RSS

Senin, 13 September 2010

Dualisme Fesbuk

Kalimat yang menjadi tajuk tulisan ini sebenarnya uda lama mengendap di kepalaku. Karena terlalu lama mengendap itulah, aku mulai melupakannya. Stomata dan inspirasi itu mulai dan perlahan luntur begetoooo…Untungnya kemarin, 22/8/2010 saat aku merayakan hari ol sedunia, pikiran itu kembali muncul dan aku tidak mau melewatkannya lagi. Inspirasi mungkin seperti pedagang kaki lima keliling, jika tidak distop saat ia lewat di depan kos, maka sedetik kemudian ia akan hilang entah ke mana. Yang tersisa hanya tinggal bunyi satu-satu yang dijadikan tanda untuk memanggil pelanggannya datang. Analogi ini khususnya berlaku bagi rumah di pemukiman padat, semisal lingkungan kosku. Heheheeheheheheheheheheheheheeheehehe..

Menulis tentang fesbuk di forum ini sebenarnya bukan kali pertama. Jika tidak ada suatu hal yang sangat mendesakku untuk menulis, aku cenderung akan melupakan dan mengentengkannya. Apalagi jika mood sedang tidak bersahabat, aku yang moody dan bisa dibilang selalu menuhankan mood ini tidak akan beranjak sedikitpun dari tempatku terdiam.

Well, langsung pada inti pembicaraan yang ingin aku angkat. Pada awalnya, aku menduga bahwa fesbuk adalah jejaring sosial yang mengasah naluri manusia untuk berkawan, mencari teman, dan menyambung kembali tali silaturrahmi yang sempat terpisahkan ruang dan waktu serta mengakhiri paradigma lost contact. Awalnya memang demikian, khususnya yang kurasakan. Aku kembali bisa bertemu dengan temen-temen lama dan orang-orang dari masa lalu melalui jejaring ini. Setelah hanya mengklik add as friend atau confirm, lalu tak sengaja bertemu di fesbuk chatting dan atau mengirimkan pesan singkat, aku sudah bisa mengantongi nomor hape temenku yang sempat hilang tanpa komunikasi.

Mudah banget dan semua orang bisa melakukannya. Bahkan slogan fesbuk pun adalah, siapapun bisa mendaftar secara gratis dan tak ada masa promo, dalam artian gratis sepanjang masa. Dari situ, dengan fitur-fitur lain yang dimiliki fesbuk, aku mulai masuk dalam golongan orang yang terkena adiktif demam jejaring sosial ini. Meski tensinya fluktuatif, tapi aku ternyata juga cukup addicted pada jejaring sosial ini.

Dan belakangan, aku baru menyadari bahwa walaupun fesbuk membuka selebar-lebarnya pintu untuk bersosial dengan orang lain, mencari teman baru atau kembali menemukan teman lama, ternyata fesbuk juga sangat mendukung pada apa yang dinamakan NARSISME. Ya, bagaimana tidak, contoh kecilnya saja, dengan fitur album, tag foto, profile picture, atau wall picture, pengguna fesbuk memiliki wadah yang amat sangat representatif untuk menyalurkan naluri narsismenya.

Aku menyadari sepenuhnya bahwa sindroma ini telah lama bercokol di kepalaku…Bagaimna tidak, sampai hari ini saja, albumku sudah sampai pada hitungan tiga puluh. Jumlah yang cukup banyak dan cukup mengkhawatirkan sebenarnya. Hehehehe. Tapi ya begetolh. Narsisme juga tak selamanya berwajah buruk. Salah satu anomali terhadap teori single face narsisme misalnya adalah slogan “ga eksis ga narsis” yang banyak terdengar. Memang dalam hal ini, aku kerap tidak menggelar pertarungan panas dalam monolog sisi kanan dan sisi kiriku saat aku terlalu kebablasan berulah di fesbuk.

Aku lama-lama merasakan bahwa fesbuk semakin membuatku sulit menjadi diri sendiri, meski di sisi lain ia membiarkanku berekspresi sekehendak hatiku. Masalahnya begini, saat nulis status, misalnya, rasanya ga ok jika belum mendapat “like” dari orang lain, atau bahkan mendapat komentar. Saat nulis note maupun mosting foto juga begitu…Yayayaya, seolah berkarya untuk komentar dan apresiasi dari orang lain saja. Padahal aku sudah meniatkan bahwa apapun itu, aku harus bisa menjadi diriku sendiri. Dan untuk mencapai itu, salah satu caranya adalah dengan menyamakan ada tidaknya serta apapun komentar dari orang lain.

Tapi btw, komentar orang lain kadang menjadi supporting instrument juga untuk terus berkarya. Palagi yang bentuknya kritik dan saran yang konstruktif. Aku sendiri merasakannya begitu. Tapi yang paling terpuaskan pada akhirnya tetaplah diri dan idealisme sendiri. Bingung aku bagaimana menentukan sikap. Seperti berada di dua kutub yang saling tarik-menarik. Antara keinginan untuk menjadi diri sendiri dan keinginan untuk mendapat apresiasi dari orang lain.

Finally,,,aku hanya ingin tetap menulis dengan diriku sendiri…Semoga saja..
(Kacau mode:on, 23 Agustus 2010)

0 comMentz: