RSS

Kamis, 19 Agustus 2010

Ramadhan edc

Mencari Makan di Siang Hari Bulan Ramadhan

Ramadhan kali ini cukup berbeda dengan Ramadhan taun lalu. Yang pertama adalah karena dulu, aku menghabiskan Ramadhan di kampung halamanku, terbujur kaku di kamar kecil dan menjadi pesakitan yang ga bisa ngapa2in selain hanya menangis dan mengeluh. Alhamdulillah kejadian tersebut tidak terulang kembali, khususnya pada momen Ramadhan taun ini. Yang kedua, dulu, setaon lalu, aku serasa sama sekali tidak kecipratan suasana Ramadhan sebab aku—bisa dibilang lumpuh dan ga bisa ngapa2in—hanya diam di kamar. Ga puasa, ga sahur ga buka, ga tarawih, dan sialnya juga aku ga berlebaran. Pas lebaran sakitku masih dan bahkan abis lebaran aku harus opname.

Catatan yang cukup menyedihkan. Selama kurang lebih dua bulan, aku harus off dan uzlah dari segala rutinitas dan aktivitasku di kampus, kos, juga di rumah. Tak terbahasakan lah, bagaimana stagnannya diriku kala itu. Sebab itulah, pada tahun ini, aku bahagia sebab Tuhan kembali berbaik hati memberikanku kesehatan dan kemudahan untuk menjalani rangkaian ritual ini. KKN pula, yang meski tiap hari tiap malam harus makan angin, alhamdulillah aku masih belum nge-drop. Bersyukur banget dan banget bersyukur. Setidaknya aku bisa banyak membandingkan keadaanku taun lalu dengan keadaanku saat ini.

Sayang memang, ketika hari pertama Ramadhan, aku belum bisa berpuasa sebab ada halangan biologis yang melarangku untuk berpuasa. Namun meski tidak berpuasa, aku juga merasakan dampak dan pengaruh dari Ramadhan yang sudah mulai menemani waktu melaju. Dampak yang paling real adalah aku yang merasa sangat banget amat kesulitan untuk mendapatkan nasi di siang hari. Bukan apa2, warung nasi biasanya nutup di siang hari bulan Ramadhan…dan aku yang tidak bisa memasak sangat dirugikan dengan keadaan ini. Jadinya yaaaaa,,,mau tak mau, aku harus menyisir beberapa tempat untuk bisa mendapatkan nasi.

Untuk urusan yang satu ini, aku memang harus meninggikan tensi pedemeterku. Aku, dalam beberapa hal memang kerap cuek dengan anggapan yang mugkin dimiliki orang lain tentangku. Tapi kalo uda laper dan segera butuh pertolongan, aku biasanya akan mengenyahkan segala sikap sungkan dan ga enak itu. Yayayaya, aku pikir orang di sekelilingku pastilah berprasangka baik dan wajar jika ada perempuan beratribut muslimah yang makan atau cari makan di siang hari bulan Ramadhan. Jadi bermodal paradigma yang demikian, aku berusaha terus mengatasi keadaan yang sebenarnya dilematis itu. Mau ga makan laper, mau beli nasi ga enak. Tapi willy nilly, perutku tidak bisa berkompromi..

Hari pertama Ramadhan, aku cukup bersyukur sebab ada dua temen kosku yang juga tidak bisa berpuasa sehingg aku melakukan aktivitas penyisiran tempat TIDAK SENDIRIAN. Dak perlu berupaya terlalu lama dan berjalan terlalu jauh, kami bertiga sudah bisa mendapatkan warung nasi yang buka dan menyediakan makanan. Dan di sana—tanpa harus menyebutkan nama tempat makan tersebut—aku dan kedua temenku malu-malu memasuki warung dan akhirnya memesan nasi plus lauk plus sayur. Di tempat itu, aku melihat seorang bapak yang uda cukup tua tengah menyantap sarapan paginya dengan sangat nikmat. Tapi gelagat-gelagar geroginya tampak juga saat aku dan dia tak sengaja bertatapan. Aku menunjukkan ekspresi datar ajah…Ga tau mau berekspresi bagaimana.

Hari kedua, aku mendapatkan sebungkus nasi dari temen KKNku (mas Sabil) saat kami janjian ketemu di LPM untuk sebuah keperluan. Ada dua kebetulan yang menyelamatkan nasib perutku pagi itu. Yang pertama adalah, kebetulah mas Sabil tau kalo aku dak puasa. Dan yang kedua adalah kebetulah mas Sabil salah menyebutkan jumlah (kuantitas) nasi bungkus yang dipesennya pada seorang temen saat akan berangkat sahur. Dan jadilah, pada hari kedua, aku tidak perlu susah-susah menyisir beberapa wilayah untuk mendapatkan nasi. Dalam hal ini, aku sama sekali tidak mempertimbangkan apa yang namanya HARGA dan CITA RASA. Dalam artian, asalkan ada nasi, ya pasti tak hajar. Hahahahahaha….

