Ada beberapa alasan yang membuat seseorang selalu mengenakan sepatu ke mana-mana. Pertama, tampil modis. Katagori pertama berlaku bagi mereka yang memiliki sensitivitas dengan level tinggi terhadap mode, fashion, atau apalah namanya yang berbau gaya-gaya. Warna sepatu biasanya disesuaikan dengan warna baju, jilbab, aksesoris, atau bahkan celana dan rok. Mereka yang termasuk golongan ini bahkan bukan tidak mungkin memiliki berbagai macam sepatu dari semua warna. Yayayaya, alasannya cuma satu, yakni tuntutan profesi sebagai penikmat dan budak mode. Hehehe. Sinis banget ngomongnyaaa…Mentang 2 aku ga termasuk golongan yang pertama ini.
Yang kedua adalah bagi mereka yang sportif. Tuntutan aktivitas maupun tuntutan profesi. Misalane seorang mania futsal, maka sangat mungkin ia akan memiliki sepatu futsal. Seperti halnya juga dengan ibu guru, siswa, mahasiswa, orang kantoran, dan lain sebagainya. Intine, bagi orang-orang yang masuk dalam katagori kedua ini, sepatu merupakan salah satu simbol yang bisa mengukuhkan status mereka maupun memperlancar aktivitas harian maupun profesi mereka. Aku? Bisa dikatakan termasuk dalam katagori kedua ini. Soale semenjak duduk di bangku TK hingga bangku kuliah, aku memiliki kewajiban untuk mengenakan sepatu di area pendidikan formal. So, Im used to wear shoes…Bahkan ketika SMP/SMA, aku selalu maksain diri untuk mengenakan sepatu, meskipun kala itu tempat aku sekolah kurang begitu mewajibkan setiap siswa untuk mengenakan sepatu. Aku berdalih ajah, bahwa orang sekolah iku kerasa kurang nge-taste jika ga bersepatu. Seperti maem nasi dan lauk tanpa sayur. Akan membuat letoy dan tak bertenaga. Hahahaha. Uda mulai lebay neeeeeeeeeeee…
Dan alasan yang ketiga adalah, karena orang yang bersangkutan tidak dan atau belum memiliki sandal yang representatif dan membuantnya nyaman. Dan taukah Anda, saudara, bahwa saya masuk dalam katagori ketiga ini? Hehehehe..Awale ingin menyelesaikan tulisan ini sekadar sharing bahwa hobiku mengenakan sepatu ke mana ajah (selain area yang mengharuskanku kontak dengan air) berdasarkan alasan sakral yang sangat amat bisa dibenarkan. Jadi, semenjak sandalku patah arang di lokasi KKN, dan hingga hari ini, aku belum mendapatkan sandal yang representatif dan bisa membuatku nyaman. Aku uda pernah membeli sandal jepit santai di jalan Malbor, tapi sandal itu agaknya belum memiliki kesatuan dan kepaduan chemistry denganku. Jadi, aku kurang begitu respek pada sandal warna-warni itu.
Well, sebagai pelariannya, aku kemudian mengalihkan sebagian peran sandal itu kepada sepatu putihku yang alamaaaaaaaaaakkk..manja banget, minta cuci saban pekan (maklum warnanya putih). Kebetulan dengan sepatu putih itu, aku menemukan ada kecocokan chemistryku dengannya. Awale aku milihnya murni karena kebutuhan (karena sepatu lawasku sudah mengecil—untuk tidak mengatakan kakiku yang semakin membesar dan atau melebar—hehehe). Sedangkan alasan mengapa pilihanku kemudian jatuh pada sepatu putih itu adalah karena stylenya santai (so aku pikir bisa dipake kuliah, maen, dan jalan2) plus warnanya putih (sebagai stimulus agar aku bisa memangkas kemalasanku untuk mencuci sepatu.)
Jadilah, sepatu itu sudah aku bawa ke mana-mana dan selalu bertengger manis di kakiku dalam semua keadaan. Wis pernah sampe ke mana-mana lah, sepatu itu. Ke Solo, ke Paris, ke Madura, ke Baron, ke Kwaru, ke Kaliadem, weeeeeeeeeeehhh…Pokoe temen setiaku banget laaaaaaaaaah…Ya namanya ajah uda melekat ke kaki, jadi otomatis ne sepatu adalah atribut tak terpisahkan dalam diriku. Dan seingatku, ini adalah sepatu pertama yang berwarna putih. Sebelumne, warna sepatuku dominane item dan warna-warna gelap. Alasan ibuku ya hanya satu, cari warna yang tidak lekas kotor agar beliau ga perlu nyuci terlalu sering dan akan terlalu nggoyo. But now, ceritane, aku khan sudah bertugas dan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap segala perawatan propertiku, maka ibuku tak lagi berkewenangan untuk memilihkan warna sepatuku.
Aku sendiri melihat sepatu bukan sebagai kebutuhan bulanan atau bahkan dwibulanan yang harus dibeli setiap kali gajian. Aku sebabe ngeliat sebagian temen2ku memiliki kewajiban membeli sepatu dalam periode tertentu. Heran ajah aku, sempet2nya gitu. Yaaaa…aku bisa heran karena aku menggunakan paradigma bahwa sepatu adalah perlengkapan yang harus aku beli SETELAH sepatuku yang lawas sudah tidak memenuhi uji kelayakan. Heran bin lucu banget, jika sepatu harus menjadi kebutuhan primer. Jaka sembung banget maka paradigma hard coreku. Hehehehehe.
Satu lagi catatan tentang sepatu. Mmmmmmmmmmmm…Ibuku dulu pernah membelikan aku sepatu cewe pas awal-awal aku SMP. Ya bisa ditebaklah, gimana reaksiku. Aku emoh make dan minta ibuku untuk beliin aku sepatu baru yang beda haluan dengan sepatu cewe berwarna item itu. Gatau mengapa di usia segitu aku uda punya naluri pemberontak. Hehehe. Padahal pas aku TK, aku inget kalo aku kerap mengenakan sepatu kaca dan berbagai macam sepatu cewe ke sekul. Cuma emang sejak SD, aku banting setir ke sepatu cowo. Temen-temen dan famili seumuranku banyakan cowo sehingga aku banyak terkontaminasi oleh gaya hidup dan perlengkapan mereka. Hehehehe. Jadi ya gitu dech, hingga saat ini aku masih ngeri membayangkan kalo aku harus mengenakan sepatu cewe. Yayayayaya, memang, untuk alasan dan moment yang tak bisa dinego, terpaksa gayaku yang harus dinego. Embuhlaaa
0 comMentz:
Posting Komentar