RSS

Senin, 21 Desember 2009

Abis-abisan Edisi...

Reposisi Hadist Nabi dalam Organisasi NU
Oleh Masyithah Mardhatillah (07530003)

A. Selayang Pandang NU
NU adalah organisasi yang didirikan pada 1926 oleh KH. Hasyim Asy’ari dan beberapa tokoh masyarakat lain. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia yang tetap bisa bertahan dalam beberapa waktu yang lama dengan jumlah pengikut yang juga cukup besar.

Dalam perkembangannya hingga kini, ada beberapa ritual yang menjadi ciri khas NU. Salah satunya adalah tradisi mengadakan sebuah perkumpulan yang kemudian dinamakan muktamar. Muktamar di sini berarti sebuah forum atau pertemuan yang bertujuan mendemisioner kepengurusan dan melantik pengurus baru berikut semua proses yang ada di dalamnya. Dalam muktamar ini, biasanya dirumuskan beberapa keputusan yang terkait dengan keorganisasian maupun solusi terhadap masalah yang tengah in di masyarakat. Upaya mencari solusi yang biasanya dikenal dengan istilah bahtsul masail (seperti halnya tarjih dalam organisasi Muhammadiyah) tersebut merupakan salah satu forum yang menjadi ikon NU. Forum ini tak ubahnya forum diskusi dengan sebuah tema tertentu yang bertujuan mendapatkan solusi dari suatu permasalahan.

Setelah lama malang melintang dalam dunia sosial kemasyarakan –bahkan politik—di Indonesia, bukanlah merupakan suatu keheranan jika terdapat banyak ‘warna’ dalam organisasi ini, sebab anggota maupun pengurus NU datang dari berbagai latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan intelektualitas yang berbeda. Tak pelak, dalam perjalannya, NU telah menapaki berbagai pergantian fase yang silih berganti dalam sikap politik maupun pemikiran.

Sebab itulah, terjadinya konflik internal dalam hal ideologi maupun hal lain menjadi suatu hal yang tak terelakkan. Pembaharuan-pembaharuan yang lahir dari gagasan cendekiawan muda pada dekade 1980-an serta merta bisa diterima oleh cendekiawan pendahulunya. Hal ini menimbulkan adanya beberapa persinggungan internal organisasi yang memang sudah lama terjadi dan bahkan baru-baru ini sempat menghangat dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan hadist Rasulullah, munculnya inisiatif perubahan arah pemikiran ini juga turur memberikan pengaruh terhadap hadist Nabi. Memang benar hadist Nabi merupakan pijakan dasar yang dijadikan pilar organisasi NU, akan tetapi upaya popularisasi hadist merupakan hal baru yang sebelumnya tidak ditemukan.

B. Klaedoskop Singkat NU
Organisasi yang lahir para 1926 ini merupakan salah satu manifestasi masifnya gerakan pemuda pada masa-masa perjuangan kemerdekaan. Lahirnya Budi Utomo pada 1908 agaknya cukup sukses memberi pandangan dan pencerahan baru terhadap pola pikir masyarakat Indonesia, utamanya para pemuda. Mereka kemudian berkeyakinan bahwa perlawanan konfrontatif tidak akan bisa selalu efektif tanpa dibarengi oleh perlawanan diplomatif. Pola pikir ini jualah yang mendorong timbulnya beberapa organisasi yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan dengan semangat nasionalisme melawan penjajah.

Lahirnya organisasi NU sendiri merupakan salah satu di antara dua keputusan yang dihasilkan dalam sebuah musyawarah yang bertempat di Surabaya pada 31 Januari 1926, kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dalam forum tersebut, ada kurang lebih 20-an kyai dari berbagai penjuru Indonesia, khususnya tanah Jawa yang berunding dan kemudian menghasilkan dua keputusan. Keputusan pertama adalah diutusnya KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Ahmad Ghana’im Al-Mishri menghadap raja Ibnu Sa’ud untuk mendapatkan kebebasa beribadah menurut empat imam madzhab. Keputusan kedua adalah didirikannya sebuah perkumpulan bernama Nahdlatul Ulama’.

