dua orang ini, Yang pertama adalah karena keduanya sama-sama merupakan atba’ tabi’in, Ma’mar adalah atba’ tabi’in senior, sedang Abdur Razaq adalah atba’ tabi’in junior. Dengan data ini, penulis memprediksikan bahwa keduanya pernah hidup semasa dan melakukan transmisi hadist. Hal yang kedua adalah karena keduanya sama-sama tinggal di Yaman. Meski para perawi hadist kerap berkelanan ke berbagai kota bahkan negara untuk mencari hadist, namun dekatnya teritorial antara guru dan murid semakin memperbesar kemungkinan terjadinya transmisi sebuah hadist. Sedang faktor yang ketiga adalah karena sighat tahammul wa al adah yang digunakan cukup berkulaitas, yakni dengan lafadz an.

Abdur Razaq yang merupakan seorang atba’ tabi’in junior dalam mata rantai hadist dari Abu Hurairah ini menyampaikan hadist pada seorang atba’ tabi’ tabi’in senior yang bernama Yahya bin Ja’far. Dari thabaqah keduanya saja, peneliti bisa menyimpulkan bahwa keduanya benar-benar pernah terlibat dalam sebuah proses transmisi hadist. Abdur Razaq yang merupakan junior atba’ tabi’in menyampaikan hadist pada senior atba’ tabi’tabi’in. Peneliti berasumsi bahwa bertemuanya junior rating sebuah level dengan senior rating di bawahnya adalah suatu kewajaran.

Apalagi, jarak yang memisahkan tahun wafat keduanya hanyalah 12 tahun. Bukti ini semakin diperkuat dengan perangkat transmisi yang menggunakan perangkat berlevel tinggi dengan yang juga menggunakan dhamir plural, yakni haddatsana. Dalam keterangan Hasdi As-Siddiqi, sighat ‘haddatsana’ ini menempati posisi tertinggi kedua setelah ‘sami’na’

Persambungan yang terakhir adalah hubungan antara Yahya dengan Bukhari. Yahya wafat pada tahun 234 H dan Bukhari wafat pada 256. Terdapat jarak waktu 23 tahun yang memisahkan tahun wafat dua orang ini. Jumlah tersebut masih sangat memungkinkan terjadinya pertemuan antarkeduanya. Meskipun Bukhari dikenal suka menjelajah ke berbagai wilayah untuk mencari hadist, akan tetapi mengingat Yahya adalah wara Bukhara, maka pertemuan keduanya menjadi sangat mungkin. Apalagi, ketika Bukhari menggunakan adat haddatsana, maka hal ini mengindikasikan bahwa ia tidak hanya sendirian menerima hadist tersebut dari Yahya. Perangkat transmisi ini tergolong ke dalam level yang tinggi dan semakin diperkuat oleh keterangan plural.

d) Kemungkinan Adanya Syadz dan Illah
Syadz dan Illah merupakan dua hal yang tidak boleh dimiliki sebuah hadist untuk bisa memenuhi kualifikasi sebagai hadist shahih. Syadz dan Illah senyatanya merupakan penyakit ter-hidden yang bisa menyerang sanad maupun matan hadist. Karena skop pada pembahasan kali ini lebih terkerucut pada kritik sanad, maka peneliti hanya akan membahas syadz dan illah dari segi sanad. Satu hal yang membuat pelacakan dua hal ini menjadi sulit adalah karenanya sifatnya yang tersembunyi dan tidak bisa diketahui kecuali dengan melakukan penelitian yang cukup mendetail mengenai sebuah hadist tertentu. Penelitian mendetail tersebut salah satunya bisa dilakukan dengan i’tibar yakni membandingkan semua jalur periwayatan yang mentransmisikan sebuah hadist seperti yang telah peneliti lakukan pada bagian sebelumnya.

Sebelum membahas aplikasi i’tibar untuk membuktikan tidak adanya syadz dan illah, peneliti akan terlebih dahulu menjelaskan definisi yang clear and distinct mengenai dua kata ini. Secara bahasa, syadz bisa diartikan jarang. Arti ini dalam terminologi ilmu hadist kemudian menunjukkan adanya periwayat tsiqah yang menyalahi riwayat rawi lain yang tingkat tsiqah-nya lebih tinggi. Sedangkan illah adalah kecacatan tersembunyi dalam hadist yang secara kasat mata tampak sempurna dan tampak tidak ber-illah.

Berdasarkan i’tibar yang dilakukan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa hadist riwayat Abu Hurairah ini tidak mengandung syadz maupun illat. Bukti terhindarnya hadist ini dari syadz adalah tidak adanya perbedaan matan yang signifikan dari semua hadist setema yang dilibatkan dalam proses i’tibar. Meskipun terjadi perbedaan matan (sebab matan yang persis sama hanya terdapat dalam Bukhari 4941 dan Bukhari 1924), namun ‘semangat’ yang tersampaikan dari semua hadist yang ada tetap sama, meski disampaikan dengan bahasa dan susunan yang berbeda. Semangat yang diusung ketujuh hadist tersebut adalah bahwa, isteri tidak perlu menanti idzin suami untuk bersadakah, dan bahwa isteri mendapatkan pahala dari sadakah yang diberikannya.

Sedangkan syadz pada sanad adalah adanya satu jalur periwayatan yang menyampaikan hadist yang menyalahi jalur periwayat lain yang lebih shahih. Syadz sanad ini juga tidak terdapat dalam hadist Bukhari 4941 sebab walaupun ada banyak jalur periwayatan, akan tetapi perbedaan yang ada tidak menyentuh pada wilayah signifikan yang bisa mengubah substansi ma’na sebuah hadist.

Sedangkan bukti yang menguatkan bahwa hadist ini selamat dari illah matan dan sanad juga bisa dilihat dari hasil i’tibar. Tidak ada satupun matan sebuah hadist yang menyimpang dari riwayat lain dan rawi-rawi yang terlibat dalam transmisi hadist ini pun telah jelas indentitiasnya (dengan kroscek ketersambungan sanad). Sehingga, kemungkinan adanya syadz dan illat dalam hadist ini bisa dinegasikan.

e) Kesimpulan Akhir Kritik Sanad
Setelah melewati beberapa proses dalam kritik sanad, yakni proses takhrij, i’tibar, pemparan biografi masing-masing perawi, memastikan ketersambungan rawi, serta memastikan tidak adanya syadz dan illat, peneliti berkesimpulan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini berkualitas shahih dan bisa dijadikan hujjah.

Secara umum, ulama hadist menggagas adanya lima kriteria yang bisa dijadikan tolak ukur untuk men-shahih-kan suatu hadist. Kelima tolak ukur tersebut adalah tersambungnya sanad, krebibilitas intelektual dan kepribadian masing-masing perawi, serta tidak adanya syadz dan illah dalam sebuah hadist. Semua paparan yang disampaikan peneliti pada bagian sebelumnya mendukung ke-shahih-an hadist ini.

2. Kritik Matan
Kritik matan merupakan lanjutan proses yang harus dilakukan seorang peneliti setelah selesai melakukan kritik sanad. Jika kritik sanad berupaya mengetahui validitas suatu hadist, maka kritik matan lebih berupaya merambah pada aspek aplikatif, yakni apakah sebuah hadist –yang berkualitas—bisa diamalkan dan bagaimana cara pengamalannya. Meski kritik matan dilakukan setelah kritik sanad, hal demikian tidak berarti bahwa kritik matan tidak lebih penting dalam kajian ilmu hadist. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kajian ini cukup jarang diminati—misalnya jika dibandingkan dengan kritik sanad—akan tetapi kritik matan memegang peranan yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dalam hemat peneliti, kritik sanad harus terlebih dahulu didahulukan dibanding kritik matan. Kesimpulan ini bukan berarti menomorduakan kritik matan dan mengunggulkan kritik sanad, namun lebih berkeinginan memastikan adanya rambu-rambu dan prosedur yang dipatuhi. Logikanya, jika kritik matan didahulukan dan kemudian baru disusul dengan kritik sanad, dan ternyata sanad sebuah hadist tidaklah berkualitas dan banyak mengandung cacat, maka kritik matan pun akan sia-sia sebab hadist yang matan-nya susah payah diteliti ternyata tidak bisa dijadikan hujjah.

Kritik matan atau yang juga dikenal dengan kritik internal hadist telah lama menjadi kajian para pemerhati hadist yang kemudian memberikan teori dan rambu-rambu bagi peneliti hadist untuk melakukan kritik matan. Salah satu pemerhati hadist yang dalam hal ini juga turut memberikan sebuah teori dan rambu-rambu kritik matan adalah Shalahuddin Al-Adlabi. Ia bahkan menulis sebuah kitab khusus dalam kajian ini, dengan judul manhaj naqdil matni (metode kritik matan). Dalam kitab tersebut, Adlabi memaparkan empat kriteria yang harus dipenuhi matan sebuah hadist untuk bisa dikatakan shahih. Keempat kriteria tersebut adalah:

 Susunan pernyataan menunjukkan ciri sabda kenabian
 Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
 Tidak bertentangan dengan hadist lain dan sirah nabawiyah
 Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indera, dan fakta sejarah

Alasan di balik pemilihan teori yang yang digagas oleh Al-Adlabi ini adalah karena peneliti beranggapan bahwa keempat kriteria yang diberikan Al-Adlabi, meskipun singkat, namun sudah mengena kepada persoalan, inklusif, dan representatif. Teori singkat ini juga cocok untuk penelitian mini seperti yang dilakukan peneliti.

Peneliti akan memulai dengan kriteria pertama yang digagas oleh Al-Adlabi, yakni susunan matan yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Ciri sabda kenabian dalam hal ini bisa diartikan dengan kalimat yang tidak bertele-tele dan langsung mengena pada pokok persoalan. Sedangkan pesan yang termuat dalam hadist ini juga menunjukkan sabda kenabian, karena sifatnya yang memberikan tuntunan dan ketentuan. Susunan hadist Nabi memang bermacam-macam, adakalanya berupa jawaban atas pertanyaan para sahabat, respon atas perbuatan seorang sahabat atau kejadian yang dilihat, ataupun langsung berupa sabda yang memberikan tuntunan atau ketentuan bagi muslimin secara luas. Dalam hal ini, hadist yang bersangkutan—peneliti belum mengetahui asbabul wurud hadist ini—berupa perkataan Nabi yang juga memberikan tuntunan dan ketentuan yang berlaku bagi muslimin.

Dengan demikian, peneliti sementara berasumsi bahwa matan hadist ini menunjukkan ciri sabda kenabian. Asumsi ini semakin dikuatkan dengan menghadirkan beberapa hadist setema yang sudah dibahas pada bagian takhrij berikut:

No Sumber Redaksi matan
1 Bukhari 4941
Bukhari 1924
Abu Daud 1437 إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ
2 Muslim 1704 لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
3 Ahmad 7841 لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
4 Bukhari 4796 قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ وَرَوَاهُ أَبُو الزِّنَادِ أَيْضًا عَنْ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الصَّوْمِ

Ada empat macam variasi matan hadist dari enam hadist yang peneliti dapatkan setelah melakukan takhrij. Tiga di antaranya adalah adalah hadist yang memiliki matan persis sama, sedang tiga lainnya berbeda. Tiga hadist yang berebda tersebut (yakni Muslim 1704. Ahmad 7841, dan Bukhari 4796) tidak hanya memuat satu pesan, namun juga tuntunan lain, yakni ketidakbolehan seorang isteri berpuasa dan menerima tamu di rumahnya tanpa seidzin suami. Larangan terhadap dua hal (berpuasa dan menerima tamu) tanpa seidzin suami tidak berlaku ketika seorang isteri mensadaqahkan harta suaminya. Dalam kasus yang demikian, isteri tidak dilarang melakukannya, bahkan isteri mendapat pahala dari perbuatan tersebut.