Hari ketiga, pedemeterku bener-bener diuji. Pas itu dua temenku sudah pada beli nasi so itu artinya aku tak ada temen yang bisa diajak untuk mencari nasi. Pas itu aku sedikit tersibukkan dengan sebuah keperluan di Ringroad utara. Cukup urgent juga, makanya aku mpe lupa makan gara2 terlalu heboh mengurusi keperluan itu. Aku inget pas itu hari Jumat. Bersama seorang temenku, aku menyelesaikan urusan itu dan ketika semuanya telah selesai dan aku bisa tersenyum, aku baru inget bahwa ada sebuah sisi kosong dalam hidupku..Yayayayaya, perutku belum terisi. Dengan polosnya, di saat bingung itu, aku bertanya di mana saja warung makan yang buka pada siang hari bulan Ramadhan. Dia menyebutkan sebuah tempat dan aku langsung tersenyum.

Udara cukup panas waktu itu, memberi kesempatan selebar-lebarnya pada mahluk bernama HAUS untuk bertahta di tenggorokan manusia. Sebagai orang yang telah membantuku, iseng aku menawari temenku untuk sekalian makan bareng di manaaaaa gitu. Dalam hal ini aku bukan mau menggoyahkan puasanya—dia adalah laki-laki sehat so ga punya alasan untuk berbuka, secara normatifnya—sama sekali. Tapi karena aku sudah akrab dengannya dan biasa bercanda, akhirnya celetukan itulah yang kubuat sebagai penutup perjumpaan kami. Setelah temenku itu pulang, aku segera menancap gas menuju tempat yang direkomendasikannya.

Ternyata buka. Warung makan itu punya dua pintu dan kedua-duanya sama-sama terbuka. Bukan apa2, pada siang hari bulan Ramadhan, buka puasa tu kayak orang mau buang air. Maunya dihalangi dari pandangan khalayak. Jadi sama dengan ketika kita mau memasuki kamar mandi umum. Meski tidak melihat langsung, orang lain pastilah tau bahwa orang yang masuk atau keluar dari kamar mandi umum pastilah buang air. Seperti itu pulalah yang terjadi manakala ada orang yang baru keluar dari warung nasi pada siang hari bulan Ramadhan. Meski semua orang pastilah tau apa yang sedang diperbuatnya di dalam, akan tetapi orang yang bersangkutan tidak mau orang lain mengetahui momen KETIKA DIA MELAKUKAN HAL TERSEBUT.

Makanya aku heran manakala aku melihat warung ne buka sepenuhnya. Tapi okelah. Pasti si pemilik maupun pengelola warung punya alasan sendiri. Di antaranya mungkin adalah untuk menolong orang-orang seperti diriku. Hahahahaha. Dengan penuh keyakinan, aku melangkahkan kaki dan masuk. Setelah memesan nasi pada si penjaga, aku mencoba meredam rasa saltingku dengan membaca koran yang tergeletak di salah satu meja warung makan itu. Di meja lain, ada seorang laki-laki yang membelakangiku tengah makan. Ia tampak menundukkan kepala dan aku tidak mau membuatnya semakin merasa salting. Makanya aku EASY GOING aja dan menganggap semuanya biasa aja. Tak ada yang berbeda apalagi istimewa.

Aku larut dalam bacaanku sambil membolak-balik koran hingga akhirnya si penjaga memberitahuku bahwa nasi dan es teh pesenanku sudah siap. Setelah membayar uang, aku segera bergegas pulang. Tak kusangka tak kuduga, ternyata sudah ada beberapa orang yang baru datang di tempat itu. Mereka tampak malu-cuek-sungkan-sok acuh saat tatapanku dan tatapan mereka berbenturan. Aku memasang tampang sedatar dan seUNPREDICTABLE mungkin agar mereka juga tak keburu memberikan penilaian padaku. Saat itu yang kurasakan adalah…mmm..apa yaaaa..semacam lucu, ada juga malu, tapi kebanyakan dongkolnya karena mereka tampak mengekori langkahku sampe keliatan menghafalkan plat nomor motorku.

