Aku kembali ingin menulis…
Sepenuhnya aku menyadari bahwa semakin tua usiaku, semakin banyak pengalaman yang kucicipi, aku ternyta juga semakin pintar mencari alasan untuk bermalas-malasan dalam mendokumentasikan waktu alias menulis. Aku tentu masih ingat ada beberapa inspirasi dan ide menarik yang sempat mampir di kepalaku namun akhirnya terbang begitu saja karena aku tak mau menerima uluran tangannya. Paling mentog, aku hanya membuat list judul tulisan yang ingin aku selesaikan…
Dan ternyata, satu hal yang baru aku ketahui adalah bahwa konsistensi dalam menulis itu luar biasa sulit. Bahkan konsistensi dalam level terkecil sekalipun. Tidak perlu jauh-jauh membayangkan adanya konsistensi dalam menemukan identitas dan gaya penulisan, melanjutkan sebuah tulisan pun, buat aku pribadi sulitnya minta ampun. Hal ini khususnya terjadi ketika aku menginginkan adanya series dalam tulisan-tulisanku. Faktor yang mungkin paling mendasar adalah karena saat ini, aku tak lagi menjadikan aktivitas menulis sebagai kebutuhan, namun telah menjadi semacam kesenangan yang sesekali disambangi, khususnya saat aku mulai mersakan kejenuhan dengan aktivitasku yang cukup mnoton dan itu-itu aja…
Tapi jujur, setelah aku membaca tulisan-tulisanku tiga-empat tahun yang lalu, aku kerap merasa tak percaya bahwa aku bisa menulis segiat dan setekun—serta sekonsisten—itu. Aku hanya tersenyum sendiri melihat betapa berbedanya aku tiga tahun yang lalu dengan aku hari ini…Meski memang, perubahan—atau mungkin bisa dibahasakan dengan degradasi—intensitas menulisku ini tidak sepenuhnya berwajah negatif, aku masih ingin banyak membenahi diri dengan kembali melihat tulisan-tulisanku….
Well, ruang dan waktuku masih berwarna dan berlatarkan sebuah judul besar yang menjadi salah satu mozaik dalam kehidupanku, yakni KKN. Uda hampir selesai, sekitar setengah bulanan lagi. Terakhir kali aku menulis, yakni tentang si alis tebel alias mantan Dyan, aku masih merasakan energi yang cukup kuat dan menjadi motivatorku untuk menulis. Namun selanjutnya, aku merasakan energi itu semakin surut. Aku bukan tak lagi memiliki diary seperti dulu, aku bahkan hampir membawanya setiap kali aku pergi. Namun entah, intensitas kemalasanku ternyata terus menanjak dan membentuk kurva yang progresif.
Cerita tentang Tawangmangu uda banyak aku tuangkan di diaryku. Next agenda, -kami ngadain acara “semacam perkenalan dan penyerah-terimaan” anak KKN ke warga RW 10 di balai RK, malam itu…1 Agustus 2010. Sangat amat terlambat memang, namun dalam banyak hal, terlambat kerap memang lebih baik dibanding tidak sama sekali. Yaaaaaaaaa…begitulah. Sesudah itu, dalam sebuah acara dengan persiapan yang tidak terlalu matang, aku dan beberapa temanku menantang malam menuju Parang Tritis….berdelapan dengan empat motor. Seru juga sebenarnya, meski dingin dan angin terasa begitu menusuk dan meremukkan sistem imun di tubuh-tubuh kami…
Acara sebenere adalah perayaan ulang tahun salah seorang teman kami, Mas Sabil. Sebagai orang yang punya gawe, sedari awal Mas Sabil uda mempersiapkan logistik buat kami setelah keluar dari sebuah toko swalayan yang buka 24 jam, tak jauh dari posko kami. Sepanjang perjalanan hampir tak ada suspensi. Malam sudah akan pulang dan anak manusia hanya terlihat satu-satu. Lampu-lampu di rumah warga tampak uda pada redup, dan kesepian pun nyaris menjadi rezim yang memiliki otoritas penuh di waktu dan ruang itu…
Suasana demikian bukan pertama kali aku rasakan, meski aku terbilang jarang menghabiskan malam di luar kos. Saat kesepian itu datang, segala hal kecil pun akan terasa sangat besar dan sangat amat berharga. Misalnya detik jarum jam. Saat dunia masi riuh dan anak manusia menghirup udara di balik aktivitasnya masing-masing, hampir tidak ada telinga yang mendenga degup detak jarum jam. Tak ada yang kurang kerjaan sulit-sulit mendengarkannya dan faktor kedua adalah karena jarum jam berbunyi sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar di tengah bunyi-bunyi lain yang lebih riuh…So, detak jarum jam, meski banyak berperan dalam menciptakan perpindahan dan perubahan, akan tetapi keberadaan fisikalnya masih kerap diabaikan atau bahkan tidak dianggap sama sekali.
Tapi bagi siapapun yang terperangkap atau memang melibatkan diri dalam kesendirian dan kesunyian, detak jarum jam akan menjadi teman maha setia yang akan menghantarkannya hingga detak-detik itu kalah dengan suara-suara lain yang memiliki daya bunyi lebih besar. Dan pada akhir malam menjelang pagi itu, yang terlintas di otakku ternyata cuma satu, aku ingin segera balas dendam tidur karena telah melewatkan jam tidurku di tempat yang sama sekali tidak representatif untuk tidur. Ya, pada waktu menjelang pagi dan pada ruang di atas jok sepeda motor dengan kecepatan tidak kurang dari 60 km/jm…
Perjalanan terbilang cukup lancar dan tidak ada halangan yang berarti. Aku keburu berterimakasih pada Tuhan karena walaupun kami berdelapan menempuh jalur yang cukup rawan dan pernah diberitakan menjadi TKP pembacokan—kriminalitas yang lagi marak dan hot di kotaku beberapa waktu yang lalu—semuanya masih baik-baik saja. namun perasaan lega itu seketika berubah menjadi keterkejutan manakala mengetahui bahwa motor yang dikendarai Mas Sabil dan Vita mengalami sedikit gangguan, yakni BAN BOCOR dan HARUS DITEMBEL. Setiap kesialan pasti masih menyisakan kemujuran. Begitu juga dengan tragedi ban bocor di awal pagi itu..mujurnya adalah tak ada korban jiwa dan kerugian material ditaksir tidak mencapai angka 20ribu plus tas Vita yang mengalami kerusakan cukup parah. Hehehe. Dan ada satu lagi, capcay si Vita yang dibelikan Dyan—dan sebelumnya uda pernah menciuam aspal didepan Lempuyangan—ternyata kembali masih bisa diselamatkan…
Pagi yang masih sangat amat gelap tanpa sinar agung matahari itu juga menjadi saksi betapa bingungnya kami mencari tambal ban yang masih buka. Hasil pencarian menyatakan NIHIL dan hipotesis nul pun berbicara. Beberapa toko, penginapan, dan tempat makan serta bangunan-bangunan lain uda tampak sepi ditinggalkan kesadaran penjaganya yang sudah berangkat tidur sejak beberapa saat yang lalu. Well, satu-satunya alternatifnya adalah menunggu hingga matahari datang membangunkan jiwa2 yang masih terlelap yang kemudian akan memunculkan harapan adanya layanan tambal ban yang bisa diandalkan.
Aku berpikir seandainya aku berada di posisi Mas Sabil, betapa heboh dan geronya aku waktu itu. Bayangin ajah, pada detik-detik pertama di umurku yang baru, Tuhan uda membingkiskan sebuah hadiah yang cukup unik. Untungnya Mas Sabil adalah tipikal orang yang terlihat tidak suka mendramatisir keadaan seperti diriku, meski dalam beberapa hal. Mengenai sifat dan sikapku yang suka mendramatisir keadaan dan menganggap suatu permasalahan yang sederhana terlihat rumit dan mbuleeeeeeeet, jane aku sudah menyadari sejak awal. Dan akupun sedikit banyak sudah mengidentifikasi faktor-faktornya.
Kebiasaan ini, meski sudah berulang kali dan mati-matian ingin aku hapus dari diriku, ternyata hingga saat ini masih membekas, meski mungkin tensinya tidka separah dulu. Mengenai teori, aku tentu sudah banyak memakan teori bahwa masalah apapun sebenarnya banyak bergantung dari sudut pandang dan kacamata yang aku pakai. Jika aku menganggapnya sebagai suatu hal yang besar, gaswat, atau bahkan sampai pada tahap membahayakan, makan masalah itu akan membesar dan memperumit dirinya sendiri sesuai dengan pikiran dan cara pandangku. Ya…begitulah…Selalu banyak pelajaran yang aku dapatkan dari siapapun yang berkomunikasi dan berada di sekitarku. Lagi2 kuncinya cuma satu, yakni jika aku mau belajar dan menggunakan cara pandang yang lebih luas.
Next agenda pastinya adalah bercengkerama dengan laut. Meski tak harus membiarkan ombak menjilat tubuh kami, kami berdelapan sedikit mendekati medan magnet dengan tensi dingin yang sampai pada level menggigilkan tersebut dengan beralaskan dua buah tikar yang disewakan oleh seorang nenek tua. Duduk dalam posisi melingkar dengan gaya tak beraturan, aku dan temen-temen menikmati sajian makanan dan logistik yang masih tersisa, ngobrol ngalor ngidul, bakar-bakaran, ngintip orang yang lagi pacaran, dan akhirnya semua suara itu terdengar semakin pelan saat mataku mulai terpejam dan jiwaku mulai menemukan tempatnya untuk sejenak beristirahat.
Ritual selanjutnya ya biasa-biasa aja…Sayang pagi yang dingin itu menyilakan mendung dan gerimis untuk bertahta sehingga kami kesulitan—dan ahirnya mengurungkan niat—untuk bermain-main dengan ombak dan pasir. Kami pulang dan kembali ke Jogja sebelum sempat mengucapkan salam perpisahan dengan pasir yang menjadi alas tidur dan langit serta angin yang menyelimuti tidur kami yang tak lelap—beberapa di antara temen2ku bahkan ada yang tidak tidur semalaman suntuk. Dan dalam perjalanan pulang…..Ya amppppppppppppuuun…jalanan rame banget. Katarsis yang sempurna dengan enam jaman yang lalu saat suasana masih menjadikan gelap dan hening sebagai atribut tunggalnya.
Anak-anak manusia dari arah yang berbeda perlahan merengsek untuk menuju sebuah jalur yang kembali akan memisahkan mereka satu sama lain untuk sampai pada sebuah tempat yang mereka tuju. Ya, dalam hal ini jalan protokol menjadi semacam terminal yang menjelma tempat beberapa orang dari alur dan arah yang berbeda untuk bertemu dan selanjutnya berpisah, menuju rute dan jalur masing-masing. Mereka akan kembali bertemu dengan orang-orang baru yang pada akhirnya juga akan berseberangan arah. Sebab pada akhirnya manusia bener-bener aka sendiri. Tak ada yang lebih setia padanya selain dirinya sendiri.
Aku memang kurang terbiasa berlama-lama di depan laptop jika sudah melewatkan tiga lembar dalam ms. Word ini. seperti yang terjadi detik ini. So sebagai epilognya, aku hanya akan kembali mencopypaste paragraf terakhirku…
#) Untuk Mas Sabil; Tq 4 nice invite, story, dan fuudnya. Have an improving new age
#) Untuk Mas Zaki; Tq 4 minimizing ur smoking’s frequency when riding in front of me dan mbayarin bensin..Hehehe
#) Untuk Vita; Tq 4 Capcaynya yang aduhai kuat dan kukuh bangeet plus tebengan motornya
#) Untuk Dyan; Tq 4 perjalanan malam yang ‘mengenyangkan dan menyenangkan’ dan membuat ketagihan serta kesetiaannya menemani mencari kamar mandi…
#) Untuk Paijret: Tq 4 nayz story dan keterjagaannya semalam penuh…plus bakar-bakarannya yang menghalau dingin tujuh anak manusia yang tengah kedinginan…
#) Untuk Huda: Tq 4 worrying me saat aku tak kuasa melawan dingin dengan mencari apapun yang bisa dibakar…
#) Untuk Roby: Tq untuk atraksi tidurnya yang tak tertandingi serta tak sedikitpun terganggu—apalagi terkalahkan—dengan dingin dan angin…
Kekurangan cerita dan perjalanan ini adalah: KAMI BERDELAPAN TIDAK SEMPAT FOTO BERSAMA…
0 comMentz:
Posting Komentar