RSS

Senin, 23 Februari 2009

Rindu Untuk Fitria


Menjelang dini hari, 22 Febru, 2009

Fitria, masihkah segar dalam ingatmu kumpulan daun yang kita sulap menjadi kitab suci? Ah, sudah gila jika kau sudah melupakannya. Aku tau, banyak space dalam memorimu yang kausediakan untuk kitab suci itu. Bahkan, seperti guyonanku waktu itu, jika kau sampaia amnesia, kitab suci itu tetap melekat dalam ingatan terkaratmu...

Kau tau, kini, aku hanya bisa menjinjingnya ke sana dan kemari. Dan yang perlu selalu kauingat, aku tak pernah berhenti membanggakan dan memperkenalkannya pada semua yang mengenalku. Angin, malam, damai, gemerlap, isak, gemuruh, dan semua...Pada mereka, aku melantangkan teriak bahwa aku, juga kamu, telah jauh-jauh hari menghasilkan sebuah adiluhung cinta paling menukik sepanjang masa.

Dahulu, dalam penjara damai itu, kau pernah mengajakku kabur dan menyelami laut yang tak pernah bisa kugambarkan biru dan asinnya. Kau memberiku peta menuju mutiara dan memintaku waspada pada semua ranjau dan gelombang yang selalu siap menyeretku.

Sebagai imbalannya, aku akan membuka lorong rahasia yang mengantarkan kita pada nirwana dan sejuta panorama khayangan. Kau akan bercerita banyak hal dan aku akan menimpalinya seraya mengatakan bahwa selain Isa, tak ada cerita anak manusiayang benar-benar berbeda...Kau menangis dan aku tersedan. Aku tergelak dan, tanpa terpaksa kau tampak riang..Namun kau tak pernah bisa tidak menangis di mataku, dan aku pun tidak punya daya tertawa jika tidak pada mulutmu...

Fitria, setelah jauh darimu, aku dipaksa sadar oleh keadaan bahwa terkadang idealisme adalah pisau paling tajam yang dapat menguras habis semua darah dalam diri kita...; pelajaran yang selalu kaukoarkan lewat redup matamu namun selalu aku abaikan...

Fitria, malam ini...aku rindu dahan tempat kau sembunyikan aku dari bara matahari yang membakar kakiku. Aku membayangkan, bagaimana prosesmu menulis kitab suci lain, yang entah sudah berapa edisi kulewatkan sejak siang itu aku pergi...Aku rindu perseteruan yang melahirkan jarak namun akhirnya memperkukuh tali yang kaubiarkan mengurai sendiri di udara..; namun tak pernah lekang menyatukan kita...

Fitria, betapa malam ini aku sadar dan ingin memberitahukanmu...bahwa jalan lurus untuk mencintai, selain sabda Faizi yang selalu kita pahat dengan cat dan warna mencolok pada dinding-dinding langit, telah berhasil aku perluas. Yakni bahwa, jalan terlurus namun paling terjal dalam mencintai adalah menerima kesalahan yang paling tak bisa dimaafkan dan dilakukan oleh orang yang paling kita cintai...

Sekian saja dulu, Fitria..Hingga detik ini aku masih yakin, esok, akan ada waktu dan ruang yang membenturkan gelisahku dan gundahmu...Untuk kembali tertawa dan meratap, BERSAMA-SAMA..

Sampaikan salamku pada pena yang selalu menari di atas nafasmu...
Dan titipkanlah harap agar aku bisa segera menyusul biru langit dan laut;
yang ikhlas mewarnai dunia tanpa mengharap belas kasih apa-apa...

Jumat, 06 Februari 2009

Catatan dari Loket Registrasi


Hari ini aku tidak bisa menunda waktu lagi untuk mengurus semua kelengkapan administrasi untuk kelancaran kuliah semester berikutnya. Dan ritual rutin itupun adalah suatu pilihan yang tak terelakkan bagiku. Sebelumnya memang sudah kuprediksikan, akan banyak hal yang menarik untuk diceritakan. Karena meskipun rutinitas ini rutin berulang, agaknya suasana dan keadaan masih belum menemukan perubahan yang menggembirakan.
Segalanya pun hampir sama dengan bayanganku. Pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan beberapa saat lalu. Teller bank yang sejuk dengan sentuhan AC dan duduk di kursi empuk serta beberapa mahasiswa yang berdesakan dengan mahasiswa lain dan keringatnya sendiri. Aku masih mendapati mahasiswa yang membawa kereta belanja, ada banyak bawaan yang dijinjingnya; yakni beberapa KTM dan uang SPP milik dirinya dan beberapa temannya.
Aku berpikir, betapa enaknya mahasiswa yang "hanya" tinggal ngomong dan nitip uang. Ia tak perlu bertegur sapa dengan keringat dan kejengkelan. Namun, asumsi ini tidak berlaku bagi mahasiswa yang bener-bener berhalangan untuk melakukan registrasi dan datang langsung ke kampus, misalnya karena sedang sakit atau ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, aku tidak hanya terusik dengan mahasiswa yang nitip uang registrasi itu. Mahasiswa yang juga menerima titipan tersebut juga kurang bisa bijak menyikapi keadaan.
Keberadaannya sudah pasti mengganggu mahasiswa lain yang sudah sedari tadi menunggu di belakang. Ya, mahasiswa pemborong tadi memang tampak menjadi benalu dalam tanaman yang hampir mati, meski menjadi oase bagi sabana luas teman yang meminta pertolongannya. Ia telah menggugurkan satu kewajiban temannya dan menghindarkan teman tersebut dari arus dan kejenuhan yang kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas menunggu. Ya, meski dengan menyita waktu dan ruang yang tidak menjadi haknya.
Dualisme yang paradoks. Jika saja ia tidak membantu temannya, maka ia tidak akan menghabiskan waktu yang lebih lama dari biasanya. Namun, ia agaknya masih sangat mengamini teori ‘kasihan’, tolong menolong atau usefulpersonforothers. Sehingga, doktrinitas yang radikal tersebut cukup mampu menghalanginya untuk berpikir dan memposisikan diri sebagai mahasiswa lain; mahasiswa yang juga berdarah-darah menuju satu titik seperti dirinya.
Namun semuanya adalah budaya tak terbantahkan, bahkan mungkin tak kan tergantikan. Seperti nepotisme di negeri ini. Sudah lama wacana mengecam nepotisme dikumandangkan. Namun, mental ini agaknya adalah warisan yang, secara sadar maupun tidak, meresap dan diresapkan pada diri manusia Indonesia. Pada satu kesempatan, mungkin kita akan jengkel karena seseorang memperoleh HTM cuma-cuma dari saudaranya yang menjadi panitia konser musik. Namun pada potongan waktu lain, kita tidak akan menolak tawaran kerabat yang kebetulan menjadi polantas untuk `mengamankan` motor yang tengah bermalam di kantor polisi. Budaya yang tidak bisa ditolak, karena kita tidak akan bisa hidup enak jika tidak mau menerima dan menyembahnya.
Pada akhirnya aku hanya berpikir, ada baiknya segera dirumuskan beberapa teknik yang dapat menjadikan momentum registrasi menjadi suasana yang menyenangkan. Tidak hanya bagi teller dan satpam bank, namun yang paling penting berikut paling sering dilupakan adalah keberadaan mahasiswa. Aku tidak mengatakan bahwa belum ada perbaikan dan evaluasi dari pihak berwenang untuk kelancaran proses registrasi. Namun, agaknya akan menjadi lebih baik jika pihak berwenang tersebut bisa memposisikan diri sebagai mahasiswa, sehingga ia akan segera merancang perbaikan-perbaikan yang mencerahkan.
Budaya nitip registrasi ke bank, (termasuk juga nginput KRS), dalam hematku senyatanya bisa dilakukan via online dan offline. Sejauh ini aku kira tak ada ruginya memanfaatkan dunia online, justru upaya ini bisa memudahkan mahasiswa maupun semua pihak terkait dalam menjalankan kewajibannya masing-masing. Ya, seperti slogan teknologi, menyempitkan jarak dan memperpendek masa.. Dengan begitu, kapanpun dan di manapun, mahasiswa bisa melakuan semua rangkaian registrasinya dengan nyaman, dan yang paling penting, aman.
Kalaupun mimpi untuk bisa online mungkin masih menjadi suatu harapan yang terlalu muluk, setidaknya dari aspek biaya, tak ada salahnya jika ada perbaikan sistem. Sistem dari skala mikro hingga skala makro. Antrian yang tertib, teller dan loket yang memadai, teller yang bersikap tegas pada mahasiswa dengan kereta belanja, keseimbangan kuantitas loket dengan mahasiswa tiap fakultas, dan hal-hal lain yang mungkin belum aku ketahui.
Ah, namun agaknya pikiran ini hanya akan menjadi gumamku. Aku mulai percaya bahwa PM hanya menjadi simbol fatamorgana. Ya, meski sudah ada banyak cahaya yang kudapat dari fatamorgana itu..
Intinya, kini aku mulai mengerti bahwa...memosisikan diri sebagai orang lain itu, meski angel, adalah sebuah proses yang sangat prestisius...dan prestatif..Meski memang sangat suliat. Bukan karena apa, seringkali manusia hanya menyadari wacana egoisme, logosntrisme, egosentris, ato apalah namanya...Namun ia sangat jarang mengaku dan menyadari bahwa beberapa sifat itu tengah menguasa dan menertawakan kebodohannya; yang hanya mahir berkoar dan berwacana. Aciahhh.. Allah Knowz Bezt

Tulisan yang sempat tertunda aku posting,
namun ia lahir beberapa saat setelah aku menyelesaikan
semua urusan yang melelahkan; registrasi dan nginput KRS,
pada hari kedua, 28 Januari 2009