Pengalaman hari terakhir ga puasa di awal Ramadhan ternyata biasa-biasa ajah. Aku menghampiri warung di pinggir jalan dan memarkir motorku pas di pinggir jalan. Pas itu aku sampe harus membangunkan si ibu pemilik warung yang tengah terlelap. Jadilah pada akhirya dia bangun dan kami pun melakukan transaksi di g PINGGIR JALAN. Banyak orang yang berlalu lalang, ada sebagian yang melempara tatapan sok mengherankan dan ada juga yang cuek sama sekali. Dan untuk hari keempat ini, aku sudah cukup bermuka tebel dan pokoe yang ada di pikiranku cumahanya satu..MAKAN!!

Hari kelima Ramadhan, aku uda bisa puasa. Wohoooooo….semakin tua usia Ramadhan, semakin besar pula nyali orang-orang untuk blak-blakan buka- bukaan berbuka atau memfasilitasi buka puasa. Dan sebenere aku tidak lagi berbicara dengan kacamata normatif dan semacamnya, aku lebih pada ingin menikmati dan mencerna fenomena tersebut. Sebab buat aku, membohongi orang lain jauh lebih mudah dibanding membohongi diri sendiri, dibanding membohongi nurani sendiri. Nyambung ga sech, tulisanku? Jadi gini maksudku…di depan orang lain, kita bisa aja memakai sejuta topeng dengan beribu ragamnya..bahkan juga menggunakan atribut apapun untuk meneguhkan karakter topeng tersebut. Tapi…Kita tak pernah bisa bertopeng setipis apapun pada nurani kita sendiri.

Teori tersebut sebenernya diilhami dari fenomena yang aku liat dan uda tak ceritain di tulisan ini. Tapi dipikir2, enak juga jila digeneralisasi pada hal-hal lain atau bahkan segala hal..benarkah demikian? Answer by your heart…Hehehehe..

Senin, 16 Agustus 2010

Hujan jualah yang menyatukan kita

(Memory pergantian hari, 13-14 Agustus 2010)

Judul di atas sebenernya merupakan hak paten dan registred yang dimiliki Paijo. Dia dengan spontan mengupcakannya dan pada satu detik berikutnya pun aku berjanji bahwa aku akan menulis sebuah oretan yang bertajuk kalimat tersebut. Andai saja saat itu Paijo menuliskan statusnya demikian di fb, aku akan mengklik kata “like” berkali-kali meski bilangan tersebut tak akan ada artinya dan tidak memiliki sama sekali perbedaan dengan ketika aku mengkliknya satu kali. Ya, ya, pada intinya aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat menyukai kalimat itu. Singkat, padat, dan menohok.

Jadi ceritanya, malam itu, aku dan kawan-kawan KKN terlibat dalam sebuah acara yang saaaaaaaaaaaangat amat banget melelahkan dan memforsir tenaga. Amat sangat. Aku sendiri yang sebenarnya tidak terlalu berperan sudah merasakan rasa cape dan lemah lesu di semua sisi, otak dan perasaanku. Aku membayangkan rasa capek yang melanda temen2ku jauh lebih besar dibanding aku. Yayayayayaya, meski pada lain sisi, malam itu aku sempat ngedumel dan koar2 ngomel2 ga jelas karena ada ketimpangan sosial yang malam itu kembali terjadi dan hampir tak ada perubahan sama sekali.

Ya begitulah salah satu hal yang membuat aku malas untuk bekerja dalam sebuah tim. Meski beban kerja memang akan cukup ringan, akan tetapi menjaga kekompakan ternyata bukan suatu hal yang mudah. Hal inilah yang membuat aku lebih memilih untuk bekerja sendiri dalam hal membuat makalah di kelas. Aku sulit kalo harus berkompromi dengan (pikiran dan idealisme) orang lain serta segala hal yang pada akhirnya hanya akan membawa pada apa yang namanya MUTUNG2An.

Well, balek ke cerita awal. Malam itu, kelompokku lagi mengadakan gawe tentang perawatan jenazah. Pematerinya adalah salah seorang dosen UIN fakultas syariah yang juga orang LPM. Sehari sebelumnya aku dan Mas Sabil telah menghubungi dan menemui bapak ini dan beliau menyanggupi tawaran kami setelah sebelumnya Pak Indal menolka dan mengalihkan permohonan kami. Ternyata ne bapak sudah menjadi master dalam perawatan jenazah. Ya,,,dalam lingkup KKN UIN mungkin, yang bisa aku tau. Sebab, beliau ndiri pernah cerita bahwa beliau sering ngisi forum yang sama di mana-mana dan beliau pun sudah memiliki peralatan dan segala hal yang dibutuhkan untuk forum perawatan jenazah. Ya, begitulah adanya. Sesuai pesanan beliau, kami hanya perlu menyediakan air dan tempat. (Serta yang lain-lain, semisal DOIT dan gorengan buat cemilan di malam hari bulan puasa)…

Aku sedikit mengikuti forum ini meski dalam keadaan ngantuk dan lelah luar biasa. Sebuah pikiranku melayang pada Bak Rom yang tengah sendirian di kamarku dan pikiran lain membuat aku merinding. Ya, mendengarkan seminar tentang cara merawat jenazah cukup menyadarkan aku malam itu bahwa…Aku juga akan diperlakukan seperti boneka peraga yang dibawa si bapak pembicara tadi. Aku mulai menerka, kapan dan di mana aku akan benar-benar menjadi sejarah bagi siapapun…Aku bener-bener begidik membayangkan betapa banyak hal yang belum kuselesaikan. Bahkan belum kumulai. Duh, Tuhan…Nyebut berkali-kali aku malam itu…

Untuk yang keberapa kalinya aku hanya menyadari bahwa...Aku tak sama sekali punya daya atas diriku. Misalnya dalam konteks demikian. Aku bertanya masih adakah orang yang menangisi kematianku, siapa yang akan memandikanku, menyalatiku, dan duuuuuuuuuuuh….Menulis saja aku sudah meringis. Aku merasa sama sekali belum siap. Mungkin pernyataan yang cukup polos dan lugu, tapi itulah yang aku rasakan. Pikiran lain yang juga melayang di otakku adalah mengenai kematian orang-orang terdekat yang sama sekali tidak aku harapkan. Ya, meski aku tau bahwa semua itu pasti dan harus terjadi, namun aku berusaha selalu mengenyahkan pikiran dan ketakutan itu. Seperti mengukuhkan niat bahwa malam itu aku duduk di situ hanya untuk mengikuti kajian dan menambah wawasan serta pengetahuan, belum untuk membayangkan segala hal yang bisa membuat aku sama sekali tak berarti dan tak berdaya. Tuhan memang menyajikan banyak misteri dalam kehidupan sebab ia akan merasa senang jika manusia mau berpikir dan berbeda dalam pola maupun hasil pikirnya.

Sebelum acara itu selesai, tiba-tiba hujan datang seketika dengan pasukan dingin dan anginnya yang mencengangkan. Hujan memang tak memerlukan banyak hal untuk bisa datang. Ia tak selalu butuh awan dan mendung, meski kerap masih menyajikannya sebelum pasukannya lewat. Malam itu saat rembulan tak sama sekali purnama, aku sama sekali tak menduga bahwa hujan akan datang semendadak itu. Gede pula. Ada banyak orang—termasuk diriku tentunya—yang mengganti posisi mencari tempat yang aman untuk tetap terlindung dari hujan.. namun bukannya mereda, ia malah semakin menggila.

Malam merangkak perlahan diiringi hujan dan aku merasakan waktu semakin lambat berjalan dengan satu pikiran, “KAPAN SELESAINYA?” Atau pikiran lain, “Jangan ada lagi yang bertanya donk…uda malem, kasian audien lain yang uda pada cape dan ngantuk”, dan lain sebagainya yang bernada desakan bisu pada si pembicara untuk segera menyudahi forum. Akhirnya, gatau jam berapa, forum sudah akan ditutup tapi hujan belum juga pergi. Terpaksa bapak pemateri masih menunggu hujan mau mengalihkan dirinya ke tempat lain. Sementara itu, aku dan temen-temen lain mulai menyibukkan aktivitas masing-masing dengan apapun –yang bisa dan menarik untuk dilakukan. Ada yang cuci piring dan gelas, mondar-mandir ga jelas, ngobrol, dan ada juga yang dak tau mau ngapain. Aku dan Dian berada pada golongan terakhir ini..Kami hanya jeprat-jepret ga jelas dan dak tau mau ngapain,,,

Abis tu…Hujan kembali memindahkan pasukannya ke ruang dan waktu yang melingkupi kami. Kali ini juga tak kalah besar, bahkan aku juga dak tau, mana yang tensinya lebih besar. Aku sudah coba mengkondisikan perasaanku untuk sejenak tenang dan tidak panik. Namun gelisah dan panikku serasa semakin terpompa dengan guyuran hujan yang semakin deras.Aku mulai was-was dengan banyak hal. Bak Rom di kos, gimana aku bisa pulang sedang aku tak sedang membawa motor, malam uda mau mengakhiri riwayatnya, dan imun tubuhku yang serasa mau terkalahkan oleh dinginnya angin yang dibawa hujan. Aku kerap merasa keadaan jadi serba sulit dan sempit sebab pikiran negatifku mendahului stigma SULIT dan SEMPIT itu…Ya. Benar. Hal demikian sering sekali terjadi. Dan meskipun aku sudah berusaha mengubahnya, aku kembali mendapati kenyataan bahwa mengubah sesuatu yang sudah lama berakar PADA USIA SETUA INI ternyata bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan.

Aku sudah berusaha mencairkan keadaan dan sarafku yang mulai tegang sebab terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Tapi sekeras usahaku, semakin deras itu pulalah hujan mengguyur belahan bumi yang kupijaki. Aku saat itu masih di samping masjid Al-Muhsin sebelum pada akhirnya Paijo dan Vita datang membawakan payung untuk kami pulang. Paijo sudah basah kuyup dan memasrahkan segenap jiwa raganya pada hujan. Agaknya ia berpedoman bahwa terlanjur basah, hujan-hujanan ajah sekalian. Pada pergantian hari itu, payung menjadi suatu hal yang amat banget berharga. Aku join Wanda beriringan ke kos dengan satu payung. Di belakangku, Vita joint ma Dyan. Kami sampai ke posko dengan keadaan basah meski tidak sekujur tubuh.

Apes banget saat itu, celana yang kukenakan basa sampai bagian atas. Bisa dibayangkan bagaimana jika aku tidak segera bertindak. Penyelamatan pertama adalah dengan mengganti kostum, kemudian menghangatkan badan, dan….menemani waktu menunggu hujan menyelesaikan rezimnya malam itu. Aku mojok berempat dengan Vita, Dyan, dan Wanda dalam keadaan yang sama -sekali jauh dari kata PW. Aku bener-bener merasa tak ada jalan yang bisa kuandalkan untuk pulang. Semua kemungkinan yang aku kantongi sejak tadi seakan luntur diguyur hujan dan aku merasakan putus asaku hampir sempurna.

Aku berusaha memejamkan mata namun semua usahaku belum menunjukkan hasil yang membahagiakan. Yang ada malah aku berulang kali membolak-balik posisi tidurku. Seperti ingin menunjukkan bahwa seperti itu pulala gelisahnya hatiku menunggu hujan dan waktu serta keadaan mau kembali berbaik hati padaku. Saat itulah, Paijo mendobrak kejumudah otakku yang dilanda gelisah dengan kalimatnya yang sangat banget amat manis. Aku bisa tersenyum sempurna waktu itu. Sebab…Aku dkk merasakan suatu keadaan yang sama sekali belum pernah kami alami. BERMALAM dan MELEWATKAN MALAM BERSAMA di posko. Hal ini khususnya berlaku bagi temen-temen cewe. Temen2 cowo kayaknya sudah pada pernah merasakan rasanya MENGINAP di posko, sedang temen-temen cewe belum.

Ya, sebab cewe2 memiliki cukup banyak alasan dan latar belakang yang membuat kami tidak bisab bermalam di posko. Bunda misalnya, tak bisa berpisah dalam durasi waktu lebih dari enam jam dengan ddk Rasya, Wanda yang tinggal ma orang tuanya, dan anggota lain yang cukup memiliki keterikatan dengan kos masing-masing. Ternyata saat itu, hujan menepikan semua batas dan tapal penghalang itu—meski ada beberapa orang yang telah pulang bahkan ada yang sama sekali tak hadit—hingga sebagian besar dari anggota kelompok kami benar-benar seruang dan sewaktu di posko kami tercinta…

Hehehehhehehehehe…serasa menemukan blessing in disguise. Aku semakin meyakini keruntuhan teori single factor yang melahirkan sebuah fenomena apapun dalam kehidupan. Ternyata Tuhan baru akan menyatukan ruang dan waktu kami dalam sebuah episode yang tak pernah disangka sebelumnya. Aku kemudian mengandaikan bahwa jika hapeku tak sedang low, aku akan memperdengarkan lagu HUJAN-nya Utopia.

AKU SELALU BAHAGIA
SAAT HUJAN TURUN
KARENA AKU DAPAT MENGENANGMU
UNTUK DIRIKU SENDIRI

TENTANG KAU DAN HUJAN,
TENTANG CINTA KITA
YANG MENGALIR SEPERTI AIR

KARENA HUJAN PERNAH
MENAHANMU DI SINI…
UNTUKKU…

Meski konteksnya amat jauh berbeda, yakni antara kisah asmara dan persahabatan, tapi cukup representatif jugalah. Meski masih cukup menggigil dan kesal karena hujan terlalu lama memamerkan mahkotanya, aku merasa senang juga karena hujan jualah yang akhirnya MEMPERSATUKAN KAMI….