Jika diamati dari latar belakang tokoh dan hasil keputusan dalam perundingan ini, tampak bahwa ada nuansa dominasi pesantren (baca: feodalisme) yang tampak sangat kental. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri mengingat jauh-jauh hari sebelum lahirnya organisasi ini, pesantren sudah lama menjelma sebagai lembaga nonformal yang melakukan sosialisasi nilai-nilai kegamaan, basis perjuangan, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial. Dengan demikian, dapatlah sementara kita berkesimpulan bahwa kelahiran NU juga merupakan wujud sistematisasi peran pesantren yang meskipun sudah banyak memberikan kontribusi, akan tetapi belumlah
terorganisir dengan rapi.

Lahirnya NU ini, dalam sejarahnya diawali dengan kegelisahan KH. Wahab Hasbullah yang melihat adanya kebutuhan untuk mendirikan organisasi kemasyarakatan. Inisiatif ini muncul pada tahun 1924, akan tetapi baru terealisasi dua tahun setelahnya ketika KH. Khalil Al Bangkalani memerintahkan para juniornya untuk mendirikan sebuah organisasi sosial kemasyarakatan.

Dalam sejarah perkembanganya, NU mengalami beberapa fase kronologis yang cukup fluktuatif. Pada awalnya, organisasi ini merupakan organisasi sosial kemasyarakatan ansich, meski pada praktiknya NU juga banyak memberikan kontribusi pada upaya-upaya perjuangan kemerdekaan. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi logis mengingat kuota warga pesantren yang cukup banyak dan sekaligus merupakan para pejuang, selain juga berstatus pelajar dan penuntut ilmu. Statusnya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan ansich ini, dalam periodisasi yang digagas oleh Abdurrahman Wahid terjadi pada rentang tahun 1926 hingga 1936. Pada masa-masa penjajahan Belanda ini, NU dianggap abstain dalam masalah keberpihakan pada partai politik.

Selanjutnya, dalam rentang tahun 1936-1955, NU mulai terlibat dalam kancah perpolitikan di Indonesia, namun pada fase ini, NU masih berada dalam fase perjuangan politik idealistik, baru kemudian sejak tahun 1955, NU menjadi kekuatan politik. Keterlibatan NU dalam ranah politik ini diawali dengan hasil muktamar muktamar XI di Banjarmasin pada tahun 1936 yang memutuskan bahwa negara dan tanah air Indonesia wajib dilestarikan secara hukum fiqh. Sebelumnya pada 1946, NU sudah menyatakan diri masuk dan bergabung dalam partai politik Masyumi pada saat menghadapi penjajah pascakemerdekaan.

Metamorfosis NU yang menjadi sebuah kekuatan politik independen (setelah keluar dari Masyumi) terjadi pada tahun 1955 bermula dari keputusan sebuah pertemuan pada tiga tahun sebelumnya. Tahap selanjutnya adalah ketika NU tidak lagi memiliki keterikatan dengan parai politik manapun, yakni pada 1984 hingga akhirnya kemudian Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. Tahun 1984 ini merupakan momen terjadinya khittah yang menjadi follow up dari muktamar ke-26 di Semarang dan muktamar ke-27 di Situbondo. Keputusan untuk kembali ke khittah 1926 ini menyiratkan bahwa NU akan mengabdi kepada masyarakat tidak hanya melalui jalur politik (yang saat itu telah bernama PPP), namun juga melalui jalur-jalur lain.