Variasi dalam matan hadist ini, selain menunjukkan adanya indikasi riwayah bi al-ma’na (dengan perbedaan diksi nishf-dan ajr, penggunaan isim dhamir dan isim dhahir), juga membuka kemungkinan bahwa hadist Rasulullah ini diucapkan tidak hanya dalam satu keadaan. Namun begitu, penulis belum mendapatkan pendukung asumsi ini sebab belum mengetahui asbabul wurud hadist yang bersangkutan. Satu-satunya alasan yang membuat penulis berpendapat demikian adalah karena beragamnya bab yang memuat hadist ini (kitab nafaqah, bab zakat, jual beli, dan bab nikah) dan karena ada tiga hadist yang matannya tidak hanya memuat satu pembahasan mengenai shadaqah yang dilakukan isteri dair harta suaminya.

Kriteria kedua yang diangkat oleh Al-Adlabi adalah kriteria tidak adanya pertentangan matan hadist dengan Al-Qur’an. Ada sangat banyak ayat Al-Qur’an yang mewajibkan muslimin untuk tidak hanya memberikan perhatian pada aspek vertikal dengan beribadah kepada Allah, namun juga mengasah sensitivitas aspek horizontal dalam kehidupan sosial. Selain ajarah menghormati, menyayangi, dan membantu sesama, Al-Qur’an juga banyak memberikan tuntunan mengenai keharusan meluangkan sebagian rizki yang diberikan Allah pada orang yang berhak mendapatkannya.

Secara khusus, ada banyak relasi muamalah yang diatur oleh Allah, seperti zakat, harta warist, nafaqah, wasiat, dan lain sebagainya. Masing-masing terma tersebut memiliki perbedaan masing-masing. Jika hadist ini Rasulullah menggunakan term nafaqah, maka peneliti menukil pendapat yang mengatakan bahwa nafaqah ada dua macam, yang pertama adalah nafaqah wajib yakni pemberian nafaqah dalam keluarga sedang yang kedua adalah nadaaqah sunnah, yakni pemberian yang diberikan kepada sesama manusia yang membutuhkan. Jadi dengan demikian, nafaqah yang dimaksud dalam ayat ini adalah shadaqah, bukan nafkah keluarga.

Setidaknya, peneliti berasumsi jika yang dimaksud dalam hadist ini adalah nafaqah keluarga, maka isteri tidak perlu meminta idzin suami untuk mengeluarkannya, sebab nafakah keluarga memang menjadi kewajiban seorang suami. Dengan demikian, nafaqah yang dimaksud dalam hadist ini adalah shadaqah yang biasanya diberikan kepada orang yang membutuhkan. Shadaqah hukumnya sunnah, tidak memiliki keterikatan hukum wajib, berbeda dengan zakat dan nafkah keluarga.

Dalam QS Al-Baqarah 103, Allah menegaskan anjuran kepada muslimin untuk meluangkan sebagian harta yang dimiliki kepada orang lain yang membutuhkan, sebab pemberian tersebut dapat menyejukkan dan menyucikan hati si pemberi.

          •        
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dalam hemat penulis, ayat ini tidak hanya bisa dikontekskan dengan zakat, namun juga semua pemberian lain yang hukumnya sunnah. Sebab dengan memberikan ‘kelebihan’ harta bagi orang lain, apapu bentuknya, pemilik harta akan merasa senang telah membantu saudaranya, sehingga ia akan tercerahkan dengan perbuataannya tersebut.

At-Taubah 63 bahkan hingga memberikan panduan yang cukup rigid tentang orang-orang yang berhak menerima shadaqah. Penjelasan yang sangat rinci ini tidak lain dimaksudkan agar pemilik harta terdorong untuk tidak segan memberikan sadakah kepada saudaranya yang membutuhkan. Ayat dimaksud adalah sebagai berikut;

                         
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana

Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa sekecil apapun harta yang disadaqahkan seseorang akan diketahui oleh Allah swt. Dorongan yang begitu banyak ini seakan membuat muslim yang berkecukupan untuk tidak lagi memiliki alasan untuk tidak bersadaqah.

Masih banyak ayat lain yang mengulas perihal keutamaan, rambu-rambu, dan segala hal terkait shadaqah. Misalnya saja, awal juz ___ yang mengatakan lan tanaaluu al birra hatta tunfiquu maa tuhibbun, larangan bersadakah sambil mencaci orang yang menerima sadakah, dan lain-lain. Sehingga, meskipun tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas menggambarkan kebolehan seorang isteri mensdaqahkan harta suaminya, peneliti berkesimpulan bahwa hadist ini tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

Kriteria selanjutnya adalah matan hadist yang tidak bertentangan dengan sirah nabawiah dan hadist lain. Semasam hidupnya, Nabi Muhammad dikenal sebagai sosok pemimpin yang luar biasa dermawan pada rakyat yang dimpimpinnya. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad pulang berperang dengan membawa segepok harta rampasan perang, harta rampasan tersebut hanya bersisa sedikit ketika sampai di kediaman Nabi, sebab telah dibagikan di sepanjang perjalanan. Tauladan Nabi Muhammad ini paling tidak menjadi acuan bahwa seorang yang kekurangan pun masih berusaha memberikan sadaqah, maka manusia yang berkecukupan selayaknya melebihi semangat sosial Nabi Muhammad.

Matan hadist ini juga tidak bertentangan dengan hadist lain, baik yang setema atau yang tidak. Namun dalam bagian ini, peneliti akan menyajikan data-data yang diperoleh dari kitab Fathul Bari dengan tujuan memberikan penjelasan hal-hal yang belum terkover dalam beberapa hadist yang sudah ditakhrij. Pada nomor hadist 1439 bab zakah nomor 26, terdapat riwayat Aisyah yang mensyaratkan agar harta yang disadakahkan disalurkan dengan cara yang benar serta sasaran yang tepat. Dalam hadist Aisyah yang diriwaytkan oleh A’masy, terdapat tambahan lafad ghira mufsidatin setelah lafadz idza anfaqalal- mar’atu min baiti zaujiha

Selain itu, masih dalam kitab Fathul Bari, penulis menemukan hadist lain dalam bab shadaqah yang dilakukan oleh seorang pelayan (dari harta majikannya) karena majikanya tersebut tidak sempat melakukan sadakah sebab sibuk dengan urusan lain. Hal ini, dalam pandangan Ibnu Hajar adalah sesuatu yang dima’fu (diperbolehkan), sebab keterwakilan pemberi sadaqah tidak akan mengurangi esensi sadaqah sendiri. Ibnu Hajar kemudian mengulas bahwa semangat yang ingin disampaikan dalam hadist ini adalah bahwa sebisa mungkin, muslimin tidak boleh mencari alasan untuk mengurungkan niat sadaqah. Hal ini misanya terjadi pada seorang isteri yang beranggapan masih harus menunggu idzin suami untuk mensadaqahkan harta (yang berasal dari pekerjaan suami).

Hadist lain yang mendukung anjuran untuk bersadaqah terdapat dalam kitab Fathul Baru nomor 1423. Hadist yang cukup populer tersebut menunjukkan bahwa ada tujuh golongan yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat. Salah satu di antara golongan tersebut adalah seorang yang menafkahan hartanya dengan tangan kanan dan menutupinya (menyembunyikannya) dari tangan kiri. Analogi ini menggambarkan bahwa niat tulus untuk bersadaqah seharusnya tidak dibarengi dengan kecendrungan-kecdenrugan jahat, semisal riya’, sum’ah, mencaci maki orang yang diberi sadaqah, dan lain-lain.

Sejauh ini, peneliti belum menemukan hadist lain yang menyalahi kandungan matan hadist Bukhari 4941 ini. Kalupun dalam sebagian riwayat (Muslim 1704, Abu Daud 1437, dan Ahmad 7841) matan ini dibarengkan dengan larangan-larangan yang dialamatkan bagi seorang isteri tanpa mengantongi idzin suami, akan tetapi perihal nafakah ini berada dalam pengecualian. Tidak hanya dikecualikan, seorang isteri yang melakukan sadakah ini juga berhak mendapat pahala. Dengan demikian, peneliti berkesimpulan bahwa matan hadist ini tidak bertentangan dengan sirah nabawiah maupun hadist lain.

Kriteria terakhir adalah matan hadist tidak boleh bertentangan dengan akal sehat, panca indera, dan fakta sejarah. Dalam analisis peneliti, sadaqah seorang isteri terhadap orang yang membutuhkan dengan jalur yang juga tepat sah-sah saja dilakukan, sebab sebagian dari hasil kerja (kasab) suami menjadi hak nafkah isteri. Jadi ketika nafakah tersebut diberikan, maka harta nafakah sepenuhnya menjadi milik isteri dan bebas dibelanjakan ke mana saja. Jika matan hadit ini masih menyinggung idzin yang di diberikan suami, maka hal yang demikian lebih merupakan sebuah anjuran untuk mengkomunikasikan segala hal dalam urusan rumah tangga. Terlebih saat itu, Islam baru mengangkat derajat kaum perempuan, sehingga para isteri barangkali belum terbiasa terjun dalam dunia publik. Sehingga sangat dimungkinkan, para isteri tersebut masih membutuhkan tuntunan dari para suami dalam segala halnya, termasuk dalam masalah shadaqah.

Sekilas, hadist ini tampak sangat patriarkal dengan menonjolkan peran suami sebagai pencari nafkah keluarga. Laki-laki yang berperan di wilayah publik dan perempuan yang berada pada wilayah domestik. Hal ini menjadi sangat wajar sebab, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, saat itu masyarakat Arab masih belum bisa sepenuhnya lepas dari tradisi patriarkal. Sehingga, posisi publik masih banyak dipegang suami.

Namun di sisi lain, hadit ini senyatanya sangat egalitarian, dengan memberikan kesempatan pada isteri untuk melakukan suatu kebaikan tanpa harus menunggu idzin dari suami. Hadist ini memuat semangat ‘kebebasan yang tidak bablas’ yang ingin dibumikan Islam pada masyarakat Arab yang masih sangat kental dengan nuansa patriarkal. Hadist ini adalah salah satu di antara beberapa hadist yang menjadi fajar pencerahan bagi terangkatnya posisi perempuan dalam Islam.

Uraian-uraiain sebelumnya telah menunjukkan bahwa matan hadist Bukhri nomor 4941 memenuhi semua kriteria yang ditetapkan oleh Al-Adlabi dan karenanya matan hadist ini bisa dikatakan shahih dan bisa dijadikan hujjah. Namun ketika penulis ingin memberikan kontekstualisasi dengan keadaan kontemporer yang sedikit banyak berbeda dengan seting historis diturunkannya hadist ini, maka peneliti menggunakan term ‘sarana yang berubah-ubah’ dan ‘tujuan yang tetap’ versi Yusuf Al-Qardhawi.

Setelah memerhatikan contoh-contoh yang diberikan Yusuf Al Qardhawi, peneliti berasumsi bahwa kebolehan melakukan sadaqah tanpa idzin suami merupakan sebuah sarana yang digunakan Rasulullah untuk menunjukkan tujuan atau semangat hadist yang bersifat konstan. Semangat yang ingin disampaikan dalam hadist ini, di antaranya adalah keharusan suami-isteri untuk membina komunikasi dengan baik, meniadakan halangan yang bisa mengurungkan niat untuk melakukan sadaqah, dan kewajiban seorang isteri untuk menjaga amanah suaminya. Penulis Fathul Bari menambahkan adanya semangat penjagaan jiwa (untuk tidak menyelewengkan harta dan amanah suami) dan anjuran untuk selalu melakukan kebaikan.

Dalam kehidupan kontemporer saat ini, tugas untuk mencari nafkah keluaga tidak hanya berada di tangan suami, para perempuan juga sudah banyak yang turun ke wilayah publik dengan profesionalismenya masing-masing. Maka dengan begitu, adanya pemetaan ‘sarana yang berubah-ubah’ dan ‘tujuan yang tetap’ meski dengan kemasan yang simpel ini bisa menjadikan hadist Bukhari 4941 tetap fleksibel terhadap perubahan dan perkembangan zaman.

3. Kesimpulan
Setelah melakukan beberapa tahapan proses dalam kritik sanad yang kemudian dilanjutkan dengan kritik matan, peneliti akan membuat beberapa kesimpulan-kesimpulan singkat yang paling tidak bisa menggambarkan arah dan hasil penelitian ini secara global.
Yang pertama, adalah bahwa hadist Bukhari 4941 memiliki enam hadist yang setema, dua berada dalam sahih Bukhari, satu dalam Shahih Muslim, satu dalam Sunan Abi Daud, dan satu terakhir dalam Musnad Ahmad bin Hanbal.
Kedua, dalam tinjauan kualitas hadist berdasarkan kuantitas perawi dalam tiap tingkatan melalui proses i’tibar, peneliti berkesimpulan bahwa hadist ini termasuk hadist ahad dalam katagori aziz.
Ketiga, dalam baromoeter keshahihan hadist, sanad hadist ini shahih karena memenuhi lima kriteria yang ditetapkan ulama, yakni tersambungnya sanad, kredibilitas intelektual dan kepribadian yang memadai, serta tidak adanya syadz dan illat.
Keempat,setelah melakukan kritik matan, peneliti berskesimpulan bahwa hadist inti dalam pembahasan ini berstatus shahih dan bisa dijadikan hujjah.
Kelima, semangat konstan yang tertuang dalam hadist bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Hadist ini memuat semangat dan dorongan agar membina komunikasi yang baik dengan pasangan, mengenyahkan halangan untuk bersadaqah, dan kewajiban menjaga amanah yang dibebankan pada manusia.





































DAFTAR PUSTAKA

Al Asqalani, Ibnu Hajar. Tt. Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari juz 3 Darul Kitab al- Ilmiyyah: Beirut.
As-Shiddiqy, Hasbi. 1981. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist jilid II cet. V, Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadist Nabi, Jakarta: Bulan Bintang
Ismali, Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Hadist; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Musthalahul Hadist, Bandung: Al Ma’arif
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga. 2009. Metodologi Penelitian Hadist, Yogyakarta: TH-Press
Suryadi. 2008. Metode Kontemporer Memahami Hadist Nabi; Perspektif Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi. Yogyakarta: Teras.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul Hadis, Yogyakarta:Teras
Tim Penyusun. 2002. Ulumul Hadist untuk kelas I MAK, Jakarta: Kantor Depag
http://alimasduki.blogdetik.com/2009/04/24/antara-shadaqah-dan-nafaqah/

Minggu, 30 Mei 2010

SELESAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAIIIIIIIIIIIIII...

SHADAQAH ISTERI DARI HARTA SUAMI
; RELASI FINANSIAL KELUARGA ISLAM
Studi Sanad dan Matan Hadist Riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah
Oleh Masyithah Mardhatillah (0530003)

A. Latar Belakang Masalah
Dalam posisinya sebagai referensi sekunder dalam ajaran Islam, hadist hadir dalam bentuk penjelas dan pelengkap Al-Qur’an yang memaparkan hal-hal klarifikatif dan lebih terperinci dibanding Al-Qur’an. Hal yang demikian menjadi sebuah kewajaran sebab hadist bersumber dari Nabi Muhammad yang berbaur langsung dengan kehidupan masyarakat Arab Islam empat belas yang lalu. Teks hadist pun lebih dekat dengan kehidupan real sebab ada banyak hadist yang menggambarkan diskusi antar Nabi dan sahabat maupun dialog saat Nabi menjawab pertanyaan sahabat.

Kehadiran hadist tidak hanya bisa membumikan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an, namun juga memberikan penjelasan, pengkuhususan (bagi ayat yang amm), dan memberi batasan—taqyid—(bagi ayat-ayat yang muthlaq). Bisa diibaratkan, hadist adalah sekumpulan perangkat yang berupaya mengejawantahkan ‘apa’ yang sebenarnya ingin disampaikan Allah lewat Al-Qur’an. Sebab itulah tidak jarang, Rasulullah kerap memberikan tafsir langsung beberapa ayat Al-Qur’an dalam beberapa hadistnya. Selain itu, Nabi Muhammad juga memberikan informasi penjelas bahkan pelengkap beberapa tema bahasan Al-Qur’an yang masih global.

Meski hadist Nabi banyak dipengaruhi oleh kultur Arab empat belas abad yang lalu, akan tetapi kehadiran hadist Nabi cukup menunjukkan bahwa ajaran Al-Qur’an bukanlah dogma yang harus diamini apa adanya dan saklek seperti yang tertera dalam fisik teks. Al-Qur’an masih membutuhkan perangkat-perangkat hujjah lain untuk bisa diamalkan dalam hidup keseharian.

Salah satu tema Al-Qur’an yang diangkat oleh Rasulullah dalam beberapa hadistnya adalah relasi suami-isteri (ahwal syakhsiyah) dan masalah shadaqah (muamalah). Al-Qur’an banyak membahas relasi suami isteri dalam beberapa ayatnya, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, hakikat pernikahan, pole ideal relasi hubungan suami isteri, dan lain-lain. Selain itu, Al-Qur’an juga memberikan banyak dorongan dan rambu-rambu dalam bershadaqah, seperti ayat yang memberikan penjelasan kepada siapa saja shadaqah harus diberikan, larangan menyertakan ‘caci maki’ dalam harta yang disadaqahkan, dan lain sebagainya.

Selain menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam sebuah keluarga, Al-Qur’an juga mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hubungan komplementif (saling melengkapi, dengan ayat hunna libaasun lakum, wa antum libaasun lahunn). Hal ini menandakan bahwa Islam mengandaikan adanya division of labor (pembagian kerja) dalam sebuah rumah tangga. Tidak ada pihak yang tersubordinasi dan pihak yang superior dalam posisinya di sebuah rumah tangga. Semangat ini diperkuat dengan beberapa hadist yang menyiratkan bahwa suami dan isteri tidak berada dalam hubungan yang hirarkis, tapi komplementif.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad ternyata memberikan pedoman yang cukup rigid dan terperinci. Salah satunya tercantum dalam hadist nomor 4941 dalam kitab Shahih Bukhari. Bahasan dalam hadist ini tidak hanya berhenti pada permasalahan hubungan suami isteri, namun juga memuat semangat sosial dengan shadaqah yang diberikan pada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Berikut hadist dimaksud:
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ

Yahya menuturkan pada kami, Abdur Razaq telah mendapat hadist dari Hammam, dan Hammam mendengar dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda; Jika ada seorang perempuan yang menafkahkah harta suaminya tanpa idzin dari suami tersebut, maka perempuan tersebut mendapatkan setengah pahala yang didapatkan suami

Jika dibaca secara sekilas, maka hadist tersebut tampak menggambarkan suasana bangsa Arab empat belas abad yang lalu di mana perempuan masih ‘bersembunyi’ di wilayah domestik ketika laki-laki sudah terjun bebas di dunia publik. Adanya frase ‘tanpa idzin suami’ juga menimbulkan pertanyaan, sebab hadist ini terkesan seolah-oleh membolehkan isteri untuk ‘main belakang’ tanpa memberitahu suami tentang segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga yang dibina.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, dalam makalah singkat ini peneliti akan melakukan kritik sanad dan kritik matan kecil-kecilan untuk mengetahui validitas dan sejauh mana serta bagaimana hadist ini bisa diamalkan. Untuk mengetahui beberapa hal tersebut, peneliti akan menempuh beberapa langkah untuk memastikan validitas hadist (dengan kritik sanad yang berupa takhrij, i’tibar) dan mengetahui sejauh apa dan bagaimana aplikasi hadist ini (dengan kritik matan).

B. Takhrij al-Hadist
Takhrij al-hadist adalah suatu upaya untuk mengetahui asal suatu hadist. Asal hadist yang dimaksud adalah kitab yang memuat hadist yang bersangkutan dan mata rantai sanad yang berhasil mengantarkan sebuah hadist melewati beberapa kurun periode. Dengan mengantongi informasi mengenai kitab yang memuat sebuah hadist—dan secara otomatis juga mengetahui siapa saja yang terlibat dalam mata rantai periwayatan—peneliti bisa memiliki modal awal untuk melanjutkan penelitian dalam rangka mengetahui validitas sebuah hadist.

Dalam terminologi hadist sendiri, beberapa ulama’ telah memberikan definisi yang cukup representatif mengenai takhrij al-hadist. Beberapa ulama’ tersebut bahkan juga memberikan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengetahui asal muasal sebuah hadist. Langkah-langkah tersebut adalah cara kerja manual yang melibatkan kitab induk hadist, kitab index kata kunci sebuah hadist, dan lain-lain. Namun begitu, dewasa ini, aktivitas takhrij al-hadist juga bisa dilakukan secara digital dengan bantuan komputerisasi yang lebih memudahkan peneliti hadist.

Takhrij secara bahasa bisa diartikan penelusuran atau pencarian hadist dari berbagai sumber asalnya dengan mengetahui sanad dan matan hadist yang bersangkutan. Tujuan dilakukannya takhrij yang merupakan langkah awal yang ditempuh dalam penelitian suatu hadist ini adalah untuk mengetahui asal-usul riwayat yang akan diteliti serta mengetahui seluruh jalur periwayatan yang mentransmisikan sebuah hadist.

Dalam penelitian singkat ini, penulis memanfaatkan fasilitas takhrij digital dengan menggunakan software mausuah al-hadist al-syarif. Dengan mengantongi nomor hadist yang akan diteliti, yakni Bukhari nomor 4941. Hadist senada (sematan) yang disajikan oleh sofware mausuah ada lima hadist, yang terdapat dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, dan Sunan Ahmad bin Hanbal. Berikut peneliti sajikan hadist-hadist tersebut.

1. Sahih Bukhari, bab Nafaqah, nomor 1804 dan bab Buyu’ nomor 1924
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ
2. Sahih Muslim, bab Zakat nomor 1704
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
3. Sunan Abu Daud, bab Zakat nomor 1437
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهَا نِصْفُ أَجْرِهِ
4. Musnad Ahmad, bab baqi musnad mukatssirin, 7841
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُِ
5. Shahih Bukhari, bab Nikah, 4796
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ وَرَوَاهُ أَبُو الزِّنَادِ أَيْضًا عَنْ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الصَّوْمِ

Keterangan:
· Sanad hadist dari Musnad Ahmad tidak ditampilkan dalam software mausuah, akan tetapi sanad hadist ini akan peneliti sajikan dalam bagian lampiran skema sanad hadist.
· Hadist dalam Shaih Bukhari nomor 4941 dibarengkan penyebutannya dengan hadist dalam Shahih Bukhari nomor 1924, sebab kedua hadist tersebut adalah dua hadist yang memiliki kesamaan sanad dan matan secara persis.

