Stabilisasi Harmoni Kehidupan Manusia dalam Hadist Rasulullah
Oleh Masyithah Mardhatillah (0753003)
A. Opening Opinion
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial meniscayakan adanya suatu interaksi dengan sesamanya. Interaksi ini terjadi secara natural sejak manusia dilahirkan. Interaksi yang pertama kali dialam adalah interaksi manusia dengan orang tua dan keluarganya. Ia mendapat kasih sayang dan dibesarkan dalam sebuah lingkungkan keluarga, sehingga komunitas yang pertama kali dimilikinya adalah komunitas bernama keluarga. Selanjutnya, seorang manusia akan masuk dalam dunia sekolah, pertemanan, kekolegaan, dan lain sebagainya yang mengharuskan ia terlibat dalam interaksi yang lebih luas lagi.
Dari sinilah, interaksi antarsesama manusia menjadi suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan. Seseorang akan membutuhkan orang lain dalam memenuhi keinginan dan tuntutan hidupnya. Namun demikian, sayangnya, sejarah cukup membuktikan bahwa interaksi antarmanusia merupakan suatu hubungan yang cukup rentan menimbulkan konflik dan pertentangan. Hal yang demikian pada dasarnya memang tidak dapat dihindari mengingat setiap manusia memiliki kecenderungan untuk memenangkan ego-nya atas orang lain, dalam posisi dan keadaan bagaimanapun.
Terkait dengan persoalan inilah, ajaran-ajaran agama banyak memberikan perhatian terhadap interaksi antarsesama manusia. Sebagai hal yang cukup rentan, tidak berlebihan kiranya jika agama berupaya ‘turun tangan’ dalam menawarkan formulasi-formulasi pola interaksi yang sehat demi mewujudkan iklim kehidupan yang harmonis dan damai.
Hadist, dalam hal ini, sebagai ‘firman Tuhan’ yang berdialektika dengan realitas empirik menjadi suatu sumber ajaran yang cukup membumi dan responsif terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Kendatipun tidak menafikan adanya unsur-unsur lokalistik Arab saat itu, hadist menawarkan sebuah elastisitas dan berupaya memfasilitasi adanya ketersinggungan antara wahyu normatif dengan realitas empirik.
Dialog kali ini akan mengupas beberapa hal dalam sebuah hadist yang bisa dikatagorikan dalam rumpun kajian interaksi antarsesama manusia. Ada beberapa warning yang disampaikan dalam hadist ini, yakni berupa pelarangan untuk melakukan beberapa hal yang dapat merusak hubungan antarsesama manusia. Semua larangan tersebut diorientasikan untuk menciptakan sebuah hubungan dan interaksi yang sehat dan sarat dengan nuansa persaudaraan. Terlebih bagi sesama muslim yang –notabene dalam hadist lain dikatakan sebagai saudara—hadist ini akan menarik untuk dikaji dan ditelisik lebih dalam. Sebab, intensitas pergaulan yang cukup sering dengan sesama muslim pada lumrahnya juga memperbesar kemungkinan terjadinya konflik.
B. Sanad dan Matan Hadist
Hadist yang menerangkan perbuatan tercela bisa dibilang memiliki jumlah yang cukup banyak sehingga tersebar dalam beberapa kitab hadist dengan kandungan yang sama maupun berbeda. Hal ini kemudian dapat difahami sebab asbabul wurud suatu hadist memang berbeda dengan asbabul wurud hadist yang lain. Ketika Rasulullah dihadapkan pada orang yang durhaka pada orangtua, misalnya, maka Rasulullah akan memberikan pemaparan secara eksplisit maupun implisit terhadap kewajiban menghormati orang tua.
Adapun hadist yang secara khusus membahas prasangka serta beberapa perbuatan follow-up yang akan dibahas kali ini merupakan hadist yang cukup populer, baik di kalangan ahli hadist maupun di kalangan masyarakat awam. Berikut sanad dan matan hadist yang dimaksud.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Artinya: Rasulullah SAW bersabda, berhati-hatilah terhadap prasangka, sebab ia merupakan perkataan yang sarat dengan dusta, janganlah mencari-cari kesalahan orang lain,, janganlah menelusuri masalah orang lain, jangan saling menghasud, terlalu mencintai sesuatu hal, saling membenci, dan saling bermusuhan. Melainkan jalinlah persaudaraan antarsesama mahluk Allah.
Hadist ini didapatkan dalam Shahih Muslim, dengan nomor hadist 4646. Selain hadist dengan matan yang persis sama dengan matan pada silabi Mata Kuliah ini, ada juga beberapa hadist yang memiliki kandungan sama, namun memiliki beberapa perbedaan jika membandingkan matannya dengan matan hadist pada Shahih Muslim ini. Perbedaan tersebut bisa berupa pengurangan item (mengingat dalam matan ini ada tujuh item perbuatan tercela), penambahan item (menambahkan sebuah perbuatan tercela yang tidak terdapat dalam matan hadist ini), maupun perbedaan dalam pengurutan.
C. Tafsir Mufradat
Addazn: Prasangka yang tidak beralasan
Tahassus: Mencari-cari aib dan kesalahan orang lain (aib dan aurat; sesuatu yang jika diketahui orang lain dapat memalukan sahibul aib)
Tajassus: Mengikuti berita yang berhubungan dengan prasangkanya, semisal mendengarkan dan terlibat dalam forum ghibah
Tahasud: Iri terhadap nikmat orang lain dan mengharap nikmat tersebut segera lepas dari pemiliknya
Tanafas: Ar raghbah fi asy-sya’i (terlalu mencintai suatu hal; ambisius)
Tabaghudh: Saling membenci antarsesama muslimin
Tadabar: Al mu’adah wa al muqatha’ah (bercerai berai dan memutus tali persaudaraan, bermusuhan satu sama lain)
D. Takhrij dan Tahqiq
Beberapa hadist yang dimaksud tersebar dalam Shahih Bukhari, Sunan Attirmidzi, Sunan Annasai, Sunan Ibni Majah, Sunan Ahmad bin Hanbal, dan Muwaththa’ Malik. Berikut penjelasan lebih detail mengenai hadist yang setema (dengan matan yang tidak persis sama, meski kandungannya berbeda)
Kitab/Bab Nomor Hadist Kitab/Bab Nomor Hadist
B/Annikah 4747 IM/At Tijarat 2163, 2165
B/Al Adab 5606 A/Baqi Musnd Mukatsr 7402,7536, 7753
T/An Nikah an Rasul 1053 Idem 7770,8138,8690
T/Al Birr wa assilah 1911 Idem 8746,8757,9387
N/An Nikah 3187 Idem 9620,9682,9698
N/Al Buyu’ 4420,4430,4431 Idem 9828,9861,9971
AD/Al Buyu’ 2971, 1976 Idem 10112,10337,10283
AD/Adab 4671, Idem 10377,10527,1189
IM/Nikah 1857 Idem 1412
Hadist ini merupakan hadist yang berkualitas syarif dan marfu’ (sanadnya sampai pada Rasullah). Sedangkan pengarang syarh Tirmidzi mengatakan bahwa hadist ini berkualitas hasan shahih dan Al Albani mengatakan bahwa kualitas hadist ini adalah shahih. Adapun indikator yang didapatkan penulis dan bisa menguatkan asumsi-asumsi ini adalah karena kualitas rawi yang rata-rata memiliki kualitas bagus, semisal tsiqqah, tsubut, tidak terlihat ada bandingannya, memiliki hujjah, imam ahli hadist, dll.
E. Sintesis Kreatif beberapa Telaah Eksploratif
Ada beberapa item perbuatan tercela yang disinggung dalam hadist ini. Beberapa perbuatan tersebut dikatakan sebagai perbuatan tercela karena pelakunya akan mendapatkan cela dari Allah maupun dari sesama manusia. Namun begitu, beberapa perbuatan yang disinggung dalam kitab ini adalah perbuatan yang sarat dengan nuansa hablun min al-nas, bukan hablun min Allah.