Well, ending cerita mungkin akan cukup tidak menyenangkan. Sebab pagi itu, menjelang jam setengah dua pagi, aku harus meninggalkan posko. Saat itu hujan sudah tak lagi datang. Aku semakin membenarkan bahwa hanya hujan yang bisa menyatukan kami. Saat itu hujan sudah reda meski gerimis belum beranjak, aku dapet tumpangan dan ada Vero yang bersedia akan membukakan pintu, aku keburu memutuskan untuk pulang. Aku membayangkan Bak Rom masih menungguku pulang. Kasian memang, meninggalkannya di malam pertama ia mendarat di Jogja dengan kamar dan kos yang cukup sepi. Aku memang harus mengorbankan salah satu, kebersamaan dengan temen-temen posko atau menemani Bak Rom yang beberapa jam lagi akan makan sahur dan dia belum tau harus ke mana dan bagaimana ia menjalai ritual itu..

Barangkali memang harus ada alasan yang tak dapat dinego, suatu hal yang sulit bisa bener-bener kasat mata dan nyata. Dan hujan malam itu, cukup mengukuhkan teori tersebut. LUV 4 MY FRIENDS…

Kamis, 12 Agustus 2010

Back againnnn

Aku kembali ingin menulis…

Sepenuhnya aku menyadari bahwa semakin tua usiaku, semakin banyak pengalaman yang kucicipi, aku ternyta juga semakin pintar mencari alasan untuk bermalas-malasan dalam mendokumentasikan waktu alias menulis. Aku tentu masih ingat ada beberapa inspirasi dan ide menarik yang sempat mampir di kepalaku namun akhirnya terbang begitu saja karena aku tak mau menerima uluran tangannya. Paling mentog, aku hanya membuat list judul tulisan yang ingin aku selesaikan…

Dan ternyata, satu hal yang baru aku ketahui adalah bahwa konsistensi dalam menulis itu luar biasa sulit. Bahkan konsistensi dalam level terkecil sekalipun. Tidak perlu jauh-jauh membayangkan adanya konsistensi dalam menemukan identitas dan gaya penulisan, melanjutkan sebuah tulisan pun, buat aku pribadi sulitnya minta ampun. Hal ini khususnya terjadi ketika aku menginginkan adanya series dalam tulisan-tulisanku. Faktor yang mungkin paling mendasar adalah karena saat ini, aku tak lagi menjadikan aktivitas menulis sebagai kebutuhan, namun telah menjadi semacam kesenangan yang sesekali disambangi, khususnya saat aku mulai mersakan kejenuhan dengan aktivitasku yang cukup mnoton dan itu-itu aja…

Tapi jujur, setelah aku membaca tulisan-tulisanku tiga-empat tahun yang lalu, aku kerap merasa tak percaya bahwa aku bisa menulis segiat dan setekun—serta sekonsisten—itu. Aku hanya tersenyum sendiri melihat betapa berbedanya aku tiga tahun yang lalu dengan aku hari ini…Meski memang, perubahan—atau mungkin bisa dibahasakan dengan degradasi—intensitas menulisku ini tidak sepenuhnya berwajah negatif, aku masih ingin banyak membenahi diri dengan kembali melihat tulisan-tulisanku….

Well, ruang dan waktuku masih berwarna dan berlatarkan sebuah judul besar yang menjadi salah satu mozaik dalam kehidupanku, yakni KKN. Uda hampir selesai, sekitar setengah bulanan lagi. Terakhir kali aku menulis, yakni tentang si alis tebel alias mantan Dyan, aku masih merasakan energi yang cukup kuat dan menjadi motivatorku untuk menulis. Namun selanjutnya, aku merasakan energi itu semakin surut. Aku bukan tak lagi memiliki diary seperti dulu, aku bahkan hampir membawanya setiap kali aku pergi. Namun entah, intensitas kemalasanku ternyata terus menanjak dan membentuk kurva yang progresif.

Cerita tentang Tawangmangu uda banyak aku tuangkan di diaryku. Next agenda, -kami ngadain acara “semacam perkenalan dan penyerah-terimaan” anak KKN ke warga RW 10 di balai RK, malam itu…1 Agustus 2010. Sangat amat terlambat memang, namun dalam banyak hal, terlambat kerap memang lebih baik dibanding tidak sama sekali. Yaaaaaaaaa…begitulah. Sesudah itu, dalam sebuah acara dengan persiapan yang tidak terlalu matang, aku dan beberapa temanku menantang malam menuju Parang Tritis….berdelapan dengan empat motor. Seru juga sebenarnya, meski dingin dan angin terasa begitu menusuk dan meremukkan sistem imun di tubuh-tubuh kami…

Acara sebenere adalah perayaan ulang tahun salah seorang teman kami, Mas Sabil. Sebagai orang yang punya gawe, sedari awal Mas Sabil uda mempersiapkan logistik buat kami setelah keluar dari sebuah toko swalayan yang buka 24 jam, tak jauh dari posko kami. Sepanjang perjalanan hampir tak ada suspensi. Malam sudah akan pulang dan anak manusia hanya terlihat satu-satu. Lampu-lampu di rumah warga tampak uda pada redup, dan kesepian pun nyaris menjadi rezim yang memiliki otoritas penuh di waktu dan ruang itu…

Suasana demikian bukan pertama kali aku rasakan, meski aku terbilang jarang menghabiskan malam di luar kos. Saat kesepian itu datang, segala hal kecil pun akan terasa sangat besar dan sangat amat berharga. Misalnya detik jarum jam. Saat dunia masi riuh dan anak manusia menghirup udara di balik aktivitasnya masing-masing, hampir tidak ada telinga yang mendenga degup detak jarum jam. Tak ada yang kurang kerjaan sulit-sulit mendengarkannya dan faktor kedua adalah karena jarum jam berbunyi sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar di tengah bunyi-bunyi lain yang lebih riuh…So, detak jarum jam, meski banyak berperan dalam menciptakan perpindahan dan perubahan, akan tetapi keberadaan fisikalnya masih kerap diabaikan atau bahkan tidak dianggap sama sekali.

Tapi bagi siapapun yang terperangkap atau memang melibatkan diri dalam kesendirian dan kesunyian, detak jarum jam akan menjadi teman maha setia yang akan menghantarkannya hingga detak-detik itu kalah dengan suara-suara lain yang memiliki daya bunyi lebih besar. Dan pada akhir malam menjelang pagi itu, yang terlintas di otakku ternyata cuma satu, aku ingin segera balas dendam tidur karena telah melewatkan jam tidurku di tempat yang sama sekali tidak representatif untuk tidur. Ya, pada waktu menjelang pagi dan pada ruang di atas jok sepeda motor dengan kecepatan tidak kurang dari 60 km/jm…

Perjalanan terbilang cukup lancar dan tidak ada halangan yang berarti. Aku keburu berterimakasih pada Tuhan karena walaupun kami berdelapan menempuh jalur yang cukup rawan dan pernah diberitakan menjadi TKP pembacokan—kriminalitas yang lagi marak dan hot di kotaku beberapa waktu yang lalu—semuanya masih baik-baik saja. namun perasaan lega itu seketika berubah menjadi keterkejutan manakala mengetahui bahwa motor yang dikendarai Mas Sabil dan Vita mengalami sedikit gangguan, yakni BAN BOCOR dan HARUS DITEMBEL. Setiap kesialan pasti masih menyisakan kemujuran. Begitu juga dengan tragedi ban bocor di awal pagi itu..mujurnya adalah tak ada korban jiwa dan kerugian material ditaksir tidak mencapai angka 20ribu plus tas Vita yang mengalami kerusakan cukup parah. Hehehe. Dan ada satu lagi, capcay si Vita yang dibelikan Dyan—dan sebelumnya uda pernah menciuam aspal didepan Lempuyangan—ternyata kembali masih bisa diselamatkan…

Pagi yang masih sangat amat gelap tanpa sinar agung matahari itu juga menjadi saksi betapa bingungnya kami mencari tambal ban yang masih buka. Hasil pencarian menyatakan NIHIL dan hipotesis nul pun berbicara. Beberapa toko, penginapan, dan tempat makan serta bangunan-bangunan lain uda tampak sepi ditinggalkan kesadaran penjaganya yang sudah berangkat tidur sejak beberapa saat yang lalu. Well, satu-satunya alternatifnya adalah menunggu hingga matahari datang membangunkan jiwa2 yang masih terlelap yang kemudian akan memunculkan harapan adanya layanan tambal ban yang bisa diandalkan.

Aku berpikir seandainya aku berada di posisi Mas Sabil, betapa heboh dan geronya aku waktu itu. Bayangin ajah, pada detik-detik pertama di umurku yang baru, Tuhan uda membingkiskan sebuah hadiah yang cukup unik. Untungnya Mas Sabil adalah tipikal orang yang terlihat tidak suka mendramatisir keadaan seperti diriku, meski dalam beberapa hal. Mengenai sifat dan sikapku yang suka mendramatisir keadaan dan menganggap suatu permasalahan yang sederhana terlihat rumit dan mbuleeeeeeeet, jane aku sudah menyadari sejak awal. Dan akupun sedikit banyak sudah mengidentifikasi faktor-faktornya.