C. I’tibar Sanad
I’tibar dalam terminologi hadist berarti membandingkan hadist-hadist yang setema dari beberapa jalur yang berbeda untuk mengetahui apakah seorang rawi memiliki syahid dan atau mutabi’. Tujuan i’tibar ini tidak lain adalah untuk memberikan judgment final terhadap kualitas sebuah hadist. Sebab, suatu hadist yang ditopang dengan adanya syahid dan mutabi’ tentu akan lebih berkualitas dibanding hadist yang tidak memilik syahid atau mutabi’ sama sekali. Logikanya, semakin banyak jalur yang meriwayatkan sebuah hadist, maka kredibilitsa hadist yang bersangkutan juga akan lebih baik.

Berbekal i’tibar, misalnya, seorang peneliti bisa merecek ada berapa orang yang menerima sebuah hadist dari seorang perawi. Hal ini terkait dengan metode transmisi (adah wa tahammul). Jika seorang perawmi mendapatkan hadist dari gurunya dengan perangkat plural (misalnya haddatasana, sami’na), maka bisa dipastikan bahwa perawi tersebut memiliki syahid dan atau mutabi’. I’tibar inilah yang diandalkan beberapa peneliti hadist untuk mengetahui syahid dan mutabi’ yang ada dalam periwayatan sebuah hadist. Selain berfungsi menyingkap adanya syahid dan atau mutabi’, i’tibar juga bisa menyajikan beragam matan hadist yang biasanya berbeda antar satu jalur dengan jalur lainnya.

Pemerhati kajian hadist sendiri umumnya bersepaham dalam memberikan definisi mengenai i’tibar, hanya disampaikan dalam bahasa yang berbeda-beda. Pada intinya, mereka beranggapan bahwa i’tibar adalah upaya untuk mencari jalur periwayatan lain dari sebuah hadist dengan tujuan mengetahui seberapa banyak dan seberapa berkualitas perawi yang terlibat dalam transmisi suatu hadist yang akan berpengaruh langsung pada kualitas hadist yang diteliti.

Definisi yang demikian tampak cukup kabur dengan definisi dan atau fungsi takhrij al-hadist. Dalam pandangan peneliti, takhrij hanya berhenti pada upaya untuk mengetahui asal-usul—dari mana saja—sebuah hadist berasal. Takhrij menyajikan sebuah data yang kemudian diolah dengan aktivitas i’tibar. Pengolahan data yang disajikan oleh takhrij ini dilakukan dengan menggambar sebuah skema atau bagan yang diharapkan dapat mempermudah proses pembuatan dan pemahaman i’tibar.

Sedangkan istilah syahid dan mutabi’ merupakan dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya penguat rawi dalam masing-masing tingkatan. Jika seorang rawi dari kalangan sahabat memiliki pendukung dari sanad yang berbeda, maka sahabat tersebut memiliki seorang syahid. Namun jika rawi tersebut bukanlah sahabat (tabi’ien, atba’ tabiin, atba’ tabi’-tabi’in, dst), maka rawi dari jalur lain yang mendukung disebut sebagai mutabi’.

Dengan melakukan penelusuran pada software mausuah, peneliti menemukan ada lima hadist yang setema dan memiliki kesamaan semangat dengan hadist inti yang diteliti. Dari keenam hadist tersebut, peneliti telah membuat skema periwayatan hadist yang menghubungkan mata rantai sahabat hingga mukharij. Skema periwayatan tersebut telah peneliti lampirkan pada bagian lampiran

Skema i’tibar hadist dimulai dari tingkatan sahabat, yakni Abu Hurairah yang dalam hal ini tidak memiliki syahid. Abu Hurairah tidak memiliki syahid sebab dari keenam hadist yang didapatkan peneliti, semua hadist tersebut berpangkal pada Abu Hurairah. Sendirinya Abu Hurairah ini juga didukung dari perangkat transimi singular yang ia gunakan, yakni qala (قال) dan an (عن) .

Namun begitu, ketika peneliti membuka kitab Fathul Bari secara manual untuk keperluan kritik matan hadist, peneliti mendapatkan beberapa hadist hampir senada yang mata rantai periwayatannya berpangkal pada Aisyah binti Abi Bakar. Akan tetapi, penulis tidak memasukkan beberapa hadist Aisyah tersebut ke dalam skema hadist karena sebuah alasan. Alasan tersebut adalah karena ketika peneliti merecek pada mausuah dengan menyisipkan nomor hadist yang tertera dalam Fathul Bari, peneliti tidak mendapatkan hadist yang senada. Ada ketidaksinkronan antara nomorisasi hadist dalam Fathul Bari yang diterbitkan kitab Darul Kitab Ilmiyyah dengan Shahih Bukhari dalam mausuah. Karena masalah ini belum terselesaikan, maka penulis memilih untuk tidak memasukkan hadist riwayat Aisyah ke dalam skema i’tibar sanad.

Perawi selanjutnya (dari golongan tabi’ien senior dan pertengahan) yang menerima hadist dari Abu Hurairah adalah Hammam. Hammam ini memiliki seorang mutabi’, yakni Al-A’raj. Hammam adalah tabi’ien senior dan Al-A’raj adalah tabi’ien pertengahan. Keduanya sama-sama menerima hadist dari Abu Hurairah, hanya kemudian menyampaikan pada dua orang yang berbeda. Hammam menyampaikan pada Ma’mar, dan Al-A’raj menyampaikan pada Abuz Zinad. Alasan teritorial-lah yang berada di balik pemilih murid ini. Jika Hammam dan Ma’mar sama-sama tinggal di Yaman, baik baik Al-A’raj dan Abuz Zinad juga tinggal di wilayah yang sama, yakni Madinah

Adanya mutabi’ dalam thabaqah ini kurang begitu didukung oleh perangkat transmisi yang sesuai, sebab perangkat yang digunakan merupakan perangkat yang umum, bukan khusu plural dan bukan pula khusus singular. Perangkat transmisi tersebut adalah an (عن) .

Thabaqah selanjutnya, yakni tingkatan ketiga adalah thabaqah yang terdiri dari atba’-tabi’in. Thabaqah ini adalah golongan yang menerima hadsit dari Hammam dan mutabi’-nya, yakni Al-A’raj. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Hammam maupun A’raj sama-sama mentransmisikan hadist pada seorang muridnya masing-masing. Dengan demiian, Ma’mar yang menerima hadist dari Hammam hanya memiliki satu mutabi’, yakni Abuz Zinad yang menerima hadist dari Al-A’raj.

Golongan keempat adalah atba’-tabi’ at-tabi’in yang dalam hadist inti diwakili oleh Abdur Razaq. Abdur Razaq sendiri memiliki seorang mutabi’, yakni Syuaib. Abdur Razaq menerima hadist dari Ma’mar (keduanya adalah orang Yaman), sedangkan Syuaib menerima hadist dari Abuz Zinad yang merupaka mutabi’ dari Ma’mar. Abdur Razaq dan Syuaib merupakan atba’ tabi’in junior dan senior.

Golongan selanjutnya adalah syaikh al-mukharij yang merupakan jembatan yang menghubungkan atba’ tabi’ at’tabi’in (Abdur Razaq dan Syuaib) dengan para muhkarij hadist. Namun begitu, ada satu jalur periwayatan yang tidak melewati mata rantai kelima ini, sebab syaikhul mukharij yang bersangkutan sekaligus menjadi atba’ tabi’ at-tabi’in. Kasus ini terjadi pada mukharij Imam Ahmad bin Hanbal yang langsung menerima hadist dari Abdur Razaq.

Syaikhul Mukharij yang dalam hadist inti diwakili oleh Yahya memiliki tiga mutabi’. Dua di antaranya sama-sama meriwayatkan dari Abdur Razaq (keduanya adalah Muhammad dan Hasan bin Ali), dan satu lagi sisanya mendapatkan hadist dari Syuaib, yakni Abul Yaman. Dengan begitu, dalam bahasa peneliti, Yahya memiliki mutabi’ internal, yakni Muhammad dan Hasan bin Ali dan juga memiliki mutabi’ eksternal, yakni Abdul Yaman.

Golongan terakhir yang merupakan mukharij hadist ini terdiri dari enam jalur, tiga di antaranya berujung pada Bukhari, satu jalur berujung pada Muslim, satu jalur berujung pada Abu Daud, dan satu jalur terkahir berujung pada Ahmad bin Hanbal. Adapun periwayatan dari Bukhari berasal dari jalur Yahya yang menerima Abdur Razak dan satu jalur yang berasal dari Abul Yaman yang mendapatkan hadist dari Syuaib, mutabi’ Abdur Razak.

Hadist yang berujung pada imam Muslim melewati jalur dari Muhammad (mutabi’ Yahya) yang mendapatkan hadist dari Abdur Razaq. Sedangkan hadist yang berujung pada Abu Daud adalah hadist yang ditransmisikan oleh Hasan bin Ali (mutabi’ Yahya) yang juga mendapatkan dari Abdur Razaq. Dan jalur terakhir, yakni jalur yang berujung pada Imam Ahmad berasal dari jalur Abdur Razak (yang memiliki mutabi’ Syuaib).

D. FOLLOW UP I’TIBAR
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa setelah mengantongi informasi tetang ada tidaknya dan berapa jumlah syahid dan mutabi’ yang terdapat dalam sebuah hadist, peneliti beralih pada langkah selanjutnya, yakni menentkan kualitas hadist berdasarkan kauntitas perawi yang terlibat dari semua jalur yang ada. Upaya ini hanya bisa dilakukan jika peneliti sudah mengetahui keberadaan serta jumlah syahid dan mutabi’ dalam sebuah hadist.

Pada thabaqah pertama, sahabat Abu Hurairah tidak memiliki syahid. Dalam artian, tidak ada sahabat lain yang menerima hadist yang dijadikan pembahasan inti dalam makalah ini. Jika demikian, maka thabaqah pertama periwayatan hadist ini menyumbang kuota gharib. Sedangkan dalam thabaqah kedua, yakni golongan tabi’ien, Hammam memiliki satu mutabi’, sebab Abu Hurairah ternyata juga menyampaikan hadist yang sama kepada Al-A’raj. Golongan kedua ini menyumbang kuota hadist aziz.

Adanya satu mutabi’ yang mendukung rawi pada jalur utama yang menjadi subjek penelitian ini juga terjadi pada thabaqah atba’-tabi’in, di mana Ma’mar yang menerima hadist dari Hammam memiliki seorang mutabi’ bernama Abuz Zinad. Dari thabaqah ini, ada dua kuota untuk hadist aziz. Sedangkan pada thabaqah selanjutnya, yakni thabaqah atba’ tabi’tabi’in, perawi inti (Abdur Razaq) juga memiliki seorang mutabi’, yakni mutabi’ eksternal yang mendapatkan hadist dari Abuz Zinad, yakni Syuaib. Dengan begitu, ada dua perawi dalam sebuah thabaqah. Maka, golongan ini juga menyumbangkan kuota aziz.

Thabaqah selanjutnya menggambarjan bahwa ada tiga orang dalam satu tingkatan, sebab syaikhul mukharij pada hadist inti yang bernama Yahya memiliki tiga mutabi’. Dua di antaranya adalah mutabi’ internal yang sama-sama meriwayatkan dari Abdur Razaq (yakni Muhammad dan Hasan bin Ali) dan satu sisanya adalah mutabi’ eksternal yang menerima dari Abul Yaman (yang menerima dari Syuaib). Dengan begitu, jumlah rawi dalam tingkatan ini membuka peluang untuk menjadikan hadist ini sebagai hadist mutawatir.

