Kepuasan Beragama;
(Pengikut) Al-Qiyadlah Al Islamiyah dalam Perspektif Konversi Agama
A. PENGANTAR
Manusia memiliki naluri yang senantiasa mengajaknya untuk mencari dan menemukan hal yang lebih baik dalam hidup. Dalam setiap hari bahkan setiap detik kehidupannya, ia berusaha memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang pas dan mencari alternatif lain yang lebih baik. Manusia dengan akal budinya kemudian menjadikan hidup sebagai sebuah proses pencarian yang tidak pernah kunjung usai. Ia selalu mencari kepuasan dalam melakukan segala hal, namun ternyata kepuasan tersebut semakin tidak ia dapatkan.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, agama, di sisi lain merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia. Pada titik tertentu, ia menjadi sebuah kebutuhan yang mustahil dilepaskan dari segala partikel diri manusia, material maupun non-material. Dalam sebagian besar perjalanannya—atau bahkan pada hakikatnya—, agama telah sangat banyak memberikan kesejukkan dan kehangatan bagi spiritual dan atau jiwa manusia yang lapar dan haus akan kesejahteraan, kemakmuran, dan ketenangan. Namun, baik disadari maupun tidak, keterbatasan kemampuan ‘pencernaan’ manusia kerap tidak mampu menggapai puncak keistimewaan tersebut. Dalam konteks ini, manusia juga lazim mengeluh dan bahkan kecewa akan kondisi ‘psiko-Ilahiyah-nya, sehingga merasa terpanggil untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal keagamaannya. Dalam konteks ini, manusia juga kerap kali melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal keagamaannya. Contoh yang paling kongkrit adalah perbaikan kuantitas dan kualitas ibadah, perbaikan sikap dalam bergaul dengan orang lain, dan sebagainya. Perbaikan-perbaikan yang demikian senyatanya merupakan hal yang sangat manusiawi, sebab hati manusia pada dasarnya selalu mengarah kepada kebaikan.
Jika demikian, perbaikan-perbaikan yang terjadi pada manusia, khususnya dalam aspek agama berkait erat dengan kondisi hati atau jiwa seseorang. Jiwa merupakan muara segala monolog sunyi yang kemudian memberikan pesan kepada anggota tubuh. Di sinilah peran psikologi dalam menganalisis kondisi kejiwaan seorang agama. Namun sayangnya, tidak ada metode yang membidik sasaran pada hal yang abstrak, dalam konteks ini adalah hati dan kondisi jiwa manusia, Sebab itulah dalam psikologipun, objek penelitian yang begitu diperhatikan adalah tingkah laku seseorang, sebab hal yang demikian –sedikit banyak—mencerminkan bagaimana kondisi jiwanya.
Perbaikan-perbaikan semacam ini lebih dikenal dengan istilah konversi dalam psikologi. Meskipun ada berbagai definisi yang memberikan pembatasan-pembatasan tertentu, akan tetapi, sebagai wacana awal dalam tulisan ini, barangkali tidak berlebihan jika kami mengartikan konversi beragama dengan sebuah perbaikan kegamaan seseorang yang dilalui setelah menjalani proses-proses tertentu.
Berbagai macam wujud konversi beragama banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik yang terjadi pada diri kita sendiri dalam taraf yang ringan maupun yang terjadi pada orang lain dengan taraf yang berbeda. Salah satu wujud konversi yang kerap kita lihat adalah terjadinya perpindahan agama dan atau aliran pemeluk agama, semisal fenomena sebagian muslimin yang masuk pada komunitas Al-Qiyadlah al-Islamiyah. Untuk itulah kami memulai penelitian ini dengan hipotesis adanya unsur konversi agama pada pengikut ajarah Al-Qiyadlah al-Islamiyah.
B. KONVERSI AGAMA; DEFINISI DAN TAHAPANNYA
Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah pendirian terkait ajaran agama atau bisa juga berarti masuk agama. Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. Menurut William James konversi berarti pertobatan dari merasa diri benar sendiri dan egois akhirnya menemukan kebahagiaan karena merasa dekat dengan Tuhan dan muncul pula perasaan peduli kepada orang lain. Inti konversi dari perspektif ini adalah "bangkitnya gairah" dan "penuh minat" terhadap agama yang baru dipeluknya itu. Menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat yang dimaksud dengan Konversi Agama adalah terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula. Di dalam mengalami konversi agama, prosesnya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan pertumbuhan jiwa yang dilaluinya serta pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil, di tambah lagi dengan suasana lingkungan dia hidup dan pengalaman terakhir yang menjadi puncak perubahan keyakinan itu.
Beberapa definisi yang digagas oleh para psikolog terhadap frase ini bisa dikatakan sama, meski dengan redaksi dan aksentuasi yang beragam. Definisi tersebut paling tidak menggambarkan bahwa konversi dalam pengertian ini merupakan perbaikan yang cukup signifikan, bahkan Zakiah Darajat menggunakan bahasa yang cukup ekstrim dalam hal ini, yakni dengan bahasa ‘berlawanan arah’. Clark juga menegaskan hal ini meski dengan bahasa ‘perubahan arah yang cukup berarti’. Dua sampel definisi ini bisa memfokuskan kajian kita pada kejadian-kejadian yang cukup insidental dalam keberagamaan seseorang.
Teori konversi agama (religious conversion) yang muncul pada era tahun 80-an hingga akhir abad 20 M- ini dapat diartikan dengan peristiwa perpindahan agama ataupun masuk agama. Secara etimologi, konversi berasal dari kata latin conversio yang berarti taubat, pindah, dan atau berubah (agama). Dalam Bahasa Inggris, conversion mengandung pengertian berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertaubat, berubah agama, berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran agama yang lama atau masuk ke dalam ajaran agama yang baru yang tentunya lebih baik, lebih menentramkan dan lebih menenangkan dari ajaran agama yang lama (menurut subyek konversi).
Berikut beberapa pandangan psikolog tentang arti konversi:
a. Heirich (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan masuk atau berpindah kepada suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
b. James (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or sudden, by which a self hit herro devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities. Artinya: “Berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kurang bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama”.
d. Menurut Thouless (1992), konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba.
Dalam perspektif skop wilayah perpindahan, konversi dikatakan memiliki dua tipe; yakni konversi internal dan konversi eksternal. Konversi internal berarti sebuah konversi yang masih terjadi dalam satu rumpun agama besar, seperti pindah madzhab atau aliran, katakanlah dalam hal ini Al-Qiyadlah Al-Islamiyah. Sedangkan konversi eksternal adalah adanya perubahan antar rumpun agama. Dengan demikian bisa difahami bahwa konversi internal merupakan konversi dengan perubahan yang taraf signifikansinya masih lebih kecil dibanding konversi eksternal. Selain itu, masing-masing tipe tersebut memiliki beberapa tingkatan dengan taraf yang berbeda.
Apa yang disampaikan Moqsith tersebut senada dengan uraian Abdalla. Lebih lanjut Abdalla menjelaskan bahwa konversi internal terjadi dalam satu agama, dalam artian pola pikir dan pandangan seseorang berubah, ada yang dihilangkan dan tidak menutup kemungkinan banyak yang ditambahkan (ibadah), tetapi konsep ketuhanan tetap sama. Sedangkan konversi eksternal berarti berpindah keyakinan kepada konsep yang benar-benar berbeda dengan konsep keyakinan sebelumnya. Jika melihat dari jenis konversi yang dikemukakan oleh Moqsith dan Abdalla maka pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah termasuk dalam konversi internal.
Konversi agama, kendatipun merupakan suatu hal yang manusiawi dan wajar, akan tetapi memiliki latar belakang dan tahapan-tahapan proses yang dialami oleh subjek konversi agama. Kendatipun, mengutip penjelasan James, tidak ada yang bisa menjelaskan semua hal dalam konversi agama secara detail, sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat abstrak., akan tetapi para psikolog telah merumuskan ciri atau gejala yang dialami subjek konversi, sebagaimana dikemukakan Ramayulis (2002) berikut:
o Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya (perubahan pandangan ini bisa terjadi sendirinya dan berasal dari kegelisahan pribadi ataupun muncul setelah menerima doktrinisasi)
o Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. (Secara adat, seseorang yang kondisi jiwanya labil cenderung mudah menerima doktrin, terlebih jika doktrin tersebut memberikan solusi terhadap kegelisahan yang dideranya)
o Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
o Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan, perubahan tersebut disebabkan faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Adanya beberapa tahapan dalam konversi merupakan suatu keniscayaan, mengingat konversi adalah aktivitas perubahan arah yang sangat besar. Hal ini juga berlaku pada konversi yang terjadi secara spontanitas, kendatipun proses atau tahapan konversi tersebut tidak se-kasatmata seperti proses yang terjadi pada konversi yang bertahap. Seperti yang diungkapkan oleh Zakiah Darajat, subjek konversi mengalami beberapa fase yang kemudian mengantarkannya pada konversi. Beberapa tahap tersebut senyatanya tidak kemudian selalu dialami oleh subjek konversi. Secara umum, awalnya subjek akan mengalami kegelisahan, mencari hal yang bisa meredakan gelisahnya, memantapkan niat konversinya, kemudian melakukan konversi.
William James menambahkan bahwa konversi merupakan akibat atau tahapan dari proses pengeraman di otak. Dalam arti, subjek konversi mengalami kegelisahan menumpuk yang sudah lama dipendamnya. Perasaan-perasaan yang terpendam tersebut biasanya berwujud ketidakpuasan terhadap fungsi agama yang dianggap kurang membumi dan kurang bisa mengakomodir persoalan-persoalan serta kebutuhan pemeluknya. Adakalanya, kegelisahan tersebut berhasil diatasi dan diredam, namun tidak jarang, kegelisahan tersebut justru menjadi dorongan untuk melakukan hal yang besar. Dorongan tersebut bisa muncul dari dalam diri subjek (subjek secara aktif mencari solusi dari kegelisahannya) ataupun muncul karena ada pengaruh dari luar.
Dilihat dari awal mula proses konversi ini, James mengatakan ada dua macam konversi, yakni konversi melalui kemauan dan konversi melalui kepasrahan. Konversi yang pertama barangkali lebih representatif terhadap contoh subjek yang secara aktif mencari solusi dari kegelisahannya. Subjek konversi memang sengaja melakukan upaya untuk mencari pencerahan-pencerahan baru. Ia merasa tidak ‘betah’ pada ‘tempat’nya yang semula dan berusaha pindah pada’ tempat’ yang lebih memberinya kepuasan. Sedangkan tipe konversi yang kedua lebih berarti kejadian-kejadian spontanitas yang dialami subjek konversi. Ia menerima pesan dari alam bawah sadarnya yang kemudian menjadi awal konversinya. Pesan bawah sadar ini pada dasarnya dan pada lazimnya tidak akan muncul seketika tanpa adanya kegelisahan-kegelisahan yang sebelumnya dialami subjek.
Para ahli agama menyatakan bahwa faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Sementara para sosiolog mengatakan bahwa konversi agama terjadi karena adanya pengaruh sosial baik yang bersifat persuasif maupun koersif. Adapun para psikolog menyatakan faktor-faktor psikologis-lah yang mempengaruhi terjadinya konversi tersebut. Konversi agama dibaca sebagai bentuk pembebasan diri dari tekanan batin yang timbul dari dalam diri (intern) maupun dari lingkungan (ekstern). Faktor intern tersebut mencakup kepribadian dan hereditas (pembawaan). Sedangkan faktor ekstern antara lain mencakup faktor keluarga, lingkungan tempat tinggal, perubahan status, atau bisa jadi karena faktor kemiskinan. Sementara itu para ahli pendidikan berpandangan bahwa konversi agama terjadi karena pengaruh kondisi pendidikan.
Tampaklah dari uraian di atas bahwa masing-masing pendapat muncul selaras dengan disiplin keilmuan yang ditekuni oleh masing-masing ahli. Tetapi secara umum, konversi agama mengandung dua unsur sebagaimana dikemukakan oleh M.T.L. Penido, yaitu: (1) unsur dari dalam diri (endogenous origin), yakni lahirnya kesadaran diri untuk berubah karena didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan personal; dan (2) unsur dari luar (exogenous origin), yaitu perubahan karena faktor luar diri mampu menguasai kesadaran seseorang atau suatu kelompok untuk berubah.
C. AL-QIYADLAH AL ISLAMIYAH; TAMPARAN KERAS TERHADAP AGAMA FORMAL
Al Qiyadah Al-Islamiyah adalah komunitas aliran keagamaan yang dipimpin oleh Abdussalam alias Ahmad Mushaddeq sejak 23 Juli 2006. Mushaddeq dikabarkan mendapatkan wahyu dari bertapa selama 40 hari 40 malam di gunung Bunder, daerah Bogor. Aliran ini mengajarkan tidak percaya pada Isra’ Mi’raj Nabi, tidak mengakui wajibnya shalat 5 waktu, serta mengakui bahwa Ahmad Mushaddeq adalah seorang Nabi setelah Nabi Muhammad. Ahmad Mushaddeq beranggapan bahwa ajaran yang ia terapkan terhadap alirannya adalah ajaran kebenaran. Ia beranggapan bahwa agama Islam bukanlah agama penyempurna dan Muhammad bukanlah Rasul penutup. Ia juga mengatakan bahwa ajaran yang ia bawa adalah penyempurna dari ajaran agama Islam dan ia merupakan pewaris rasul setelah nabi Muhammad.
Selain tidak percaya terhadap Isra’ Mi’raj dan tidak mengakui wajibnya shalat 5 waktu serta mengakui Ahmad Mushaddeq sebagai Rasul, aliran ini juga mengajarkan syahadat baru yaitu “Asyhadu alla Ilaha illa Allah wa asyhadu anna Al Masih Al Mau’ud Rasul Allah”, di mana umat yang tidak beriman kepada al Masih Al Mau’ud berarti kafir dan bukan muslim, aliran ini juga tidak mewajibkan puasa dan haji alasan mereka karena pada abad ini masih dianggap tahap perkembangan Islam awal setelah runtuhnya khilafah Islamiyah akibat serangan pasukan Hulaghu Khan, di samping itu kitab suci yang digunakan adalah Al Qur’an tapi meninggalkan hadits dan menafsirkannya sendiri, aliran ini juga mengenal penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang kepada Al Masih Al Mau’ud. Dengan demikian, dapat difahami bahwa konsep ketuhanan dalam Al-Qiyadlah al-Islamiyah tidaklah berbeda dengan konsep ketuhanan Islam, hanya saja syariatnya yang berbeda. Secara apologis, penulis beranggapan bahwa perbedaan syariat ini disebabkan adanya perbedaan dalam penafsiran Al-Qur’an.
Selama eksistensinya, aliran ini telah menerbitkan ajaran atau paham Al Qiyadah Al Islamiyah pada tanggal 10 Februari 2007 dengan judul “Ruhul Qudus Yang Turun Kepada Al Masih Al Mau’ud” yang menurut keyakinan para penganut paham ini adalah firman Allah yang diturunkan kepada RasulNya dalam hal ini adalah Al Masih Al Mau’ud. Buku tersebut terdiri dari 12 bab, masing-masing bab ini terbagi dalam ayat-ayat yang diyakini sebagai wahyu yang diterimanya di Gunung Bunder (konon ada di daerah Bogor).
Mengenai sasaran perekrutan aliran ini, sebagaimana yang diungkapkan Ustad Baabduh, kebanyakan terdiri dari anak-anak muda yang awam dan minim pengetahuannya tentang Islam. Perekrutannya dilakukan dengan pendekatan personal, tidak melalui pengajian terbuka atau tabligh akbar. Berawal dari kedekatan, semisal teman atau kekerabatan, seorang anggota biasanya mengajak orang terdekatnya untuk ikut mengaji di suatu tempat. Lalu di sana diajarkan konsep Al Qiyadah, sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Hal ini misalnya terjadi pada seorang responden yang kami wawancarai. Dalam wawancara santai tersebut, dia mengatakan bahwa proses awal dia terlibat dalam ajaran ini adalah saat dia mendapat ajakan untuk ‘berkenalan’ dengan aliran baru. Ia merasa tidak enak untuk menolak ajakan teman baiknya tersebut dan akhirnya mengiyakan. Ia berpikir tidak ada salahnya menambah pengetahuan tentang aliran-aliran baru dalam agama. Selang beberapa hari setelah kejadian tersebut, handphonenya mulai ramai didatangi berduyun-duyun sms yang memberikan doktrin Al-Qiyadlah.
Responden kami tersebut mengatakan bahwa sebelumnya ia tidak mengalami kegelisahan teologis yang cukup berarti. Kalaupun ia sempat didera kegelisahan, maka hal ini terjadi saat dia mendapat doktrin-doktrin propagandis Al-Qiyadlah. Sebelum mendapat doktrin Al-Qiyadlah ia kerap mendapatkan ketidapuasan beragama, ia mengaku berhasil meredam pikiran-pikiran tersebut. Akan tetapi, setelah ada tawaran untuk masuk ke dalam sebuah ajaran yang –kurang lebih—memenuhi hal-hal yang dianggapnya sebagai kebutuhan namun tidak diberikan oleh Islam, kegelisahan tersebut kemudian menjadi sangat besar.
Ia juga menambahkan bahwa ada dua hal yang menjadi daya tarik dia mengikuti aliran ini. Dua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak ia dapatkan dalam agama Islam. Pertama adalah rasionalitas. Dalam keterangannya, dia mengatakan bahwa Al-Qiyadlah Al-Islamiyah memberikan doktrin yang logis dan argumentatif sehingga mudah dibenarkan oleh sasaran doktrin ini, tidak terkecuali dirinya. Faktor yang kedua adalah solidaritas yang kental antar sesama pengikut aliran. Ia mengaku mendapatkan suasana persaudaraan yang penuh kehangatan dan keakraban. Para pengikut aliran ini, dalam pengakuannya, saling tolong menolong dalam beberapa hal, semisal ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
D. PENUTUP
Al-Qiyadlah Al Islamiyah hanyalah salah satu dia antara aliran yang belakangan muncul dalam kancah agama-agama di Indonesia. Kemunculan aliran-aliran yang demikian tidak bisa lantas dipandang dengan kacamata hitam putih secara konsep normatif. Dalam pandangan sebagian besar muslim, aliran yang demikian barangkali dianggap sebagai aliran yang sesat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi, hal lain yang sering kita lupakan adalah adanya hukum kausalitas antara peran agama besar, dalam hal ini Islam, dengan kemunculan aliran-aliran yang demikian. Paling tidak, banyaknya peminat aliran ini cukup mengetengahkan pertanyaan tentang standar atau pesona apa yang dimiliki oleh aliran-aliran baru ini sehingga banyak diminati oleh muslimin. Jawaban pertanyaan tersebut bisa menjadi awal introspeksi bagi agama-agama besar.
Senada dengan hal tersebut, pengikut aliran ini juga tidak bisa lantas kemudian di-judge sebagai pemeluk agama yang telah murtad atau mengkhianati agamanya. Kendatipun dalam dzahirnya demikian, akan tetapi dalam sisi psikologis, konversi mereka tidak sepenuhnya bersumber dari ‘kesalahan’ mereka. Ada hal-hal lain yang turut menjadi pemicu masuknya mereka dalam aliran-aliran atau sekte keagamaan.
Hipotesis kami mengenai adanya unsur-unsur konversi dalam penganut aliran Al-Qiyadlah terbukti. Hal ini dapat dillihat dari adanya sinkronisasi tahapan yang digagas psikolog dengan pengakuan para pengikut. Para pemerhati dalam masalah ini juga memberikan arah-arah sinkronisasi antara konsep-konsep konversi dengan fenomena pengikut aliran Al-Qiyadlah Al-Islamiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhsonef, Fatwa MUI Propinsi DIY Tentang Aliran Al Qiyadah Al Islamiyah Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta: Perpus UIN Su-Ka, 2008
Zainuri, Muhammad, Framming Pemberitaan Tentang Al Qiyadah Al Islamiyah di Surat Kabar Republika dan Koran Tempo, Yogyakarta: Perpus. UIN Su-Ka, 2008
Sukron, Habib, Fatwa MUI Tentang Pelarangan Aliran Al Qiyadah Al Islamiyah (Perspektif Khaled M. Abou el Fadl), Yogyakarta: Perpus. UIN Su-Ka, 2009
Kedaulatan Rakyat, edisi Jum’at 21 September 2007
Politik News, Teori Konversi, (Sabtu, 27 Desember 2008) dalam http://dayaknews.blogspot.com/2008/12/teori-konversi.html diakses tgl. 3 desember 2009 pkl.20.13
Konversi Agama dalam http://cholilerenmasyah.wordpress.com/2008/06/17/konversi-agama/
James, William, Perjumpaan dengan Tuhan, terj. Gunawan Admiranto, Bandung: Mizan, 2004
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2003
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Presented on; Desember 08, 2009
The 1st and the bezt team; Alwi, Aji, Luzfi, Fasmi, Eeta, Faizah
0 comMentz:
Posting Komentar