Hari ini aku tidak bisa menunda waktu lagi untuk mengurus semua kelengkapan administrasi untuk kelancaran kuliah semester berikutnya. Dan ritual rutin itupun adalah suatu pilihan yang tak terelakkan bagiku. Sebelumnya memang sudah kuprediksikan, akan banyak hal yang menarik untuk diceritakan. Karena meskipun rutinitas ini rutin berulang, agaknya suasana dan keadaan masih belum menemukan perubahan yang menggembirakan.
Segalanya pun hampir sama dengan bayanganku. Pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan beberapa saat lalu. Teller bank yang sejuk dengan sentuhan AC dan duduk di kursi empuk serta beberapa mahasiswa yang berdesakan dengan mahasiswa lain dan keringatnya sendiri. Aku masih mendapati mahasiswa yang membawa kereta belanja, ada banyak bawaan yang dijinjingnya; yakni beberapa KTM dan uang SPP milik dirinya dan beberapa temannya.
Aku berpikir, betapa enaknya mahasiswa yang "hanya" tinggal ngomong dan nitip uang. Ia tak perlu bertegur sapa dengan keringat dan kejengkelan. Namun, asumsi ini tidak berlaku bagi mahasiswa yang bener-bener berhalangan untuk melakukan registrasi dan datang langsung ke kampus, misalnya karena sedang sakit atau ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan. Namun, aku tidak hanya terusik dengan mahasiswa yang nitip uang registrasi itu. Mahasiswa yang juga menerima titipan tersebut juga kurang bisa bijak menyikapi keadaan.
Keberadaannya sudah pasti mengganggu mahasiswa lain yang sudah sedari tadi menunggu di belakang. Ya, mahasiswa pemborong tadi memang tampak menjadi benalu dalam tanaman yang hampir mati, meski menjadi oase bagi sabana luas teman yang meminta pertolongannya. Ia telah menggugurkan satu kewajiban temannya dan menghindarkan teman tersebut dari arus dan kejenuhan yang kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas menunggu. Ya, meski dengan menyita waktu dan ruang yang tidak menjadi haknya.
Dualisme yang paradoks. Jika saja ia tidak membantu temannya, maka ia tidak akan menghabiskan waktu yang lebih lama dari biasanya. Namun, ia agaknya masih sangat mengamini teori ‘kasihan’, tolong menolong atau usefulpersonforothers. Sehingga, doktrinitas yang radikal tersebut cukup mampu menghalanginya untuk berpikir dan memposisikan diri sebagai mahasiswa lain; mahasiswa yang juga berdarah-darah menuju satu titik seperti dirinya.
Namun semuanya adalah budaya tak terbantahkan, bahkan mungkin tak kan tergantikan. Seperti nepotisme di negeri ini. Sudah lama wacana mengecam nepotisme dikumandangkan. Namun, mental ini agaknya adalah warisan yang, secara sadar maupun tidak, meresap dan diresapkan pada diri manusia Indonesia. Pada satu kesempatan, mungkin kita akan jengkel karena seseorang memperoleh HTM cuma-cuma dari saudaranya yang menjadi panitia konser musik. Namun pada potongan waktu lain, kita tidak akan menolak tawaran kerabat yang kebetulan menjadi polantas untuk `mengamankan` motor yang tengah bermalam di kantor polisi. Budaya yang tidak bisa ditolak, karena kita tidak akan bisa hidup enak jika tidak mau menerima dan menyembahnya.
Pada akhirnya aku hanya berpikir, ada baiknya segera dirumuskan beberapa teknik yang dapat menjadikan momentum registrasi menjadi suasana yang menyenangkan. Tidak hanya bagi teller dan satpam bank, namun yang paling penting berikut paling sering dilupakan adalah keberadaan mahasiswa. Aku tidak mengatakan bahwa belum ada perbaikan dan evaluasi dari pihak berwenang untuk kelancaran proses registrasi. Namun, agaknya akan menjadi lebih baik jika pihak berwenang tersebut bisa memposisikan diri sebagai mahasiswa, sehingga ia akan segera merancang perbaikan-perbaikan yang mencerahkan.
Budaya nitip registrasi ke bank, (termasuk juga nginput KRS), dalam hematku senyatanya bisa dilakukan via online dan offline. Sejauh ini aku kira tak ada ruginya memanfaatkan dunia online, justru upaya ini bisa memudahkan mahasiswa maupun semua pihak terkait dalam menjalankan kewajibannya masing-masing. Ya, seperti slogan teknologi, menyempitkan jarak dan memperpendek masa.. Dengan begitu, kapanpun dan di manapun, mahasiswa bisa melakuan semua rangkaian registrasinya dengan nyaman, dan yang paling penting, aman.
Kalaupun mimpi untuk bisa online mungkin masih menjadi suatu harapan yang terlalu muluk, setidaknya dari aspek biaya, tak ada salahnya jika ada perbaikan sistem. Sistem dari skala mikro hingga skala makro. Antrian yang tertib, teller dan loket yang memadai, teller yang bersikap tegas pada mahasiswa dengan kereta belanja, keseimbangan kuantitas loket dengan mahasiswa tiap fakultas, dan hal-hal lain yang mungkin belum aku ketahui.
Ah, namun agaknya pikiran ini hanya akan menjadi gumamku. Aku mulai percaya bahwa PM hanya menjadi simbol fatamorgana. Ya, meski sudah ada banyak cahaya yang kudapat dari fatamorgana itu..
Intinya, kini aku mulai mengerti bahwa...memosisikan diri sebagai orang lain itu, meski angel, adalah sebuah proses yang sangat prestisius...dan prestatif..Meski memang sangat suliat. Bukan karena apa, seringkali manusia hanya menyadari wacana egoisme, logosntrisme, egosentris, ato apalah namanya...Namun ia sangat jarang mengaku dan menyadari bahwa beberapa sifat itu tengah menguasa dan menertawakan kebodohannya; yang hanya mahir berkoar dan berwacana. Aciahhh.. Allah Knowz Bezt
Tulisan yang sempat tertunda aku posting,
namun ia lahir beberapa saat setelah aku menyelesaikan
semua urusan yang melelahkan; registrasi dan nginput KRS,
pada hari kedua, 28 Januari 2009