RSS

Rabu, 30 Desember 2009

Kembara akhir Semester 5 (Hohoho...)

Dualisme Amanah; Antara Anugerah dan Musibah
Oleh Humam, Ita, Rozaq, Mail

A. Mukaddimah
Perjanjian primordial seorang hamba (seperti disebutkan dalam QS 7:172) merupakan sebuah momentum pemberian amanah bagi hamba yang bersangkutan. Dengan pengakuan bahwa Allah adalah Tuhannya, maka kejadian yang demikian menandakan bahwa hamba yang bersangkutan telah sanggup menerima segala konsekuensi dan follow up action dari pengakuan yang telah dilakukannya. Ketika seorang hamba telah menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan yang diyakininya, maka dengan demikian ia pun harus mengerjakan segala hal yang diperintahkan oleh Allah.

Dalam hal ini, al-Qur’an sendiri berulang kali menyebutkan term amanah, baik dalam bentuk mufrad (singular) maupun dalam bentuk jamak (plural). Adanya beberapa penyebutan ini—secara langsung maupun tidak langsung—kemudian menunjukkan bahwa amanah tidak hanya merepresentasikan hubungan antar manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga antar sesama manusia, bahkan dengan elemen-elemen lain.

Amanah secara etimologis-praksis bisa diartikan sebagai sebuah sifat yang mencerminkan kehati-hatian seseorang dalam mengemban kepercayaan orang lain. Penggunaan yang demikian misalnya kita dapatkan dalam ajaran tauhid mengenai salah satu sifat para rasul, yakni sifat yang ketiga, sifat amanah. Amanah dalam konteks ini berarti sebuah sikap menjaga kepercayaan yang telah diberikan dengan melakukan hal-hal yang bisa mewujudkan tujuan pemberi kepercayaan tersebut. Dalam konteks lain, misalnya dalam QS 2:283 dan QS 4:58, amanah lebih berarti sebuah kata benda dan bukan merupakan kata kerja sebagaimana yang difahami dalam konteks sifat yang wajib bagi rasul.

Dalam praktiknya, bisa dibayangkan bahwa amanah dalam konteks ini kemudian menimbulkan semacam dualisme dengan dua kutub yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, jika amanah bisa dijaga dengan baik, maka amanah tersebut menjadi jembatan yang bisa mengantarkan penjaganya pada keadaan yang lebih baik. Begitu juga sebaliknya, ketika amanah yang dibebankan malah disalahgunakan dan atau tidak dijaga dengan baik, maka amanah tersebut akan menjadi semacam bumerang yang kemudian bisa digaambarkan dengan peribahasa senjata makan tuan

Amanah juga merupakan salah satu representasi dari status manusia sebagai khalifah fi al ardl yang dalam kesempatan lain juga diberi gelar sebagai ahsanul khaliqin. Dengan menyadari posisinya sebagai khalifah fi al ardl, maka seorang manusia yang berkesadaran penuh akan memahami bahwa ada banyak tugas yang harus dilakukannya di muka bumi. Berbagai macam tugas tersebut merupakan manifestasi dari komitmennya untuk menjaga amanah yang telah dibebankan oleh Allah, manusia lain, maupun tuntutan dari dirinya sendiri.

Sebab itulah, menarik kiranya untuk mengetahui bagaimana Al-Qur’an memposisikan sikap yang harus dimiliki oleh setiap mu’min ini. Tema ini merupakan tema besar dalam kajian akhlaq yang selalu menarik perhatian, sebab pada dasarnya, masing-masing orang memiliki amanah sesuai dengan keadaan hidupnya masing-masing. Amanat dalam kehidupan manusia memiliki peran penting. Amanah menjadi jaminan terpeliharanya keselamatan hubungan antar sesama manusia. Dan idealnya, amanah tersebut bisa dijaga dengan sebaik-baiknya. Namun pada realitasnya, amanah kerap menjadi suatu hal yang paling sering disalahgunakan.
B. Ayat-Ayat Representatif

Secara langsung, term amanah dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali, dua di antarnya disebutkan dalam bentuk mufrad, sedang yang lain disebutkan dalam bentuk jamak. Adapun beberapa ayat yang cukup representatif mengetangahkan bagaimana posisi amanah dalam kehidupan integral seorang muslim adalah sebagai berikut;

· Al Baqarah 283

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang, akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Sebab barangsiapa yang menyembunyikannya, maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan

Tafsir Mufaradat
Rihan :Barang yang dijadikan jaminan
Yuaddi :Menjaga, memelihara, melaksanakan
Yaktumu :Menyembunyikan

Ayat yang menempati bagian penghujung surat al Baqarah ini menunjukkan setting atau nuansa muamalah. Hal ini bisa dilihat dari ayat sebelumnya dan kandungan ayat ini sendiri. Bagian awal ayat ini, misalnya, menyebutkan anjuran untuk melakukan dokumentasi administratif atau pencatatan terhadap transaksi-transaki yang terjadi, khususnya transaksi yang tidak menggunakan pembayaran tunai atau piutang. Anjuran ini secara otomatis juga mensyaratkan adanya seorang penulis yang bertugas mencatat segala hal mengenai transaksi. Akan tetapi jika pada suatu keadaan tidak ada seseorang yang kompeten untuk menjadi juru tulis dan atau tidak ada alat-alat tulis yang memadai, maka Al-Qur’an memberikan solusi berupa benda jaminan. Benda jaminan ini biasanya diberikan oleh orang yang memiliki tanggungan hutang atau sisa pembayaran kepada orang yang menjual barang yang dibelinya.

Alternatif solusi ini masih diperingan kembali oleh Al-Qur’an dengan kebolehan tidak memakai barang jaminan jika sudah ada kepercayaan antara dua pihak yang bersangkutan. Anjuran ini cukup menunjukkan dorongan yang kuat untuk menjalin kerjasama yang solid antarsesama muslimin, tidak terkecuali dalam hal transaksi ekonomi. Kepercayaan yang diberikan seorang muslim terhadap saudaranya merupakan suatu hal yang sangat berharga, sebab jika kepercayaan tersebut berhasil ia pelihara dengan baik, maka akan tercipta hubungan yang akan saling menguntungkan. Kepercayaan merupakan suatu hal yang mahal, sebab sekali seseorang berkhianat, maka ia akan diblacklist dengan sebutan penghianat yang tidak bisa dipercaya lagi.

Lebih lanjut Al Maraghi mengatakan bahwa tujuan Allah memberikan alternatif solusi dan keringanan berganda dalam hal ini adalah untuk memudahkan seorang muslim membantu saudaranya. Misalnya saja ketika seorang muslim ditemui oleh saudaranya yang ingin melakukan pembelian dengan pembayara kredit, maka muslim tersebut bisa langsung membantu saudaranya tanpa harus repot-repot mengurus keperluan administrasi barang jaminan.

Dalam praktik yang demikian inilah berlaku asas kepercayaan. Asas ini mengandaikan adanya suatu kepercayaan antarsesama muslim, sehingga kuatnya kepercayaan ini kemudian bisa menggugurkan syarat adanya barang jaminan hutang (jika suatu saat terlambat dan atau tidak mampu melunasi hutang). Kepercayaan inilah yang dibahasakan dengan lafadz amanah dalam ayat ini, sebab orang yang memberi hutang memercayai bahwa pemilik piutang akan menunaikan kewajibannya tepat waktu. Amanah sendiri bisa diartikan dengan kepercayaan. Setelah mendapat kepercayaan dari seseorang yang menghutangi, hendaklah si pemilik hutang menjaga kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Dalam kasus ini, dia bisa menunjukkan penjagaannya terhadap amanah dengan membayar kredit secara rutin dan tepat waktu.

Ayat ini barangkali cocok dijadikan sebagai pembuka wacana mengenai amanah, sebab kendatipun dilatarbelakangi oleh hal yang sifatnya kasuistis, akan tetapi ayat ini berhasil mengetengahkan wacana amanah yang global. Setidaknya, amanah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang berhati-hati dalam menjaga dan atau menggunakan kepercayaan yang telah didapatkan. Kepercayaan yang dimaksud misalnya jabatan, barang titipan, dan lain sebagainya. Amanah ini juga merupakan sebuah hasil dari serentetan usaha yang dilakukan. Sebab, orang lain tidak akan sembarangan memberikan kepercayaan terhadap orang yang belum terbukti amanahnya.

· Al Nisa’ 58

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرً
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Tafsir Mufradat
Hakama-Yahkumu : Memberi hukum, membuat putusan
Ni’imma : Sebaik-baiknya

Rasyid Ridha menjelaskan bahwa amanah dalam ayat ini bisa dianggap sebagai isim maf’ul, yakni kata sifat yang sekaligus menjadi objek dengan pengertian segala sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang karena ada suatu kepercayaan dan keyakinan bahwa barang yang dipercayakan tersebut akan aman dan baik-baik saja. Pendapatnya ini memang cukup beralasan karena dalam praktik penggunaannya, amanah digunakan untuk menggambarkan kata sifat sekaligus kata kerja maupun kata benda. Item pertama misalnya dapat dilihat dari kalimat, “Kamu tidak amanah jika melakukan penyimpangan ini”, sedangkan amanah sebagai kata benda bisa dilihat dari kalimat, “Saya memberikan amanah ini padamu”.

Ayat ini turun pasca fathu Makkah (pembebasan atau penaklukan Makkah) ketika Rasulullah memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah. Ketika Utsman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah al-Abbas dan berkata, ”Ya Rasulallah, demi Alllah, serahkanlah kunci itu kepadaku, saya akan rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (divisi pengairan).” Melihat kejadian tersebut, Utsman menarik kembali tangannya dan urung memberikan kunci tersebut pada Rasulullah, maka Rasulullah pun bersabda “Berikanlah kunci itu kepadaku, wahai Utsman!” Utsman berkata, “Ini adalah amanah dari Allah” sambil menyodorkan kunci tersebut. Berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan kemudian keluar untuk thawaf di Baitullah. Kemudian, turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca QS. al Nisa’ ayat 58 ini.

Dari ayat ini pula, ada beberapa pemerhati yang kemudian merumuskan klasifikasi-klasifikasi amanah berdasarkan penerima dan pemberinya. Beberapa pemerhati tersebut membuat klasifikasi macam-macam amanah berdaasarkan orang yang memberi dan menerima amanah. Pemerhati pertama adalah Muhammad Mahmud yang menggagas ada dua macam amanah, yakni amanah yang sifatnya vertikal (amanah yang diberikan Tuhan kepada hambanya) semisal mengerjakan perintah dan amanah yang bersifat horizontal (serah terima amanah antarsesama hamba) semisal menyimpan rahasia dan menyampaikan titipan. Dua klasifikasi ini kemudian ditambah lagi oleh Al Maraghi dengan menghadirkan amanah pada diri sendiri, semisal menjaga kesehatan diri, mengelola emosi diri, dan lain sebagainya.

Quraish Shihab ternyata juga membuat klasifikasi amanah berdasarkan pemberi dan penerima amanah. Bedanya, jika Muhammad Mahmud hanya menyebut dua varian dan Al Maraghi menggagas tiga macam, maka Quraish juga mengulang ketiga term tersebut dengan menambah satu macam amanah lagi, yakni amanah bagi manusia untuk menjaga lingkungan.

Tiga klasifikasi ini senyatanya tidak perlu dipermasalahkan, sebab ketiganya memiliki hubungan komplementif. Selain itu, adanya tiga formula klasifikasi ini setidaknya juga menggambarkan bahwa permasalahan klasifikasi ini masih sangatlah fleksibel dan sangat mungkin untuk menerima pemikiran-pemikiran baru. Hal ini barangkali dilatarbelakangi oleh keberadaan amanah sendiri yang sudah menyentuh banyak sisi dan muncul dalam wajah yang berbeda-beda, dari level terkecil semisal titipan seorang teman hingga amanah terbesar untuk menjadi khalifah di muka bumi. Quraish agaknya berpandangan bahwa bumi dan segala pesonanya merupakan salah satu amanah terbesar yang dititipkan Allah kepada manusia.

Dilihat dari susunannya, ayat ini merupakan pembanding dari beberapa ayat sebelumnya yang menceritakan orang kafir penghianat amanah sebab tidak mengamalkan isi kitab (yang telah diamanahkan) dan malah menyembunyikan isinya. Pada ayat sebelumnya, yakni surat An-Nisa’ 57, Allah kemudian menjelaskan ganjaran bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Sedang salah satu ciri utama orang yang demikian adalah orang yang menjaga amanah dan memberikan putusan hukum dengan adil. Penyajian paparan yang demikian agaknya ingin menunjukkan bahwa ada akibat yang sangat kontras antara orang yang menjaga amanah dan orang yang mengabaikannya.

Ayat ini juga membahas mengenai perintah menetapkan putusan dengan adil menurut apa yang Allah ajarkan (memutuskan secara objektif). Dua hal ini adalah pelajaran yang diberikan Allah kepada manusia. Lebih lanjut At-Thabari dan Tantawi Al Jauhari memverbalisasi bahwa amanat yang disinggung dalam ayat ini bisa direpresentasikan dengan tanggunjawab para birokrat yang mendapatkan amanah untuk menjalankan roda pemerintahan. Agaknya, kesimpulan At-Tabari ini disebabkan adanya unsur otoritas dalam perintah untuk memberi hukum yang adil pada manusia. Memberi keputusan hukum yang adil ini merupakan salah satu amanah yang wajib dilakukan oleh pemerintah. Terlebih, ayat ini juga menegaskan bahwa amanah haruslah disampaikan pada pemiliknya. Jika apa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah rakyat, maka amanah yang diemban para pemimpin haruslah tepat sasaran, misalnya dengan membuat kebijakan yang populis dan pro rakyat.

· Al Anfal 27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

Tafsir Mufaradat
Takhunu : Menghianati, menyalahi, mengingkari

Khianat yang merupakan lawan dari amanah dan disebutkan dalam ayat ini, dalam pandangan Al Maraghi bisa berarti mengkufuri nikmat. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yakni ayat sebelumnya yang membahas mengenai orang yang bersyukur dan orang yang kufur. Alasan kedua adalah karena Al Maragahi menganggap bahwa pemberian suatu amanah merupakan sebuah nikmat. Sehingga ketika nikmat tersebut dijalankan dan dipergunakan sebaik-baiknya, maka hal yang demikian merupakan representasi dari sikap syukur. Begitu juga jika amanah (yang merupakan nikmat) tidak dipelihara dengan baik, maka hal yang demikian sama saja tidak mensyukuri nikmat berupa kepercayaan yang diberikan oleh pemilik amanah.