Kebiasaan ini, meski sudah berulang kali dan mati-matian ingin aku hapus dari diriku, ternyata hingga saat ini masih membekas, meski mungkin tensinya tidka separah dulu. Mengenai teori, aku tentu sudah banyak memakan teori bahwa masalah apapun sebenarnya banyak bergantung dari sudut pandang dan kacamata yang aku pakai. Jika aku menganggapnya sebagai suatu hal yang besar, gaswat, atau bahkan sampai pada tahap membahayakan, makan masalah itu akan membesar dan memperumit dirinya sendiri sesuai dengan pikiran dan cara pandangku. Ya…begitulah…Selalu banyak pelajaran yang aku dapatkan dari siapapun yang berkomunikasi dan berada di sekitarku. Lagi2 kuncinya cuma satu, yakni jika aku mau belajar dan menggunakan cara pandang yang lebih luas.

Next agenda pastinya adalah bercengkerama dengan laut. Meski tak harus membiarkan ombak menjilat tubuh kami, kami berdelapan sedikit mendekati medan magnet dengan tensi dingin yang sampai pada level menggigilkan tersebut dengan beralaskan dua buah tikar yang disewakan oleh seorang nenek tua. Duduk dalam posisi melingkar dengan gaya tak beraturan, aku dan temen-temen menikmati sajian makanan dan logistik yang masih tersisa, ngobrol ngalor ngidul, bakar-bakaran, ngintip orang yang lagi pacaran, dan akhirnya semua suara itu terdengar semakin pelan saat mataku mulai terpejam dan jiwaku mulai menemukan tempatnya untuk sejenak beristirahat.

Ritual selanjutnya ya biasa-biasa aja…Sayang pagi yang dingin itu menyilakan mendung dan gerimis untuk bertahta sehingga kami kesulitan—dan ahirnya mengurungkan niat—untuk bermain-main dengan ombak dan pasir. Kami pulang dan kembali ke Jogja sebelum sempat mengucapkan salam perpisahan dengan pasir yang menjadi alas tidur dan langit serta angin yang menyelimuti tidur kami yang tak lelap—beberapa di antara temen2ku bahkan ada yang tidak tidur semalaman suntuk. Dan dalam perjalanan pulang…..Ya amppppppppppppuuun…jalanan rame banget. Katarsis yang sempurna dengan enam jaman yang lalu saat suasana masih menjadikan gelap dan hening sebagai atribut tunggalnya.

Anak-anak manusia dari arah yang berbeda perlahan merengsek untuk menuju sebuah jalur yang kembali akan memisahkan mereka satu sama lain untuk sampai pada sebuah tempat yang mereka tuju. Ya, dalam hal ini jalan protokol menjadi semacam terminal yang menjelma tempat beberapa orang dari alur dan arah yang berbeda untuk bertemu dan selanjutnya berpisah, menuju rute dan jalur masing-masing. Mereka akan kembali bertemu dengan orang-orang baru yang pada akhirnya juga akan berseberangan arah. Sebab pada akhirnya manusia bener-bener aka sendiri. Tak ada yang lebih setia padanya selain dirinya sendiri.

Aku memang kurang terbiasa berlama-lama di depan laptop jika sudah melewatkan tiga lembar dalam ms. Word ini. seperti yang terjadi detik ini. So sebagai epilognya, aku hanya akan kembali mencopypaste paragraf terakhirku…

#) Untuk Mas Sabil; Tq 4 nice invite, story, dan fuudnya. Have an improving new age
#) Untuk Mas Zaki; Tq 4 minimizing ur smoking’s frequency when riding in front of me dan mbayarin bensin..Hehehe
#) Untuk Vita; Tq 4 Capcaynya yang aduhai kuat dan kukuh bangeet plus tebengan motornya
#) Untuk Dyan; Tq 4 perjalanan malam yang ‘mengenyangkan dan menyenangkan’ dan membuat ketagihan serta kesetiaannya menemani mencari kamar mandi…
#) Untuk Paijret: Tq 4 nayz story dan keterjagaannya semalam penuh…plus bakar-bakarannya yang menghalau dingin tujuh anak manusia yang tengah kedinginan…
#) Untuk Huda: Tq 4 worrying me saat aku tak kuasa melawan dingin dengan mencari apapun yang bisa dibakar…
#) Untuk Roby: Tq untuk atraksi tidurnya yang tak tertandingi serta tak sedikitpun terganggu—apalagi terkalahkan—dengan dingin dan angin…

Kekurangan cerita dan perjalanan ini adalah: KAMI BERDELAPAN TIDAK SEMPAT FOTO BERSAMA…