Item pertama yang disinggung dalam hadist ini adalah prasangka. Al-Qur’an juga memberikan warning yang cukup keras mengenai masalah prasangka ini, salah satunya dengan bahasa bahwa prasangka seseorang cenderung menggiringnya pada dosa. Kendati begitu, hal ihwal prasangka ini kemudian menjadi sesuatu yang sulit terhindarkan, sebab prasangka pada awalnya merupakan gerak hati, sedang hati adalah organ yang sangat sulit untuk dikontrol. Ketika melihat sebuah kejadian, maka secara otomatis hati manusia akan memberikan kesan atau penilaian mengenai apa yang dilihatnya.
Sebab itulah, dalam hadist yang lain, Rasulullah mengatakan bahwa prasangka yang dimiliki manusia memiliki dua macam, yakni prasangka yang mendatangkan dosa dan prasangka yang tidak mendatangkan dosa. Prasangka yang menimbulkan dosa adalah prasangka yang diverbalisasi, baik secara perkataan maupun perbuatan dalam realitas empirik. Misalnya saja ketika ada orang yang menyangka temannya melakukan pencurian, dan ia mengatakan sangkaannya tersebut pada orang lain atau melakukan hal-hal yang menyudutkan teman yang menjadi objek prasangka tersebut. Karena alasan ini pulalah maka prasangka –yang diberitahukan pada orang lain—dianggap sebagai perkataan yang mengandung banyak dusta (karena tidak beralasan dan tidak bisa dibuktikan).
Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa prasangka yang dimaksud dalam hadist ini adalah prasangka yang muncul tanpa adanya alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, prasangka yang dimaksud di sini adalah prasangka yang tidak beralasan dan ngawur. Hal ini secara tegas disampaikan oleh Al-Khithabi dan Al Qurthubi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari. Keduanya mengatakan bahwa sangkaan yang dimaksud dalam hadist ini adalah prasangka yang tidak logis dan tidak beralasan. Al Khithabi menambahkan bahwa prasangka yang tidak beralasan ini dapat membahayakan objek prasangka.
Item yang selanjutnya disinggung dalam hadist ini adalah tahassus dan tajassus. Penjelasan mengenai dua kata ini pada umumnya disandingkan, sebab kedua kalimat ini hanya memiliki perbedaan dalam huruf ha’ dan kha’.Ada beberapa perbedaan pendapat yang cukup pelik dalam memberikan penjelasan dua kalimat ini. Beberapa kitab syarh (Syarh Bukhari, Muslim) juga tidak memberikan paparan yang representatif di antara beberapa perbedaan ini. Akan tetapi secara umum beberapa tersebut mengindikasikan bahwa ada dua kubu, kubu yang menganggap kedua kalimat ini bermakna sama, meski salah satunya lebih umum dan yang lain lebih khusus, dan kubu yang mengatakan bahwa keduanya memiliki arti yang berbeda.
Saya sendiri cenderung tertarik pada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa tahassus berkait erat dengan lafadz al hawass yang berarti panca indera, sehingga artinya adalah mencari-cari kesalahan orang lai dengan bantuan panca indera, semisal menguping, mengintip, dan lain-lain. Ada juga pendapat dominan yang mengatakan bahwa arti dari kata ini adalah mendengarkan –dan atau ikut terlibat aktif—dalam percakapan sekelompok orang mengenai kejelakan orang lain. Jika dikaitkan dengan asal mula perilaku ini yakni prasangka, maka pendapat yang dominan ini menjadi logis. Misalnya saat kita mengandaikan ada seseorang yang sudah terlanjur berprasangka terhadap orang lain, maka seseorang tersebut akan mencari apapun yang bisa menguatkan dan membenarkan prasangkanya, semisal mencari info tentang orang yang menjadi objek prasangkanya.
Untuk memahami lafadz tajassus, barangkali akan lebih mudah jika kita mengingat kata jasus dalam Bahasa Arab yang berarti polisi atau petugas razia yang bertugas mengawasi tindak-tanduk masyarakat dan memberikan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Dalam konteks ini, bisa difahami bahwa tajassus adalah aktivitas mencari tau hal yang tersembunyi dalam diri orang lain. Karena objek yang dicaritau sifatnya tersembunyi, maka ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan antara tahassus dan tajassus adalah pada objek yang dicari, jika tahassus berusaha mengetahui hal-hal yang dapat diindera, sedangkan tajassus berusaha menemukan hal-hal yang sifatnya tidak kasat mata.
Empat item dari perkara yang disebutkan dalam hadist ini tersaji dalam wazan tafa’ul, yang salah satu artinya adalah adanya perbuatan yang aktif dan saling melawan dari kedua belah pihak, yakni tanafus, tahasud, tabaghudh, dan tadaburr. Ini mengindikasikan bahwa manusia kerap kali membalas keburukan yang dilakukan saudaranya dengan keburukan yang sepadan, jika bukan dengan keburukan yang lebih. Hal ini pada dasarnya kurang baik, sebab akan memperkeruh keadaan dan semakin menjauhkan dari proses islah. Meski—sependek pengamatan penulis—tidak secara eksplisit ada hadist yang mengatakan hal yang demikian, akan tetapi perilaku Rasulullah yang tidak melakukan perlawanan manakala dibuangi kotoran oleh kaum kafir Quraisy cukup menjadi bukti bahwa Islam mengajarkan pemeluknya agar selalu berhati-hati sebelum bertindak dan berupaya memilih sikap yang luwes, utamanya dalam suasana konfrontatif. Mengalah untuk menang, begitulah kira-kira solusi untuk mengatasi rentannya respon yang buruk terhadap perbuatan yang tidak baik.
Selanjutnya, hadist ini menyebutkan pelarangan terhadap sikap mencintai sesuatu terlebihan dengan istilah tanaffus. Mencintai sesuatu segala berlebihan ini akan membentuk pribadi yang ambisius buta dan cenderung memunculkan implus untuk memiliki apa yang dicintainya dengan cara apapun. Hal ini barangkali erat kaitannya dengan penyebutan larangan untuk tidak saling iri, sebab sikap iri yang tidak pada tempatnya akan membuat seseorang menempuh jalan apapun untuk menghilangkan nikmat yang dimiliki saudaranya, khususnya jika nikmat yang ingin dihilangkannya tersebut merupakan sesuatu yang diinginkan dan sangat didambakannya.
Indikasi yang mengarah kepada hal-hal duniawi (baca:hedonisme) dalam hadist ini barangkali bisa dilihat dari bab-bab yang memuat hadist ini. Salah satu bab yang memuat hadist ini adalah bab perdagangan (bay’ dan tijarah). Hal ini menjadi suatu indikasi bahwa yang dimaksud something wanted dalam hadist ini cenderung merupakan sesuatu yang sifatnya materi.
Tahasud atau saling iri adalah suatu sikap yang tidak senang melihat orang lain mendapat suatu nikmat. Bisa jadi, nikmat yang didapatkan orang lain tersebut adalah suatu hal yang sudah lama diimpikannya. Karena ia sudah terlalu mania dan ambisius mendapatkan sesuatu namun ternyata ada orang lain yang mendahuluinya, maka sikap iri ini akan mendatangkan tindakan-tindakan yang lebih berbahaya. Misalnya saja dengan berusaha menghilangkan nikmat yang didapatkan orang lain dan atau berupaya mengalihkan nikmat tersebut pada dirinya. Tahasud yang dimaksud di sini adalah iri hati yang tidak baik, yakni iri hati yang destruktif, tidak konstruktif. Iri hati yang destruktif akan mendorong seseorang yang merasakannya melakukan hal-hal yang negatif.
Tabaghudh berarti saling membenci. Dalam Fathul Bari-nya, Al Asqalani mengatakan bahwa maksud dari ungkapan ini adalah tidak menuruti sebab atau dorongan kebencian. Hal ini bisa difahami bahwa kebencian senyatnya merupakan hal yang sangat manusiawi dan tidak bisa dihindarkan. Ketika melihat suatu kejadian atau tingkah laku orang lain yang tidak menyenangkan, misalnya, maka otomatis kita akan merasakan kebencian. Kebencian yang demikian harus dikelola dengan baik, semisal tidak ditampakkan, berusaha diredam, diingkari dalam hati, dan membenci perbuatan yang tidak baik tersebut, bukan pelakunya.
Dalam hubungannya dengan larangan sebelumnya, yakni tahasud, maka dapat difahami dari sini bahwa jika iri hati yang tidak tepat dan kemudian disalurkan dengan cara yang juga keliru akan menimbulkan kebencian satu sama lain. Orang yang merasakan iri hati akan merasakan kebencian terhadap saudaranya yang mendapat nikmat, sedangkan orang yang mendapatkan nikmat akan merasa terganggu dengan ulah seseorang yang berusaha menghilangkan nikmat yang telah diraihnya. Hal yang demikian menjadi embrio lahirnya kebencian dari kedua belah pihak. Dalam syarh Shahih Bukhari, dinukil sebuah pendapat yang mengatakan bahwa iri hati dan benci merupakan dua hal yang timbul dari prasangka.
Tadabar merupakan item larangan terakhir yang disebutkan dalam hadist ini. Bisa jadi penyebutan larangan ini pada bagian terakhir menunjukkan bahwa puncak atau ending dari prasangka dan beberapa perbuatan follow up dari prasangka adalah terjadinya sebuah perpecahan dan atau permusuhan dalam tubuh muslimin. Permusuhan ini, dalam pendapat para ulama’ didefinsikan dengan sikap berpaling dari saudaranya, berdebat dan tidak saling menolong. Ibnu Abdil Barr menegaskan bahwa kebencian yang tidak diredam pada akhirnya akan menimbulkan permusuhan. Sebab sebagaimana yang lumrah terjadi, orang yang membenci saudaranya bisa dipastikan akan menganggapnya sebagai musuh. Beberapa larangan yang senyatanya adalah langkah antisipatif dan preventif ini merupakan cara yang diberikan Rasulllah demi mewujudkan stabilitas harmoni manusia (dibahasakan dengan kalimat persaudaraan antarsesama muslim).
F. Kontekstualisasi
Kerap terdengar sebuah ungkapan bahwa kita haruslah selalu bersikap curiga dan memiliki pikiran negatif terhadap orang lain, utamanya orang yang baru dikenal. Hal ini tidak sepenuhnya salah, meski tidak selalu dapat dibenarkan. Maraknya kriminalitas, khususnya penipuan barangkali bisa membenarkan ungkapan ini, akan tetapi, kata tersebut agaknya akan lebih representatif jika diganti dengan kata waspada. Sebab curiga dan waspada memiliki arti yang cukup berbeda.
Dalam hidup keseharian, prasangka ini cukup sulit dihindari, sebab ia merupakan gerak hati. Misalnya saat kita melihat sebuah kejadian yang umumnya mengindikasikan pada hal negatif, maka saat itu pulala berkelebat sebuah prasangka dalam benak kita. Kalaupun ukuran indikasi tersebut berbeda, akan tetapi manusia pada umumnya memiliki naluri untuk mencermati apapun yang dilihatnya kemudian memberikan penilaian, yang salah satunya bisa berwujud prasangka. Barangkali karena sebab inilah, Nabi Muhammad tidak kemudian melarang prasangka secara eksplisit dalam matan hadist, akan tetapi memilih diksi berhati-hatilah. Dalam hemat penulis, hal yang demikian cukup menunjukkan bahwa prasangka merupakan suatu hal yang sulit dihindari, sehingga kedatangannya tidak bisa dihindari. Masalahnya kemudian adalah bagaimana memperlakukan prasangka yang telah tumbuh di dalam hati. Jika prasangka tersebut diverbalisasi dengan ucapan dan atau perbuatan, maka hal yang demikian kemudian bisa mengakibatkan beberapa hal yang tidak diinginkan.
Dalam praktiknya, prasangka akan lebih sering terjadi pada hal-hal yang dianggap berkaitan dengan seseorang yang berprasangka, misalnya saat seseorang mencium gelagat yang aneh pada rekan bisnisnya, maka ia akan secara otomatis memiliki prasangka, sebab apa yang akan dilakukan rekan kerjanya dapat berpengaruh terhadap stabilitas ekonominya. Berbeda halnya dengan orang yang memiliki prasangka terhadap kejadian yang secara kasat mata tidak berhubungan dengan seseorang tersebut, maka ia tidak akan terlalu ambil pusing dengan prasangka yang telah timbul di hatinya.
Secara natural, prasangka memang merupakan suatu hal yang lahir karena adanya indikasi yang mengarah pada kebenaran sesuatu yang disangkakan. Sebab itulah lembaga peradilan pada teorinya selalu menggunakan asas praduga tak bersalah terhadap tersangka sebelum ada bukti atau saksi yang memberatkan. Hal ini juga dipaparkan secara implisit dalam hadist ini dan dijelaskan secara eksplisit dalam hadist lain, bahwa prasangka yang didasarkan pada adanya bukti dan saksi yang menguatkan senyatanya sah-sah saja dengan beberapa ketentuan. Meskipun, adanya saksi dan bukti tidak kemudian menjamin kebenaran sesuatu yang diprasangkakan.
Salah satu alasan mengapa Al-Qur’an maupun hadist memberikan warning yang cukup serius dalam persoalan prasangka ini barangkali adalah karena prasangka ini bisa memunculkan perbuatan-perbuatan lain yang tidak kalah mengancam stabilitas harmoni kehidupan. Salah satu perbuatan tersebut adalah tahassus dan tajassus yang berarti mencari-cari berita maupun melakukan observasi langsung dan atau tidak langsung untuk membuktikan kebenaran suatu hal yang diprasangkakan. Prasangka yang telah ada cenderung menjadi stimulus yang menggerakkan seseorang untuk menyelidiki beberapa hal yang terkait dengan hal yang diprasangkakan.
Adanya penyelidikan ini, dalam hemat saya sah-sah saja, jika masalah yang ada merupakan masalah yang berkait dengan kemaslahatan bersama. Misalnya saat ada dugaan motif cinta segitiga dalam kasus Antasari Azhar, Nasruddin Zulkarnain dan Rani Juliani, maka segala hal yang dianggap dapat memberikan kontribusi dalam penyelidikan masalah ini kemudian dilakukan, semisal mengupayakan adanya rekaman sadapan telpon, menyoroti tingkah laku dan aktivitas ketiganya dalam beberapa waktu tertentu, dan lain-lain. Berbeda misalnya jika hal yang diprasangkakan adalah masalah pribadi. Penyelidikan dan investigasi yang dilakukan dapat menimbulkan konflik antara subjek prasangka dengan objek prasangka karena subjek prasangka akan dianggap terlalu ikut campur.
Hal ini, misalnya dapat kita amati dari maraknya fenomena infotainment yang mengupas –bahkan terlalu dalam—kehidupan publik figur di negara kita, khususnya dalam dunia entertainment. Di balik sebuah konsekuensi sebagai publik figur yang setiap beritanya akan menjadi santapan segar media, kerap kali terjadi ketegangan-ketegangan konfrontatif yang tidak terhindarkan antara insan media dengan publik figur yan bersangkutan. Problem yang dilematis ini cukup menunjukkan bahwa dalam bentuk yang bagaimanapun, verbalisasi prasangka dapat cukup mengancam stabilitas harmoni kehidupan.
Larangan lain yang disinggung dalam hadist ini adalah tanafus. Penulis sendiri agaknya cenderung menggunakan kata ambisius buta untuk mengartikan kalimat ini. Sikap ini diandaikan sebagai sikap terlalu menginginkan sesuatu dengan kadar yang cukup tinggi. Karena itulah, ambisinya ini kemudian menjadi implus bagi seseorang untuk menempuh apapun jalan demi mencapai apa yang diinginkannya. Keinginan dan harapan merupakan dua hal yang sifatnya manusiawi, sebab target kehidupan itu pulalah yang membangkitkan semangat manusia. Akan tetapi jika target tersebut dipancang terlalu kuat, maka hal ini tidak begitu saja dapat dianggap sebagai hal yang positif (Ibaratnya, jika terbang terlalu tinggi, maka ia akan merasakan sakit yang teramat sangat ketika terjatuh).
Ambisiusme buta ini akan semakin jelas jika disandingkan dengan konsep iri hati yang disinggung pada lanjutan matan hadist ini. Misalnya saja, ada dua orang yang sama-sama berambisi untuk lulus tes di sebuah perguruan tinggi. Keduanya belajar bersama dengan kadar dan intensitas yang tidak jauh berbeda, juga dengan ambisi yang sama melambung. Namun ketika pengumuman dilansir, salah satu di antara dua orang tersebut tidak lulus. Karena sudah terlalu dibuai oleh ambisinya sendiri, siswa yang tidak lulus tersebut akan merasa bahwa perjalanan hidupnya sudah berakhir di situ dan tidak ragu untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif, khususnya kepada dirinya sendiri dan atau temannya yang berhasil lulus.
Penyajian kata kerja ini dalam bab tafa’ul, dalam hemat penulis adalah karena manusia memiliki kecendrungan untuk menyenangi atau memburu barang yang belum ia miliki, dalam arti dimiliki orang lain. Karena sikap ini pulalah, manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya hingga sulit bersyukur sebab ia merasa bahwa nikmat yang dimilikinya tidaklah seberapa dengan nikmat yang dimiliki orang lain. Padahal lumrahnya, ketika nikmat orang lain yang diinginkannya berhasil dimilikinya, ia tidak merasakan daya tarik benda tersebut seperti saat menginginkannya.
Item selanjutnya, yakni tahasud berarti aktivitas saling iri hati. Iri hati sendiri bisa diartikan dengan SMOS (Susah Melihat Orang Senang yang kemudian juga melahirkan Senang Melihat Orang Susah) dan berusaha agar nikmat yang diterima orang tersebut bisa hilang, bahkan beralih padanya. Pada dasarnya, sifat iri demikian merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan yang sarat dengan nuansa kompetetitif, sehingga keberadaannya menjadi semacam hal yang tidak bisa dihindari. Masalahnya kemudian adalah bagaimana sikap iri tersebut dapat mengarahkan manusia pada hal-hal yang positif, semisal menjadikan prestasi orang lain sebagai motivasi untuk memicu semangat diri sendiri.
Sikap iri yang tidak tepat dan disalurkan dengan cara yang keliru pada akhirnya akan menimbulkan kebencian yang dalam hadist ini disajikan dengan kata tabaghudh yang bermakna saling membenci. Rasa kebencian ini sangat mungkin akan dirasakan dua belah pihak, baik pihak yang merasakan iri hati ataupun pihak yang merasa bahwa ada orang lain yang sangat kentara menginginkan apa yang dimilikinya. Dua orang ini kemudian sama-sama merasakan kebencian dengan motif yang berbeda, meski asal masalahnya sama.
Tadabar atau permusuhan bisa dikatakan menjadi final step atau ending dari beberapa proses yang sebelumnya telah dipaparkan. Permusuhan ini merupakan pola hubungan terburuk antarmanusia. Hal demikian cukup beralasan karena permusuhan juga akan menjadi pemicu timbulnya tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Adanya konflik kepentingan dalam interaksi antarmanusia merupakan sebuah keniscayaan, akan tetapi sebisa mungkin, konflik tersebut diselesaikan dengan teori solusi konflik yang proporsional dan representatif, demi menghindari timbulnya permusuhan.
G. Penutup dan Saran
Beberapa pemaparan sebelumnya cukup menunjukkan bahwa harmoni hubungan antarsesama manusia merupakan suatu hal yang cukup urgen, sebab harmonisasi tersebut aakan menimbulkan keadaan yang diidamkan oleh semua manusia. Secara naluri, tidak ada manusia yang betah dalam keadaan yang tidak harmonis. Sebab itulah, ada banyak hal antisipatif dalam mewujudkan harmoni tersebut, yang salah satunya disebutkan dalam hadist ini.
Penelitian mengenai hadist ini bisa dilanjutkan, misalnya dengan menyoroti banyaknya matan hadist yang kandungannya sama, namun item larangan yang termuat berbeda dalam kuantitas dan terjadi perbedaan dalam pengurutan. Hipotesisnya adalah bahwa hadist ini menempuh jalur riwayah bil ma’na. Jika benar demikian, maka kualitas hadist ini bisa dipertanyakan kembali. Allah Knows Best
0 comMentz:
Posting Komentar