Al Maraghi tampak sangat memiliki kecenderungan terhadap teori yang mengatakan bahwa syukur tidaklah hanya terbatas pada gerak bibir dan lantunan suara. Esensi syukur yang paling inti justeru adalah perbuatan dan tindakan yang mencerminkan rasa syukur seorang hamba telah dianugerahi suatu hal.

Adapun asbabun nuzul ayat ini, sebagaimana disebutkan Quraish Shihab dan Saleh berkenaan dengan Abu Lubabah bin Abd al Mundhir (seorang muslim) yang ditanya oleh Bani Quraizah (musuh kaum muslimin). Saat itu bertepatan dengan momen perang Quraizah. Abu Lubabah ditanyakan mengenai rencana dan strategi yang akan digunakan kaum muslimin. Abu Lubabah memberi isyarat dengan tangan pada lehernya (maksudnya akan dibunuh). Kemudian turunlah ayat ini, setelah itu Abu Lubabah menyesali perbuatannya karena membocorkan rahasia sampai ia berkata, “Teriris hatiku hingga kedua kakiku tidak dapat kugerakkan, karena aku merasa telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(Riwayat Sa’id bin Manshur, bersumber dari Abdullah bin Abi Qatadah).

Sebuah riwayat yang lain mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan Abu Sufyan yang sengaja meninggalkan Makkah. Jibril memberitahu perihal ini pada Rasulullah, sehingga Rasulullah pun memerintahkan para sahabat untuk menangkap dan menahan Abu Sufyan. Salah seorang sahabat yang mendengarkan sabda Rasulullah tersebut membocorkan perintah Rasulullah dan memberitahukannya kepada Abu Sufyan.

Ada juga versi yang menyatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan perilaku sahabat yang memberitahu strategi perang pada teman dekatnya masing-masing. Para sahabat tersebut senyatanya tidak bermaksud dan sama sekali tidak menginginkan strategi tersebut sampai bocor dan sampai pada pihak kaum musyrikin. Mereka memberitahukan taktik perang hanya pada orang-orang terdekat saja. Namun tanpa disadari, apa yang mereka lakukan justeru semakin memperburuk keadaan karena taktik muslimin sudah diketahui oleh musyrikin (Riwayat Ibnu Jarir bersumber dari as-Suddi). Hal ini disebabkan orang yang dipercayai salah satu sahabat juga menyalahgunakan kepercayaan yang dimilikinya.

Jika diamati dari beberapa versi asbabunnuzul ini, maka arah pembicaraan ayat ini dapat diperkirakan berhubungan dengan .keharusan seorang muslimin menjaga rahasia komunitas yang tidak boleh diperdengarkan pada orang nonkomunitas. Kendati begitu, ayat ini juga secara gamblang menyatakan larangan untuk menghianati Allah, menghianati Nabi Muhammad, dan menghianati amanah antarsesama manusia. Menghianati amanah Allah misalnya dapat digambarkan dengan berbuat keonaran dan kerusakan di bumi setelah Allah menitipkan gelar (amanah) khalifah fi al ardl pada manusia. Adapun menghianati amanah Nabi, maka penulis beranggapan bahwa apa yang dimaksud di sini adalah tidak sama sekali mengapresiasi teladan terbaik yang telah diberikan Nabi. Terlebih dalam salah satu hadistnya, Nabi pernah menegaskan bahwa sepeninggal beliau, beliau menitipkan dua hal sebagai bimbingan hidup umat Islam, yakni Al-Qur’an dan hadist. Menghianati kepercayaan manusia bisa dicontohkan dengan membocorkan rahasia, tidak menyampaikan dan atau merusak barang titipan, serta melakukan penipuan.

Hal yang juga menjadi catatan dalam ayat ini adalah unsur kesengajaan yang dibahasakan dengan kalimat, “jika kamu mengetahui”. Jika difahami secara literlek, maka bisa disimpulkan bahwa penghianatan yang dilakukan atas dasar ketidaksengajaan (seperti kejadian yang menimpa para sahabat menjelang sebuah perang) adalah hal yang sah-sah saja. Anggapan yang demikian dibantah oleh Quraish Shihab. Ia menegaskan bahwa dalam hal ini, tindakan berkhianat tetap tidak bisa ditolerir

· Al Ahzab 72
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh

Tafsir Mufradat
Ardl : Memberikan amanat
Amanah : Kepercayaan yang berupa beban agama
Abaina : Tidak siap menerima
Dzalim : Berlaku aniaya karena dikuasai amarah
Jahl : Bodoh; logika terkalahkan oleh syahwat

Ayat yang kental dengan nuansa personifikasi ini menggambarkan adanya tawaran Allah kepada beberapa makhluknya, yakni langit, bumi, dan gunung-gunung sebelum kemudian ditawarkan kepada manusia untuk mengemban amanah. Bentuk konkret amanah yang dimaksud dalam ayat ini, dalam pandangan Al Maraghi adalah kewajiban-kewajiban syara’, menyembah dan beribadah kepada Allah. Mahluk-mahluk lain menolak tawaran tersebut, sedang Nabi Adam menerimanya. Adam menyatakan siap menerima dan memelihara tawaran tersebut. (Kronologi dan keterangan lebih lanjut mengenai kejadian ini belum ditemukan dalam referensi yang kami miliki).

Mengapa kemudian Adam (sebagai nenek moyang dan perwakilan manusia) harus menerima tawaran ini? Jawaban pertanyaan ini barangkali erat kaitannya dengan kemampuan yang dimiliki manusia dan atau ‘fasilitas’ khusus yang diberikan Allah kepadanya, yakni akal. Akal merupakan hal yang sangat berharga sehingga manusia menyimpan kekuatan yang tidak dimiliki oleh benda-benda sebesar bumi, langit, dan gunung-gunung. Jadi kendatipun benda-benda tersebut secara ukuran lebih besar dibanding manusia, akan tetapi mereka tidak siap menerima amanah seberat apa yang pada akhirnya dibebankan kepada manusia. Terlebih dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa manusia (dan jinn) diciptakan semata-mata hanya untuk menyembah kepada Allah. Dalam hal ini, Bintu Syati’ mengemukakan alasannya bahwa hal ini disebabkkan langit, bumi, dan gunung tidak memiliki kehendak dan kebebasan layaknya manusia.

Mengenai arah dari diksi amanah dalam ayat ini, ada beberapa pendapat yang sebenarnya serupa namun dikemas dalam redaksi yang berbeda. Salah satunya adalah Ibnu Katsir yang menyebutkan bahwa makna amanah dalam ayat ini adalah ath-tha’ah. Sedangkan Fakhrur Razi dalam tafsir Al Kabir menyatakan bahwa arah pemilihan diksi dalam ayat ini adalah at-taklif, pembebanan. Dalam hemat penulis, ketaatan maupun beban ini sama-sama bisa disandingkan pada manusia dan alam semesta yang awalnya menerima tawaran ini, sebab langit, bumi, dan gunung-gunung pun selalu ta’ath pada perintah Allah. Bedanya, beberapa benda alam tersebut memiliki ketundukan yang penuh terhadap Allah, sedangkan manusia memiliki dua potensi, yakni potensi untuk tunduk dan potensi untuk bandel.

Hal ini semakin menguatkan alasan mengapa Allah memilih manusia untuk menerima amanah ini dan manusia pun menyatakan siap menerimanya. Manusia memiliki dualisme potensi yang saling bertolak belakang. Dengan segenap kemampuan dan fasilitas yang dimilikinya untuk taat pada Allah, manusia juga memiliki potensi untuk melenceng, yang dalam ayat ini direpresentasikan dengan amarah dan syahwat. Memiliki dua hal yang saling bertentangan ini tentunya memberikan tantangan tersendiri kepada manusia untuk sebaik mungkin memosisikan diri dengan memperlakukan potensi baik dan potensi buruk secara proporsional.

Analisis yang cukup berbeda disampaikan oleh Abdullah Yusuf Ali. Ia menyatakan bahwa kata-kata langit, bumi, dan gunung dalam ayat ini merupakan makna simbolik untuk menunjukkan bahwa amanah yang dibebankan demikian berat. Pendapat yang demikian senada dengan apa yang disampaikan Hamka yang menilai bahwa ayat ini ingin menunjukkan betapa tinggi nilai sebuah amanah. Hal yang bisa diperhatikan dalam ayat ini ini adalah bahwa penerimaan amanah untuk beribadah kepada Allah bukan kemudian menandakan bahwa manusia adalah mahluk yang bodoh dan dzalim. Ungkapan bodoh dan dzalim ini lebih ditujukan untuk menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi negatif yang cukup dominan sehingga berhasil menggeser potensi positifnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan manusia bodoh dan dzalim (melakukan sesuatu dengan tidak proporsional).

C. Dualisme Amanah; Antara Anugerah dan Musibah
Jika amanah diartikan sebagai sebuah titipan dan kepercayaan, maka kita pun bisa mengambil kesimpulan bahwa kesempatan kita hidup di dunia ini merupakan sebuah amanah awal yang kemudian melahirkan amanah-amanah baru. Amanah bisa diibaratkan dengan setali tiga uang dalam kehidupan manusia. Di mana dan bagaimanapun kehidupannya, manusia pasti memiliki amanah, paling tidak amanah untuk menyembah Tuhan dan amanah untuk menjaga dirinya sendiri. Amanah ini jugalah yang kemudian menjadi implus manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas kesehariannya. Seorang mahasiswa misalnya, ketika ia menyadari penuh posisinya sebagai pengemban amanah dari orang tua dan negara, akan menseriusi kuliahnya dengan beberapa aktivitas yang bisa mengantarkannya pada kesuksesan akademik.

Dalam perbincangan ini, varian amanah ini sebenarnya tidak dapat dibatasi secara mutlak, sebab dinamika dan perkembangan umat meniscayakan adanya wajah-wajah baru yang merepresentasikan adanya amanah baru. Misalnya saja, amanah seorang karyawan terhadap atasan, amanah berupa kode etik jurnalistik bagi wartawan, dan lain sebagainya. Akan tetapi pada intinya, proses penjagaan amanah yang dilakukan seseorang akan berdampak pada kehidupannya. Jika ia bisa mengemban amanah dalam pekerjaannya, misalnya, maka ia akan mencapai kesuksesan dalam dunia kerja tersebut.

Kendati begitu, varian amanah yang paling sering muncul ke permukaan adalah amanah dalam bentuk jabatan atau kedudukan, utamanya jika posisi tersebut merupakan jabatan publik. Amanah seorang menteri kesehatan misalnya bisa diukur dengan tingkat kesehatan masyarakat suatu negara, amanah seorang kepala desa bisa dilihat dari kemamuran penduduk desa yang dipimpinnya. Anggapan ini cukup berkembang luas dan bahkan nyaris berhasil mempersempit makna amanah terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan urusan publik. Padahal senyatanya, amanah, sebagaimana yang sudah dikupas dalam beberapa ayat di atas, memiliki varian yang sangat banyak.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa amanah tidak selalu identik dengan menjaga sesuatu yang telah dipercayakan orang kepada orang lain. Kata ini justeru memiliki makna yang luas, sehingga amanah juga bisa diartikan dengan posisi orang berilmu yang memiliki wajib memberikan penjelasan pada jalan kebaikan dan menunjukkan pada jalan kebenaran (al-haq) kepada manusia lain, tidak memakan harta orang lain dengan bathil (seperti korupsi), dan lain sebagainya. Kewajiban menunaikan amanat ini merupakan hal yang sudah mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Namun begitu, masalah yang kemudian muncul adalah proses menyampaikan amanah yang terbilang cukup sulit, sebab manusia memiliki dua kecenderungan yang saling bertolak belakang. Kecenderungan untuk menyampaikan amanah yang diembannya dan kecenderungan untuk menyelewengkan amanah tersebut.

Di sinilah, dualisme amanah akan sangat terasa. Amanat dikiaskan seperti pisau bermata dua, satu terarah pada sasaran, yang lainnya terarah kepada yang melemparkan pisau itu. Artinya, dua mata pisau itu merupakan dua kemungkinan yang sama-sama bisa terjadi. Jika amanah disampaikan kepada ahlinya, maka pisau tersebut berarti telah berhasil menikam lawan. Orang yang menerima dan menyampaikan amanah oleh Al Maraghi kemudian disebut dengan hafidz (pengemban amanah), amin (orang yang dipercaya), dan wafiy (penyampai). Akan tetapi jika amanah yang diemban malah dimanfaatkan tidak pada tempatnya dan atau disalahgunakan, maka pisau yang digenggam seseorang berarti telah menusuk dirinya sendiri. Meski demikian, akibat dari terhunusnya pisau pada sasaran maupun ketika pisau tersebut menikam dirinya sendiri tidak kemudian selalu terasa pada waktu yang bersamaan.

Sebab itulah, tidak berlebihan kiranya jika Yunahar sampai mengatakan bahwa amanah dapat membawa manusia menempati posisi yang lebih tinggi dari malaikat sekalipun, namun juga bisa mengantarkan manusia kepada posisi yang lebih rendah daripada hewan. Dalam artian, amanah akan menjadi anugerah yang bisa menjadi tiket manusia memiliki posisi yang tinggi, namun amanah juga bisa menjebak kita dengan menjadi sebuah musibah yang bisa menurunkan derajat manusia.Dengan demikian, tugas kita selanjutnya lebih kepada untuk mensiasati agar potensi positif kita bisa lebih dominan dibanding potensi negatif. Dengan begitu, amanah yang sudah dimiliki dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Allah Knows Best.

Selasa, 29 Desember 2009

Lagi-lagi (Creita anak2 kelasQ)

Update Status MK HS, 28 Des, 2009

Ita : Selaen presentator, dilarang angkat suara!!
Umi : Diskusi santai, coz waktunya ndak panjang…Itulah yang diharapkan. Hehehe
Unyil : Don’t give up, Girls!! Chayoo!!! SEMANGAT!!!
Chiko : Jasadku ada di kelas ini, tapi pikiranku ada di kelas entar…Abis ini githooo…dek-dekan, euy..Mau presentasi niiih!!!
Aida : Capek banget…Huh…Pegel2..Habiz dari t4 ww..Pengen tidur..Pengen makan…He..he..Gak pengen kul..Tapi mau gimana lagi?
Ocka : Malez ngomong coz sakit gigi euy..!
Iwan : Tau ga? Kenapa ga ada yang nanya? Pada capek semua, badan kita habis kelipet-lipet di mobil sempit sehari semalam..Pengennya guling-guling, euy.. :-)
Mas U : Stress!!Mobil telat kembali ke rental, motor mogok di tengah jalan, sepatu dipake Alwi, tidur masih kurang..Yang parah lagi..cacing di perut lagi demo…
Farhan : Ngantuk…..Bosen……
Aji : Bosen ikut/masuk kul..Pingin tidur. Pulang dari rumah naik motor, sendirian lagi..! Pas di Mojoagung mampir ke tempat wawa..Capek tenan…Yawh…Mau gimana lagi?
Rey : Pengen…Apa aja, yang pasti karang gi jenuh banget…
Bujang :Emang dah, hari ini capek banget!! Seharian di mobil ga bisa tidur…Bentuk badan udak kayak jok mobil..:-)
Humam: Malez……..Pusing………Banyak kerjaan..So, gak ada yang maksimal…da solusi?
Alwi : Fasmi dan Tashir..Korban jok mobil..Ah..Ga segitunya kali. Berlebih-lebihan tuch.

Senin, 21 Desember 2009

Abis-abisan Edisi...

Reposisi Hadist Nabi dalam Organisasi NU
Oleh Masyithah Mardhatillah (07530003)

A. Selayang Pandang NU
NU adalah organisasi yang didirikan pada 1926 oleh KH. Hasyim Asy’ari dan beberapa tokoh masyarakat lain. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia yang tetap bisa bertahan dalam beberapa waktu yang lama dengan jumlah pengikut yang juga cukup besar.

Dalam perkembangannya hingga kini, ada beberapa ritual yang menjadi ciri khas NU. Salah satunya adalah tradisi mengadakan sebuah perkumpulan yang kemudian dinamakan muktamar. Muktamar di sini berarti sebuah forum atau pertemuan yang bertujuan mendemisioner kepengurusan dan melantik pengurus baru berikut semua proses yang ada di dalamnya. Dalam muktamar ini, biasanya dirumuskan beberapa keputusan yang terkait dengan keorganisasian maupun solusi terhadap masalah yang tengah in di masyarakat. Upaya mencari solusi yang biasanya dikenal dengan istilah bahtsul masail (seperti halnya tarjih dalam organisasi Muhammadiyah) tersebut merupakan salah satu forum yang menjadi ikon NU. Forum ini tak ubahnya forum diskusi dengan sebuah tema tertentu yang bertujuan mendapatkan solusi dari suatu permasalahan.

Setelah lama malang melintang dalam dunia sosial kemasyarakan –bahkan politik—di Indonesia, bukanlah merupakan suatu keheranan jika terdapat banyak ‘warna’ dalam organisasi ini, sebab anggota maupun pengurus NU datang dari berbagai latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan intelektualitas yang berbeda. Tak pelak, dalam perjalannya, NU telah menapaki berbagai pergantian fase yang silih berganti dalam sikap politik maupun pemikiran.

Sebab itulah, terjadinya konflik internal dalam hal ideologi maupun hal lain menjadi suatu hal yang tak terelakkan. Pembaharuan-pembaharuan yang lahir dari gagasan cendekiawan muda pada dekade 1980-an serta merta bisa diterima oleh cendekiawan pendahulunya. Hal ini menimbulkan adanya beberapa persinggungan internal organisasi yang memang sudah lama terjadi dan bahkan baru-baru ini sempat menghangat dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan hadist Rasulullah, munculnya inisiatif perubahan arah pemikiran ini juga turur memberikan pengaruh terhadap hadist Nabi. Memang benar hadist Nabi merupakan pijakan dasar yang dijadikan pilar organisasi NU, akan tetapi upaya popularisasi hadist merupakan hal baru yang sebelumnya tidak ditemukan.

B. Klaedoskop Singkat NU
Organisasi yang lahir para 1926 ini merupakan salah satu manifestasi masifnya gerakan pemuda pada masa-masa perjuangan kemerdekaan. Lahirnya Budi Utomo pada 1908 agaknya cukup sukses memberi pandangan dan pencerahan baru terhadap pola pikir masyarakat Indonesia, utamanya para pemuda. Mereka kemudian berkeyakinan bahwa perlawanan konfrontatif tidak akan bisa selalu efektif tanpa dibarengi oleh perlawanan diplomatif. Pola pikir ini jualah yang mendorong timbulnya beberapa organisasi yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan dengan semangat nasionalisme melawan penjajah.

Lahirnya organisasi NU sendiri merupakan salah satu di antara dua keputusan yang dihasilkan dalam sebuah musyawarah yang bertempat di Surabaya pada 31 Januari 1926, kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dalam forum tersebut, ada kurang lebih 20-an kyai dari berbagai penjuru Indonesia, khususnya tanah Jawa yang berunding dan kemudian menghasilkan dua keputusan. Keputusan pertama adalah diutusnya KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghana’im Al-Mishri menghadap raja Ibnu Sa’ud untuk mendapatkan kebebasa beribadah menurut empat imam madzhab. Keputusan kedua adalah didirikannya sebuah perkumpulan bernama Nahdlatul Ulama’.

Jika diamati dari latar belakang tokoh dan hasil keputusan dalam perundingan ini, tampak bahwa ada nuansa dominasi pesantren (baca: feodalisme) yang tampak sangat kental. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri mengingat jauh-jauh hari sebelum lahirnya organisasi ini, pesantren sudah lama menjelma sebagai lembaga nonformal yang melakukan sosialisasi nilai-nilai kegamaan, basis perjuangan, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial. Dengan demikian, dapatlah sementara kita berkesimpulan bahwa kelahiran NU juga merupakan wujud sistematisasi peran pesantren yang meskipun sudah banyak memberikan kontribusi, akan tetapi belumlah
terorganisir dengan rapi.

Lahirnya NU ini, dalam sejarahnya diawali dengan kegelisahan KH. Wahab Hasbullah yang melihat adanya kebutuhan untuk mendirikan organisasi kemasyarakatan. Inisiatif ini muncul pada tahun 1924, akan tetapi baru terealisasi dua tahun setelahnya ketika KH. Khalil Al Bangkalani memerintahkan para juniornya untuk mendirikan sebuah organisasi sosial kemasyarakatan.

Dalam sejarah perkembanganya, NU mengalami beberapa fase kronologis yang cukup fluktuatif. Pada awalnya, organisasi ini merupakan organisasi sosial kemasyarakatan ansich, meski pada praktiknya NU juga banyak memberikan kontribusi pada upaya-upaya perjuangan kemerdekaan. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi logis mengingat kuota warga pesantren yang cukup banyak dan sekaligus merupakan para pejuang, selain juga berstatus pelajar dan penuntut ilmu. Statusnya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan ansich ini, dalam periodisasi yang digagas oleh Abdurrahman Wahid terjadi pada rentang tahun 1926 hingga 1936. Pada masa-masa penjajahan Belanda ini, NU dianggap abstain dalam masalah keberpihakan pada partai politik.

Selanjutnya, dalam rentang tahun 1936-1955, NU mulai terlibat dalam kancah perpolitikan di Indonesia, namun pada fase ini, NU masih berada dalam fase perjuangan politik idealistik, baru kemudian sejak tahun 1955, NU menjadi kekuatan politik. Keterlibatan NU dalam ranah politik ini diawali dengan hasil muktamar muktamar XI di Banjarmasin pada tahun 1936 yang memutuskan bahwa negara dan tanah air Indonesia wajib dilestarikan secara hukum fiqh. Sebelumnya pada 1946, NU sudah menyatakan diri masuk dan bergabung dalam partai politik Masyumi pada saat menghadapi penjajah pascakemerdekaan.

Metamorfosis NU yang menjadi sebuah kekuatan politik independen (setelah keluar dari Masyumi) terjadi pada tahun 1955 bermula dari keputusan sebuah pertemuan pada tiga tahun sebelumnya. Tahap selanjutnya adalah ketika NU tidak lagi memiliki keterikatan dengan parai politik manapun, yakni pada 1984 hingga akhirnya kemudian Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. Tahun 1984 ini merupakan momen terjadinya khittah yang menjadi follow up dari muktamar ke-26 di Semarang dan muktamar ke-27 di Situbondo. Keputusan untuk kembali ke khittah 1926 ini menyiratkan bahwa NU akan mengabdi kepada masyarakat tidak hanya melalui jalur politik (yang saat itu telah bernama PPP), namun juga melalui jalur-jalur lain.

Babak baru dalam sejarah NU yang terjadi belakangan adalah adanya perubahan mainstream pemikiran yang digagas oleh para cendekiawan muda. Salah satunya adalah Abdurrahman Wahid yang mengungkapkan bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah (selanjutnya disingkat Aswaja) adalah sebuah konsep yang sifatnya dinamis. Aswaja merupakan pilar dasar yang dijadikan acuan oleh organisasi ini, dan pernyataan dinamisnya Aswaja, oleh cendekiawan yang notabene juga merupakan generasi penerus NU memberikan angin segar pada harapan terjawabnya masalah-masalah kemasyarakatan kontemporer.

Perubahan pandangan ini meniscayakan adanya inovasi-inovasi baru dalam hasil keputusan muktamar dan atau bahtsul masail. Dalam pengamatan Martin van Bruinesen, keputusan muktamar NU pasca bergulirnya isu modernisasi dan fleksibilias NU cenderung lebih akomodatif terhadap persoalan kekinian. Ia juga menambahkan bahwa fatwa ulama NU modern cenderung menggunakan referensi awal dari Al-Qur’an dan hadist, berbeda dengan generasi sebelumnya yang mendahulukan kitab-kitab mu’tabar, meski pada kenyataannya kitab-kitab tersebut juga merupakan pengembangan dari Al-Qur’an dan hadist, di samping menggunakan peran ra’yu. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa hal yang demikian merupakan suatu perkembangan yang sangat berarti mengingat sebelumnya ulama’ NU terkesan kurang begitu inovatif dan cenderung ekslusif terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak didapatkan dalam kitab-kitab mu’tabar.

C. Pijakan Ideologi NU (Posisi Hadist dalam Organisasi)
Sebelum memaparkan pijakan-pijakan dasar yang dijadikan acuan dalam mengatasi sebuah permasalahan oleh organisasi ini, ada baiknya terlebih dahulu diinformasikan arah pikiran kegamaan NU. Sebagaimana yang diungkapkan Masykur Amin, arah pemikiran kegamaan NU dapat dibagi menjadi tiga aspek, yang pertama adalah aspek tauhid (Islam atas dasar ahlussunnah wal jama’ah dengan tokohnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi), aspek fiqh (mengikuti madzhab yang empat), dan aspek tasawwuf (mengikuti tasawuf yang dipelopori oleh Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali).

Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam, sudah menjadi suatu kewajaran jika organisasi ini menggunakan Al-Qur’an dan hadist sebagai dasar pijakannya. Akan tetapi dalam perkembangannya, hadist yang digunakan biasanya merupakan hadist yang bernuansa fiqhi dan dijadikan landasan dalam qawaid fiqhiyyah, semisal la dirara wa la dirara, innamal a’malu binniyah, dan lain sebagainya. Beberapa hadist yang dijadikan landasan tersebut biasanya kalah populer dibanding qawaid fiqh yang senyatanya berasal dari hadist yang bersangkutan. Misalnya saja, qaidah al umuru bi maqashidiha akan lebih populer sebab lebih sering digunakan dibanding hadist innamal a’malu binniyah.

Empat sumber pijakan dasar organisasi ini adalah
· Al-Qur’an
· Al Hadist
· Al Ijma’
· Qiyas

Dalam penerapannya, NU tidak mendasarkan tradisi permikirannya kepada Al-Qur’an dan hadist secara langsung dengan alasan menghindari permikiran yang tekstual dan adanya penafsiran tunggal terhadap teks. Pola dasar pemikiran NU bisa dilihat dalam bagan berikut;

Masalah àPendapat ulama’à Al-Qur’an dan hadistàkeputusan bahtsul masail

Hal yang demikian misalnya dapat dilihat dari catatan sejarah muktamar di Banjarmasin pada 1936 yang menggunakan rujukan utama kitab Bughiyatul Mustarsyidin karya Syaikh Al Hadrami. Salah satu bahasan utama yang dikupas dalam muktamar tersebut adalah mengenai status tanah yang dianggap sebagai properti Belanda.

Ilustrasi ini menandakan bahwa NU sangat apresiatif terhadap kitab-kitab ulama’ klasik yang sudah populer dan dianggap qualified (diisitilahkan dengan bahasa kitab yang mu’tabar). Kitab-kitab mu’tabar tersebut umumnya merupakan kitab fiqh, sebab masalah yang biasanya dibahas dan dicari penyelesaiannya dalam muktamar maupun bahtsul masail adalah masalah-masalah fiqhiyyah.

Adapaun kriteria kitab-kitab yang mu’tabar dan bisa dijadikan rujukan dalam penyelesaian sebuah persoalan adalah kitab-kitab yang merupakan produksi empat madzhab. Perumusan kriteria kitab mu’tabar yang terjadi pada 1983 senyatanya telah cukup terlambat mengingat muktamar pertama kali diselenggarakan pada1926. Kendatipun mengakui kitab-kitab yang muncul dari empat madzhab fiqh, akan tetapi keputusan-keputusan mengenai sebuah persoalan mayoritas mengambil rujukan dari kitab-kitab versi Syafi’i. Hal ini barangkali erat kaitannya dengan keyakinan ulama’ NU tradisional untuk tidak melakukan talfiq. Sehingga, posisi kitab fiqh dari tiga madzhab yang lain masih berupa sebuah alternatif. Karya-karya yang muncul dari madzhab Syafi’ie masih mendominasi.

Dengan demikian, bisa juga disimpulkan bahwa posisi hadist dalam organisasi ini sangatlah vital, sebab kitab-kitab fiqh, utamanya era klasik, sangat beracuan pada Al-Qur’an maupun hadist. Meskipun tidak secara langsung dan kasat mata menggunakan pijakan hadist dalam memutuskan suatu persoalan, akan tetapi senyatanya penggunaan kitab-kitab klasik sebagai referensi utama dalam upaya penyelesaian masalah secara otomatis juga menunjukkan bahwa ada banyak hadist yang dijadikan landasan dalam organisasi ini.

Sayangnya, penulis belum menemukan sebuah penelitian yang berusaha menyelidiki status dan atau kualitas hadist yang banyak tersebar dalam beberapa kitab fiqh. Dengan demikian, meskipun hadist merupakan bagian yang berperan penting dalam pengambilan keputusan organisasi ini, akan tetapi kekaburan status dan kualitas hadist dalam beberapa kitab fiqh tersebut memunculkan fenomena baru. Apalagi, belum ada suatu peraturan khusus yang membahas mengenai kriteria hadist yang bisa dijadikan hujjah dalam organisasi ini.

Selain itu, dalam menetapkan suatu hukum, NU juga beracuan pada lima komponen yang populer dengan istilah maqashid assyari’ah, yakni:

· Menjaga agama
· Menjaga jiwa
· Menjaga keturunan
· Menjaga harta
· Menjaga akal

Ciri lain dalam metode berpikir NU adalah mengacu pada kaidah-kaidah fiqh yang terungkap dalam kitab al-Asybah wa al-Nadzair, yakni:
· Setiap urusan tergantung pada niatnya
الامو ر بمقا صدها
· Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan
اليقين لا يزال با الشك
· Bahaya harus dilenyapkan
الضرر يزال
· Kesulitan dapat memberi kemudahan
المشقة تجلب التيسير
· Adat dapat dikukuhkan sebagai hukum
العادة محكمة
Lima kaidah ini pada perkembangannya memunculkan kaidah-kaidah fiqh yang sangat populer di kalangan NU, yakni

· Menghindari kerusakan harus didahulukan dibanding melaksanakan kebaikan
درءالمفاسد مقدم على جلب المصالح
· Apabila terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka kerusakan yang beresiko lebih besar dihindarkan
اذا تغا رض مفسدتان روعي اعظمهما ضررابارتكاب اخفهما
· Kewajiban yang tidak bisa sempurna tanpa adanya syarat tertentu, menjadikan syarat tersebut wajib
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
· Hal yang tidak bisa didapatkan secara keseluruhan, maka tidak bisa ditinggalkan seluruhnya
ما لا يدرك كله لا يترك كله
· Keadaan sempit harus dilapangkan, dan keadaan yang lapang harus disempitkan
اذا ضاق الامر اتسع واذ اتسع الامر ضا ق
· Memelihara hal usang yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik
المحا فظة على قديم الصا لح و لاخذ با الجديد الاصلح
· Kesulitan dapat memperbolehkan sesuatu yang awalnya dilarang
الضرورة تبيح ا لمحظورات

Kentalnya nuansa hadist sebagai pijakan dasar organisasi ini, meski –sekali lagi—tidak diverbalisasi secara eksplisit dalam beberapa pilar dasar organisasi dapat dilihat dari empat point sikap kemasyarakatan yang menjadi ciri khas dan ikon NU berikut;

· Tawasuth dan I’tidal (moderat dan konsisten)
· Tasamuh (toleransi)
· Tawazun (proporsional)
· Amar ma’ruf nahi munkar

Keempat point ini sudah sangat populer di kalangan masyarakat NU, meski sumber yang mengilhami beberapa point ini justru kalah populer. Senyatanya, popularitas empat point ini merupakan upaya pemberdayaan dan sosialisasi living hadist dalam masyarakat Islam, meksi masih harus ada berbagai pembenahan berarti ke arah yang lebih baik.

Perubahan yang cukup dramatis dalam arah berpikir organisasi ini terjadi dengan munculnya beberapa tokoh muda yang mengusung pandangan baru dan berkeinginan menjadikan NU (baca:fatwa-fatwa yang dikeluarkannya) lebih membumi dan akomodatif. Beberapa tokoh ini adalah Abdurrahman Wahid, Sayyid Agil Munawwar, Masdar F. Mas’udi, Mustafa Bisri, dan Ulil Absar Abdalla. Usaha mereka mengubah NU yang tradisionalis, feodalis dan konservatif menjadi NU yang pluralis, transformatif, radikal, demokratis, bahkan liberal perlahan-lahan mulai membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. NU tidak lagi menjadi semacam organisasi yang berdiam di menara gading dan asyik berijtihad namun masalah yang dipersoalkannya sudah tidak lagi terdapat di masyarakat.

Hal ini misalnya dapat dilihat dari format konten bahtsul masail yang lebih peka terhadap masalah-masalah kontemporer. Sejarah mencatat bahwa muktamar pertama kali yang membahas masalah-masalah kontemporer terjadi di Krapyak, Yogyakarta pada 1989. Bahtsul masail yang digawangi oleh Mustafa Bisri dkk ini merupakan fajar baru yang menandai periode baru dalam organisasi NU. Muktamar di Yogyakarta ini juga menjadi forum pertama yang mencuatkan teori bermadzhab secara manhaji ke permukaan diskursus di tubuh NU. Perubahan-perubahan lain secara sistematis kemudian bermunculan, semisal format keputusan bahtsul masail yang lebih eksploratif dan tidak lagi singkat seperti pada keputusan-keputusan sebelumnya.

Fase baru dalam pemikiran NU ini masih menempatkan hadist sebagai sumber ajaran vital kedua setelah Al-Qur’an sekaligus melancarkan upaya popularisasi hadist-hadist Nabi. Hal yang membedakan dengan arah pemikiran NU sebelumnya, dengan demikian adalah adanya upaya untuk mengangkat hadist ke permukaan sehingga masyarakat pun bisa lebih melek hadist dan bisa memahami suatu ajaran tanpa terus-terusan taqlid. Selain itu, munculnya hadist ke permukaan ini meniscayakan adanya kebutuhan untuk kembali mengulas status sebuah hadist, baik hadist yang populer dalam kajian fiqh maupun hadist yang tidak didapatkan dalam literatur-literatur fiqh. Allah knows best.

Pended Presentation (gara2 telat)

Stabilisasi Harmoni Kehidupan Manusia dalam Hadist Rasulullah
Oleh Masyithah Mardhatillah (0753003)

A. Opening Opinion
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial meniscayakan adanya suatu interaksi dengan sesamanya. Interaksi ini terjadi secara natural sejak manusia dilahirkan. Interaksi yang pertama kali dialam adalah interaksi manusia dengan orang tua dan keluarganya. Ia mendapat kasih sayang dan dibesarkan dalam sebuah lingkungkan keluarga, sehingga komunitas yang pertama kali dimilikinya adalah komunitas bernama keluarga. Selanjutnya, seorang manusia akan masuk dalam dunia sekolah, pertemanan, kekolegaan, dan lain sebagainya yang mengharuskan ia terlibat dalam interaksi yang lebih luas lagi.

Dari sinilah, interaksi antarsesama manusia menjadi suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan. Seseorang akan membutuhkan orang lain dalam memenuhi keinginan dan tuntutan hidupnya. Namun demikian, sayangnya, sejarah cukup membuktikan bahwa interaksi antarmanusia merupakan suatu hubungan yang cukup rentan menimbulkan konflik dan pertentangan. Hal yang demikian pada dasarnya memang tidak dapat dihindari mengingat setiap manusia memiliki kecenderungan untuk memenangkan ego-nya atas orang lain, dalam posisi dan keadaan bagaimanapun.

Terkait dengan persoalan inilah, ajaran-ajaran agama banyak memberikan perhatian terhadap interaksi antarsesama manusia. Sebagai hal yang cukup rentan, tidak berlebihan kiranya jika agama berupaya ‘turun tangan’ dalam menawarkan formulasi-formulasi pola interaksi yang sehat demi mewujudkan iklim kehidupan yang harmonis dan damai.

Hadist, dalam hal ini, sebagai ‘firman Tuhan’ yang berdialektika dengan realitas empirik menjadi suatu sumber ajaran yang cukup membumi dan responsif terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Kendatipun tidak menafikan adanya unsur-unsur lokalistik Arab saat itu, hadist menawarkan sebuah elastisitas dan berupaya memfasilitasi adanya ketersinggungan antara wahyu normatif dengan realitas empirik.

Dialog kali ini akan mengupas beberapa hal dalam sebuah hadist yang bisa dikatagorikan dalam rumpun kajian interaksi antarsesama manusia. Ada beberapa warning yang disampaikan dalam hadist ini, yakni berupa pelarangan untuk melakukan beberapa hal yang dapat merusak hubungan antarsesama manusia. Semua larangan tersebut diorientasikan untuk menciptakan sebuah hubungan dan interaksi yang sehat dan sarat dengan nuansa persaudaraan. Terlebih bagi sesama muslim yang –notabene dalam hadist lain dikatakan sebagai saudara—hadist ini akan menarik untuk dikaji dan ditelisik lebih dalam. Sebab, intensitas pergaulan yang cukup sering dengan sesama muslim pada lumrahnya juga memperbesar kemungkinan terjadinya konflik.

B. Sanad dan Matan Hadist
Hadist yang menerangkan perbuatan tercela bisa dibilang memiliki jumlah yang cukup banyak sehingga tersebar dalam beberapa kitab hadist dengan kandungan yang sama maupun berbeda. Hal ini kemudian dapat difahami sebab asbabul wurud suatu hadist memang berbeda dengan asbabul wurud hadist yang lain. Ketika Rasulullah dihadapkan pada orang yang durhaka pada orangtua, misalnya, maka Rasulullah akan memberikan pemaparan secara eksplisit maupun implisit terhadap kewajiban menghormati orang tua.

Adapun hadist yang secara khusus membahas prasangka serta beberapa perbuatan follow-up yang akan dibahas kali ini merupakan hadist yang cukup populer, baik di kalangan ahli hadist maupun di kalangan masyarakat awam. Berikut sanad dan matan hadist yang dimaksud.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Artinya: Rasulullah SAW bersabda, berhati-hatilah terhadap prasangka, sebab ia merupakan perkataan yang sarat dengan dusta, janganlah mencari-cari kesalahan orang lain,, janganlah menelusuri masalah orang lain, jangan saling menghasud, terlalu mencintai sesuatu hal, saling membenci, dan saling bermusuhan. Melainkan jalinlah persaudaraan antarsesama mahluk Allah.

Hadist ini didapatkan dalam Shahih Muslim, dengan nomor hadist 4646. Selain hadist dengan matan yang persis sama dengan matan pada silabi Mata Kuliah ini, ada juga beberapa hadist yang memiliki kandungan sama, namun memiliki beberapa perbedaan jika membandingkan matannya dengan matan hadist pada Shahih Muslim ini. Perbedaan tersebut bisa berupa pengurangan item (mengingat dalam matan ini ada tujuh item perbuatan tercela), penambahan item (menambahkan sebuah perbuatan tercela yang tidak terdapat dalam matan hadist ini), maupun perbedaan dalam pengurutan.

C. Tafsir Mufradat
Addazn: Prasangka yang tidak beralasan
Tahassus: Mencari-cari aib dan kesalahan orang lain (aib dan aurat; sesuatu yang jika diketahui orang lain dapat memalukan sahibul aib)
Tajassus: Mengikuti berita yang berhubungan dengan prasangkanya, semisal mendengarkan dan terlibat dalam forum ghibah
Tahasud: Iri terhadap nikmat orang lain dan mengharap nikmat tersebut segera lepas dari pemiliknya
Tanafas: Ar raghbah fi asy-sya’i (terlalu mencintai suatu hal; ambisius)
Tabaghudh: Saling membenci antarsesama muslimin
Tadabar: Al mu’adah wa al muqatha’ah (bercerai berai dan memutus tali persaudaraan, bermusuhan satu sama lain)

D. Takhrij dan Tahqiq
Beberapa hadist yang dimaksud tersebar dalam Shahih Bukhari, Sunan Attirmidzi, Sunan Annasai, Sunan Ibni Majah, Sunan Ahmad bin Hanbal, dan Muwaththa’ Malik. Berikut penjelasan lebih detail mengenai hadist yang setema (dengan matan yang tidak persis sama, meski kandungannya berbeda)


Kitab/Bab Nomor Hadist Kitab/Bab Nomor Hadist
B/Annikah 4747 IM/At Tijarat 2163, 2165
B/Al Adab 5606 A/Baqi Musnd Mukatsr 7402,7536, 7753
T/An Nikah an Rasul 1053 Idem 7770,8138,8690
T/Al Birr wa assilah 1911 Idem 8746,8757,9387
N/An Nikah 3187 Idem 9620,9682,9698
N/Al Buyu’ 4420,4430,4431 Idem 9828,9861,9971
AD/Al Buyu’ 2971, 1976 Idem 10112,10337,10283
AD/Adab 4671, Idem 10377,10527,1189
IM/Nikah 1857 Idem 1412

Hadist ini merupakan hadist yang berkualitas syarif dan marfu’ (sanadnya sampai pada Rasullah). Sedangkan pengarang syarh Tirmidzi mengatakan bahwa hadist ini berkualitas hasan shahih dan Al Albani mengatakan bahwa kualitas hadist ini adalah shahih. Adapun indikator yang didapatkan penulis dan bisa menguatkan asumsi-asumsi ini adalah karena kualitas rawi yang rata-rata memiliki kualitas bagus, semisal tsiqqah, tsubut, tidak terlihat ada bandingannya, memiliki hujjah, imam ahli hadist, dll.

E. Sintesis Kreatif beberapa Telaah Eksploratif
Ada beberapa item perbuatan tercela yang disinggung dalam hadist ini. Beberapa perbuatan tersebut dikatakan sebagai perbuatan tercela karena pelakunya akan mendapatkan cela dari Allah maupun dari sesama manusia. Namun begitu, beberapa perbuatan yang disinggung dalam kitab ini adalah perbuatan yang sarat dengan nuansa hablun min al-nas, bukan hablun min Allah.

Item pertama yang disinggung dalam hadist ini adalah prasangka. Al-Qur’an juga memberikan warning yang cukup keras mengenai masalah prasangka ini, salah satunya dengan bahasa bahwa prasangka seseorang cenderung menggiringnya pada dosa. Kendati begitu, hal ihwal prasangka ini kemudian menjadi sesuatu yang sulit terhindarkan, sebab prasangka pada awalnya merupakan gerak hati, sedang hati adalah organ yang sangat sulit untuk dikontrol. Ketika melihat sebuah kejadian, maka secara otomatis hati manusia akan memberikan kesan atau penilaian mengenai apa yang dilihatnya.

Sebab itulah, dalam hadist yang lain, Rasulullah mengatakan bahwa prasangka yang dimiliki manusia memiliki dua macam, yakni prasangka yang mendatangkan dosa dan prasangka yang tidak mendatangkan dosa. Prasangka yang menimbulkan dosa adalah prasangka yang diverbalisasi, baik secara perkataan maupun perbuatan dalam realitas empirik. Misalnya saja ketika ada orang yang menyangka temannya melakukan pencurian, dan ia mengatakan sangkaannya tersebut pada orang lain atau melakukan hal-hal yang menyudutkan teman yang menjadi objek prasangka tersebut. Karena alasan ini pulalah maka prasangka –yang diberitahukan pada orang lain—dianggap sebagai perkataan yang mengandung banyak dusta (karena tidak beralasan dan tidak bisa dibuktikan).

Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa prasangka yang dimaksud dalam hadist ini adalah prasangka yang muncul tanpa adanya alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, prasangka yang dimaksud di sini adalah prasangka yang tidak beralasan dan ngawur. Hal ini secara tegas disampaikan oleh Al-Khithabi dan Al Qurthubi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari. Keduanya mengatakan bahwa sangkaan yang dimaksud dalam hadist ini adalah prasangka yang tidak logis dan tidak beralasan. Al Khithabi menambahkan bahwa prasangka yang tidak beralasan ini dapat membahayakan objek prasangka.

Item yang selanjutnya disinggung dalam hadist ini adalah tahassus dan tajassus. Penjelasan mengenai dua kata ini pada umumnya disandingkan, sebab kedua kalimat ini hanya memiliki perbedaan dalam huruf ha’ dan kha’.Ada beberapa perbedaan pendapat yang cukup pelik dalam memberikan penjelasan dua kalimat ini. Beberapa kitab syarh (Syarh Bukhari, Muslim) juga tidak memberikan paparan yang representatif di antara beberapa perbedaan ini. Akan tetapi secara umum beberapa tersebut mengindikasikan bahwa ada dua kubu, kubu yang menganggap kedua kalimat ini bermakna sama, meski salah satunya lebih umum dan yang lain lebih khusus, dan kubu yang mengatakan bahwa keduanya memiliki arti yang berbeda.

Saya sendiri cenderung tertarik pada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa tahassus berkait erat dengan lafadz al hawass yang berarti panca indera, sehingga artinya adalah mencari-cari kesalahan orang lai dengan bantuan panca indera, semisal menguping, mengintip, dan lain-lain. Ada juga pendapat dominan yang mengatakan bahwa arti dari kata ini adalah mendengarkan –dan atau ikut terlibat aktif—dalam percakapan sekelompok orang mengenai kejelakan orang lain. Jika dikaitkan dengan asal mula perilaku ini yakni prasangka, maka pendapat yang dominan ini menjadi logis. Misalnya saat kita mengandaikan ada seseorang yang sudah terlanjur berprasangka terhadap orang lain, maka seseorang tersebut akan mencari apapun yang bisa menguatkan dan membenarkan prasangkanya, semisal mencari info tentang orang yang menjadi objek prasangkanya.

Untuk memahami lafadz tajassus, barangkali akan lebih mudah jika kita mengingat kata jasus dalam Bahasa Arab yang berarti polisi atau petugas razia yang bertugas mengawasi tindak-tanduk masyarakat dan memberikan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Dalam konteks ini, bisa difahami bahwa tajassus adalah aktivitas mencari tau hal yang tersembunyi dalam diri orang lain. Karena objek yang dicaritau sifatnya tersembunyi, maka ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan antara tahassus dan tajassus adalah pada objek yang dicari, jika tahassus berusaha mengetahui hal-hal yang dapat diindera, sedangkan tajassus berusaha menemukan hal-hal yang sifatnya tidak kasat mata.

Empat item dari perkara yang disebutkan dalam hadist ini tersaji dalam wazan tafa’ul, yang salah satu artinya adalah adanya perbuatan yang aktif dan saling melawan dari kedua belah pihak, yakni tanafus, tahasud, tabaghudh, dan tadaburr. Ini mengindikasikan bahwa manusia kerap kali membalas keburukan yang dilakukan saudaranya dengan keburukan yang sepadan, jika bukan dengan keburukan yang lebih. Hal ini pada dasarnya kurang baik, sebab akan memperkeruh keadaan dan semakin menjauhkan dari proses islah. Meski—sependek pengamatan penulis—tidak secara eksplisit ada hadist yang mengatakan hal yang demikian, akan tetapi perilaku Rasulullah yang tidak melakukan perlawanan manakala dibuangi kotoran oleh kaum kafir Quraisy cukup menjadi bukti bahwa Islam mengajarkan pemeluknya agar selalu berhati-hati sebelum bertindak dan berupaya memilih sikap yang luwes, utamanya dalam suasana konfrontatif. Mengalah untuk menang, begitulah kira-kira solusi untuk mengatasi rentannya respon yang buruk terhadap perbuatan yang tidak baik.

Selanjutnya, hadist ini menyebutkan pelarangan terhadap sikap mencintai sesuatu terlebihan dengan istilah tanaffus. Mencintai sesuatu segala berlebihan ini akan membentuk pribadi yang ambisius buta dan cenderung memunculkan implus untuk memiliki apa yang dicintainya dengan cara apapun. Hal ini barangkali erat kaitannya dengan penyebutan larangan untuk tidak saling iri, sebab sikap iri yang tidak pada tempatnya akan membuat seseorang menempuh jalan apapun untuk menghilangkan nikmat yang dimiliki saudaranya, khususnya jika nikmat yang ingin dihilangkannya tersebut merupakan sesuatu yang diinginkan dan sangat didambakannya.

Indikasi yang mengarah kepada hal-hal duniawi (baca:hedonisme) dalam hadist ini barangkali bisa dilihat dari bab-bab yang memuat hadist ini. Salah satu bab yang memuat hadist ini adalah bab perdagangan (bay’ dan tijarah). Hal ini menjadi suatu indikasi bahwa yang dimaksud something wanted dalam hadist ini cenderung merupakan sesuatu yang sifatnya materi.

Tahasud atau saling iri adalah suatu sikap yang tidak senang melihat orang lain mendapat suatu nikmat. Bisa jadi, nikmat yang didapatkan orang lain tersebut adalah suatu hal yang sudah lama diimpikannya. Karena ia sudah terlalu mania dan ambisius mendapatkan sesuatu namun ternyata ada orang lain yang mendahuluinya, maka sikap iri ini akan mendatangkan tindakan-tindakan yang lebih berbahaya. Misalnya saja dengan berusaha menghilangkan nikmat yang didapatkan orang lain dan atau berupaya mengalihkan nikmat tersebut pada dirinya. Tahasud yang dimaksud di sini adalah iri hati yang tidak baik, yakni iri hati yang destruktif, tidak konstruktif. Iri hati yang destruktif akan mendorong seseorang yang merasakannya melakukan hal-hal yang negatif.

Tabaghudh berarti saling membenci. Dalam Fathul Bari-nya, Al Asqalani mengatakan bahwa maksud dari ungkapan ini adalah tidak menuruti sebab atau dorongan kebencian. Hal ini bisa difahami bahwa kebencian senyatnya merupakan hal yang sangat manusiawi dan tidak bisa dihindarkan. Ketika melihat suatu kejadian atau tingkah laku orang lain yang tidak menyenangkan, misalnya, maka otomatis kita akan merasakan kebencian. Kebencian yang demikian harus dikelola dengan baik, semisal tidak ditampakkan, berusaha diredam, diingkari dalam hati, dan membenci perbuatan yang tidak baik tersebut, bukan pelakunya.

Dalam hubungannya dengan larangan sebelumnya, yakni tahasud, maka dapat difahami dari sini bahwa jika iri hati yang tidak tepat dan kemudian disalurkan dengan cara yang juga keliru akan menimbulkan kebencian satu sama lain. Orang yang merasakan iri hati akan merasakan kebencian terhadap saudaranya yang mendapat nikmat, sedangkan orang yang mendapatkan nikmat akan merasa terganggu dengan ulah seseorang yang berusaha menghilangkan nikmat yang telah diraihnya. Hal yang demikian menjadi embrio lahirnya kebencian dari kedua belah pihak. Dalam syarh Shahih Bukhari, dinukil sebuah pendapat yang mengatakan bahwa iri hati dan benci merupakan dua hal yang timbul dari prasangka.

Tadabar merupakan item larangan terakhir yang disebutkan dalam hadist ini. Bisa jadi penyebutan larangan ini pada bagian terakhir menunjukkan bahwa puncak atau ending dari prasangka dan beberapa perbuatan follow up dari prasangka adalah terjadinya sebuah perpecahan dan atau permusuhan dalam tubuh muslimin. Permusuhan ini, dalam pendapat para ulama’ didefinsikan dengan sikap berpaling dari saudaranya, berdebat dan tidak saling menolong. Ibnu Abdil Barr menegaskan bahwa kebencian yang tidak diredam pada akhirnya akan menimbulkan permusuhan. Sebab sebagaimana yang lumrah terjadi, orang yang membenci saudaranya bisa dipastikan akan menganggapnya sebagai musuh. Beberapa larangan yang senyatanya adalah langkah antisipatif dan preventif ini merupakan cara yang diberikan Rasulllah demi mewujudkan stabilitas harmoni manusia (dibahasakan dengan kalimat persaudaraan antarsesama muslim).

F. Kontekstualisasi
Kerap terdengar sebuah ungkapan bahwa kita haruslah selalu bersikap curiga dan memiliki pikiran negatif terhadap orang lain, utamanya orang yang baru dikenal. Hal ini tidak sepenuhnya salah, meski tidak selalu dapat dibenarkan. Maraknya kriminalitas, khususnya penipuan barangkali bisa membenarkan ungkapan ini, akan tetapi, kata tersebut agaknya akan lebih representatif jika diganti dengan kata waspada. Sebab curiga dan waspada memiliki arti yang cukup berbeda.

Dalam hidup keseharian, prasangka ini cukup sulit dihindari, sebab ia merupakan gerak hati. Misalnya saat kita melihat sebuah kejadian yang umumnya mengindikasikan pada hal negatif, maka saat itu pulala berkelebat sebuah prasangka dalam benak kita. Kalaupun ukuran indikasi tersebut berbeda, akan tetapi manusia pada umumnya memiliki naluri untuk mencermati apapun yang dilihatnya kemudian memberikan penilaian, yang salah satunya bisa berwujud prasangka. Barangkali karena sebab inilah, Nabi Muhammad tidak kemudian melarang prasangka secara eksplisit dalam matan hadist, akan tetapi memilih diksi berhati-hatilah. Dalam hemat penulis, hal yang demikian cukup menunjukkan bahwa prasangka merupakan suatu hal yang sulit dihindari, sehingga kedatangannya tidak bisa dihindari. Masalahnya kemudian adalah bagaimana memperlakukan prasangka yang telah tumbuh di dalam hati. Jika prasangka tersebut diverbalisasi dengan ucapan dan atau perbuatan, maka hal yang demikian kemudian bisa mengakibatkan beberapa hal yang tidak diinginkan.

Dalam praktiknya, prasangka akan lebih sering terjadi pada hal-hal yang dianggap berkaitan dengan seseorang yang berprasangka, misalnya saat seseorang mencium gelagat yang aneh pada rekan bisnisnya, maka ia akan secara otomatis memiliki prasangka, sebab apa yang akan dilakukan rekan kerjanya dapat berpengaruh terhadap stabilitas ekonominya. Berbeda halnya dengan orang yang memiliki prasangka terhadap kejadian yang secara kasat mata tidak berhubungan dengan seseorang tersebut, maka ia tidak akan terlalu ambil pusing dengan prasangka yang telah timbul di hatinya.

Secara natural, prasangka memang merupakan suatu hal yang lahir karena adanya indikasi yang mengarah pada kebenaran sesuatu yang disangkakan. Sebab itulah lembaga peradilan pada teorinya selalu menggunakan asas praduga tak bersalah terhadap tersangka sebelum ada bukti atau saksi yang memberatkan. Hal ini juga dipaparkan secara implisit dalam hadist ini dan dijelaskan secara eksplisit dalam hadist lain, bahwa prasangka yang didasarkan pada adanya bukti dan saksi yang menguatkan senyatanya sah-sah saja dengan beberapa ketentuan. Meskipun, adanya saksi dan bukti tidak kemudian menjamin kebenaran sesuatu yang diprasangkakan.

Salah satu alasan mengapa Al-Qur’an maupun hadist memberikan warning yang cukup serius dalam persoalan prasangka ini barangkali adalah karena prasangka ini bisa memunculkan perbuatan-perbuatan lain yang tidak kalah mengancam stabilitas harmoni kehidupan. Salah satu perbuatan tersebut adalah tahassus dan tajassus yang berarti mencari-cari berita maupun melakukan observasi langsung dan atau tidak langsung untuk membuktikan kebenaran suatu hal yang diprasangkakan. Prasangka yang telah ada cenderung menjadi stimulus yang menggerakkan seseorang untuk menyelidiki beberapa hal yang terkait dengan hal yang diprasangkakan.

Adanya penyelidikan ini, dalam hemat saya sah-sah saja, jika masalah yang ada merupakan masalah yang berkait dengan kemaslahatan bersama. Misalnya saat ada dugaan motif cinta segitiga dalam kasus Antasari Azhar, Nasruddin Zulkarnain dan Rani Juliani, maka segala hal yang dianggap dapat memberikan kontribusi dalam penyelidikan masalah ini kemudian dilakukan, semisal mengupayakan adanya rekaman sadapan telpon, menyoroti tingkah laku dan aktivitas ketiganya dalam beberapa waktu tertentu, dan lain-lain. Berbeda misalnya jika hal yang diprasangkakan adalah masalah pribadi. Penyelidikan dan investigasi yang dilakukan dapat menimbulkan konflik antara subjek prasangka dengan objek prasangka karena subjek prasangka akan dianggap terlalu ikut campur.

Hal ini, misalnya dapat kita amati dari maraknya fenomena infotainment yang mengupas –bahkan terlalu dalam—kehidupan publik figur di negara kita, khususnya dalam dunia entertainment. Di balik sebuah konsekuensi sebagai publik figur yang setiap beritanya akan menjadi santapan segar media, kerap kali terjadi ketegangan-ketegangan konfrontatif yang tidak terhindarkan antara insan media dengan publik figur yan bersangkutan. Problem yang dilematis ini cukup menunjukkan bahwa dalam bentuk yang bagaimanapun, verbalisasi prasangka dapat cukup mengancam stabilitas harmoni kehidupan.

Larangan lain yang disinggung dalam hadist ini adalah tanafus. Penulis sendiri agaknya cenderung menggunakan kata ambisius buta untuk mengartikan kalimat ini. Sikap ini diandaikan sebagai sikap terlalu menginginkan sesuatu dengan kadar yang cukup tinggi. Karena itulah, ambisinya ini kemudian menjadi implus bagi seseorang untuk menempuh apapun jalan demi mencapai apa yang diinginkannya. Keinginan dan harapan merupakan dua hal yang sifatnya manusiawi, sebab target kehidupan itu pulalah yang membangkitkan semangat manusia. Akan tetapi jika target tersebut dipancang terlalu kuat, maka hal ini tidak begitu saja dapat dianggap sebagai hal yang positif (Ibaratnya, jika terbang terlalu tinggi, maka ia akan merasakan sakit yang teramat sangat ketika terjatuh).

Ambisiusme buta ini akan semakin jelas jika disandingkan dengan konsep iri hati yang disinggung pada lanjutan matan hadist ini. Misalnya saja, ada dua orang yang sama-sama berambisi untuk lulus tes di sebuah perguruan tinggi. Keduanya belajar bersama dengan kadar dan intensitas yang tidak jauh berbeda, juga dengan ambisi yang sama melambung. Namun ketika pengumuman dilansir, salah satu di antara dua orang tersebut tidak lulus. Karena sudah terlalu dibuai oleh ambisinya sendiri, siswa yang tidak lulus tersebut akan merasa bahwa perjalanan hidupnya sudah berakhir di situ dan tidak ragu untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif, khususnya kepada dirinya sendiri dan atau temannya yang berhasil lulus.

Penyajian kata kerja ini dalam bab tafa’ul, dalam hemat penulis adalah karena manusia memiliki kecendrungan untuk menyenangi atau memburu barang yang belum ia miliki, dalam arti dimiliki orang lain. Karena sikap ini pulalah, manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya hingga sulit bersyukur sebab ia merasa bahwa nikmat yang dimilikinya tidaklah seberapa dengan nikmat yang dimiliki orang lain. Padahal lumrahnya, ketika nikmat orang lain yang diinginkannya berhasil dimilikinya, ia tidak merasakan daya tarik benda tersebut seperti saat menginginkannya.

Item selanjutnya, yakni tahasud berarti aktivitas saling iri hati. Iri hati sendiri bisa diartikan dengan SMOS (Susah Melihat Orang Senang yang kemudian juga melahirkan Senang Melihat Orang Susah) dan berusaha agar nikmat yang diterima orang tersebut bisa hilang, bahkan beralih padanya. Pada dasarnya, sifat iri demikian merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan yang sarat dengan nuansa kompetetitif, sehingga keberadaannya menjadi semacam hal yang tidak bisa dihindari. Masalahnya kemudian adalah bagaimana sikap iri tersebut dapat mengarahkan manusia pada hal-hal yang positif, semisal menjadikan prestasi orang lain sebagai motivasi untuk memicu semangat diri sendiri.

Sikap iri yang tidak tepat dan disalurkan dengan cara yang keliru pada akhirnya akan menimbulkan kebencian yang dalam hadist ini disajikan dengan kata tabaghudh yang bermakna saling membenci. Rasa kebencian ini sangat mungkin akan dirasakan dua belah pihak, baik pihak yang merasakan iri hati ataupun pihak yang merasa bahwa ada orang lain yang sangat kentara menginginkan apa yang dimilikinya. Dua orang ini kemudian sama-sama merasakan kebencian dengan motif yang berbeda, meski asal masalahnya sama.

Tadabar atau permusuhan bisa dikatakan menjadi final step atau ending dari beberapa proses yang sebelumnya telah dipaparkan. Permusuhan ini merupakan pola hubungan terburuk antarmanusia. Hal demikian cukup beralasan karena permusuhan juga akan menjadi pemicu timbulnya tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Adanya konflik kepentingan dalam interaksi antarmanusia merupakan sebuah keniscayaan, akan tetapi sebisa mungkin, konflik tersebut diselesaikan dengan teori solusi konflik yang proporsional dan representatif, demi menghindari timbulnya permusuhan.

G. Penutup dan Saran
Beberapa pemaparan sebelumnya cukup menunjukkan bahwa harmoni hubungan antarsesama manusia merupakan suatu hal yang cukup urgen, sebab harmonisasi tersebut aakan menimbulkan keadaan yang diidamkan oleh semua manusia. Secara naluri, tidak ada manusia yang betah dalam keadaan yang tidak harmonis. Sebab itulah, ada banyak hal antisipatif dalam mewujudkan harmoni tersebut, yang salah satunya disebutkan dalam hadist ini.
Penelitian mengenai hadist ini bisa dilanjutkan, misalnya dengan menyoroti banyaknya matan hadist yang kandungannya sama, namun item larangan yang termuat berbeda dalam kuantitas dan terjadi perbedaan dalam pengurutan. Hipotesisnya adalah bahwa hadist ini menempuh jalur riwayah bil ma’na. Jika benar demikian, maka kualitas hadist ini bisa dipertanyakan kembali. Allah Knows Best

Sabtu, 19 Desember 2009

EnglishQ jongkok

Good Looking and Good Thinking Teenager,
Is it Possible?
By aTeiLLa MirZa

It is understoodable when there is a hope imagining a teenager who has good looking and good thinking proportionally. This hope appears from the reality which shows that it is rare to find a teenager who has the two sides of charming; charming of intelligence and charming of performance. Although it is rare, it doesn’t mean that it is difficult to be reached. And the question is, what is the shortcut to be the dreaming teenager?

Good Thinking; Smart and Skillfull
There’s a common demand addressed to us as a student, as a member of community which accept any lessons in our school. We see that there’s something we must fulfill, as like standard of value in the national final examination. And certainly, every year, we must be able to reach a certain standard to enroll study at higher class. If we can’t reach it, we will be left out and we must repeat the academic period. These all are academical demand in cognitive field.

As a short, you must be a smart ones. You must give anything to fulfill this demand. Perhaps you must be a diligent, creative, good reader, hard worker finishing all of your tasks, and any other efforts. All of us has a different ways to reach the one destination. Beside academical demand, there is a social demand which obligate you to be a skillfull ones. When anyone ask you, in which class are you sitting now and you give an answer, automatically, he will consider that you have mastered a certain thing. For example, as a student in pesantren which have been there for about one year, everone will consider you as a good reader of Koran.

According to our growth, we also begin to find where is our interest, what is our talent, and what is our life’s goal. We begin to know them in this phase. And we will also start to make that goals and dreams come true. For example, we will have a routine training and look for a condusive community which support our goal. As a result, we begin to know what skill we have that it must be maintained and improved. So, beside in our class, we also train anything we like in other place.

So it is fair to say that adolescence phase is a phase where we study, try, and train anything considered as our concern or our intereset. We are demanded to be a multitalent and a versatile ones by the tittle we have, as a student who live in pesantren, for example. When we are involved in a discussion forum, we are demanded to get connection with the theme discussed. When anyone need our help, we are demanded to show our skill helping him. There is a common idea which consider that all of student have a more knowledge and more skill than another. And that is the demand we have.

Good Looking; Great Performance
In adolescence era, we have a will and ambition to perform ourselves in front of the public well and attractively. We need a consideration as a teenager and we want the show who we are. We are not longer a children which is dependent to another. We try to be our selves and entrust on our selves by performing our unique characteristic depend on our appetite. It is often happen an inimitation or modification of other’s performance which seen as a best performance. When we see that someone perform his best and it is suitable with the taste we have, it can be assured that there will be an imimtation process.

It is a logical consequence concerning with the biological phase namely puberty happen in this phase. We will think that we have a phisically charm that obligates us to improve it. We will spend many times in front of the mirror, giving a big attention to the clothes we wear and the accessoris we have, and starting indetify which is our best performance can be shown to other, especially to our heterosexual. We will do many efforts to be good looking, such as repairing our performance, going to salon, using cosmetic, tidying our performance, and any other things.

By your improving performance, people will consider you as a mature teenager who has a big attention to performance side. You will maintain performance you have or even improve it because that is your unique feature. You are known and famous with your unique performance. The choice is also started here. You will choose which performance you will have. You can choose to be a metallic man, to be a cool man, to be a tidy man, and any other. But, a social mileu ussually will give a bigger appreciaton to man which has tidy performance.

To be Proportional
This hope do appears from the conditions show that mostly, some teenager import performance side and forget their obligation as student in intelligence side. The minority is a teenager who is an academist and book hunter but he ignore the performance side. He don’t care about the performance and consider it as a thing can be ignored at all. They think that intelligence is everything so that anything else is not important. So it is easy to find a clever and smart man who is asocial, clumsy, an inflixible.

The majority is a student with the good performance, tidy clothes, bright face, and fragrant smell. They spend many times to have a good performances so that they often ignore the cognitive and intellectual side. They prefer to be in front of the mirror better than to be in library, for example. They will cancel a studyclub appointment if they must go to a salon. They will prefer buying cosmetic that spending money for book and academical need.

Ideally, a great performance comes from a smart thinking. And soon, smart thinking comes from a great performance. A smart ones will try to give anything best, in his thinking, in his characterism, and also in his performance. Depend on his good thinking, he think that it should be a proportional position between his brain and his face. He must be a smart and a handsome man. This also happen in another side, i.e someone with the good performance. It is fair to think that it will be a shame thing when there is handsome and good looking man with an empty brain. Someone who give the attention to the performance must want to be a perfect man. As a first step, maybe he will be repair the physical performance. But as a perfecsionist, he will try to get the other charming. It is uncomplete to be a handsome man with a bad thinking.

Life is choice. We have choosen one of the two charmings first. But in the next, we must try to posse the other charming. If we fell that we have been giving a big attention to the intelligence side, for example, we will start to have a great performance when we want to attract somenonelse’ attention. And soon, for us who import the performance side, busy to make over and show our phisycal charming, a certain moment will obligate us to concentrate anything ignored before, such as when the academical examination comes or we want to pass an academical test. At that time, we will stoop a couple bundleds of book and academical lesson.

Finally, the most important thing is a will to be proportional. We sholud be a smart and handsome man. They must be two things that accept a same attention to balance our inside and outside charming. This hope is not an impossible utopia. There are some examples of a man whose great intelligence and good performance. It is not a possible thing to be attendend, although it is not easy to be happened. Allah Knows Best

Selasa, 15 Desember 2009

Makalah DeprivasiQ

Berkenalan dengan Sunan Addarimi
Oleh Masyithah Mardhatillah (07530003)

1. Opening Opinion
Hasil dari usaha kodifikasi hadist Nabi yang sampai pada masa kita dewasa ini merupakan akses ilmu pengetahuan dan sumber ajaran Islam yang sangat berharga. Selain posisinya sebagai sumber inti ajaran Islam, ada banyak sisi dalam hadist yang menarik untuk diteliti dan ditelisik lebih dalam. Misalkan saja inklusifitas hadist yang tidak hanya berbicara mengenai hal-hal normatif namun juga menggambarkan setting sosial historis masa lalu, mata rantai periwayatan hadist yang –meski rumit—namun tetap menarik untuk dikaji, klasfikasi hadist berdasarkan beberapa aspek, dan lain-lain.

Hari ini, hadist-hadist yang sudah dikodifikasi tersebut sudah siap saji dalam beberapa perangkat yang bisa dengan mudah kita akses, baik yang berupa hard copy maupun berupa soft copy dalam multimedia. Membaca hadist kemudian seperti membaca sebuah ensiklopedi normatif yang memiliki nilai legalitas yang tinggi. Hadist semakin mudah diakses dengan kemajuan teknologi. Hal ini idealnya memunculkan sebuah harapan akan kelestarian pembumian hadist di tengah masyarakat muslim.

Dalam wujud kodifikasinya, ada beberapa tingkatan yang mengurutkan beberapa kitab hadist berdasarkan kualitasnya. Pengurutan ini merupakan suatu keniscayaan mengingat hadist tidak ditransmisikan secara mutawattir layaknya Al-Qur’an. Ada beberapa macam kualitas hadist yang memang mengandaikan adanya suatu klasifikasi dalam pengemasan dan pemuatan hadist-hadist. Kebutuhan tersebut telah lama dijawab ulama’ dengan menggagas beberapa urutan kitab hadist yang masuk dalam katagori kutubussittah, yakni Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasai, Sunan Abi Daud, dan Sunan Ibnu Majah.

Di satu sisi, adanya pengurutan tersebut memang memudahkan muslimin dalam kajian ilmu hadist, utamanya dalam ranah aplikatif. Mudahnya, muslimin bisa langsung mengamalkan hadist yang ada dalam kitab-kitab berkualitas tinggi tanpa harus susah-susah mencari tau tentang kualitas masing-masing hadist. Namun begitu, adanya pegurutan tersebut senyatanya memunculkan fenomena lain, yakni tidak tercovernya kitab-kitab hadist yang sebenarnya sayang jika tidak dikaji. Katakanlah misalnya kitab yang akan dibahas dalam dialog kali ini.

Barangkali tidak banyak orang yang mengetahui atau bahkan pernah mendengar nama kitab Sunan Addarimi. Kitab ini tidak memiliki popularitas seperti kitab-kitab lain, semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam urutannya, kitab ini diposisikan sebagai kitab dengan peringkat kesembilan setelah kitab Ahmad bin Hanbal dan kitab Imam Malik. Sebab ini pulalah, barangkali tidak banyak muslimin yang mengetahui keberadaan kitab ini. Namun, tidak adakah pesona atau hal menarik yang merupakan ciri khas Sunan Addarimi dan tidak ditemukan dalam kitab lain? Benarkah kemudian kitab ini memang ansich tidak memiliki nilai lebih karena tidak termasuk dalam kutubussittah?

2. Siapakah Ad-Darimi?
Nama asli penyusun kitab hadist Sunan Addarimi adalah Abdurrahman ibnu Abdirrahman ibnu Al Fadhl ibnu Bahram Abdis Samad Addarimi. Ia memiliki nama kunyah Abu Muhammad dan namanya dinisbatkan pada Tamimy, qabilah yang menaunginya, Samarkandi, nama daerah tempat tinggalnya, dan Addarimi dari Darim Ibn Malik dari Bani Tamim.

Ad Darimi lahir pada 181 H . Hal ini berarti ia hidup semasa dengan Bukhari dan karenanya riwayat mengatakan bahwa selain Bukhari, beberapa imam hadist berguru padanya (khususnya Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi). Ia termasuk imam hadist thabaqah tertinggi. Barangkali karena semasa dengan Bukhari inilah, kitab Addarimi menjadi kurang populer, terutama jika dibandingkan dengan kitab Bukhari yang memuat hadist shahih sedang kumpulan hadistnya tidak semuanya terdiri dari hadist shahih.

Kendati begitu, hal demikian tidak lantas menunjukkan bahwa Addarimi tidak memiliki kredibilitas di bidang hafalan maupun ketekunan dalam ‘memburu’ hadist. Hal ini misalnya dapat dilihat dari track record dan trip record Addarimi. Beberapa ulama’ yang juga kredibel banyak yang memuji Addarimi dengan mengatakan bahwa ia adalah sosok yang pantas menjadi rujukan, memiliki daya hafalan yang spektakuler dan intelektualitas yang mumpuni, seorang abid yang konsisten, berkepribadian, wara’, pemerhati beberapa cabang ilmu, dan lain-lain

Ia pernah mengunjungi Khurasan, Irak, Baghdad, Kufah, Wasith, Basrah, Syam, Damasqus, Hims, dan Suwar demi kepentingan akademik, khususnya dalam bidang hadist. Setelah itu, barulah kemudian ia mengabdikan dan mengamalkan apa yang telah diperolehnya setelah kembali ke kampung halamannya di Samarkand. Sebab inilah Al-Dzahabi memberinya julukan tawafal (orang yang mengelilingi banyak negeri) kepadanya.

Addarimi menghembuskan nafas terakhirnya pada hari tarwiyah tahun 255 H setelah shalat Ashar pada usia 75 tahun. Semasa hidupnya, ia telah banyak melakukan usaha untuk mengabadikan namanya, di antaranya adalah menulis beberapa karya dalam bidang yang menjadi concern-nya, yakni kitab hadist sunan Addarimi, kitab tsulutsiyat, sebuah ensiklopedi, dan kitab tafsir. Sayangnya, karya lain milik Addarimi, selain kitab sunan-nya disinyalir tidak bisa diakses hingga saat ini karena sesuatu dan lain hal.

3. Berkenalan dengan Sunan Addarimi
Kitab kumpulan hadist yang populer dengan nama Sunan Addarimi ini berjudul asli As-Sunan Ad-Darimi Al-hadist al-musnad al-marfu’ wa al-mauquf wa al-maqthu’. Addarimi sendiri menamai kitabnya dengan alhadist al-musnad al marfu’ wa al mauquf wa al maqthu’. Melihat sedikitnya hadist yang termuat dalam kitab ini, dan secara khusus dalam masing-masing bab yang ada dalam kitab ini, ada pandangan yang mengatakan bahwa kitab ini tidak ubahnya ringkasan sunan.

Adapun latar belakang penyusunan kitab ini adalah menjamurnya bid’ah di tempat tinggal Al Darimi, yakni di Samarkand. Sunnah Nabi saat itu sudah tidak populer dan tergeser dengan keberadaan bid’ah yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat. Addarimi kemudian berinisiatif untuk menyusun kitab yang memuat kumpulan hadist agar hadist Nabi tidak ditinggalkan atau dikalahkan pamornya oleh bid’ah-bid’ah. Ia berkeinginan menyusun kitab kumpulan hadist yang diurutkan sesuai dengan bab fiqh seperti kitab-kitab ulama’ sebelumnya. Alternatif menulis kitab ini merupakan salah satu langkah Addarimi dalam memerangi bid’ah, selain juga dakwah dengan lisan. Belum ditemukan data-data yang menggambarkan bagaimana proses penulisan kitab ini.

Ada banyak kegelisahan akademik yang kami temukan ketika membenturkan sosok Addarimi sebagai seorang cendekiawan qualified dengan kumpulan hadistnya yang –bisa dibilang—memuat banyak hadist yang kualitasnya kurang baik. Idealnya, seorang cendekiawan yang juga memilki konsistensi dalam bidang agama juga akan melahirkan sebuah karya, dalam hal ini kumpulan hadist, yang berkualitas tinggi.

Dari sini, setidaknya ada beberapa hipotesis yang dimiliki penulis. Pertama, Addarimi hanya ingin mengangkat derajat hadist Nabi yang saat itu kalah pamor dengan bid’ah di daerahnya. Sehingga, beliau tidak begitu mempersoalkan kualitas hadist dan lebih mengutamakan ranah aplikatif, mengingat konsumen hadist didominasi oleh masyarakat yang awam dan atau tidak begitu mendalami hadist. Hipotesis kedua, adanya kesenjangan ini disebabkan oleh minimnya referensi yang didapatkan oleh Sunan Addarimi, jika memang beliau berkeinginan untuk mengumpulkan hadist-hadist yang shahih saja. Hal ini misalnya dapat dilihat dari posisinya sebagai ahli hadist dalam thabaqah awal.

Ada beberapa alasan mengapa kitab kumpulan hadist ini diberi nama sunan, bukan musnad atau shahih seperti nama-nama kitab kumpulan hadist lain, kendatipun Addarimi menamai kitab ini dengan musnad. Kitab ini tidak dikatakan sebagai kitab shahih, sebab tidak semua hadist yang termuat dalam hadist ini memiliki kualitas shahih. Sedangkan alasan mengapa kitab ini tidak dinamakan musnad adalah karena sistematika penulisan babnya yang menyesuaikan dengan bab-bab fiqh, sedangkan kriteria musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan sanad atau rawi. Kendati begitu, Adz-Dzahabi dan Ibnul Imad, dua sejarawan klasik lebih suka menyebut musnad terhadap manuskrip di Tendiyas, India. Penulis belum mengetahui secara pasti alasan penamaan tersebut. Akan tetapi, barangkali hal yang demikian disebabkan adanya persepsi yang berbeda dalam mendefinisikan musnad atau perubahan sistematika dari manuskrip yang bersangkutan. Selain itu, ada kelonggaran definisi yang disebutkan dalam software mausuah, yakni bahwa musnad adalah kumpulan hadist yang lengkap dengan sanadnya, tidak kemudian harus selalu berurutan sesuai sanad. Barangkali silang pendapat tersebut bisa dipertemukan dalam titik ini.
Sesuai dengan namanya, kitab ini, secara umum, memuat tiga macam hadist dengan kualitas yang berbeda. Hadist yang paling banyak termuat dalam kitab ini adalah hadist marfu’, yakni hadist yang mata rantai sanadnya sampai pada Rasulullah. Hadist marfu’ ini umumnya mendominasi bab-bab yang berkaitan dengan hukum. Dalam memberikan penjelasan sebuah hadist, Addarimi kerap menukil atsar sahabat, seperti atsar Ibnu Syihah dalam bab bersuci dan faraidl. Karena didominasi oleh hadist-hadist yang bernuansa fiqh, Addarimi juga mau tidak mau menegaskan keberpihakannya dalam fiqh, artinya dalam berbagai madzhab yang berbeda (Hal ini juga berkait erat dengan luasnya pengetahuan Addarimi dalam bidang fiqh). Selain itu, meski jarang, ia kerap kali menjelaskan alasan pemilihan diksi dan menjelaskan lafadz-lafadz yang gharib dan illat yang tersembunyi (Addarimi termasuk juga pemerhati masalah bahasa dan ahli dalam bidang illat dan ikhtilaf arruwat).

Hingga tahun 1997, ada lima cetakan sunan Addarimi, yakni:
1. Pada tahun 1293 H, pencetakan kitab ini dilakukan di Kanbower dengan tebal 467 halaman
2. Selanjutnya, Cairo kembali menerbitkan kitab ini pada tahun 1346 H dan mengemasnya dalam dua jilid kemudian diperbanyak oleh M. Ahmad Rahman.
3. Pada tahun 1404 H, dengan takhrij, tahqiq, ta’liq, Abdullah Hasyim Yamani Al-Madani di Faishal Abad berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan menghasilkan dua jilid kitab Sunan Addarimi. Pada tahun yang sama, di Cairo juga ada sebuah penerbitan yang menerbitkan kitab sunan ini, yakni percetakan Dar Ihya as-Sunnah ar-Rabiyyah dalam dua jilid.
4. Pada tahun 1405 H di Cairo, dilakukan tahqiq pada bagian ke tiga dalam disertasi doktoral setebal 1110 halaman oleh Abdul Qayyim Abdul Rabi Nabbiy al-Fakistani dengan dosen pembimbing M. Syaukani Khadr as-Sayyid.
5. Pada tahun 1412 H, Dr. Mushthafa Diib al-Bugha di Damaskus melakukan tahqiq, syarh, dan penulisan daftar isi kembali dari kitab ini.
Sistematika penulisan kitab ini tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab sunan lain yang diurutkan berdasarkan bab-bab fiqh. Bedanya, pendahuluan kitab ini memuat beberapa hal yang sedikit banyak berkaitan dengan hadist namun tidak dimiliki dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadist lain. Beberapa hal yang dimaksud adalah pemaparan mengenai kehidupan masyarakat Jahiliyah, sifat Nabi, diutusnya Nabi, peringatan untuk menjauhi bid’ah dalam hal agama, perbuatan, dan pemikiran, dan hal-hal lain yang tidak bisa dikatagorikan dalam satu tema besar sebab adanya berbagai macam pembahasan.
Kitab Sunan Addarimi ini terdiri dari 24 kitab. Masing-masing kitab tersebut terdiri dari beberapa bab, dan masing-masing bab memiliki 1 hingga 4 hadist. Nama kitab yang ada dalam sunan ini dicantumkan dalam tabel di bawah. Sedangkan nama-nama bab yang ada dalam sunan Addarimi tampak lebuh variatif, ada kalanya bab dikemas dalam bentuk khabar yang terdiri dari potongan lafadz hadist, semisal bab alwaladu lilfirasy. Jika tidak begitu, maka dikemas dalam bentuk istifham semisal bab ala ayyi suqyah yansharifu min alshalati , atau mengutip frase hadist yang termuat dalam bab tersebut. Alternatif lain adalah memberi bab dengan menyebutkan suatu pekerjaan dan menerangkan hukumnya maupun tidak menerangkan hukumnya. Hal yang demikian tentu tidak teralu sulit bagi Addarimi yang memiliki kemampuan di bidang fiqh. Ia juga memaksudkan penamaan ini agar pembaca merasa mudah mengakses hadist yang dibutuhkannya.
Berikut penulis sajikan urutan sistematika, jumlah hadist, dan nomor hadist dalam kitab sunan Addarimi
No Judul Kitab Jumlah Hadist Nomor Hadist
01 Muqaddimah 647 1 - 647
02 Al-Taharah 511 648 - 1158
03 Al Salat 404 1159 - 1562
04 Al Zakat 57 1563 – 1619
05 Al Saum 98 1620 – 1717
06 Al Manasik 145 1718 – 1862
07 Al Adahi 55 1863 – 1917
08 Al Sayd 16 1918 – 1933
09 Al At’imah 62 1934 – 1995
10 Al Asyribah 47 1996 – 2042
11 Al Ru’ya 27 2043 – 2069
12 Al Nikah 92 2070 – 2161
13 Al Talaq 32 2162 – 2193
14 Al Hudud 33 2194 – 2226
15 Al Nudzur wa Al Amin 18 2227 – 2244
16 Al Diyat 38 2245 – 2282
17 Al Jihad 45 2283 – 2327
18 Al Siyar 91 2328 – 2418
19 Al Buyu’ 96 2419 – 2514
20 Al Isti’zan 75 2515 – 2589
21 Ar Riqaq 136 2590 – 2725
22 Al Faraid 320 2726 – 3045
23 Al Wasaya 126 3046 – 3171
24 Fadail Al Qur’an 196 3172 – 3367

4. Komentar mengenai Sunan Addarimi
Meski tidak termasuk dalam kutubussittah, akan tetapi tidak bijak rasanya jika kita langsung meng-underestimate kitab kumpulan hadist ini. Apalagi, ada banyak pujian atau komentar baik yang dialamatkan pada kitab ini. Al-Ila’i,misalnya, mengatakan bahwa kitab ini seharusnya diletakkan pada urutan keenam dan menggantikan posisi Ibnu Majah dengan alasan sedikitnya rijal yang dhaief, sedikitnya hadist yang munkar dan syadz, sedikitnya rawi yang marjuh, keberadaan hadist matruk yang sangat sedikit, dan jarangnya ada rawi yang majhul dan mastur.

Selain dari alasan-alasan pujian yang dilontarkan Al-Ila’i, kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Sunan Addarimi di antaranya adalah sebagai berikut;

o Minimalisasi Repetisi Hadist
Minimnya pengulangan hadist yang tercantum dalam Sunan Addarimi merupakan konsekuensi logis dari sedikitnya hadist yang termuat dalam kitab ini. Sebisa mungkin, Addarimi tampak menghindari terjadinya pengulangan, kendati pada akhirnya pengulangan tersebut tetap terjadi. Hal ini wajar adanya mengingat kerap kali ada beberapa tema yang termuat dalam satu matan hadist. Jika pengulangan tersebut terjadi, khususnya dalam bab yang sama, maka biasanya Addarimi mencantumkan hadist lain yang merupakan mutabi’ (pada sanad) dan atau hadist yang memiliki ziyadah (pada matan). Akan tetapi jika pengulangan tersebut terjadi pada kitab yang berbeda, Addarimi biasanya tidak segan mengulang hadist dengan sanad dan matan yang persis sama.

o Tidak Memperbanyak Jalan dan Sanad
Point kedua ini senyatanya memiliki keterkaitan erat dengan point pertama. Berangkat dari keinginan untuk menciptakan kitab yang ringkas, Addarimi berinisiatif untuk tidak mengulang hadist yang sudah pernah disebutkan. Prinsip ini juga berlaku dengan tidak menyajikan hadist yang matannya sama (meski redaksinya sedikit berbeda karena ada tambahan dan pengurangan kalimat) dengan jalur sanad yang berbeda. Ciri khas ini agaknya cukup menjadi feature yang membedakan Sunan Addarimi dengan kitab-kitab lain. Dari upayanya ini, dapat difahami bahwa Addarimi cenderung menitikberatkan pada ranah aplikatif hadist dan tidak begitu menaruh perhatian besar pada aspek sanad.

Penulis belum secara jelas menemukan adanya komentar negatif mengenai Sunan ini. Akan tetapi jika melihat dari hadist yang termuat dalam kitab ini, maka kekurangan paling mencolok dari Sunan ini adalah masih ada –untuk tidak mengatakan banyak—hadist yang memiliki kualitas kurang baik, semisal maqthu’, kendatipun hadist-hadist dalam Sunan ini didominasi oleh hadist marfu’. Hal ini akan sangat riskan bagi pembaca awam yang berusaha mencari solusi permasalahan dalam bidang hadist. Jika kemudian ia berpedoman pada hadist yang marfu’, hal demikian tidak akan menjadi masalah yang berarti. Berbeda halnya dengan keadaan saat seorang pembaca berpedoman pada hadist yang maqthu’ , mursal, mu’allaq, dan atau mauquf.

5. (Bukan) Penutup
Adanya kontradiksi yang cukup ekstrim antara kredibilitas hafalan maupun sejarah pencarian hadist Addarimi dengan kitabnya yang kemudian kurang populer setidaknya mengindikasikan beberapa hal. Pertama, karena semasa dengan Bukhari yang sudah berhasil menyusun kitab shahih, maka Addarimi lebih memilih untuk bersikap merdeka dengan keinginan dan tujuannnya, begitu juga dengan karya hadistnya. Ia agaknya ingin berbeda dengan ulama’ hadist kebanyakan yang cenderung mementingkan masalah sanad. Ia memilih jalur lain, yakni mementingkan ranah aplikatif hadist-hadist yang ia cantumkan dalam kitab Sunannya. Kedua, ada perbedaan orientasi dan referensi antara penyusun kitab hadist awal (seperti Addarimi, Malik, dan Ahmadl) dengan penyusun belakangan (Shahib kutub assittah).

Terlepas dari beberapa hal tersebut, kehadiran Sunan Addarimi setidaknya cukup mengindikasikan bahwa di balik sebuah tatanan yang sudah mapan, ada beberapa elemen lain yang sebenarnya sayang jika dilewatkan dan diabaikan begitu saja.

Senin, 14 Desember 2009

Kelasku; Miniatur Dunia

Pagi menjelang siang..; MK ke-2. Tidak begitu lelah sebab energi masih belum diperas terlalu banyak. Barusan MK ke-1 masuk juga, tapi dak gitu ngoyo dan semuanya welldone. Ndak ada perdebatan-perdebatan sengit yang biasa mewarnai pagi itu. Uda bosen kayaknya temen-temenku adu argumen dak jelas dan kadang bahkan keseringan dak membangun alias hanya ingin membantai.

Sudah jam 09.30, tak ada tanda-tanda beliau datang. Sebagian besar teman kelas (termasuk aku) masih nongkrong di luar. Ngobrol-ngobrol, ada yang asyik dengan hpnya, ada yang ngerokok, ada juga yang hanya duduk..5menit dari jam setengah sepuluh, keadaan tetap tak berubah. Rasanya mustahil ne dosen absen, kalo terlambat sich sering, sebab dosen MK madzahib tafsir ini jam terbangnya cukup banyak. Namun salah seorang teman (Halim) kemudian ngasih tau kalo pak dosen nyuruh kami mulai dialog dan diskusi dulu…

Di kelasku, ada tradisi rebutan makalah. Ini hampir terjadi dalam semua MK. Jadi tiap pertemuan khan ada yang kebagian presentasi. Nah selain bikin makalah, tugas mereka adalah menggandakan makalah tersebut..Membaginya ke dosen dan ke teman-teman. Tapi, ya ndak semua akan dapet, jumlah mahasiswanya banyak dan jumlah budget untuk fotokopi sedikit. Sehingga, perebutan makalah itu menjadi suatu hal yang tidak bisa terhindarkan. Mau tidak mau suka tidak suka sich, soale makalah tu akan sangat dibutuhkan manakala UAS atau UTS akan datang. Juga agar bisa aktif di dalam kelas dan memiliki banyak pandangan saat akan bikin makalah sendiri, maka properti bernama makalah adalah jawabannya.

Dan untuk yang kesekian kalinya, terjadi konfrontasi kecil-kecilan pagi itu karena masalah makalah. Jadi ceritanya, aku ma izut dak tau kalo sahibul makalah pagi itu adalah orang yang nongkrong ma kami sejak tadi..;ACHWAN. Kami nongkrong bareng dia abis MK 1. Ngomong banyak hal hingga akhirnya aku harus meninggalkan buku yang ingin aku tulis karena kepincut ma hp barunya ahwan yang specialized untuk fb-an. Masih gratisan katanya. Sekalian aja aku belajar fb-an pake hp..Biar dak terlalu gaptek. Asyik juga ternyata. Aku malah keasyikan dan dak mau segera melepaskan barnag kecil itu. Biasane aku diidzinin bawa hp achwan ke koz, dimabitin, tapi saat aku memohon idzinnya untuk membawa hp imut smart itu, dia bilang, akan mati jika hidup semalem tanpa benda kecil hasil uang beasiswa itu..Hehe..

Aku baru tau kalo achwan dan ndut adalah sahibul makalah saat uda di kelas. Kontan aku keluar dan ikut berpartisipasi rebutan makalah. Ada aku, izut, dan seorang teman cowok. Aku lupa siapa. Yang jelas waktu itu, aku mam izut sama-sama uda dapet. Aku ambilin diri sendiri dan temen-temen laen, gitu juga dengan izut. Nach..dari itu masalah bermula. Jadi waktu itu, umi ndak turut serta dalam acara perebutan itu. Dia tetep duduk manis, dan menunggu adanya makalah dari aku maupun izut. Tapi sial, aku nyangkanya izut sudah ambilin umi, dan izutpun nyangka aku sudah ambilin umi. Jawabannya..; UMMI GA DAPET MAKALAH.
Umi heboh sambil marah-marah di depan kelas. Aku dak pernah ngeliat ekspresi umi yang segitunya. Aku panik dan masih saling menyalahkan dengan izut. Meski jika berhadapan dengan orang satu itu, aku akan jaga sikap sebab dia pun selalu jaga sikapnya terhadap siapapun. Jadi kalaupun aku dan izut silang pendapat, kami masih ketawa-ketiwi. Namun ngeliat umi sudah over anger, masing-masing kami berinisiatif untuk berkreasi. Umi tampak kesel banget waktu itu…nyalahin izut, tapi izut nyalahin aku, karena aku emang bilang akan ngasih sebuah makalah ke umi. Aku memberi nama makalah kertas buram itu dengan tulisan ‘TANDA CINTA BUAT UMMI’ dan berniat memberikannya pada ummi. Dak kusangka dan dak kuduga, ternyata izut melakukan hal yang sama, meski dia dak repot-repot sok romantis nulis-nulis kayak aku.

Umi malah tambah sensi, apalagi setelah tau bahwa ada dua makalah yang aku dan izut kirimkan. Dia salah tingkah, aku dan izut hanya berusaha meredam ketegangan yang sejak tadi menjalar. Cekcok lagi akhirnya, tu makalah dibalikin ke depan dan ke belakang. Akhirnya aku ma izut tegasin, satu makalah buat umi, dan satunya buat Oka. Selese. Calm down. Kami kemudian saling minta maaf lewat secarik kertas dari agendanya umi. Ah, betapa indahnya…Ya, meskikonsentrasiku yang terpecah karena saat itu aku lagi fb-an dan nulis note gitu. Sialnya lagi setelah aku berhasil konsentrasi, asdos datang. Dia adalah orang Arab asli yang sama sekali dak faham bahasa Indonesia. Jadi tanpa dosen kami, dia dak akan mudeng blas tentang apa yang kami diskusikan.

Aku masih curi-curi fb-an dan sesekali liat hpku saat dosenku belum datang. Karena jika dosen dateng, kami dak akan punya seidikit pun celah untuk maen-maen adan dak fokus ke arah diskusi. Terutama saat ne dosen ngasih materi di depan. Tapi dak lama kemudian beliau dateng..Aku sign out aja dan dak ingin cari risiko. Btw ada dua kejadian lucu saat aku masih nongkrong ma izut dan achwan di luar kelas. Yang pertama, mungkin dak perlu aku ceritain detail. Namun yang jelas, temanya dalah CELANAN BULU JINS. Kami over heboh menyaksikan pemandangan itu. Ngerasa lucu-lucu gimana gitu. Sedangkan yang digojlokin cuma senyum-senyum…Sulit diartikan apa artinya. Yang kedua, si HYATT yang mendapat panggilan baru setelah aku menjadi pelopornya datang ke kampus dengan penampilan yang baru..Rambutnya yang gondrong dan kaya’ rangga (rangan karena dicat merah) sudah dicepakin. Eh ya, ada lagi..Kami ketemu Pak Yusuf yang baru dari tanah suci nunaikan haji. Sayang aku dak bisa salaman dan bicara banyak. Masih sibuk dengan hp smartnya ahwan

Di kelas, MK Madzahib tafsir itu, para mahasiswa sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
• Aku: Males ikut diskusi karena dak pegang makalah. Berbagi konsentrasi dengan hp, buku, dan sedikit angkat suara. Dari tadi aku diem thok di kelas.
• Izut dan Chiko: Seperti biasa mereka konsentrasi dan mengikuti jalannya diskusi Cuma mungkin izut ndak begitu konsen, karena dia ga pegang makalah. Jadi dia cuma dengerin doang. Begitu juga garda depan, Aida, Umi, Alwi, Mumtaz, Halim, Imam, Dede, dll, sibuk baca makalah dan tampak konsentasi. Meski kadang sibuk sendiri dengan buku atau forum dalam forum. Sesekali ada yang angkat suara. Ya Halin, Alwi, Lukman.
• Mila di deretan ketiga tampak terpekur. Hari ini dia BT gitu dak tau kenapa. Lia kayaknya juga dak gitu banyak bicara, kayak Oka dan Luzfi.
• Mas semester tua yang cerdas namun lebay itu sibuk bisik-bisik di belakang barisan cewe. Dak tau apa, dak jelas, cuma berisik ajah. Dia uda mengawali dialog tadi, pertanyaannya bagus tapi setelah ditanggapi ma ahwan, anak kelas tampak dak ada yang ingin berkomentar panjang.
• Di bagian belakang, Lisun dan Iwan sibuk dengan laptop Hpnya Iwan yang 13 inch. Ridlo sibuk baca buku. Tashir cuma senyum-senyum dak jelas sambil sesekali bisik-bisik ma Abrori. Mada uda biasa sibuk ma bbnya.
• Ada banyak yang dak tertangkap kameraku pagi itu..Di bagian belakang, barisan cewe, ada Hyatt dkk (ada Humam dan Fasmi kayaknya). Dak tau ma sapa aja, tapi yang jelas ada salah satu mahasiswa yang sempet ditegur pak dose karena maen hp. Untung aku ndak kena. Ak sering liat hp padahal waktu itu. Ada zmznya Mada, ksatria, plus ada sona telepon dan sms.
• Dari bagian ada yang angkat suara juga. Mas Ubed dan Turnadi. Tapi koq aku ngliat, semangat temen2 udak lumayan kendor di akhir-akhir masa perkuliahan periode kedua ini.
• Yang laen aku kurang tau…Tapi kayaknya dak akan jauh2 beda dengan aktivitas yang aku sebutin sebelumnya..

Hh..pagi menjelang siang itu, aku merasa kelasku menjadi miniatur kecil dunia. Semua orang yang merupakan anggota sebuah komunitas barangkali memiliki satu tujuan yang sama, meski kadar dan cara mendapatkan tujuan itu pastilah berbeda. Semua kesibukan, semua aktivitas, semua pilihan, dan semua langkah, uda cukup nunjukin bahwa manusia memiliki prioritas idup masing-masing, yang barangkali dak akan ada yang sama persis. Jika kita sudah teguh dan mantap dengan tujuan kita, ya itu harus kita bawa mati dan perjuangan mati-matian tujuan itu..
Namun ada suatu tempat yang akan menjadi tujuan akhir semua perjalanan semua..; yakni senja yang akan menjemput laju matahari. (Kayak di al ashr itu). Ya pertanyaannya, apa aja yang kita miliki ketika senja itu sudah datang? Ada hal lebih baik yang uda berhasil kita selesekan saat senja telah tiba?
Itu uda epilognya. Aku sedikit mau nyinggung materi MK yang didiskusiin tadi. Temanya tentang tafsir feminis. Masuk tafsir tematik juga yang merupakan anak kandung (atau bahkan anak tiri?) dari budaya patriarkhi. Tematik dan di Indonesia kayaknya belum ada sebuah karya yang ansich merupakan tafsir feminis. Pak dosen sedkit nyinggung msalah gender, tentang gap antara kodrat dan konstruk budaya. Digereng ke wilayah penafsiran. Dari situ aku hanya berpikir sederhana, lelaki-wanita itu ya fleksibel doang. Kompelementif dan saling melengkapi. Ga pake kaku-kakuan. Jadi ya..sejarah panjang diskriminasi emang seharunya tidak dilanjutkan. Harus diakhiri emang!! Hehehe..
Yk, 15 Des 2009