Babak baru dalam sejarah NU yang terjadi belakangan adalah adanya perubahan mainstream pemikiran yang digagas oleh para cendekiawan muda. Salah satunya adalah Abdurrahman Wahid yang mengungkapkan bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah (selanjutnya disingkat Aswaja) adalah sebuah konsep yang sifatnya dinamis. Aswaja merupakan pilar dasar yang dijadikan acuan oleh organisasi ini, dan pernyataan dinamisnya Aswaja, oleh cendekiawan yang notabene juga merupakan generasi penerus NU memberikan angin segar pada harapan terjawabnya masalah-masalah kemasyarakatan kontemporer.

Perubahan pandangan ini meniscayakan adanya inovasi-inovasi baru dalam hasil keputusan muktamar dan atau bahtsul masail. Dalam pengamatan Martin van Bruinesen, keputusan muktamar NU pasca bergulirnya isu modernisasi dan fleksibilias NU cenderung lebih akomodatif terhadap persoalan kekinian. Ia juga menambahkan bahwa fatwa ulama NU modern cenderung menggunakan referensi awal dari Al-Qur’an dan hadist, berbeda dengan generasi sebelumnya yang mendahulukan kitab-kitab mu’tabar, meski pada kenyataannya kitab-kitab tersebut juga merupakan pengembangan dari Al-Qur’an dan hadist, di samping menggunakan peran ra’yu. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa hal yang demikian merupakan suatu perkembangan yang sangat berarti mengingat sebelumnya ulama’ NU terkesan kurang begitu inovatif dan cenderung ekslusif terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak didapatkan dalam kitab-kitab mu’tabar.

C. Pijakan Ideologi NU (Posisi Hadist dalam Organisasi)
Sebelum memaparkan pijakan-pijakan dasar yang dijadikan acuan dalam mengatasi sebuah permasalahan oleh organisasi ini, ada baiknya terlebih dahulu diinformasikan arah pikiran kegamaan NU. Sebagaimana yang diungkapkan Masykur Amin, arah pemikiran kegamaan NU dapat dibagi menjadi tiga aspek, yang pertama adalah aspek tauhid (Islam atas dasar ahlussunnah wal jama’ah dengan tokohnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi), aspek fiqh (mengikuti madzhab yang empat), dan aspek tasawwuf (mengikuti tasawuf yang dipelopori oleh Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali).

Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam, sudah menjadi suatu kewajaran jika organisasi ini menggunakan Al-Qur’an dan hadist sebagai dasar pijakannya. Akan tetapi dalam perkembangannya, hadist yang digunakan biasanya merupakan hadist yang bernuansa fiqhi dan dijadikan landasan dalam qawaid fiqhiyyah, semisal la dirara wa la dirara, innamal a’malu binniyah, dan lain sebagainya. Beberapa hadist yang dijadikan landasan tersebut biasanya kalah populer dibanding qawaid fiqh yang senyatanya berasal dari hadist yang bersangkutan. Misalnya saja, qaidah al umuru bi maqashidiha akan lebih populer sebab lebih sering digunakan dibanding hadist innamal a’malu binniyah.

Empat sumber pijakan dasar organisasi ini adalah
· Al-Qur’an
· Al Hadist
· Al Ijma’
· Qiyas

Dalam penerapannya, NU tidak mendasarkan tradisi permikirannya kepada Al-Qur’an dan hadist secara langsung dengan alasan menghindari permikiran yang tekstual dan adanya penafsiran tunggal terhadap teks. Pola dasar pemikiran NU bisa dilihat dalam bagan berikut;

Masalah àPendapat ulama’à Al-Qur’an dan hadistàkeputusan bahtsul masail

Hal yang demikian misalnya dapat dilihat dari catatan sejarah muktamar di Banjarmasin pada 1936 yang menggunakan rujukan utama kitab Bughiyatul Mustarsyidin karya Syaikh Al Hadrami. Salah satu bahasan utama yang dikupas dalam muktamar tersebut adalah mengenai status tanah yang dianggap sebagai properti Belanda.

