RSS

Rabu, 14 Januari 2009

Hmhm...

Hidup tak hanya butuh puisi, namun juga nasi
Itu kata Fayadl. Dan aku membenarkan ucapannya. Meski mungkin, kami berbeda; karena dia baru menyadari hal itu setelah karir kepenulisannya sukses dan akan memasuki gerbong kereta berikutnya; yang mungkin eksekutif dan limited edition dengan beberapa kriteria khusus yang pastinya lebih sulit. Namun aku bukan Fayyadl. Aku berbeda dengannya karena aku menyadari hal itu sejak awal; bahkan sejak aku menginjakkan kaki di kota ini dan mulai mengerti bahwa kota tak selamanya memberikan mimpi indah untuk sebagian orang; termasuk aku. Memang bukan baru sekarang aku menyadari bahwa karir kepenulisanku agaknya hanya akan menjadi renungan mimpi yang tak kunjung berkesesudahan. Lagi-lagi karena aku terlalu pintar membuat alasan untuk menjauhi aktivitas yang sebelumnya sempat aku jadikan candu....
Semua berlari dan aku masih merangkak sendiri...Aku baru sadar bahwa ternyata aku telah tercetak menjadi seorang akademisi yang kaku dan tidak bisa betah berlama-lama dengan buku. Aku tertinggal dari laju dunia dan aku terasing, tersisih, dan termarginalkan oleh pikiran dan perasaanku sendiri. Namun buru-buru aku sadar, bahwa ritme hidup masing-masing orang tidaklah, sama. Dan aku masih mencari siapa dan bagaimana diriku sebenarnya....Jadi, aku pikir, jalan terbijak adalah menikamti laju waktu dan memberikan sepenuh usaha dan upayaku terhadap hal yang tengah aku hadapi. Kuliah dan mimpi untuk mandiri; meski aku masih tak tahu bagaimana caranya...
Aku seringkali rindu pada kertas dan pena; yang dulu seakan tak bisa dipisahkan dari sibuk dan padatnya jadwalku. Aku merasa malu melihat tumpukan diary yang sekarang hanya bisa memberikan senyuman yang kecut dan menusuk sendi hatiku. Aku masih merindukan komentar dan pujian teman-teman yang berdecak (meski tidak untuk kagum) saat aku menunjukkan bahwa ada banyak waktu yang berhasil aku taklukkan dengan tulisan dan catatanku...Aku rindu puisi yang dulu selalu kutulis dengan inspirasi yang seakan tak pernah habis...Aku rindu petualanganku memilih diksi yang bagus tanpa mengacuhkan rima..Aku rindu semua...
Ah, semua hanya akan memberikan referen pada sebuah tempat bernama Nurul Jadid. Aku membuat puisiku sendiri, mengadilinya sendiri, dan memabanggakannya sendiri. Tidak ada yang menseriusi puisiku selain aku seorang diri. Keadaan yang berbeda ketika aku masih kerap menggelar pengadilan puisi dengan lora Faizi. Jika membahas hal ini, aku akan membayangkan sejuta kekecewaan guru dan orang-orang yang sempat menitip harap agar aku menseriusi karir kepenulisanku...Lora Faizi, Bunda Haniah, Mom Fadlilah, Ksatria, Cak Tabri, Bak Phie, Aniq, dan semua orang yang tak akan bisa aku sebut di sini....
Dulu puisi seakan menyaingi nasi sebagai kebutuhan pokokku. Ada rindu dan alasan tak penting lain yang membuatku merasa harus menulis puisi untuk mengalirkan seperempat dari rasa yang menderaku.. Aku akan berkelana mencari tempat seramai apapun untuk memastikan bahwa puisiku tak lahir dari kesendirian dan kesepian; namun dari kebisingan yang masih mendaulatku budak rindu..dari berjuta godaan yang memaksaku untuk kukuhkan setia dan harapanku pada ksatria saja...
Aku tak tau kapan bisa memulai menaklukkan waktu dan kembali menulis puisi...Aku hanya merasa telah tertinggal jauh dan harus secepatnya berlari...
Aku tidak tahu kapan,
;namun aku akan datang menemuimu kembali
yakinkamu bahwa perjanjian kita
malam itu belum sepenuhnya aku ingkari..
dan aku akan mengobati sekujur luka dan kecewamu...
Trust me ...
I REALLY MIZZ U ALL...
Wait me there dan jangan beranjak dahulu..

Merindukan Rindu..


Hari ini ujianku kelar. Aku sudah membayangkan tidak akan ada banyak waktu untuk ‘balas dendam’ atas kepanatan yang menjalari pikirku; utamanya pada dua minggu terakhir. Tadi nilai tiga MK uda keluar dan aku tak ingin berkomentar banyak, meskpun kecewa memang tetap ada. Aku anggap saja itu pantas (atau bahkan berlebihan) untuk seorang yang masih kering seperti aku...
Banyak hal yang mungkin terlewatkan, karena keteloderanku, serta kecerdikanku mencari alasan untuk selalu mengalah pada perputaran waktu. Dan sekarang aku hanya bisa menggumamkan diam, menyaksikan bahwa waktu telah terlalu jauh berjalan dan telah lama tinggalkan aku..
Pagi itu, mungkin akan selalu aku jadikan penawar saat lelah dan penat rasa menyerangku. Setidaknya aku akan mengingat bahwa aku masihlah perkasan di hadapan pagi dan tidak hanya bisa meratapinya dengan mimpi-mimpi lagi. Pengalaman yang menggetirkan, namun ending yang tak pahit lebih dari sekadar menjadi penebus atas segala keluhku seja awal. Saat itu matahari belum sepenuhnya terjaga, langit masih tak berwarna selain kelam. Masih ada sisa-sisa dingin malam yang menggigit tulang hingga sumsum tiap sendinya...
Ada banyak hal yang berbeda..Aku berjalan tidak sendiri dan di pikiranku pun ramai terdengar beberapa monolog yang entah bagaimana arahnya, namun temanya sama. Jarak itu serasa tak berarti...ada semangat dan harapan yang memompa langkahu dan meniadakan leahku; hingga tiada; tak bersisa sama sekali..Aku hanya berpikir bagaimana bisa mendahului pagi dan sinar matahari menghampiri t4 yang kutuju; t4 yang entah sudah berapa lama aku bayangkan bagaimana bentuk dan suasananya...
Dan semuanya berjalan bukan tanpa arti...ada pemandangan tak mengenakkan yang selama ini tak pernah kuperdulikan. Ia benar ada dan tidak hanya merupakan rekayasa film atau cerita. Anak manusia yang berselimutkan dingin dan berbantalkan malam; berharap gela segera pergi dan cepat terbit matahari. Harapan mereka terlalu sederhana; tidak sama dengan aku yang terlalu menuntut banyak kepada tuhan. Namun mereka lelap, tenang dan ribuan beban itu serasa tidak sedikitpun tampak, meski nyamuk tak kalah menggigit dan dingin tak lelah menusuk.
Ah, betapa kerdilnya jiwaku dibanding mereka yang tak pernah aku doakan itu...Aku merasa ringkih sendiri, aku merasa tak ada yang patut dibanggakan dari seorangku saat melihat betapa gigihnya mereka melewati waktu dan mengisi hidup...Hmhmm..Tuhan, jika boleh aku berharap, selimutilah dingin dan lapar mereka dengan senyumMu yang maha menentarmkan...dengan dekapMu yang maha menghangatkan...
Satu hal yang hampir dapat dijumpai di negeriku adalah tak kunjung berakhirnya konglomerasi, dari hal paling dekil hingga sesuatu yang tampak sangat dan terlampau indah. Tidak ada yang sebanding dan setara di negeri ini. Semua orang tahu bahwa setiap hari banyak perut yang lapar, namun mereka juga tahu, dalam hitungan detik, jumlah perut yang lebih dari kenyang juga tidak lebih sedikit. Aku tiba-tiba merenungkan banyak hal ketika melihat bangungan megah McDonalds berdiri megah bak raja di samping budak-budaknya; pemukiman kumuh sempit yang menjadi muara harapan ribuan nyawa...Tidak ada satupun ‘lampu merah’ yang sepi dari pengamen dan anak jalanan, seperti ramainya tempat itu dilewati oleh mobil-mobil dan kendaraan mewah...
Aku memang terhenyak namun perjalanan harus kulanjtkan, dan beberapa hal baru yang ta pernah kusapa sebelumnya kemudian meramaikan ruag pikiranku dan aku hanya bisa mengikuti skenario waktu dan tempat aku menitipkan raga. Semuanya bergulir lancar, meski aku harus masih mengunggu satu jam-an untuk menjemput impian yang selama ini membuatku tetap bergairah hidup...Aku berhasil menemuinya dengan selamat dan semua berjalan seperti yang pernah aku bayangkan...Mimpi itu telah datang, namun bukan itu yang ingin aku sampaikan sebagai muara dari perjalanan tulisanku ini..
Ksatria, aku ingin membenarkan ucapanmu bahwa masa menunggu dan merindu adalah momen paling menggetirkan namun akan manjadi fragmen yang paling sering terkembang dalam layar pikiran. Fragmen yang menunut manusia untuk membangun mimpi segila mungkin dan mendongkrak seluruh keyakinan, mengubah tidak mungkin menjadi sangat mungkin. Saat-saat menunggu adalah ruang untuk mati-matian mendatangkan hal yang diharap, untuk mempercepat dan mempermudah kedatangannya. Melelahkan pasti, karena segala pikiran, mimpi bahkan tenaga diorientasikan untuk makes it true....
Namun percayalah bahwa masa yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia tersebut adalah hal yang tidak mungkin dilupakan dan akan selalu menjadi katulistiwa bagi perjalanan hidup selanjutnya...Dan aku...ingin melewatkan semua masa itu...bersamamu saja..(untuk jiwa yang menemaniku berjalan pagi itu...)
Ya, agaknya aku hanya ingin melukiskan hatiku dengan tiga kata; rindu pada rindu.