Tabaqah selanjutnya adalah tabaqah terahir, yakni mukharrij. Bukhari merupakan mukharij hadist yang menjadi inti pembahasan dalam penelitian ini dan memiliki tiga mutabi’, yakni Muslim, Abu Daud, dan Ahmad bin Hanbal. Muslim menjadi mutabi’ Bukhari karena meriwayatkan hadist yang setema, meski melalui jalur periwayatan yang berbeda. Muslim menerima hadist dari Muhammad (mutabi’ Yahya) yang juga menerima dari Abdur Razak. Sedangkan mutabi’ kedua adalah Abu Daud yang juga meriwayatkan hadist yang senada meski melalui jalur yang berbeda, yakni jalur Hasan bin Ali (juga termasuk mutabi’ Yahya—yang menyampaikan hadist pada Bukhari—) dan juga menerima dari Abdur Razak.

Mutabi’ yang ketiga adalah Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan hadist yang setema, namun tidak melalui perantara mutabi’ internal yang dimiliki Yahya sebagaimana dua mutabi’ sebelumnya. Ahmad bin Hanbal langsung meriwayatkan dari Abdur Razak.

Selain keempat sumber ini, hadist yang setema dengan hadist inti pembahasan juga diriwayatkan oleh Bukhari, namun dengan jalur yang berbeda, yakni jalur Abu Yaman yang merupakan mutabi’ eksternal dari Yahya.

Beberapa pemaparan di atas menunjukkan bahwa mata rantai sanad dalam hadist ini memiliki tiga katagori, yakni katagori gharib (pada tingkatan sahabat), katagori aziz (pada tingkatan tabi’in, atba’-tabi’in, dan atba’ tabi’tabi’in), dan katagori mutawatir (pada tingkatan syaikhul mukharij dan mukharij.) Adanya tiga macam katagori ini cukup membingungkan peneliti, sebab ada potensi untuk menganggap hadist ini sebagai hadist ahad (gharib dan aziz) dan juga sebagai hadist mutawattir. Namun, karena porsi mata rantai ahad lebih banyak, maka peneliti menganggap hadist ini sebagai hadist ahad.

Sedangkan untuk menentukan satu di antara tiga macam hadist yang masuk dalam katagori hadist ahad, maka peneliti lebih memilih untuk menganggap hadist riwayat Abu Hurairah ini sebagai hadist aziz. Alasannya, pertama, beracuan pada apa yang disampaikan Fauzan Zanrif bahwa jika ada satu thabaqah saja yang memiliki dua rawi, maka hadist tersebut merupakan hadist aziz. Meskipun peluang menjadi hadist gharib juga ada (dalam thabaqah sahabat), akan tetapi peneliti melihat bahwa potensi hadist ini untuk menjadi aziz lebih banyak dibanding potensi untuk menjadi gharib. Kedua, peneliti mengabaikan adanya dua thabaqah yang memiliki beberapa rawi dan otomatis menjadi potensi hadist mutawatir sebab syarat hadist mutawatir adalah terpenuhinya kuantitas rawi yang memadai dalam semua thabaqah, tidak hanya dalam satu-dua thabaqah.

(Kritik sanad...Next postin6...)

(3- Akhir); Three Idiots

SEDIKIT HAL DARI BEBERAPA LESSON LEARNED

Lalu percayakah engkau bahwa alur terpahit pun bisa menjadi gateway yang mengantarkan alur baik yang kautunggu-tunggu sepanjang hidupmu? Atau katakanlah, kalau ingin tidak terlalu lebay, pernahkah kamu merasakan bahwa kesialan yang kamu dapatkan justeru mengantarkan kamu pada babak baru kehidupan yang ternyata luar biasa mengasyikkan? Aku pribadi sering merasakannya…bahwa alur idup yang kita tolak mentah-mentah bisa jadi sangat berjasa dalam melahirkan alur baru yang uda lama kita impikan, misalnya. Hal ini pulalah yang terjadi dalam kehidupan seorang Raju Rastogi yang mencoba bunuh diri karena merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya saat ia akan dikeluarkan dari ICE..

Hehehe, helo….ternyata aku blogging masih dengan alasan yang sama..Merefresh otakku dengan three idiots. Ya, pas itu, setelah mabuk dan mengencingi rumah rektornya serta bikin malu di kelas pagi, Raju diajak minum kopi oleh si rektor di ruangannya. Saat itulah vonis mati itu dijatuhkan. Raju harus memilih, dirinya atau Rancho-kah yang harus pulang sebelum menggondol gelar wisuda dari ICE. Aku pikir keadaan Raju saat itu lebih dari simalakama. Ia memikirkan segala hal; ayahnya yang sakit2an, kakaknya yang tak kunjung menikah, dan ibunya yang selalu meratap…dan masih ditambah satu lagi; sahabatnya, Rancho, yang sudah luar biasa baik padanya….

Air mata Raju berlompatan di panas yang terik itu, disusul air mata dan isakku yang seakan memiliki sekuel-sekuel dan volum yang fluktuatif di adegan ini setelah berulang kali aku menontonnya..Aku merasa hampir memiliki kesamaan dengan anak ini…Berjiwa kerdil dan selalu merasa takut terhadap masa depan. Makanya sosok Raju ne sebenere aku banget..Hm…Jadi setelah kecelakaan yang disengaja itu, si Raju sempat hospotalized berapa lama..Hingga momen ini berhasil membuat dia sedikit demi sedikit mulai berjiwa besar dan tidak takut lagi terhadap apa pun yang ada di depannya. Penggemblengan internal ini, meski terkesan masih terlalu fiktif, namun berpengaruh banyak pada alur selanjutnya, setidaknya saat adegan Raju menjalani proses wawancara dan saat ia menolak menggunakan lembar soal yang dicuri Rancho dan Farhan…

Dan andai saja saat itu Chatur tidak membuat perjanjian gila2an sepihak pada malam setelah ia mempermalukan dirinya habis-habisan, bisa dipastikan ketiga sahabat ini akan sulit bertemu kembali…Andi saja saat itu Rancho tidak sok-sok iseng berkenalan dengan Phia—meski kemudian ia terpaksan dipermalukan di pesta pernikahan Moona—tentu tidak akan ada kisah cinta yang paling ditunggu di film ini…

Ya, satu di antara sekian pelajaran yang diberikan film ini adalah bahwa…Alur hidup yang pahitpun dak akan terasa pahit sepenuhnya jika mau dicampur dengan dikit gula aja..Aku merasa bahwa aku perlu menjadikan teori ini sebagai amunisi saat aku tengah merasa down karena satu atau beberapa hal. Aku kadang harus susah-susah menceramahi diri sendiri agar aku mau sedikittttttttt aja tenang dengan menggunakan mantera, ‘semua akan terasa indah pada waktunya…maybe not now…’. Dan yang jelas, apapun mantera yang bisa membangkitkan orang yang tengah down, mantera tersebut menyiratkan sebuah dorongan untuk bisa tetap bertahan…Berdamai dengan keadaan dan menjalani proses hingga semuanya pun akan berbudah dan mendatangkan hal yang lebih indah….

Dan tentang lima huruf yang selalu menjadi kata dengan definisi paling fleksibel, paling tidak ajeg, paling inovatif, paling menarik, paling peka jaman, dan mungkin juga paling inspiratif, banyak hal juga yang disumbangkan film ini. Namun spesial untuk cinta ala Rancho dan Pia, aku melihat bahwa teori ‘cinta pada pandangan pertama’ itu bener-bener ga ada. Kalopun dipaksain ada, itu levelnya ga sampe cinta..Mungkin hanya SUKA ajah. Jadi sekalianlah, kubikin definisi yang bisa saja permanen atau bahkan temporal juga bisa. Cinta itu bisa dirasakan kehadirannya kalo sudah ada yang namanya proses…Itu aja. Proses memahami, memberi perhatian, hingga proses pengorbanan dan lain sebagainya.

Tapi kalo dibilang suka dan benci itu mepet, aku setuju juga…Pernah ngalami beberapa kali dan dalam film ini, juga diperkuat dengan kisah Rancho dan Phia. Awale mungkin aku melihat Rancho memiliki ketertarikan pada Phia, namun ketika di toko itu—tragedi jam tangah Suhais—aku mulai berpikir bahwa Rancho tidak hendak menseriusi Phia. Hehehe..Buktinya dia malah berpaling saat Phia mau marah-marah. Tapi karena alur kehidupan kembali mempertemukan mereka dalam rentetan proses yang mungkin akan kerasa manis semua—meski ada yang pekat—maka peleburan perasaan itu pun menjadi babak berikutnya yang dirasakan dua orang ini..

Sayang memang, cinta kadang jadi kalah ma keadaan hanya ga tersampaikan. Dan agaknya Rancho tidak ingin mengalami hal yang paling disayangkan itu. Gile banget cara nembaknya, pake manjet rumah, malam2, dan dalam keadaan mabok. Namun whatever lach…yang penting uda diselametin dan Rancho tidak menambah satu entri dalam list orang yang kalah karena ga berani ngomong…Adegannya memang tidak terlalu kaku dan formal digambarin di film ini, ga ada peng-iya-an dari Phia, dan semuanya berjalan seperti biasa. Tiba2 aja, keduanya belagak kayak orang pacaran, yakni saat Phia selalu berada di samping Rancho dan saat Phia mencuri kunci duplikat kantor ayahnya demi keselamatan nilai Raju. Everything is fair in love and war..Kalo Phia dak cinta ma Rancho, dan hanya kasian, mustahil rasanya dia mpe bela2in nyuri kunci duplikate kantore Virus…

Dan mendukung teori yang disampaikan KCB, pilem ini juga mengatakan bahwa kalo emang uda jodoh, ya pasti ketemu, dipisahin ampe kapanpun dan sejauh apapun…Tapi pilm ini mengandung unsur qadariyah yang lebih banyak dibanding KCB yang lebih terkesan sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan. Ya, pilem ini menyiratkan bahwa kalopun emang jodoh, namun harus ada usaha-usaha ke arah sana. Bahasa laennya, jodoh harus dijemput..Dikejar, dan diusahakan. Dak hanya harus ditunggu dengan berpangku tangan dan berharap banyak pada keajaiban takdir…berbekal teori inilah, Raju dan Farhan nekat melarikan Phia dari pernikahannya….dan tujuannya cuma satu; DEMI RANCHO yang telah banyak mengubah arah hidup mereka!!