Ilustrasi ini menandakan bahwa NU sangat apresiatif terhadap kitab-kitab ulama’ klasik yang sudah populer dan dianggap qualified (diisitilahkan dengan bahasa kitab yang mu’tabar). Kitab-kitab mu’tabar tersebut umumnya merupakan kitab fiqh, sebab masalah yang biasanya dibahas dan dicari penyelesaiannya dalam muktamar maupun bahtsul masail adalah masalah-masalah fiqhiyyah.

Adapaun kriteria kitab-kitab yang mu’tabar dan bisa dijadikan rujukan dalam penyelesaian sebuah persoalan adalah kitab-kitab yang merupakan produksi empat madzhab. Perumusan kriteria kitab mu’tabar yang terjadi pada 1983 senyatanya telah cukup terlambat mengingat muktamar pertama kali diselenggarakan pada1926. Kendatipun mengakui kitab-kitab yang muncul dari empat madzhab fiqh, akan tetapi keputusan-keputusan mengenai sebuah persoalan mayoritas mengambil rujukan dari kitab-kitab versi Syafi’i. Hal ini barangkali erat kaitannya dengan keyakinan ulama’ NU tradisional untuk tidak melakukan talfiq. Sehingga, posisi kitab fiqh dari tiga madzhab yang lain masih berupa sebuah alternatif. Karya-karya yang muncul dari madzhab Syafi’ie masih mendominasi.

Dengan demikian, bisa juga disimpulkan bahwa posisi hadist dalam organisasi ini sangatlah vital, sebab kitab-kitab fiqh, utamanya era klasik, sangat beracuan pada Al-Qur’an maupun hadist. Meskipun tidak secara langsung dan kasat mata menggunakan pijakan hadist dalam memutuskan suatu persoalan, akan tetapi senyatanya penggunaan kitab-kitab klasik sebagai referensi utama dalam upaya penyelesaian masalah secara otomatis juga menunjukkan bahwa ada banyak hadist yang dijadikan landasan dalam organisasi ini.

Sayangnya, penulis belum menemukan sebuah penelitian yang berusaha menyelidiki status dan atau kualitas hadist yang banyak tersebar dalam beberapa kitab fiqh. Dengan demikian, meskipun hadist merupakan bagian yang berperan penting dalam pengambilan keputusan organisasi ini, akan tetapi kekaburan status dan kualitas hadist dalam beberapa kitab fiqh tersebut memunculkan fenomena baru. Apalagi, belum ada suatu peraturan khusus yang membahas mengenai kriteria hadist yang bisa dijadikan hujjah dalam organisasi ini.

Selain itu, dalam menetapkan suatu hukum, NU juga beracuan pada lima komponen yang populer dengan istilah maqashid assyari’ah, yakni:

· Menjaga agama
· Menjaga jiwa
· Menjaga keturunan
· Menjaga harta
· Menjaga akal

Ciri lain dalam metode berpikir NU adalah mengacu pada kaidah-kaidah fiqh yang terungkap dalam kitab al-Asybah wa al-Nadzair, yakni:
· Setiap urusan tergantung pada niatnya
الامو ر بمقا صدها
· Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan
اليقين لا يزال با الشك
· Bahaya harus dilenyapkan
الضرر يزال
· Kesulitan dapat memberi kemudahan
المشقة تجلب التيسير
· Adat dapat dikukuhkan sebagai hukum
العادة محكمة
Lima kaidah ini pada perkembangannya memunculkan kaidah-kaidah fiqh yang sangat populer di kalangan NU, yakni

· Menghindari kerusakan harus didahulukan dibanding melaksanakan kebaikan
درءالمفاسد مقدم على جلب المصالح
· Apabila terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka kerusakan yang beresiko lebih besar dihindarkan
اذا تغا رض مفسدتان روعي اعظمهما ضررابارتكاب اخفهما
· Kewajiban yang tidak bisa sempurna tanpa adanya syarat tertentu, menjadikan syarat tersebut wajib
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
· Hal yang tidak bisa didapatkan secara keseluruhan, maka tidak bisa ditinggalkan seluruhnya
ما لا يدرك كله لا يترك كله
· Keadaan sempit harus dilapangkan, dan keadaan yang lapang harus disempitkan
اذا ضاق الامر اتسع واذ اتسع الامر ضا ق
· Memelihara hal usang yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik
المحا فظة على قديم الصا لح و لاخذ با الجديد الاصلح
· Kesulitan dapat memperbolehkan sesuatu yang awalnya dilarang
الضرورة تبيح ا لمحظورات

Kentalnya nuansa hadist sebagai pijakan dasar organisasi ini, meski –sekali lagi—tidak diverbalisasi secara eksplisit dalam beberapa pilar dasar organisasi dapat dilihat dari empat point sikap kemasyarakatan yang menjadi ciri khas dan ikon NU berikut;

· Tawasuth dan I’tidal (moderat dan konsisten)
· Tasamuh (toleransi)
· Tawazun (proporsional)
· Amar ma’ruf nahi munkar

Keempat point ini sudah sangat populer di kalangan masyarakat NU, meski sumber yang mengilhami beberapa point ini justru kalah populer. Senyatanya, popularitas empat point ini merupakan upaya pemberdayaan dan sosialisasi living hadist dalam masyarakat Islam, meksi masih harus ada berbagai pembenahan berarti ke arah yang lebih baik.

Perubahan yang cukup dramatis dalam arah berpikir organisasi ini terjadi dengan munculnya beberapa tokoh muda yang mengusung pandangan baru dan berkeinginan menjadikan NU (baca:fatwa-fatwa yang dikeluarkannya) lebih membumi dan akomodatif. Beberapa tokoh ini adalah Abdurrahman Wahid, Sayyid Agil Munawwar, Masdar F. Mas’udi, Mustafa Bisri, dan Ulil Absar Abdalla. Usaha mereka mengubah NU yang tradisionalis, feodalis dan konservatif menjadi NU yang pluralis, transformatif, radikal, demokratis, bahkan liberal perlahan-lahan mulai membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. NU tidak lagi menjadi semacam organisasi yang berdiam di menara gading dan asyik berijtihad namun masalah yang dipersoalkannya sudah tidak lagi terdapat di masyarakat.

Hal ini misalnya dapat dilihat dari format konten bahtsul masail yang lebih peka terhadap masalah-masalah kontemporer. Sejarah mencatat bahwa muktamar pertama kali yang membahas masalah-masalah kontemporer terjadi di Krapyak, Yogyakarta pada 1989. Bahtsul masail yang digawangi oleh Mustafa Bisri dkk ini merupakan fajar baru yang menandai periode baru dalam organisasi NU. Muktamar di Yogyakarta ini juga menjadi forum pertama yang mencuatkan teori bermadzhab secara manhaji ke permukaan diskursus di tubuh NU. Perubahan-perubahan lain secara sistematis kemudian bermunculan, semisal format keputusan bahtsul masail yang lebih eksploratif dan tidak lagi singkat seperti pada keputusan-keputusan sebelumnya.

Fase baru dalam pemikiran NU ini masih menempatkan hadist sebagai sumber ajaran vital kedua setelah Al-Qur’an sekaligus melancarkan upaya popularisasi hadist-hadist Nabi. Hal yang membedakan dengan arah pemikiran NU sebelumnya, dengan demikian adalah adanya upaya untuk mengangkat hadist ke permukaan sehingga masyarakat pun bisa lebih melek hadist dan bisa memahami suatu ajaran tanpa terus-terusan taqlid. Selain itu, munculnya hadist ke permukaan ini meniscayakan adanya kebutuhan untuk kembali mengulas status sebuah hadist, baik hadist yang populer dalam kajian fiqh maupun hadist yang tidak didapatkan dalam literatur-literatur fiqh. Allah knows best.

0 comMentz: