(Memory pergantian hari, 13-14 Agustus 2010)
Judul di atas sebenernya merupakan hak paten dan registred yang dimiliki Paijo. Dia dengan spontan mengupcakannya dan pada satu detik berikutnya pun aku berjanji bahwa aku akan menulis sebuah oretan yang bertajuk kalimat tersebut. Andai saja saat itu Paijo menuliskan statusnya demikian di fb, aku akan mengklik kata “like” berkali-kali meski bilangan tersebut tak akan ada artinya dan tidak memiliki sama sekali perbedaan dengan ketika aku mengkliknya satu kali. Ya, ya, pada intinya aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat menyukai kalimat itu. Singkat, padat, dan menohok.
Jadi ceritanya, malam itu, aku dan kawan-kawan KKN terlibat dalam sebuah acara yang saaaaaaaaaaaangat amat banget melelahkan dan memforsir tenaga. Amat sangat. Aku sendiri yang sebenarnya tidak terlalu berperan sudah merasakan rasa cape dan lemah lesu di semua sisi, otak dan perasaanku. Aku membayangkan rasa capek yang melanda temen2ku jauh lebih besar dibanding aku. Yayayayayaya, meski pada lain sisi, malam itu aku sempat ngedumel dan koar2 ngomel2 ga jelas karena ada ketimpangan sosial yang malam itu kembali terjadi dan hampir tak ada perubahan sama sekali.
Ya begitulah salah satu hal yang membuat aku malas untuk bekerja dalam sebuah tim. Meski beban kerja memang akan cukup ringan, akan tetapi menjaga kekompakan ternyata bukan suatu hal yang mudah. Hal inilah yang membuat aku lebih memilih untuk bekerja sendiri dalam hal membuat makalah di kelas. Aku sulit kalo harus berkompromi dengan (pikiran dan idealisme) orang lain serta segala hal yang pada akhirnya hanya akan membawa pada apa yang namanya MUTUNG2An.
Well, balek ke cerita awal. Malam itu, kelompokku lagi mengadakan gawe tentang perawatan jenazah. Pematerinya adalah salah seorang dosen UIN fakultas syariah yang juga orang LPM. Sehari sebelumnya aku dan Mas Sabil telah menghubungi dan menemui bapak ini dan beliau menyanggupi tawaran kami setelah sebelumnya Pak Indal menolka dan mengalihkan permohonan kami. Ternyata ne bapak sudah menjadi master dalam perawatan jenazah. Ya,,,dalam lingkup KKN UIN mungkin, yang bisa aku tau. Sebab, beliau ndiri pernah cerita bahwa beliau sering ngisi forum yang sama di mana-mana dan beliau pun sudah memiliki peralatan dan segala hal yang dibutuhkan untuk forum perawatan jenazah. Ya, begitulah adanya. Sesuai pesanan beliau, kami hanya perlu menyediakan air dan tempat. (Serta yang lain-lain, semisal DOIT dan gorengan buat cemilan di malam hari bulan puasa)…
Aku sedikit mengikuti forum ini meski dalam keadaan ngantuk dan lelah luar biasa. Sebuah pikiranku melayang pada Bak Rom yang tengah sendirian di kamarku dan pikiran lain membuat aku merinding. Ya, mendengarkan seminar tentang cara merawat jenazah cukup menyadarkan aku malam itu bahwa…Aku juga akan diperlakukan seperti boneka peraga yang dibawa si bapak pembicara tadi. Aku mulai menerka, kapan dan di mana aku akan benar-benar menjadi sejarah bagi siapapun…Aku bener-bener begidik membayangkan betapa banyak hal yang belum kuselesaikan. Bahkan belum kumulai. Duh, Tuhan…Nyebut berkali-kali aku malam itu…
Untuk yang keberapa kalinya aku hanya menyadari bahwa...Aku tak sama sekali punya daya atas diriku. Misalnya dalam konteks demikian. Aku bertanya masih adakah orang yang menangisi kematianku, siapa yang akan memandikanku, menyalatiku, dan duuuuuuuuuuuh….Menulis saja aku sudah meringis. Aku merasa sama sekali belum siap. Mungkin pernyataan yang cukup polos dan lugu, tapi itulah yang aku rasakan. Pikiran lain yang juga melayang di otakku adalah mengenai kematian orang-orang terdekat yang sama sekali tidak aku harapkan. Ya, meski aku tau bahwa semua itu pasti dan harus terjadi, namun aku berusaha selalu mengenyahkan pikiran dan ketakutan itu. Seperti mengukuhkan niat bahwa malam itu aku duduk di situ hanya untuk mengikuti kajian dan menambah wawasan serta pengetahuan, belum untuk membayangkan segala hal yang bisa membuat aku sama sekali tak berarti dan tak berdaya. Tuhan memang menyajikan banyak misteri dalam kehidupan sebab ia akan merasa senang jika manusia mau berpikir dan berbeda dalam pola maupun hasil pikirnya.
Sebelum acara itu selesai, tiba-tiba hujan datang seketika dengan pasukan dingin dan anginnya yang mencengangkan. Hujan memang tak memerlukan banyak hal untuk bisa datang. Ia tak selalu butuh awan dan mendung, meski kerap masih menyajikannya sebelum pasukannya lewat. Malam itu saat rembulan tak sama sekali purnama, aku sama sekali tak menduga bahwa hujan akan datang semendadak itu. Gede pula. Ada banyak orang—termasuk diriku tentunya—yang mengganti posisi mencari tempat yang aman untuk tetap terlindung dari hujan.. namun bukannya mereda, ia malah semakin menggila.
Malam merangkak perlahan diiringi hujan dan aku merasakan waktu semakin lambat berjalan dengan satu pikiran, “KAPAN SELESAINYA?” Atau pikiran lain, “Jangan ada lagi yang bertanya donk…uda malem, kasian audien lain yang uda pada cape dan ngantuk”, dan lain sebagainya yang bernada desakan bisu pada si pembicara untuk segera menyudahi forum. Akhirnya, gatau jam berapa, forum sudah akan ditutup tapi hujan belum juga pergi. Terpaksa bapak pemateri masih menunggu hujan mau mengalihkan dirinya ke tempat lain. Sementara itu, aku dan temen-temen lain mulai menyibukkan aktivitas masing-masing dengan apapun –yang bisa dan menarik untuk dilakukan. Ada yang cuci piring dan gelas, mondar-mandir ga jelas, ngobrol, dan ada juga yang dak tau mau ngapain. Aku dan Dian berada pada golongan terakhir ini..Kami hanya jeprat-jepret ga jelas dan dak tau mau ngapain,,,
Abis tu…Hujan kembali memindahkan pasukannya ke ruang dan waktu yang melingkupi kami. Kali ini juga tak kalah besar, bahkan aku juga dak tau, mana yang tensinya lebih besar. Aku sudah coba mengkondisikan perasaanku untuk sejenak tenang dan tidak panik. Namun gelisah dan panikku serasa semakin terpompa dengan guyuran hujan yang semakin deras.Aku mulai was-was dengan banyak hal. Bak Rom di kos, gimana aku bisa pulang sedang aku tak sedang membawa motor, malam uda mau mengakhiri riwayatnya, dan imun tubuhku yang serasa mau terkalahkan oleh dinginnya angin yang dibawa hujan. Aku kerap merasa keadaan jadi serba sulit dan sempit sebab pikiran negatifku mendahului stigma SULIT dan SEMPIT itu…Ya. Benar. Hal demikian sering sekali terjadi. Dan meskipun aku sudah berusaha mengubahnya, aku kembali mendapati kenyataan bahwa mengubah sesuatu yang sudah lama berakar PADA USIA SETUA INI ternyata bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Aku sudah berusaha mencairkan keadaan dan sarafku yang mulai tegang sebab terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Tapi sekeras usahaku, semakin deras itu pulalah hujan mengguyur belahan bumi yang kupijaki. Aku saat itu masih di samping masjid Al-Muhsin sebelum pada akhirnya Paijo dan Vita datang membawakan payung untuk kami pulang. Paijo sudah basah kuyup dan memasrahkan segenap jiwa raganya pada hujan. Agaknya ia berpedoman bahwa terlanjur basah, hujan-hujanan ajah sekalian. Pada pergantian hari itu, payung menjadi suatu hal yang amat banget berharga. Aku join Wanda beriringan ke kos dengan satu payung. Di belakangku, Vita joint ma Dyan. Kami sampai ke posko dengan keadaan basah meski tidak sekujur tubuh.
Apes banget saat itu, celana yang kukenakan basa sampai bagian atas. Bisa dibayangkan bagaimana jika aku tidak segera bertindak. Penyelamatan pertama adalah dengan mengganti kostum, kemudian menghangatkan badan, dan….menemani waktu menunggu hujan menyelesaikan rezimnya malam itu. Aku mojok berempat dengan Vita, Dyan, dan Wanda dalam keadaan yang sama -sekali jauh dari kata PW. Aku bener-bener merasa tak ada jalan yang bisa kuandalkan untuk pulang. Semua kemungkinan yang aku kantongi sejak tadi seakan luntur diguyur hujan dan aku merasakan putus asaku hampir sempurna.
Aku berusaha memejamkan mata namun semua usahaku belum menunjukkan hasil yang membahagiakan. Yang ada malah aku berulang kali membolak-balik posisi tidurku. Seperti ingin menunjukkan bahwa seperti itu pulala gelisahnya hatiku menunggu hujan dan waktu serta keadaan mau kembali berbaik hati padaku. Saat itulah, Paijo mendobrak kejumudah otakku yang dilanda gelisah dengan kalimatnya yang sangat banget amat manis. Aku bisa tersenyum sempurna waktu itu. Sebab…Aku dkk merasakan suatu keadaan yang sama sekali belum pernah kami alami. BERMALAM dan MELEWATKAN MALAM BERSAMA di posko. Hal ini khususnya berlaku bagi temen-temen cewe. Temen2 cowo kayaknya sudah pada pernah merasakan rasanya MENGINAP di posko, sedang temen-temen cewe belum.
Ya, sebab cewe2 memiliki cukup banyak alasan dan latar belakang yang membuat kami tidak bisab bermalam di posko. Bunda misalnya, tak bisa berpisah dalam durasi waktu lebih dari enam jam dengan ddk Rasya, Wanda yang tinggal ma orang tuanya, dan anggota lain yang cukup memiliki keterikatan dengan kos masing-masing. Ternyata saat itu, hujan menepikan semua batas dan tapal penghalang itu—meski ada beberapa orang yang telah pulang bahkan ada yang sama sekali tak hadit—hingga sebagian besar dari anggota kelompok kami benar-benar seruang dan sewaktu di posko kami tercinta…
Hehehehhehehehehe…serasa menemukan blessing in disguise. Aku semakin meyakini keruntuhan teori single factor yang melahirkan sebuah fenomena apapun dalam kehidupan. Ternyata Tuhan baru akan menyatukan ruang dan waktu kami dalam sebuah episode yang tak pernah disangka sebelumnya. Aku kemudian mengandaikan bahwa jika hapeku tak sedang low, aku akan memperdengarkan lagu HUJAN-nya Utopia.
AKU SELALU BAHAGIA
SAAT HUJAN TURUN
KARENA AKU DAPAT MENGENANGMU
UNTUK DIRIKU SENDIRI
TENTANG KAU DAN HUJAN,
TENTANG CINTA KITA
YANG MENGALIR SEPERTI AIR
KARENA HUJAN PERNAH
MENAHANMU DI SINI…
UNTUKKU…
Meski konteksnya amat jauh berbeda, yakni antara kisah asmara dan persahabatan, tapi cukup representatif jugalah. Meski masih cukup menggigil dan kesal karena hujan terlalu lama memamerkan mahkotanya, aku merasa senang juga karena hujan jualah yang akhirnya MEMPERSATUKAN KAMI….
Well, ending cerita mungkin akan cukup tidak menyenangkan. Sebab pagi itu, menjelang jam setengah dua pagi, aku harus meninggalkan posko. Saat itu hujan sudah tak lagi datang. Aku semakin membenarkan bahwa hanya hujan yang bisa menyatukan kami. Saat itu hujan sudah reda meski gerimis belum beranjak, aku dapet tumpangan dan ada Vero yang bersedia akan membukakan pintu, aku keburu memutuskan untuk pulang. Aku membayangkan Bak Rom masih menungguku pulang. Kasian memang, meninggalkannya di malam pertama ia mendarat di Jogja dengan kamar dan kos yang cukup sepi. Aku memang harus mengorbankan salah satu, kebersamaan dengan temen-temen posko atau menemani Bak Rom yang beberapa jam lagi akan makan sahur dan dia belum tau harus ke mana dan bagaimana ia menjalai ritual itu..
Barangkali memang harus ada alasan yang tak dapat dinego, suatu hal yang sulit bisa bener-bener kasat mata dan nyata. Dan hujan malam itu, cukup mengukuhkan teori tersebut. LUV 4 MY FRIENDS…
0 comMentz:
Posting Komentar