Oya, tentang ALLIZWELL. Kalimat ini adalah ikon yang awalnya dimiliki Rancho. Ia sendiri mengatakan bahwa kalimat itu merupakan genuine milik seorang satpam di desanya. Satpam tu selalu mengatakan demikian, meski di suatu malam terjadi pencurian di rumah sebuah warga. Ya, ternyata satpam itu buta dan mantera tersebut hanya digunakannya untuk menenangkan dirinya maupun orang lain. Berbicara tentang ketenangan, aku pernah bikin teori bahwa ketenangan itu memang harus dibeli dengan apapun. Yang paling sering kurasakan adalah ketika menjelang ujian. Meski tau bahwa dari sekian banyak buku yang kupelajari hanya akan ada dua hingga lima soal yang harus kujawab, tapi aku harus membeli ketenangan hati dan pikiranku dengan mempelajari semua bahan ujian..Sebab jika tidak, aku akan galau setengah mati dan tidak percaya diri dan akhirnya ga bisa fokus mengerjakan soal ujian karena uda kalah perang duluan…

Bicara tentang hal ini, aku juga teringat banyak kejadian dalam beberapa episode hidupku yang membuat aku panik setengah mati..Banyak hal lah, yang bisa bikin aku kayak orang kebakaran jenggot seperti itu…Ga heran jika kemudian temen2ku mengatakan kalo aku lagi gerogi dan panik, kegalauan itu keliataaaaaaaaaaan banget di wajah dan body languangeku. Aku banyak berpikir tentang hal ini, masa kecil dan masa remaja (di keluarga dan pesantrean) yang banyak mendoktrinku menjadi penakut dan terlalu berpikir banyak tentang konsekuensi2 yang akan muncul dari perbuatanku—meski kebanyakan ga logis dan ga realistis—dan beberapa proses yang ingin aku jadiin tempat dan momen untuk sedikit mengubah…

Yap, dan aku menemukan salah satu momentum itu dalam ikon film ini. All is well (semuanya baik2 saja)…yang banyak menghadirkan kata-kata serupa sesudahnya, semisal…tenang, Ta..Semua baik2 saja. Santae wae lah..Semuanya dak akan seburuk yang kami bayangkan,,,Uda..Gausa panik…Will be fine soon, dan lain sebagainya. Meski terlalu fiktif (karena biasanya aku berpikir bahwa alur di film itu bisa di-ALLISWELL-in karena emang skenario uda tertulis dengan rigid dan detail), tapi aku dikit merasa ada chemistry dengan kalimat itu, khususnya setelah mencobanya dalam kehidupan REAL. Dan aku merasakannya sendiri, kalaupun masalah belum terselesaikan, namun mantera ini akan cukup ampuh membuat aku berpikir jernih dan tenang..Masalah di depan mataku pasti akan terselesaikan dan kalaupun tidak, masih ada banyak hal lain yang lebih indah..Dan bisa membuat aku bahagia. Masih ada alternatif dan jalan lain yang bisa aku andalin…Semuanya bermuara pada satu kata; BERJIWA BESAR di depan masalah dan persoalan apapun…

Well, all is well..All is well…Ketenangan akan mengantarkan siapapun yang merasakannya pada kelapangan dada, pikiran yang luas, dan…apapun yang ada di depannya akan terasa mudah dan bisa dihandle. Magical word banget…meski sudah ada banyak yang mengandalkannya dan ini berarti sudah tidak unique antique lagi, aku masih bisa memakainya dengan cara dan penghayatanku sendiri..Biar tetep bisa jaga IDENTITIY!!! Hehehehe… ALL IS WELL

Jumat, 21 Mei 2010

Masih three idoTs..

Uda lama ga blogging. Sebelum virus 3 idiots berkurang pengaruhnya di otakku, gada salahnya dikeburuin nulis ne catatan. Btw otw, di Jogja lagi demam virus 3 idiots. Ga hanya di kosku, anak kampus juga pada ramai ngebincangin. Khusus anak kelas THB 2007, aku sudah melakukan promosi besar-besaran…dan hasilnya sangat mencerahkan. Oya, kabarnya deket2 ne akan ada dua acara yang bakal ngupas pilem keren ini. Pas browsing di internet, aku juga banyak dapat info bahwa filem ini sukses menyedot buanyak banget perhatian. Kwul emang. Banget…

Ok, biar ga terlalu lama, aku langsung nulis aja kale ye…
Ada salah satu situs yang mengatakan bahwa Rancho, Farhan, dan Raju adalah mahasiswa bengal dan bisa dikatakan nakal. Sebenernya ndak gitu banget siy…Maksud aku hal-hal usil yang mereka lakukan itu bisa dibilang WAJAR. Jangan terlalu normatif lah, dalam masalah ini. Jadi, hal usil pertama yang dilakukan ketiga sahabat ini adalah nyusup ke sebuah pernikahan. Kalo masalah nysusup ne, sebenere ga terlalu merugikan. Hehehe, mentang-mentang aku pernah nyusup ke tempat terlarang dengan dalih sedang tidak punya uang dan pihak penyelenggara maupun pihak pengelola tidak akan terlalu rugi jika ada seorang pengunjung yang ga bayar HTM. Jadi pas itu, Rancho dkk, dengan inisiatif Rancho—yang mengatakan bahwa the thing we have to be owned is UNIFORM—berhasi menyusup ke sebuah pernikahan. Agaknya pas itu di gedung, bukan di rumah pribadi..

Sial banget, ternyata yang punya gawe di acara nikahan itu adalah rektor ICE, tempat mereka kuliah. Bayangin ajah misalnya aku nyusup ke pernikahan putrinya Pak Amin dulu…Di MP. Hahahaha. Dan yang lebih memalukan, ternyata penyamaran mereka bertiga ketauan LANGSUNG oleh pak Rektor melalui perantara Phia, putri kedua rektor yang belakangan akan menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Pas itu yang nikah si Moona, kakak Phia. Di pernikahan inilah Rancho pertama kali melihat Phia. Dan ya..mungkin karena chemistry-nya dapet, kecantikan Phia menginisiasi akal Rancho untuk bekerja, mempermalukan tunangan Phia—yang namnya Suhais—yang alamaaaaaaaaaak…matre banget. Rancho bahkan mengatakan bahwa si Suhais bukanlah manusia, bahkan lebih rendah dibanding keledai, tapi hanya list harga-harga..

Ketauan nyusup di pernikahan tanpa undangan dan –yang lebih memalukan lagi—juga tidak ngasih amplop untuk return investment, ketiga sahabat ini kena marah. Tapi dasar Rancho, dia masih muter2 cari alasan ke mana-mana. Sok-sokan bilang kalo mereka bertiga adalah wakil ilmuan. Oon banget emang, cuma yang perlu diingat, momen ini barangkali dijadikan cambuk bagi Rancho untuk bener-bener menggoalkan keinginannya membuat inventer, sebuah alat yang amat sangat berjasa bagi Moona. Loh, koq bisa? Ntar dah ya..ceritanya…Belum puas memalukan tiga mahasiswanya, Virus si rektor keesokan harinya memanggil Raju dan Farhan. Tanpa Rancho…Ya, di mana-mana feodalisme selalu berhasil merentangkan sayapnya. Agaknya si Virus ini tidak mau terlalu bersentuhan dengan Rancho karena ayah Rancho adalah orang terpandang –yang barangkali menjadi penyumbang terbesar kepada PT itu—yang sangat berbeda dengan orang tua Raju dan bahkan Farhan..

Dan ini bukan kali pertamanya Raju dan Faran berurusan dengan si Virus. Sebelumnya, mereka uda pernah ‘kena’ ma si rektor yang alamakkk begitu kompetitif ini saat tragedi PRERAJULISATION dan FARHANINTRATE. Tragedi in erat kaitannya dengan kisah Joy Lobo dan helikopter pengintainya. Dua kali berurusan dengan rektor, si Raju mulai kapok juga. Ia mengikuti saran si rektor untuk pindah kamar dan tidak lagi berteman dan mengekor Rancho. Aku sangat memahami kekahawatiran Raju, sehingga dalam hal ini aku sebenere tidak begitu menyalahkan Raju, sebab keadaan memang memaksanya demikian. Karakternya yang juga begitu kental dan dominan juga berpengaruh hingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk menjauhi Rancho dan bergabung dengan si Chatur Ramalingam. Mahasisw yang sebenere pinter namun oon ini tak dinyana ternyata juga memiliki sifat licik. Ya, sebab dia berpandangan bahwa, untuk mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian, dia tidak hanya harus belajar semaksimal mungkin, namun juga dengan menjeblokkan nilai temen laen. Dan untuk mengukuhkan teorinya ini, si Chatut mengganggu konsentrasi temen2nya dengan menyisipkan majalan porno di pintu masing-masing..

Dan untuk membalas dan memberi pelajaran pada si Chatur dan menyelematkan Raju, Rancho pun berinisiatif untuk bikin ulah pada momen Teacher’s day..tapi kali ini ia hanya bersama dengan Farhan, sebab dia masih jaga jarak dengan Raju. Keren banget pas perayaan ne…Rancho membuat senjata (atau lebih enaknya dikatakan bumerang) yang biasa digunakan Chatur bisa memakan si Chatur sendiri. Adil banget, bahkan kurang..Dan semuanya memang fair, minimal sebagai pelajaran bagi Chatur biar dia dak selalu punya nalar desktruktif dan SMOS (Senang Melihat Orang Susah dan Susah Melihat Orang Senang)…Meski emang kasian Chaturnya juga. Tapi aku jadi inget teori bahwa pembalasan itu kadang bahkan harus lebih sadis dibanding perbuatan awal. Seperti kalo kita bales nyubit seseorang yang awanya nyubit kita, maka cubitan kedua harus lebih MENYAKITKAN!! Heheheheh. Oya, lupa, untuk mensukseskan rencananya ini, si Rancho juga sempat mengusili si librarian yang waktu itu membantu Chatur bikin pidatonya…Hanya keusilan kecil sich, menurutku,..dima’fu buanget…

Sayang kejadian itu belum bisa menyadarkan Raju bahwa orang yang sekamar dengannya adalah orang yang seharusnya ia jauhi. Raju baru menyadari hal ini ketika Rancho sukses menolong ayahnya yang saat itu tengah sekarat..Pas itu Rancho bareng ma Phia dengan skuter merah yang kemudian menjadi ikon kiah cinta Rancho dan Phia. Tentang kisah cinta, ntar ajah ceritanya…

Nah..hal usil selanjutnya adalah pengalaman saat ujian…Pas itu, ketiga sahabat ini telat datang karena mereka kesiangan di rumah sakit, jagain ayane Raju. Dengan skuter Phia dan wajah yang masih kental dengan nuansa bangun tidur, ketiganya berangkat ke kampus. Sampai di sana, ujian sudah lama dimulai. Dan dengan waktu yang tersisa, mereka berdarah-darah ngerjakan soal. Jadi inget ma pengalaman pribadi, yang tak perlu diekspos lebih rigid di forum ini…hehehe…Karena datengnya telat, pantas juga jika selesenya juga telat. Dan sayang, si pengawas ujian gamau toleran dan kompromoi. Beliau tidak mau menerima kertas ujian yang diberikan tiga sahabat ini. Aku inget pas di kampus lagi ujian, biasanya aku dkk suka berburu pengawas yang tengah menuju ruang smart room (sekretariat pengawas ujian) denan tujuan memberikan kertas ujian yang telat dikumpulin…Karena waktu yang tidak bersahabat.

Rancho lebih nekat dan lebih cerdas dibanding aku dkk yan taunya hanya berburu menjajaki langkah pengawas ujian yang kadang sok-sok lebay..Dia mengacak setumpuk kertas—jawaban peserta ujian yang dikumpulkan ontime—dan mencampurnya dengan miliknya serta dua sahabatnya agar tiga lembar jawaban tersebut bisa diterima. Dan akhirnya memang diterima, meski harus dengan paksaan dan mengoonkan pengawas ujian yang kumisnya lucu banget…nah suruh siapa si pengawas gatau NIM –apalagi nama—ketiga sahabat ini, akhirnya ia dengan sukses didolimi. Nah kalo begitu, ICE kalah dwonk, ma kampusku. Kampusku khan memberlakukan yang namanya daftar hadir,,,jadi ketika lembar jawaban dikumpulin dan ada tiga orang yang belum ngumpulin, bisa diketahui dengan mudah hanya dengan ngeliat daftar hadir (nomor urut peserta ujian)…Heheheheheheh…Aku suka banget ngeliat ekspresi si Farhan yang pas itu lagi kumat oonnya…Ga bisa digambarkan dengan kata-kata pokoe..
Keusilan selanjutnya, yang mungkin menjadi keusilan yang paling gaswat adalah…Saat ketiga sahabat ini mendatangi rumah si rektor. Awalnya memang untuk mendampingi Rancho yang akan mengekspresikan sesuatu pada Phia, tapi ternyata Raju dan Farhan mengencingi pintu rumah si rektor…Agaknya di India, ritual mengencingi pintu ini sudah membumi dan sering digunakan untuk mengekspresikan ketidaksenangan –atau bahkan kebencian—pada seseorang whose door is piped. Hehehe…Raju dan Farhan hari itu emang dimaluin abis-abisan ma si rektor di depan semua mahasiswa. Dipermaluin dengan hal yang tidak seharusnya dilakukan seorang rektor. Ya dak seharusnya lah, rektor kayak ngono. Bukannya ngayomi, ne rektor malah bikin mahasiswanya yang lemah semakin lemah…Ga baik itu…Apalagi saat itu si Virus juga tidak menanggapi pertanyaan yang sangats serius ditanyakan oleh Raju dan Farhan.

Dan yang terakhir, berdalih everything is fair in love and war, Farhan dan Rancho nekat memasuki ruang kerja si rektor dengan kunci duplikat yang diberikan Phia..Pas itu si rektor ingin mengagalkan ujian Raju—karena merasa kalah taruhan dengan Rancho bahwa Raju selamanya tidak akan mendapat pekerjaan—dengan membuat soal yang khusus untuk Raju. Prediksinya, sola itu akan sangat sulit dikerjakan oleh Raju yang otaknya pas-pasan…Mau ga mau, R2 berupaya menyelamatkan ujian Raju dengan cara menyusup ke ruang rektor tu..Sayang kemudian ketauan dan akhirnya….

(To be continued..)

Kamis, 13 Mei 2010

UNbeliEvabLe..

TAUHID-PLURALISTIK ALA FARID ESACK
(APLIKASI HERMENEUTIKA RESEPSI)


Mukaddimah
Di antara beberapa hermenet, Farid Esack adalah hermenet Al-Qur’an yang rancangan hermeneutiknya sangat berhubungan dengan—untuk tidak mengatakan mencerminkan—keadaan sosial-politik di negara yang didiaminya. Afrika Selatan adalah sebuah negara yang pernah berada dalam hegemoni rezim apartheid selama beberapa tahun sebelum pada akhirnya berhasil ditumbangkan oleh Nelson Mandala dkk.

Esack berpandangan optimis bahwa kemerdekaan di negaranya tidak hanya akan menjadi mimpi yang mengawang-awang. Meskipun dirasa sulit, ia masih berkeyakinan bahwa kesuksesan Iran dalam menumbangkan rezin Syaikh Pahlevi bisa kembali terjadi di negaranya. Nestapa yang sudah akrab dengannya semenjak ia kecil kembali ia rasakan di tempat ia belajar, yakni di negara Pakistan yang saat itu tengah terjadi penindasan besar-besaran terhadap kaum Kristiani dan penganut agama Hindu.

Hal yang membedakan Esack dari sebagian besar hermenet lain adalah karena ia terinspirasi dari konteks sosial-politik negaranya yang kemudian ia giring dalam cakrawala teks melalui pendekatan sosiologis. Orientasi utama yang ingin dicapai Farid Esack dengan seperangkat teori hermeneutikanya adalah deabsolutisme kebenaran, relativitas pemahaman, dan toleransi antarumat beragama. Dalam artian, Esack ingin mendobrak produk tafsir konservatif yang melahirkan eksklusivisme antar pemeluk agama yang ia maksudkan untuk mewujudkan toleransi dan kerjasama dari seluruh umat beragama untuk menunmbangkan rezim Apartheid.

Tulisan ini secara singkat akan memaparkan horizon (latar belakang intelektual dan sosial-politik secara umum) yang dimiliki Esack, beberapa perangkat (teori) yang digunakan dalam kerja hermeneutikanya, produk (kunci) penafsiran hermeneutis, serta tujuan besar yang diinginkan Esack dari seluruh upaya yang dilakukannya.

Biografi Singkat; Sosio-Politik Afrika Selatan
Biografi seorang Farid Esack tidak hanya akan menggambarkan betapa dunia akademik yang dilaluinya sangat berpengaruh terhadap prinsip atau produk pemikiran yang dihasilkannya. Lebih dari itu, mengetahui sejarah singkat Esack dapat memberikan pemahaman bahwa Esack tidaklah tidaklah main-main dalam merumuskan teori-teori hermeneutikanya. Catatan mengenai pengalaman-pengalaman hidup yang mengesankan bagi Esack terangkum dalam sebuah buku yang berjudul On Being A Muslim

Tidak sama dengan karya-karya lainnya yang lebih banyak membicarakan tentang teori-teori hermeneutika dan pandangan-pandangannya, buku tersebut berisi kegelisahan-kegelisahan eksistensial Esack ataupun pengalaman hidup yang sedikit banyak berpengaruh terhadap teori yang dilahirkannya. Dengan membaca buku tersebut, sedikit banyak kita akan memiliki pandangan mengapa Esack menggagas teori-teori heremenutikanya. Esack adalah salah satu dari segelintir rakyat Afrika Selatan yang mencoba mencari penyelesaian dari kemelut berkepanjangan yang diderita negaranya.

Esack mengalami masa kecil yang kurang membahagiakan layaknya anak kecil lain yang hidup di daerah perang. Selain permasalahan ekonomi, Esack kecil adalah anak yang hidup dengan seorang ibu yang menjadi single parent dengan saudaranya yang berjumlah lima orang. Selain menghadapi masalah ekonomi, Ibnuda Esack juga sangat tertinda dengan rezim Apartheid yang mengandaikan hirarki rasialis serta nuansa patriarki. Esack tinggal di sebuah wilayah permukiman yang kumuh dan saat itu, ia memiliki seorang tetangga beragama Kristen. Tetangganya tersebut kerap membantu Esack dalam segala halnya. Intesitas pergaulan inilah yang menjadi awal timbulnya gagasan Esack tentang perlunya kacamata baru dalam melihat pluralisme antarumat beragama.

Secara umum, Esack adalah seorang pengembara sejati yang cukup inklusif dan selalu open-minded terhadap hal-hal baru. Selain berperan sebagai teoritisi, dosen, dan kontributor aktif di berbagai media, Esack adalah seorang yang memiliki jiwa patriot yang cukup tinggi. Ia kerap turun langsung dalam perjuangan bersenjata untuk menumbangkan rezim Apartheid. Esack bukanlah tipe ilmuan menara gading yang hanya lantang berteriak dengan pemikirannya, namun ia juga bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan negaranya.

Bukti lain dari sosok Esack yang selalu heuristik adalah perpindahan haluan ideologinya. Semasa kecil, Esack sudah akrab dengan komunitas jamaah tabligh yang merupakan sebuah komunitas berideologi tradisional-fundamentalis. Namun ketika beranjak dewasa, Esack mulai memberanikan diri mengubah haluan ideologinya dengan mendirikan organisasi bernama Call of Islam yang lebih liberal dan modernis.

Kegelisahan Esack sebenarnya diawali karena masyarakat Afrika Selatan kerap menyamakan kesalehan dengan keilmuan. Dalam artian, seorang yang dianggap sebagai orang saleh secara otomatis juga dianggap memiliki otoritas sebagai orang yang mumpuni di bidang ilmu. Akibatnya, pemikiran orang saleh pun disakralkan sebagai gagasan yang tidak bisa diganggu gugat. Kebenaran pun hanya dimiliki oleh mereka yang dianggap saleh. Otoritas kebenaran menjadi terbatas pada tangan orang-orang ini.

Begitu juga dalam bidang tafsir Al-Qur’an, ulama Afsel-lah yang dianggap memiliki otoritas dan wewenang untuk menyeragamkan pandangan masyarakat Afsel tentang kandungan di balik sebuah ayat tertentu. Sehingga, tafsir yang dihasilkan oleh ulama Afsel-pun terlanggengkan sendirinya dengan taklid buta tersebut, kendatipun produk tafsir yang dihasilkan kerap tidak lagi kontesktual dan tidak aplikatif.

Salah satu produk penafsiran yang bagi Esack sangatlah mengganggu adalah penafsiran tetang self (diri sendiri) dan the other (orang lain) dalam sekat-sekat religius. Ayat Al-Qur’an yang secara tekstual banyak membedakan antara mu’min dan kafir, misalnya, kemudian dijadikan legitimasti untuk membatasi pegaulan dengan umat agama lain yang dianggap sebagai orang kafir.

Esack beranggapan bahwa produk penafsiran yang dihasilkan oleh beberapa orang saleh tersebut tidak lagi kontekstual, khususnya jika akan diaplikasikan dalam konteks Afrika Selatan yang saat itu tengah bergolak. Saat itu, masyarakat Afrika Selatan berada di bawah kekuasasan rezim apartheid yang menindas, diskrimintaif, rasialis, dan juga seksis. Dengan pandangan bahwa mu’min berbeda dengan kafir, maka produk penafsiran Afrika Selatan kala itu juga melarang adanya kerjasama antarpemeluk agama yang berbeda, meski untuk tujuan mulya, seperti memerdekakan suatu bangsa dari rezim yang otoriter.

Dari sinilah Esack kemudian berupaya melakukan beberapa terobosan, baik dalam bentuk pergerakan maupun pemikiran untuk bisa mengatasi situasi tersebut. Ia mencoba memberikan tawaran baru produk tafsir yang lebih kontekstual dan tidak hanya berpegangan pada tafsir yang telah terbaku dan tebekukan oleh otoritas orang yang dianggap saleh.

Asumsi Dasar dan Metode Hermeneutika Esack

Dalam menegakkan kerja hermeneutiknya, Esack berasumsi bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang progresif. Al-Qur’an memiliki kepedulian terhadap realitas dan karenanya Al-Qur’an bukanlah pedoman yang tidak bisa dinego. Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang selalu hadir dan menyapa umatnya dalam konteks partikular, baik dalam hal linguistik, geografis, situasional, maupun kontekstual.

Hal yang bisa menguatkan asumsi ini misalnya adalah konsep turunnya ayat Al-Qur’an secara gradual, konsep asbabunnuzul, makki-madani, maupun konsep nasikh-mansukh. Secara tegas Esack mengatakan bahwa yang menjadi pedoman adalah Al-Qur’an, bukan tafsir Al-Qur’an yang lahir dengan membawa bahasa dan sejarah yang berbeda-beda dari penulisnya masing-masing. Dari tesis ini, Esack tampak ingin menyampaikan bahwa jika Al-Qur’an saja fleksibel—misalnya dengan konsep nasikh-mansukh—mengapa tafsir senantiasa ingin dilanggengkan oleh otoritas-otoritas tertentu?

Sedangkan metode yang dipilih Esack dalam kerja hermeneutiknya adalah metode resepsi atau penerimaan. Hermeneutika yang demikian secara singkat menyebutkan bahwa Al-Qur’an yang diterima oleh masyarakat Arab empat belas abad yang lalu bisa jadi diterima dengan wajah yang berbeda oleh masyarakat Afrika Selatan tahun 1960-an kala itu. Kemungkinan ini umumnya disebabkan karena kultur dan keadaan di Mekkah-Madinah pada empat belas abad yang lalu sedikit banyak berbeda dengan keadaan di Afrika Selatan pada tahun 1960-an saat itu.

Dalam hermeneutika resepsi, suatu teks menjadi bebas tafsir. Pembaca bisa menafsirkan teks dengan pemahaman apapun yang dimilikinya, dengan catatan pemahaman tersebut beralasan dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga jika kemudian sebuah teks dimaknai berbeda oleh pembaca dengan maksud yang ingin disampaikan penulis, maka hal tersebut sudah menjadi konskuensi dari status teks yang sudah dianggap bebas-tafsir.

Hermenutika resepi mengandaikan adanya dialektika antara teks dengan kehidupan. Melanggengkan produk tafsir atas otorias tertentu, jika demikian tidak ada bedanya dengan memutus keterikatan antara teks dengan realitas kekinian yang memiliki tuntutan dan permasalahan tersendiri. Pemaksaan yang demikian kemudian juga bisa diandaikan dengan memaksakan diri kita untuk kembali hidup pada masa sebelumnya yang notabene memiliki situasi, permasalahan, dan tuntutan yang jauh berbeda.

Pilihan Esack terhadap hermeneutika resepsi ini agaknya cukup beralasan, mengingat hermeneutika ini berkait erat dengan fungsionalisme teks. Fungsionalisme teks memandang teks dari dimensi fungsional dan pragmatis, yakni seberapa jauh suatu teks dapat menjawab permasalahan.

Dan seperti pemikir lain, teori Esack ini juga banya dipengaruhi oleh tokoh yang mendahuluinya. Dalam hal ini, Esack tampak cukup terpengaruh dengan double movement-nya Rahman ketika mengandaikan adanya transformasi pemahaman dari masa lalu ke masa kini dan masa kini ke masa lalu. Bagi Esack, transformasi yang demikian merupakan sebuah kenisacayaan sebab Al-Qur’an selalu menghadapi ruang dan waktu yang berbeda. Al-Qur’an adalah kitab tuntunan hidup yang sudah final (korpus tertutup, dalam Bahasa Arkoun) namun tetap menjawab perosialan umat yang berevolusi sedimikian cepat dari hari ke hari. Dan hal itu hanya mungkin terjadi jika Al-Qur’an dikondisikan untuk lebih sensitif dan solutif terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan.

Secara khusus kuatnya pengaruh Rahman dalam pemikiran Esack tercermin dalam asumsinya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang progresif. Asumsi ini kemudian juga menggiring pada pemahaman bahwa Esack mengandaikan adanya regresi-progresi dalam memahami apa yang ingin disampaikan Al-Qur’an. Dalam pandangannya, regresi tidak hanya berarti kembali dan melihat masa lalu untuk memperhitungkan kebutuhan kekinian atas teks, namun juga untuk mengungkao historisitas dan faktor yang memproduksi teks. Sedangkan progresi berarti menghidupkan makna baru yang konteksnya berbeda dengan makna yang lahir pada ruang dan waktu yang berbeda.


Hermeneutical Keys; Aplikasi Hermeneutika Esack

Meski secara tersirat, Esack sangat gamblang mengatakan bahwa seperangkat metode hermeneutikanya dimaksudkan utuk bisa mengatasi permasalahan yang terjadi di negeri yang didiaminya. Setelah melihat bahwa kesenjangan antara muslim dan Kristen disebabkan adanya penafsiran yang sama-sama esktrim dari kedua belah pihak—yang hanya mau bekerjasama dengan orang yang memiliki keyakinan sama—Esack pun tertarik untuk mempelajari metodologi penafsiran Al-Qur’an maupun Bible.

Berangkat dari fenomena eksklusivitas yang dimiliki dua pemeluk agama yang berbeda inilah, Esack kemudian memusatkan upaya hermeneutiknya terhadap penafsiran kata kunci dalam Al-Qur’an yang dianggapnya sangat berpengaruh dalam melahirkan—dan mendobrak—tafsir yang eksklusif yang dijadikan panutan hidup muslimin secara luas. Esack kemudian memilih beberapa term kunci semisal Tuhan, tauhid, manusia, mu’min, kafir, musyrik, ahli kitab, orang-orang yang tertindas, kedilan, dan jihad.

Ketika menafsirkan iman-mu’min, misalnya, Esack tidak membatasi makna lafadz ini dengan sekat-sekat agama yang sudah terlembaga, Islam dan Kristen misalnya. Baginya, siapapun yang percaya pada keberadaan dan kekuasaan Tuhan, maka orang tersebut adalah orang yang beriman, tidak peduli apapun agamanya (konsep satu Tuhan banyak agama). Jika demikian, maka seruan pada orang-orang beriman yang kerap didapatkan dalam beberapa bagian Al-Qur’an tidak hanya tertuju pada pemeluk agama Islam, namun semua pemeluk agama yang meyakini keberadaan Tuhan.

Penafsiran inilah yang dianggap terlalu kebablasan oleh sebagian pemerhati, khususnya ulama fundamentalis-tradisional. Ulama ini beralasan bahwa pluralitas di Afrika Selatan merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari, namun pluralisme yang digagas Esack cenderung cukup euforistik dan berlebiah. Argumen ini muncul sebab Esack tidak hanya mengandaikan adanya ko-eksistensi antarpemeluk agama untuk mencapai sebuah tujuan, namun sudah sampai pada taraf pembenaran semua agama.

Hal yang sama juga terjadi manakala Esack menafsirkan kata Islam-muslim. Islam baginya bukanlah sebuah agama partikular yang terlembagakan dengan kitab suci dan Nabi sebagaimana yang banyak difahami. Baginya Islam lebih berarti ketundukan, kepasarahan (sebagaimana arti etimologi) atau pengamalan dari apa saja yang diperintahkan Tuhan sebagai konskuensi dari status keberagamaannya (keimanan, kepercayaan pada Tuhan). Dengan demikian, dalam pandangan Esack, muslim bukanlah hanya orang yang memeluk agama Islam, namun semua orang—dari latar belakang agama apapun—yang tunduk dan menjalankan perintah Tuhannya dengan baik. Siapapun Tuhannya.

Sudah bisa dipastikan, produk tafsirnya ini mendapat banyak kecaman dari kaum fundamentalis-tradisionalis. Esack memberikan sebuah hasil kerja hermenutik yang terlampau berani dan sangat riskan menimbulkan kontroversi. Namun jika mengingat bahwa tujuan akhir Esack adalah untuk menggalang persatuan antara muslimin dan umat Kristiani Afrika Selatan dan menghilangkan eksklusivisme yang terlanjur menjadi ikon kehidupan umat beragama, maka gagasan tersebut agaknya cukup beralasan—bukan berarti menerima.

Selain menggagas suatu terobosan untuk menggalang kesatuan internal, Esack juga menyediakan porsi penafsiran yang bisa digiring pada ranah eksternal, dalam hal ini rezim Apartheid yang berkuasa. Hal ini terjadi manakala Esack menafsirkan konsep tauhid. Baginya, tauhid yang sesungguhnya adalah menempatkan Tuhan pada posisi di atas manusia. Manusia berada di bawah posisi Tuhan, dengan posisi yang setara, tidak ada manusia yang lebih tinggi maupu lebih rendah. Hirarki dari konsep tauhid ini digunakan Esack untuk mendobrak kesadaran kaum tertindas di Afrika Selatan bahwa tidak ada manusia yang berhak untuk menindak sesama manusia. Jika ada manusia yang menindas manusia lainnya, maka tindakannya tersebut adalah suatu kesalahan. Begitu juga, membiarkan diri tertindas oleh orang lain juga merupakan suatu kesalahan.

Khatimah
Satu pertanyaan yang muncul di benak saya setelah membahas sedikit hal mengenai Esack adalah, apakah produk tafsirnya relevan jika dibawa ke Indonesia yang barangkali cukup berbeda dengan keadaan mikro Afrika Selatan yang saat itu tengah bergolak?

Indonesia sebenarnya memiliki Esack-Esack lain yang tidak kalah hebat—dan kontroversial—dengan pandangan tentang pluralitas-pluralisme. Esack sendiri menyatakan bahwa ia sangat terkagum-kagum pada Gus Dur maupun Cak Nur yang cukup lantang menerikkan semangat-semangat pluralisme di negara multiheterogen seperti Indonesia.

Pluralisme senyatanya merupakan sebuah keniscayaan di daerah yang plural atau heterogen. Namun, kenisacayaannya adalah bahwa masing-masing orang memiliki pandangan dan batasan masing-masing dalam mengartikan dan membatasai pluralisme. Ada yang sepakat dengan gagasan pluralisme dan ada juga yang sama sekali menolak konsep pluralisme.

Orang yang mendukung konsep pluralisme bisa jadi memiliki pandangan yang berbeda. Kelompok moderat bisanya mengartikan pluralisme sebagai prinsip kemanusiaan yang mengandaikan kehidupan yang harmonik antarpemeluk agama yang berbeda. Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk bermusuhan dengan umat agama lain dan karenanya perintah agama tersebut bisa diakomodir dengan konsep pluralisme. Sedangkan orang-orang yang cukup ekstrim dan militan menganggap pluralisme tidak hanya tercermin dalam kehidupan sosial, namun juga sudah sampai pada ranah teologis.

Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sepak terjang maupun produk pemikiran Esack. Esack adalah sosok pribadi yang mau ‘berlaga’ di ‘medan’ manapun. Ia aktif di dunia akademik, jurnalistik, pemikiran, maupun pergerakan. Sedangkan upaya Esack untuk memberikan tafsir yang membumi dan kontekstual juga patut diapresiasi dan diteladani. Ia juga menggabungkan beberapa teori untuk menghasilkan kerja hermeneutiknya.

Namun begitu, ada baiknya Esack tidak terlalu ekstrim dan bersemangat untuk menggalang persatuan masyarakat Afrika Selatan. Konsep pluralisme yang diusungnya bagi saya cukup berlebihan, sebab Esack sudah melampaui konsep kerjasama maupun prinsip untuk hidup berasama dengan rukun, namun pluralisme Esack sudah sampai pada tahap teologis. Bagi saya, solusi yang ditawarkan Esack untuk menyeleisaikan sebuah persoalan sangat rentan menimbulkan persoalan baru. Kalupun konsep satu tuhan beda agama yang digagas Esack bisa efektif dalam situasi masyarakat Afrika Selatan kala itu, apakah gagasan tersebut bisa tetap dipakai oleh masyarakat Afsel setelah Apartheid berhasil ditumbangkan?

Pertanyaannya kemudian, apakah hanya dengan pluralisme teologiskah masyarakat yang memiliki religisitas heterogen bisa disatukan? Allah Knows Best

DAFTAR PUSTAKA

Baihaki, Uni ---------------Skripsi Fakultas Ushuluddin, (Uy 1928)
Esack, Farid. 2002. On Being A Muslim, Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj: Dadi Darmadii dan Jajang Jahroni, Erlangga: Jakarta
Esack, Farid. 2005. The Qur’an; A User’s Guide One World: Oxford
Faizi, Fuad. 2004. Kajian Kritis Tafsir Resepsi Farid Esack, skripsi fakultas Ushuluddin.
Yudistira, Hadiansyah. Hermeneutika Al-Qur’an tentag Pluralisme Agama (Telaah Kritis atas Hermeneutika Farid Esack dalam Qur’an: Liberation and Pluralism; An Islamic Perspective of Intereligious Solidarity Against Oppression), Skripsi Fakultas Ushuulddin, (Uy 1286)
http://gazali.wordpress.com/2008/01/02/farid-esackhermeneutika-al-qur%E2%80%99an- demi-liberalisme-dan-pluralisme/