RSS

Kamis, 19 Agustus 2010

Ramadhan edc

Mencari Makan di Siang Hari Bulan Ramadhan

Ramadhan kali ini cukup berbeda dengan Ramadhan taun lalu. Yang pertama adalah karena dulu, aku menghabiskan Ramadhan di kampung halamanku, terbujur kaku di kamar kecil dan menjadi pesakitan yang ga bisa ngapa2in selain hanya menangis dan mengeluh. Alhamdulillah kejadian tersebut tidak terulang kembali, khususnya pada momen Ramadhan taun ini. Yang kedua, dulu, setaon lalu, aku serasa sama sekali tidak kecipratan suasana Ramadhan sebab aku—bisa dibilang lumpuh dan ga bisa ngapa2in—hanya diam di kamar. Ga puasa, ga sahur ga buka, ga tarawih, dan sialnya juga aku ga berlebaran. Pas lebaran sakitku masih dan bahkan abis lebaran aku harus opname.

Catatan yang cukup menyedihkan. Selama kurang lebih dua bulan, aku harus off dan uzlah dari segala rutinitas dan aktivitasku di kampus, kos, juga di rumah. Tak terbahasakan lah, bagaimana stagnannya diriku kala itu. Sebab itulah, pada tahun ini, aku bahagia sebab Tuhan kembali berbaik hati memberikanku kesehatan dan kemudahan untuk menjalani rangkaian ritual ini. KKN pula, yang meski tiap hari tiap malam harus makan angin, alhamdulillah aku masih belum nge-drop. Bersyukur banget dan banget bersyukur. Setidaknya aku bisa banyak membandingkan keadaanku taun lalu dengan keadaanku saat ini.

Sayang memang, ketika hari pertama Ramadhan, aku belum bisa berpuasa sebab ada halangan biologis yang melarangku untuk berpuasa. Namun meski tidak berpuasa, aku juga merasakan dampak dan pengaruh dari Ramadhan yang sudah mulai menemani waktu melaju. Dampak yang paling real adalah aku yang merasa sangat banget amat kesulitan untuk mendapatkan nasi di siang hari. Bukan apa2, warung nasi biasanya nutup di siang hari bulan Ramadhan…dan aku yang tidak bisa memasak sangat dirugikan dengan keadaan ini. Jadinya yaaaaa,,,mau tak mau, aku harus menyisir beberapa tempat untuk bisa mendapatkan nasi.

Untuk urusan yang satu ini, aku memang harus meninggikan tensi pedemeterku. Aku, dalam beberapa hal memang kerap cuek dengan anggapan yang mugkin dimiliki orang lain tentangku. Tapi kalo uda laper dan segera butuh pertolongan, aku biasanya akan mengenyahkan segala sikap sungkan dan ga enak itu. Yayayaya, aku pikir orang di sekelilingku pastilah berprasangka baik dan wajar jika ada perempuan beratribut muslimah yang makan atau cari makan di siang hari bulan Ramadhan. Jadi bermodal paradigma yang demikian, aku berusaha terus mengatasi keadaan yang sebenarnya dilematis itu. Mau ga makan laper, mau beli nasi ga enak. Tapi willy nilly, perutku tidak bisa berkompromi..

Hari pertama Ramadhan, aku cukup bersyukur sebab ada dua temen kosku yang juga tidak bisa berpuasa sehingg aku melakukan aktivitas penyisiran tempat TIDAK SENDIRIAN. Dak perlu berupaya terlalu lama dan berjalan terlalu jauh, kami bertiga sudah bisa mendapatkan warung nasi yang buka dan menyediakan makanan. Dan di sana—tanpa harus menyebutkan nama tempat makan tersebut—aku dan kedua temenku malu-malu memasuki warung dan akhirnya memesan nasi plus lauk plus sayur. Di tempat itu, aku melihat seorang bapak yang uda cukup tua tengah menyantap sarapan paginya dengan sangat nikmat. Tapi gelagat-gelagar geroginya tampak juga saat aku dan dia tak sengaja bertatapan. Aku menunjukkan ekspresi datar ajah…Ga tau mau berekspresi bagaimana.

Hari kedua, aku mendapatkan sebungkus nasi dari temen KKNku (mas Sabil) saat kami janjian ketemu di LPM untuk sebuah keperluan. Ada dua kebetulan yang menyelamatkan nasib perutku pagi itu. Yang pertama adalah, kebetulah mas Sabil tau kalo aku dak puasa. Dan yang kedua adalah kebetulah mas Sabil salah menyebutkan jumlah (kuantitas) nasi bungkus yang dipesennya pada seorang temen saat akan berangkat sahur. Dan jadilah, pada hari kedua, aku tidak perlu susah-susah menyisir beberapa wilayah untuk mendapatkan nasi. Dalam hal ini, aku sama sekali tidak mempertimbangkan apa yang namanya HARGA dan CITA RASA. Dalam artian, asalkan ada nasi, ya pasti tak hajar. Hahahahahaha….

Hari ketiga, pedemeterku bener-bener diuji. Pas itu dua temenku sudah pada beli nasi so itu artinya aku tak ada temen yang bisa diajak untuk mencari nasi. Pas itu aku sedikit tersibukkan dengan sebuah keperluan di Ringroad utara. Cukup urgent juga, makanya aku mpe lupa makan gara2 terlalu heboh mengurusi keperluan itu. Aku inget pas itu hari Jumat. Bersama seorang temenku, aku menyelesaikan urusan itu dan ketika semuanya telah selesai dan aku bisa tersenyum, aku baru inget bahwa ada sebuah sisi kosong dalam hidupku..Yayayayaya, perutku belum terisi. Dengan polosnya, di saat bingung itu, aku bertanya di mana saja warung makan yang buka pada siang hari bulan Ramadhan. Dia menyebutkan sebuah tempat dan aku langsung tersenyum.

Udara cukup panas waktu itu, memberi kesempatan selebar-lebarnya pada mahluk bernama HAUS untuk bertahta di tenggorokan manusia. Sebagai orang yang telah membantuku, iseng aku menawari temenku untuk sekalian makan bareng di manaaaaa gitu. Dalam hal ini aku bukan mau menggoyahkan puasanya—dia adalah laki-laki sehat so ga punya alasan untuk berbuka, secara normatifnya—sama sekali. Tapi karena aku sudah akrab dengannya dan biasa bercanda, akhirnya celetukan itulah yang kubuat sebagai penutup perjumpaan kami. Setelah temenku itu pulang, aku segera menancap gas menuju tempat yang direkomendasikannya.

Ternyata buka. Warung makan itu punya dua pintu dan kedua-duanya sama-sama terbuka. Bukan apa2, pada siang hari bulan Ramadhan, buka puasa tu kayak orang mau buang air. Maunya dihalangi dari pandangan khalayak. Jadi sama dengan ketika kita mau memasuki kamar mandi umum. Meski tidak melihat langsung, orang lain pastilah tau bahwa orang yang masuk atau keluar dari kamar mandi umum pastilah buang air. Seperti itu pulalah yang terjadi manakala ada orang yang baru keluar dari warung nasi pada siang hari bulan Ramadhan. Meski semua orang pastilah tau apa yang sedang diperbuatnya di dalam, akan tetapi orang yang bersangkutan tidak mau orang lain mengetahui momen KETIKA DIA MELAKUKAN HAL TERSEBUT.

Makanya aku heran manakala aku melihat warung ne buka sepenuhnya. Tapi okelah. Pasti si pemilik maupun pengelola warung punya alasan sendiri. Di antaranya mungkin adalah untuk menolong orang-orang seperti diriku. Hahahahaha. Dengan penuh keyakinan, aku melangkahkan kaki dan masuk. Setelah memesan nasi pada si penjaga, aku mencoba meredam rasa saltingku dengan membaca koran yang tergeletak di salah satu meja warung makan itu. Di meja lain, ada seorang laki-laki yang membelakangiku tengah makan. Ia tampak menundukkan kepala dan aku tidak mau membuatnya semakin merasa salting. Makanya aku EASY GOING aja dan menganggap semuanya biasa aja. Tak ada yang berbeda apalagi istimewa.

Aku larut dalam bacaanku sambil membolak-balik koran hingga akhirnya si penjaga memberitahuku bahwa nasi dan es teh pesenanku sudah siap. Setelah membayar uang, aku segera bergegas pulang. Tak kusangka tak kuduga, ternyata sudah ada beberapa orang yang baru datang di tempat itu. Mereka tampak malu-cuek-sungkan-sok acuh saat tatapanku dan tatapan mereka berbenturan. Aku memasang tampang sedatar dan seUNPREDICTABLE mungkin agar mereka juga tak keburu memberikan penilaian padaku. Saat itu yang kurasakan adalah…mmm..apa yaaaa..semacam lucu, ada juga malu, tapi kebanyakan dongkolnya karena mereka tampak mengekori langkahku sampe keliatan menghafalkan plat nomor motorku.

Pengalaman hari terakhir ga puasa di awal Ramadhan ternyata biasa-biasa ajah. Aku menghampiri warung di pinggir jalan dan memarkir motorku pas di pinggir jalan. Pas itu aku sampe harus membangunkan si ibu pemilik warung yang tengah terlelap. Jadilah pada akhirya dia bangun dan kami pun melakukan transaksi di g PINGGIR JALAN. Banyak orang yang berlalu lalang, ada sebagian yang melempara tatapan sok mengherankan dan ada juga yang cuek sama sekali. Dan untuk hari keempat ini, aku sudah cukup bermuka tebel dan pokoe yang ada di pikiranku cumahanya satu..MAKAN!!

Hari kelima Ramadhan, aku uda bisa puasa. Wohoooooo….semakin tua usia Ramadhan, semakin besar pula nyali orang-orang untuk blak-blakan buka- bukaan berbuka atau memfasilitasi buka puasa. Dan sebenere aku tidak lagi berbicara dengan kacamata normatif dan semacamnya, aku lebih pada ingin menikmati dan mencerna fenomena tersebut. Sebab buat aku, membohongi orang lain jauh lebih mudah dibanding membohongi diri sendiri, dibanding membohongi nurani sendiri. Nyambung ga sech, tulisanku? Jadi gini maksudku…di depan orang lain, kita bisa aja memakai sejuta topeng dengan beribu ragamnya..bahkan juga menggunakan atribut apapun untuk meneguhkan karakter topeng tersebut. Tapi…Kita tak pernah bisa bertopeng setipis apapun pada nurani kita sendiri.

Teori tersebut sebenernya diilhami dari fenomena yang aku liat dan uda tak ceritain di tulisan ini. Tapi dipikir2, enak juga jila digeneralisasi pada hal-hal lain atau bahkan segala hal..benarkah demikian? Answer by your heart…Hehehehe..

0 comMentz: