RSS

Senin, 30 November 2009

3rd writting (untuk kelas Bu Nurun )

‘Siraman Rohani’ Ke-Islaman dalam dunia Pertelevisian Indonesia
(Living Hadist dalam Tayangan Rohani)
Oleh Masyithah Mardhatillah (07530003)


1. Wacana Awal

Televisi merupakan satu di antara sekian banyak media elektronik yang telah lama dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya, televisi berganti posisi dari kebutuhan sekunder dan atau tersier menjadi kebutuhan primer yang seakan harus dipenuhi. Hal ini paling tidak dibuktikan dengan adanya sarana televisi dalam tiap bangunan, baik bangunan milik pribadi maupun bangunan milik umum.

Televisi ibarat ‘kotak ajaib’ yang menyimpan dan menayangkan segala hal meliputi pengetahuan, wawasan, hiburan, dan lain-lain. Televisi juga merupakan muara yang menampung kreativitas-kreativitas anak negeri dalam bidangnya masing-masing. Dengan demikian, selain sebagai ladang bisnis yang cukup menjanjikan, televisi pun menjadi wadah take and give keahlian dan kreativitas masing-masing.

Dalam dinamikanya hingga saat ini, kesuksesan televisi yang menjadi media pokok masyarakat Indonesia meniscayakan keberadaan televisi sebagai komoditi yang paling diburu. Televisi adalah media yang paling sering dikonsumi oleh masyarakat Indonesia. Dengan begitu, secara otomatis televisi telah memerankan posisi sebagai tempat paling strategis dalam memublikasikan segala hal, baik publikasi sosial, budaya, pendidikan, dan tidak terkecuali publikasi dalam bidang agama.

Sehingga tidak dapat dihindari, nuansa kapitalisme pun menjadi kental dalam media televisi ini. Publikasi dalam televisi hanya dapat dilakukan dengan modal yang memadai. Keadaan ini memunculkan adanya gap yang memisahkan pemilik modal dengan kelompok yang nirmodal dengan tingkatannya masing-masing. Sehingga, tidak semua orang bisa menjadi produsen tayangan dan publikasi yang ada di dalam televisi, meski mereka semua bisa dipastikan akan menjadi konsumen televisi.

Salah satu publikasi yang kerap ditemui dalam tayangan-tayangan televisi adalah siaran rohani Islam. Acara ini biasanya diformat dengan sistem ceramah dan atau dialog interaktif yang difasilitasi oleh seorang yang dianggap mumpuni dalam bidang keagamaan. Karena posisinya sebagai sebuah ‘komoditi’ dalam media televisi, maka mau tidak mau acara semacam ini juga harus menyesuaikan dengan etika dan ‘hukum rimba’ televisi. Di satu sisi tayangan yang demikian merupakan sebuah manifestasi dari dakwah Islam, namun di sisi lain tayangan ini juga tidak bisa mengabaikan keberadaannya sebagai lahan bisnis.

Sampai di sini, muncul semacam dualisme dalam acara siraman rohani yang demikian. Di satu sisi ia merupakan format dakwah yang cukup ampuh, namun di sisi lain ia juga tidak bisa menolak adanya unsur-unsur bisnis dan kapitalisme di dalamnya. Bagaimana kemudian dualisme ini bertarung? Pertanyaan inilah yang barangkali akan mengawali diskusi kali ini.
2. Dunia Pertelevisian Indonesia

Angin segar yang dianggap menjadi cikal bakal pesatnya perkembangan televisi Indonesia tampak pada 1970-an dengan adanya satelit Palapa (Palapa dan Palapa B-2) yang menjadikan sistem televisi tidak lagi berpusat pada otoritas pemerintah. Momen menjadi pemicu munculnya stasiun televisi swasta pertama pada 1998, yakni RCTI. Kemunculan stasiun televisi RCTI ini kemudian disusul dengan kemunculan SCTV pada tahun berikutnya. Kemunculan stasiun televisi swasta hingga saat ini terus berlangsung. Baru-baru ini dunia pertelevisian Indonesia juga banyak diramaikan dengan kemunculan stasiun televisi lokal maupun televisi komunitas.

Beberapa opsi yang bisa dipilih (dalam bentuk channel) penonton ini juga meniscayakan adanya berbagai macam tayangan dalam acara televisi. Acara televisi tersebut meliputi dialog, tayangan olahraga, liputan berita, acara kuliner, hingga reality show. Sebab itulah, pemerintahan Megawati kala itu kemudian menggagas kemunculan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan UU no. 23 tahun 2002 untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap tayangan-tayangan televisi. Sebelumnya, aturan adanya SIUP (Surat Idzin Usaha Penyiaran) dicabut pada tahun 1999. Tahun tersebut merupakan masa awal kebebasan pers di Indonesia setelah peristiwa reformasi pada tahun 1998. Dengan demikian, tayangan televisi di Indonesia kemudian menjadi tayangan yang bebas namun tetap terkontrol. Sayangnya, banyak sementara pemerhati yang menilai bahwa KPI tidak banyak menangani masalah konten tayangan televisi, namun lebih memperhatikan aspek legalitas tayangan.

Dalam kinerjanya hingga hari ini, KPI terus menerus melakukan perbaikan dan membenahi beberapa hal. Fenomena yang barangkali masih segar dalam ingatan kita adalah aksi ‘warning’ terhadap lima tayangan televisi yang dianggap melanggar norma etik pertelevisian, yakni Termehek-Mehek (TransTV), Face to Face (ANTV), Orang Ketiga (TransTV), Dibayar Lunas (RCTI), dan Titian Ilahi (Metro TV). Kelima tayangan tersebut mendapat teguran untuk mengubah format acaranya yang dinilai melakukan penipuan, mempertontonkan kekerasan dan perkataan yang jorok, serta mencampuradukkan acara dakwah dengan reality show.

Di sisi lain, karena keberadaannya sebagai komoditi bisnis, televisi pun dituntut untuk mengikuti hukum rimba ekonomi; mengeluarkan modal sesedikit mungkin dan mendapatkan laba sebanyak mungkin. Prinsip inilah yang mendorong para pengelola televisi untuk senantiasa membuat terobosan-terobosan baru yang bisa memajukan perusahaan televisinya. Dalam hal ini, keberadaan iklan merupakan nyawa bagi televisi, sebab iklan yang durasinya kerap melebihi durasi acara televisi ini merupakan investor yang memberikan keuntungan pada pemilik televisi.

Sebab itulah, seperti yang kita amati, acara televisi yang digemari penonton akan diselingi iklan yang lebih banyak dibanding acara yang kurang begitu diminati penonton. Berangkat dari alasan inilah, pengelola televisi kemudian berupaya menyuguhkan acara-acara yang dimungkinkan akan disukai oleh khalayak, mendagan par rating tinggi, dan karenanya akan mendapat keuntuyang juga semakin meruah. Berangkat dari prinsip inilah, banyak kemudian sementara orang yang beranggapan bahwa televisi lebih mengutamakan unsur bisnis dan keuntungan dan kurang memperhatikan imbas sosial budaya dari tayangan yang ditampilkannya.

3. ‘Siraman Rohani’ sebagai Living Hadist
Dari format seremonialnya, acara yang demikian senyatanya merupakan rutinitas yang kerap dilakukan Rasulullah beserta para sahabat. Beberapa riwayat banyak menceritakan bahwa Rasulullah sering menggelar semacam diskusi dalam sebuah majlis atau di masjid seusai shalat berjama’ah. Pada forum ini biasanya Rasulullah menanggapi pertanyaan sahabat dan memberikan ulasan mengenai tema yang tengah diperbincangkan.

Forum yang demikian menjadi sebuah keniscayaan mengingat Rasulullah saat itu memangku jabatan sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Para sahabat bisa langsung mengadukan masalah yang dihadapinya pada Rasullah untuk kemudian mendapat solusi dan atau alternatif solusi dari masalah yang ingin dipecahkannya. Romantika ini biasanya terekam dalam dialog antara Rasullah dan para sahabat dan terkadang juga disisipi dengan pemaparan setting dan suasana pada saat itu.

Salah satu hadist yang menceritakan forum diskusi ini adalah pada saat Rasulullah didatangi malaikat Jibril (yang pada saat itu berwujud sebagai lelaki tampan nan gagah) dan mendapat wahyu Allah mengenai rukun Iman. Setelah menerima wahyu tersebut, Rasulullah kemudian langsung menceritakan apa yang diterimanya kepada anggora forum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa forum yang demikian merupakan sarana terbaik Rasullah dalam menyampaikan hadist, sebab sahabat bisa langsung mengemukakan respon maupun pertanyaannya terhadap hadist yang diucapkan dan atau diperagakan oleh Rasulullah.

Adapun salah satu contih hadist tersebut terdapat pada
Sunan Ibnu Majah, babفي الايمان juz 1 hal 72

62 - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ كَهْمَسِ بْنِ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ شَعَرِ الرَّأْسِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ سَفَرٍ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ فَجَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَهُ إِلَى رُكْبَتِهِ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ فَقَالَ صَدَقْتَ فَعَجِبْنَا مِنْهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مَا الْإِيمَانُ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَكُتُبِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ فَعَجِبْنَا مِنْهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ فَمَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ قَالَ فَمَا أَمَارَتُهَا قَالَ أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا قَالَ وَكِيعٌ يَعْنِي تَلِدُ الْعَجَمُ الْعَرَبَ وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبِنَاءِ قَالَ ثُمَّ قَالَ فَلَقِيَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ثَلَاثٍ فَقَالَ أَتَدْرِي مَنْ الرَّجُلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذَاكَ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ مَعَالِمَ دِينِكُمْ

Forum diskusi menjadi salah satu format pembelajaran dan transfer of knowledge yang paling digemari adalah karena elastisitas dan efektivitasnya dalam pengembangan wacana. Tukar pendapat atau brainstorming yang terjadi dalam forum diskusi akan merangsang otak manusia berpikir kritis, reaktif, responsif, serta melatih kepekaan emosional manusia sebagai anggota sebuah forum yang tidak bisa terlepas dari etika saat berinteraksi dengan orang lain.

Di Indonesia sendiri, acara siraman rohani Islam merupakan acara yang kerap muncul di televisi. Sebuah sumber mensinyalir bahwa inisiatif untuk menggelar dakwah dalam media televisi ini berangkat dari kesuksesan televisi Amerika dengan program televangelist. Program ini kurang lebih bisa diartikan dengan program siraman rohani Kristen. Kesuksesan dalam program televangelist ini lebih bermakna kesuksesan dalam finansial. Dalam artian, acara ini berhasil memiliki rating tinggi sehingga keuntungan pemilik televisi pun meruah.

Pendapat yang demikian bisa saja benar, mengingat era globalisasi mengandaikan tidak adanya sekat antarnegara-negara di dunia. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa tayangan-tayangan yang kita konsumsi dari televisi kerap merupakan imitasi atau edisi Bahasa Indonesia dari tayangan-tayangan yang ada di negara lain. Jadi tidak berlebihan kiranya jika ada asumsi yang mengatakan bahwa maraknya siraman rohani ke-Islam-an di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh program tevelangelist tersebut. Pemilik televisi Indonesia agaknya ingin mengulang kesuksesan televisi Amerika dengan menayangkan acara yang serupa.

Meski demikian, terlepas dari alasan bisnis atau imitasi siaran rohani Kristen, inisiatif untuk memunculkan tayangan rohani ini juga muncul dari pemikiran bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas merupakan muslim pasti membutuhkan siraman rohani. Pemeluk agama pada dasarnya membutuhkan sentuhan-sentuhan keagamaan di sela-sela rutinitas kehidupan dunianya. Dengan demikian, secara apologis, kemunculan tayangan yang semacam ini juga dilatarbelakangi oleh faktor sosial keagamaan, tidak hanya untuk orientasi bisnis.

Selain itu dalam dunia televisi, faktor timing juga menjadi hal yang tidak pernah luput dari perhatian pemilik televisi. Strategi waktu ini belakangan juga menjadi sesuatu yang menarik perhatian KPI. Tidak bisa dipungkiri bahwa acara televisi beragam, dan penontonnya pun tidak kalah beragam dan terdiri dari semua kalangan. Dalam kondisi ini, mungkin tidak berlebihan jika seorang dewasa menonton acara anak-anak, namun tidak demikian jika seorang anak-anak menonton tayangan orang dewasa ini. Fenomena yang penu keprihatinan ini pada perkembangannya memunculkan adanya pelabelan setiap tayangan di televisi, yakni BO (Bimbingan Orang Tua), R (Remaja), SU (Semua Orang), dll.

Selain itu, strategi timing ini juga diterapkan dalam menyiasati penayangan acara yang ditampilkan. Dalam artian, pemilik televisi juga akan menyesuaikan tayangannya dengan trend yang tengah in dan menempatkannya pada jadwal di mana angka menonton televisi sedang tinggi (dari jam 13.00-21.30). Sebagai contoh, ketika marak-maraknya audisi menjadi bintang instant, hampir semua stasiun televisi menyajikan acara yang asan inidemikian. Begitu juga ketika Ramadhan tiba, maka stasiun televisi juga berlomba-lomba menayangkan acara bernuansa religius, semisal sinetron, acara interaktif, termasuk juga siraman rohani. Fenomena lain yang juga mendukung pendapat ini adalah penayangan acara rohani pada hari-hari besar keagamaan atau hari ibadah, semisal penayangan siraman rohani umat Kristiani pada hari Ahad.

Siraman rohani Islam yang menjadi bidikan dalam pembahasan ini biasanya ditayangkan pada waktu-waktu menjelang dan sesudah shalat lima waktu, utamanya shalat shubuh dan shalat maghrib. Durasi waktu tayangan ini paling sedikitnya adalah tujuh menit dan batas maksimalnya adalah satu jam (termasuk iklan). Frekuensi penayangan siraman rohani akan seketika melonjak pada saat bulan Ramadhan. Hal yang demikian sudah menjadi rahasia umum yang tidak bisa dihindari. Ketika Ramadhan selesai, maka berakhir pulalah penayangan sebagian besar acara-acara kegamaan tersebut. Akibatnya, Ramadhan kemudian menjadi ladang euforia yang tidak berkesesudahan dan selalu mengalami hal yang sama.


4. Sampel Acara dan Verbalisasi Hadist di Dalamnya

Acara yang dijadikan sampel pengamatan oleh penulis dalam pembahasan ini adalah acara bertajuk ‘Assalamualaikum, Ustadz’ yang ditayangkan di RCTI setiap hari sejak pukul 04.30 hingga pukul 05.00. Acara ini menghadirkan seorang narasumber yang dianggap mumpuni dalam bidang agama dengan seorang host serta beberapa audien wanita. Sejauh pengamatan penulis, nara sumber yang dihadirkan dalam beberapa episode acara adalah selalu berganti-ganti. Dalam satu episode, acara ini difasilitasi oleh Din Syamsuddin (28 Novermber 2009), dan pada episode lain difasilitasi oleh Ustadz Jeffry Al Bukhari (01 Desember 2009).

Format acara ini senyatanya tidak begitu berbeda dengan acara-acara rohani lain. Namun begitu, acara ini tidak menampilkan ceramah monoton satu arah. Pada awal acara, host memberi opening dan menjelaskan wacana awal mengenai tema yang akan dibahas. Dalam posisi ini ia menjadi moderator yang kemudian memberi kesempatan kepada narasumber untuk menyampaikan gambaran-gambaran umum yang menjadi topik pembahasan dalam episode itu.

Setelah memberikan pemaparan awal, host pun mengambil alih suara dan mulai membuka dialog. Ia juga kerap mengajukan pertanyaan pada nara sumber. Selain itu, host kemudian mempersilakan audien (sekitar enam puluh orang perempuan dengan busana yang seragam) untuk mengajukan pertanyaan pada nara sumber. Dialog dalam acara ini juga memungkinkan pemirsa di rumah untuk mengajukan pertanyaan dan angkat suara melalui telepon. Redaksi juga menerima email maupun sms yang berupa kritik, saran, atau usulan tema untuk episode-episode mendatang.

Seperti halnya acara siraman rohani lain, acara ini juga membatasi pembicaraan pada sebuah tema. Hal ini dilakukan agar perbincangan dan dialog menjadi lebih terarah dan tidak melenceng ke mana-mana. Pada 28 November, tema yang dibahas adalah masalah saksi dan pada 01 Novermber, acara ini mengulas tentang dosa-dosa besar. Pemaparan host maupun narasumber cukup menunjukkan bahwa pemilihan tema yang diangkat didasarkan pada masalah yang tengah in di negara kita. Misalnya saja, saat memilih tema saksi, maka bisa dimungkinkan hal tersebut disebabkan keadaanpengadilan tipikor maupun pengadilan umum agaknya masih tidak pernah sepi. Kasus Jaksa Urip-Artalita Suryani hingga kasus Bibit-Chandra menjadikan pengadilan tak ubahnya tempat yang paling sering dikunjungi.

Dalam proses pengadilan, saksi memainkan peranan yang cukup penting, mengingat saksi merupakan salah satu elemen yang menentukan bagaimana keputusan pengadilan. Namun begitu, tidak semua orang bisa menjadi saksi dalam sebuah proses pengadilan. Sebab itulah, fenomena ini barangkali merupakan motivasi kru tayangan ini untuk memilih tema ‘saksi’. Dalam uraiannya, Din Syamsuddin memberikan penjelasan yang cukup komprehensif mengenai tema ini. Ia kadang mengutip sebuah matan hadist tanpa menyebutkan mukharijnya. Ia juga kerap menyinggug sebuah hadist dengan pemaparan eksploratif tanpa menyebutkan matan hadist aslinya.

Hal ini sangat beralasan sebab acara ini menempatkan narasumber pada posis spontanitas. Ia mungkin bisa mempersiapkan ulasannya mengenai sebuah tema bahasan, namun ia tidak akan selalu bisa memberikan prediksi yang tepat terhadap pertanyaan yang diajukan audien. Sehingga demi menghindari kesalahan karena ragu atau lupa, maka barangkali narasumber lebih memilih jalur aman, ;memberikan ulasan yang eksploratif mengenai sebuah hadist namun tidak menyebut matan hadisnya langsung.

Contoh penyebutan hadist dengan matan yang disampaikan oleh Din Syamsudiin saat itu adalah hadist dalam kitab sunan Tirmidzi no 2223 berikut;

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ الْعُصْفُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ النُّعْمَانِ الْأَسَدِيِّ عَنْ خُرَيْمِ بْنِ فَاتِكٍ الْأَسَدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَامَ قَائِمًا فَقَالَ عُدِلَتْ شَهَادَةُ الزُّورِ بِالشِّرْكِ بِاللَّهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا عِنْدِي أَصَحُّ وَخُرَيْمُ بْنُ فَاتِكٍ لَهُ صُحْبَةٌ وَقَدْ رَوَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَادِيثَ وَهُوَ مَشْهُورٌ

Sedangkan keterangan yang disandarkan pada hadist namun tidak menyebutkan matan hadistnya adalah saat Din Syamsuddin menjawab petanyaan audien viatelepon mengenai PSK yang sudah dipastikan melakukan zina. Ia kemudian mengungkapkan bahwa dalam hal perzinahan, memang ada keharusan untuk mendatangkan empat saksi dengan kriteria-kriteria yang cukup berat. Namun jika seseorang telah dikenal sebagai orang yang kerap melakukan demikian, maka kehadiran empat saksi tidak lagi dibutuhkan.

Pada pembahasan mengenai dosa besar, Ustadz Jeffry Al Bukhari bahkan tidak menyebutkan hadist dengan matan dan sumbernya. Hal ini misalnya terjadi pada saat ia memberikan keterangan mengenai salah satu tingkatan dosa besar, yakni durhaka kepada orang tua, utamanya kepada ibu. Uje, sapaan akrab ustadz ini hanya menceritakan kisah seorang sahabat yang menanyakan pada Nabi Muhammad tentang siapa saja yang patut dihormati setelah Allah dan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad kemudian menjawab bahwa ibu berada pada urutan ketiga. Nabi mentaukidkan posisi Ibu ini hingga tiga kali.

Lagi-lagi dalam pembahasan ini, Uje mengaitkan perilaku para pejabat yang sudah terbukti melakukan korupsi dengan dosa besar yang berada dalam tingkatan atas. Uje mengemukakan bahwa dosa mencuri barang pribadi sangatlah besar dan berat, sehingga beban dosa yang berlipat-lipat akan dimiliki oleh koruptor, sebab ia mencuri uang rakyat Indonesia.

Dalam hemat penulis, acara ini memiliki kekurangan tersendiri. Sebab, meski ia memang terformat dalam sebuah dialog interaktif, akan tetapi acara ini tidak ditayangkan secara langsung. Sehingga, pemirsa di rumah yang benar-benar ingin mengajukan pertanyaan pun harus mengurungkan niatnya dan hanya bisa mendengarkan dialog tersebut dengan pasif. Jika dibandingkan dengan siraman ruhai bertajuk Nikmatnya Shadaqah di TPI pada jam yang sama, maka acara Assalamualaikum, Ustadz ini memiliki kekurangan yang sangat kentara, sebab ia merupakan dialog interaktif namun tidak disiarkan secara langsung. Idealnya, acara dialog interaktif disiarkan secara langsung agar benar-benar interaktif.


5. Beberapa Catatan

Pengamatan yang dilakukan penulis mengenai siraman rohani di televisi ini paling tidak menunjukkan beberapa hal berikut;
• Forum yang demikian merupakan living hadis yang seharusnya dilestarikan dalam kehidupan muslimin. Selain sebagai media dakwah, forum yang demikian juga bisa menjadi wadah yang mempererat ikatan emosional dan melatih muslimin dalam hal etika-etika musyawarah.
• Forum ini juga menjadi sarana dakwah yang paling ampuh, utamanya pada saat di mana televisi sudah menjadi kebutuhan pokok muslimin. Dewasa ini, dakwah tidak hanya bisa dilakukan dari mimbar-mimbar, pengajian, dan sarana-sarana konvensional dakwah lain. Penggiat dakwah Islam harus juga bisa peka melihat potensi media yang sering dikonsumsi masyarakat, agar syiar Islam tetap tersebar dan tidak hanya berdiam di menara gading.
• Ulasan dalam forum ini sudah barang tentu bersumber pada Al-Qur’an dan hadist, akan tetapi dalam sebagian besar kesempatan, ayat Al-Qur’an maupun hadist yang bersangkutan tidak diverbalisasi secara detail. Hal ini tidak sepenuhnya bisa dipandang negatif, sebab penyajian kandungan hadist barangkali dianggap lebih efektif jika audien acara ini merupakan orang awam. Akan tetapi jika forum ini beranggotakan mereka yang sudah memiliki pengetahuan agama, maka verbalisasi ayat maupun hadist merupakan sebuah keharusan.
• Forum siraman rohani kegamaan, utamanya yang ditayangkan tiap pekan atau bahkan tiap hari juga bisa menjadi kontrol sosial terhadap fenomena kemasyarakatan dan memberikan paparan tentang bagaimana agama memandang fenomena-fenomena tersebut. Dengan demikian, selain meningkatkan rasa kebersamaan dan memupuk iman, acara ini juga turut memperkaya pandangan seseorang.

REFERENSI

Software mausuah al hadist al syarif
Tim Penyusun. 2003. Ekonomi Politik Media Penyiaran, Jakarta: Departemen Agama Ditjen Bimas Islam.
http://kelompok03.blogspot.com/2007/04/park-1.html
http://www.eramuslim.com/oase-iman/televisi-musuhku.htm
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/06/13/30583/KPI.Tegur.Acara.Titian.Qolbu.Tv.One.
http://www.primaironline.com/berita/detail.php?catid=Sosial&artid=kpi-tegur-acara-titian-kalbu-tv-one
http://www.halamansatu.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=522

This writing is also published in: www.eetamirza.blogspot.com
01 Dese, 2009

Makalah Madzahib Tafsir (2nd makalah on my 5th)

Tafsir Sastra-Sosial Menjawab Dinamika Persoalan Umat
Masyithah Mirza

A. Pendahuluan
Keabsahan Al-Qur’an sebagi kitab suci yang berasal dari Allah secara umum merupakan kepercayaan yang tidak bisa dinego lagi di kalangan muslimin. Adanya rentang waktu yang cukup jauh sejak turunnya Al-Qur’an hingga masa ini agaknya tidak cukup menjadi alasan untuk meragukan mata rantai generasi sejarah yang ‘menyajikan’ Al-Qur’an pada muslimin hingga hari ini.

Namun demikian, Al-Qur’an di sisi lain juga menjadi suatu hal yang tak pernah selesai diperdebatkan, yakni dalam aspek kandungan dan aplikasinya. Adanya pendapat dan pemahaman yang bermacam-macam mengenai ayat-ayat Al –Qur’an ini pada perkembangannya memunculkan istilah tafsir Al-Qur’an. Tafsir Al-Qur’an adalah upaya untuk memiliki pemahaman mengenai ayat Al-Qur’an.

Kegiatan menafsirkan Al-Qur’an ini dalam sejarahnya sudah dimulai pada masa Rasulullah, dan berlangsung hingga saat ini. Dalam periodisasi tafsir yang digagas oleh Abdul Mustaqim, saat ini kita tengah berada dalam periode tafsir kontemporer. Hal ini ditandai dengan bilangan tahun pada masa ini serta corak penafsiran yang mulai menunjukkan adanya varian-varian baru. Varian baru yang dimaksud di sini merupakan inovasi baru para cendekiawan muslim yang menginginkan adanya tafsir yang akomodatif terhadap persoalan umat kontemporer.

Beberapa point yang disebutkan Abdul Mustaqim tersebut, semisal asumsi dan paradigma, karakter, sumber, metode serta validitas penafsiran kontemporer salah satunya terdapat dalam tafsir-tafsir yang bercorak sastra-sosial. Semangat untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang benar-benar merupakan petunjuk dan bisa diandalkan kapan dan di manapun ini diwujudkan dalam penulisan beberapa tafsir, di antaranya adalah tafsir yang bercorak sastra-sosial.

Hal yang membedakan salah satu varian tafsir modern ini dengan tafsir klasik maupun pertengahan adalah adanya dua hal yang dibidik di dalam karya tafsir ini. Dalam sisi pemaparan bahasa, tafsir ini menggunakan pemaparan yang bercorak sastra, dan dalam segi kandungan, tafsir ini berisi pemaparan dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berkait erat dengan kehidupan sosial. Tujuan penulisan tafsir dengan corak ini kurang lebih adalah untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap masalah yang terjadi di masyarakat.

Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa tafsir corak sastra-sosial ini memiliki semacam ‘pesona ganda’ yang menjadikannya berbeda dengan tafsir-tafsir lain. Namun, benarkah begitu? Well, barangkali kita mulai pembahasan dengan satu pertanyaan tersebut.

B. Pengertian
Tidaklah mudah untuk memahami frasa tafsir sastra-sosial. Frasa yang demikian masih ambigu dan setidak-tidaknya memiliki dua kemungkinan makna. Pertama, frasa tersebut bisa dimaknai dengan karya tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bernuansa sosial dengan pengungkapan atau pemaparan tafsir yang menggunakan bahasa dan sastra yang tinggi. Kemungkinan kedua adalah suatu karya tafsir yang memiliki corak ganda, yakni corak tafsir sastra dan corak tafsir sosial.

Beberapa referensi yang penulis dapatkan tampak lebih memihak pada kemungkinan pertama. Secara umum dapat dikatakan bahwa tafsir sastra-sosial ini adalah tafsir yang membedah ayat-ayat bernuansa sosial dengan tujuan menjawab permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan menggunakan sastra sebagai media penyampaiannya.

Secara gamblang disebutkan bahwa tafsir sastra-sosial ini adalah corak penafsiran Al-Qur’an yang cenderung pada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa dalam pemaparannya. Tafsir ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan sosial kemasyarakatan yang tengah berlangsung.

Beberapa pendapat lain yang kami akses tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, hanya saja redaksi dan penekanannya berbeda-beda. Quraish Shihab misalnya menambahkan bahwa tafsir dengan corak ini berupaya mengukuhkan posisi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat muslim. Artinya, Al-Qur’an dengan segala fleksibilitasnya dikonfirmasi ulang sebagai petunjuk bagi manusia lewat karya tafsir ini. Jika Quraish demikian, lain halnya dengan Manna’ Al Qaththan yang menambahkan bahwa tafsir semacam ini berupaya menghilangkan penyakit yang ada dalam masyarakat karena sifatnya yang down to earth serta menggunakan referensi primer berupa riwayat salaf. Sedangkan Al Dzahabi menegaskan bahwa tafsir ini berupaya ‘mempertemukan’ ayat-ayat Al-Qur’an dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat.

Terlepas dari beberapa pendapat yang berhasil diakses, alasan mengapa penulis berpandangan bahwa kemungkinan kedua kurang begitu representatif adalah karena penyandingan sastra dan sosial dalam hubungan yang sepadan tampak kurang begitu cocok. Bandingkan misalnya dengan tafsir teologis-filosofis yang memiliki keterikatan erat. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa dua kata ini tidak memiliki hubungan kesejajaran, akan tetapi memiliki hubungan suboridnatif, sehingga penulis lebih memilih kemungkinan pertama.

Kegelisahan akademik lain yang kami dapatkan dalam tema ini adalah adanya skeptisme untuk menentukan katagori sebuah karya tafsir. Secara garis besar saja, tidak ada tafsir yang an-sich merupakan tafsir dengan satu katagori, taruhlah katagori tafsir bil ma’tsur. Sebab dalam Tafsir se-ma’tsur apapun, bisa dipastikan ada unsur nalar dan logika di dalamnya. Hal ini juga terjadi dalam klasifikasi empat format tafsir, khususnya dalam kasus ini adalah kekaburan antara format tahlili dan maudhu’i.

Ambiguitas yang demikian kami temui saat menentukan katagori tafsir sastra-sosial ini. Di satu sisi, beberapa sumber yang kami akses menyatakan bahwa tafsir ini masuk dalam katagori tahlili, yakni katagori yang mengandaikan adanya karya tafsir dari semua ayat Al-Qur’an, dari awal surat Al Fatihah hingga surat An-Nas. Namun, ada asumsi pribadi yang mengatakan bahwa tafsir yang demikian lebih menunjukkan pada tafsir yang hanya membahas ayat-ayat sosial, tidak terhadap semua ayat dalam Al-Qur’an seperti halnya tafsir tahlili.

Hal ini barangkali muncul dari beragamnya karya tafsir yang ada. Dalam artian, karya tafsir –yang dianggap—sebagai tafsir sastra-sosial pun bermacam-macam dalam keragamannya. Penulis memandang perbedaan yang demikian berkait erat dengan masa penulisan tafsir, sebab karya apapun yang lahir pada sebuah masa merupakan anak kandung dari masa itu sendiri. Mufassir kontemporer agaknya lebih tertarik dengan penyajian tafsir sosial dengan format maudhu’i, semisal Quraish Shihab dengan Wawasan Al-Qur’an dan Waryono Abdul Ghafur dengan Tafsir Sosial nya. Format tafsir tematik yang demikian tampak sangat berbeda dengan karya tafsir klasik yang lebih memilih format tahlili, semisal tafsir Al Maraghi, meski keduanya sama-sama termasuk dalam katagori tafsir sastra-sosial.

Meski tidak ada referensi yang menegaskan bahwa tafsir-tafsir kontemporer bisa dimasukkan dalam katagori tafsir sastra-sosial, akan tetapi kami meyakini bahwa ciri-ciri dan tujuan dilahirkannya tafsir sastra-sosial terdapat dalam, katakanlah dua karya ini. Hal yang membedakan antar karya klasik dan dua karya kontemporer ini senyatanya adalah persoalan format dan cakupan ayat yang dibahas. Dua karya tersebut juga menyajikan eksplorasi yang cukup komprehensif, sandaran pada atsar, serta dengan penyajian yang mengalir. Sehingga, rasanya ada ketidakadilan akademik jika dua karya tersebut tidak dimasukkan dalam katagori tafsir sastra-sosial, meski dalam sisi lain keduanya merupakan tafsir maudhu’i.

C. Latar Belakang dan Karakteristik

Kuat dugaan, lahirnya tafsir dengan corak yang demikian dilatarbelakangai oleh semakin dinamisnya kehidupan masyarakat Islam yang meniscayakan adanya kompleksitas masalah yang cukup masif. Bermunculanlah masalah dan persoalan baru yang sebelumnya tidak tampak. Dalam hal ini, sangat urgent rasanya untuk membuat Al-Qur’an uptodate terhadap permasalahan kontemporer tanpa melepaskan sakralitas dan makna asalnya. Sebab bagaimanapun, Al-Qur’an menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat muslim. Ia tak ubahnya kitab aturan tunggal yang mengatur segala sisi kehidupan muslim.

Dalam hal yang demikian, para cendekiawan muslim senyatanya mendapat tantangan untuk menghasilkan tafsir yang down to earth dan aplikatif serta peka zaman. Memang benar sudah ada banyak karya tafsir yang muncul pada masa sebelumnya, namun beberapa karya tersebut pada kenyataannya kurang akomodatif terhadap permasalahan dan fenomena yang terjadi di masyarakat. Hal ini utamanya disebabkan oleh masifnya perkembangan dan dinamika masyarakat. Masyarakat Islam mengiginkan adanya suatu tuntunan praktis dan aplikatif tanpa harus menguliti statusnya sebagai mahluk beragama.

Secara khusus, munculnya tafsir dengan pemaparan yang kental nuansa sastra ini merupakan konsekuensi logis dari keberadaan Al-Qur’an sendiri –yang dikatakan-- merupakan kitab sastra terbesar. Al-Qur’an memiliki sense of languange yang membuatnya menjadi kitab yang tidak hanya hebat, namun juga tidak tertandingi. Bisa jadi pula, hal ini dipengaruhi oleh minat para cendekiawan terhadap kajian sastra yang tidak pernah surut. Minat terhadap sastra ini terbukti bertahan cukup lama dan tersebar di beberapa belahan dunia. Tafsir yang pemaparannya menggunakan sastra ini bisa dianalogikan dengan upaya menyajikan ulasan sastra terhadap teks sastra.

Sedangkan kemunculan tafsir sosial kurang lebih disebabkan oleh banyaknya ayat Al-Qur’an yang membahas masalah sosial serta urgentnya masalah ini dalam hidup keseharian muslim. Al-Qur’an sebagai way of life muslim dengan inklusifitasnya yang menyeluruh memang tidak bisa lepas dari tafsir sosial ini, sebab Islam pun secara umum tidak hanya membahas hubungan vertikal dengan Tuhan, namun juga hubungan horizontal antarsesama mahluk.

Berbeda halnya dengan tafsir sastra an-sich yang tidak terikat dengan tema tertentu. Tafsir-tafsir yang demikian lebih menitikberatkan pada aspek bahasa dengan membedah makna lafadz (kata) maupun makna kalimat. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara tafsir sastra an-sich dengan tafsir sastra-sosial. Tafsir sastra an-sich hanya berhenti pada bidang bahasa dan membidik semua ayat, tidak seperti tafsir sastra-sosial yang hanya menitikberatkan pembahasan pada ayat-ayat yang bernuansa sosial.

Gambaran tentang hal ini barangkali akan menjadi jelas dengan pemaparan contoh. Produk tafsir sastra an-sich lebih banyak membahas hal-hal yang berkait erat dengan diksi yang digunakan Al-Qur’an, semisal studi kosakata Al-Qur’an yang dilakukan oleh Ibnu Abbas. Abu Ubaydah juga tertarik dengan kosakata Al-Qur’an namun memilih puisi-puisi Arab sebagai wujud penafsirannya. Mufassir lain yang menggeluti bidang ini adalah Al-Zamakhsyari dengan tafsir Al Kasysyaf-nya yang lebih menekankan pada pembahasan sintaksis. Secara garis besar dapat difahami bahwa tafsir sastra berupaya menjadikan Al-Qur’an sebagai teks sastra yang merupakan anak kandung dari zaman turunnya Al-Qur`an kala itu.

Bandingkan misalnya dengan tafsir sastra-sosial yang menjadikan sastra sebagai media untuk menyajikan karya tafsir. Tafsir yang demikian memberi paparan panjang lebar mengenai apapun tema yang dibahas dalam Al-Qur’an dengan pemaparan yang kental dengan nuansa sastra.

Dari pemaparan ini, penulis kemudian menyimpulkan bahwa tafsir-tafsir sastra-sosial ini muncul belakangan seiring dengan masif dan beragamanya permasalahan yang dihadapi muslimin dan kemudian melahirkan kebutuhan adanya varian baru dalam karya tafsir yang lebih down to earth. Hal ini, sebagaimana diungkapkan Nasmizartian merupakan upaya pemberdayaan, penyadaran, dan advokasi kehidupan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kemunculan tafsir yang demikian terjadi setelah kemunculan tafsir sufi. Beberapa saat setelah kemunculannya, tafsir sufi dianggap kurang akomodatif terhadap permasalahan dalam masyarakat. Sehingga kemunculan tafsir sastra-sosial yang demikian merupakan sebuah keniscayaan.

Dari berbagai pengertian dan latar belakang yang telah disebutkan, karakteristik tafsir sastra-sosial secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut;
• Tafsir yang responsif terhadap permasalahan umat, tidak kaku, inovatif, serta tidak hanya mengulang ulasan dalam karya tafsir lain.
• Tafsir yang disajikan dengan bahasa yang mengalir, tidak membosankan, dan mengandung unsur estetika sastra, meski tidak bisa lepas dari gayanya yang eksploratif.
• Tafsir yang menyajikan fleksibilitas pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an (berpedoman pada al ibratu bi umum al lafdzi la bi khusus as sabab)
• Disusun secara tematis berdasarkan tema-tema sentral yang memuat semua ayat yang membahas (khusus pada karya-karya kontemporer)
• Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk dan solusi atas semua persoalan.
• Pernafsiran ayat-ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunatullah) yang berlaku dalam masyarakat.

D. Contoh Tafsir Sastra-Sosial

Dalam Tafsir Tematik Wawasan Al Qur’an subbab makanan, Quraish Shihab menafsirkan QS 106:3-4

Artinya: Hendaklah mereka menyembah Allah yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan.

Berangkat dari ayat ini, Quraish kemudian mengulas lafadz tha’am secara panjang lebar, yakni bahwa lafadz tersebut tidak hanya bermakna makanan dan minuman, namun juga berarti segala aktivitas dan usaha. Ia merujuk QS 4:4 sebagai pijakan asumsinya ini,
            
Artinya: Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan sebagian mas kawin tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian tersebut (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Ulasan pertama yang dipaparkan oleh Quraish Shihab sudah menyentuh pada aspek sosial yang kemudian dijelaskan dalam QS 106: 3-4. Dengan gaya bahasanya yang mengalir, ia menjelaskan bahwa manusia dituntut untuk bisa mencontoh ‘kasih sayang’ Allah terhadap hamba-Nya dengan cara menolong saudaranya yang tengah kelaparan dan ketakutan. Kuat dugaan Quraish dalam tafsirnya ini terinspirasi dari fenomena masyarakat umum yang sudah kehilangan semangat saling tolong menolong. Ia menambahkan bahwa dengan ini, Al-Qur’an ingin mengkonfirmasi kecukupan pangan dan stabilitas keamanan sebagai dua modal awal dalam beribadah kepada Allah. Dengan ini senyatanya Quraish ingin menjelaskan bahwa harus ada keseimbangan antara perihal dunia dengan perihal akhirat.

Lebih jauh Quraish memaparkan beberapa ayat yang menerangkan makanan dan minuman yang halal serta haram dikonsumsi. Ia juga mengulas alasan-alasan medis dan etis di balik penghalalan dan pengharaman konsumsi. Penyajian tafsir tematik yang demikian tentu akan dapat membantu muslimin yang tengah menghadapi persoalan seputar makanan. Apalagi, masalah konsumsi ini tidak bisa dispelekan, sebab konsumsi akan berpengaruh terhadap kesehatan fisik maupun kesehatan batin.

Jika pada contoh pertama penulis memilih produk tafsir yang unsur tematisnya sangat kental (sehingga secara format bisa dikatakan tafsir maudhu’i), maka pada contoh kedua penulis mengambil tafsir yang secara format merupakan tafsir tahlili namun juga terkait dengan permasalahan sosial. Sampel yang penulis ambil di sini adalah kitab tafsir Al Maraghi dengan pembahasan poligami yang terdapat dalam surat An-Nisa` ayat 4 berikut;

                               

Artinya: Dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap hak-hak perempuan yatim jika kamu menikahi mereka, maka kawinilah perempuan yang tidak yatim. Nikahilah wanita yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat. Namun jika kamu khawatir tidak bisa berlaku adil di antara beberapa isteri tersebut, maka lebih baik engkau menikahi seorang saja atau engkau bisa menikahi budak-budak yang kamu miliki. Hal yang demikian bisa menghindarkanmu untuk tidak berbuat aniaya terhadap isteri-isterimu.

Aspek sosial yang terkandung dalam ayat ini, dalam pandangan Al Maraghi adalah keharusan berbuat adil dan proporsional terhadap semua manusia yang berinteraksi dengan kita, termasuk pada anak yatim dan isteri. Adil yang dimaksudkan di sini adalah adil dalam segi fisik dan material, sebab adil dalam aspek perasaan merupakan hal yang tidak bisa dikendalikan manusia. Al Maraghi kemudian membahas panjang lebar mengenai poligami dan semua serba-serbinya, semisal keberadaan poligami sebagai sebuah pilihan akhir, keistimewaan poligami dalam keadaan-keadaan tertentu, serta hikmah poligami yang dilakukan Rasulullah. Agaknya ulasan Al Maraghi yang demikian berangkat dari fenomena sekitarnya yang menempatkan poligami dalam posisi yang penuh dilema; dihalalkan namun dalam keadaan sangat terpaksa.

Ulasannya yang cukup luas ini sangat akomodatif dan bisa diandalkan untuk menjawab persoalan-persoalan seputar poligami dan atau pemeliharaan harta anak yatim. Namun ketika dibandingkan dengan ulasan yang dipaparkan oleh Quraish Shihab, penulis kemudian memiliki asumsi sementara bahwa penyajian dengan format tematik akan lebih akomodatif, sebab eksplorasi masalah-masalah yang berkait dengan tema kemudian lebih luas, meski ulasannya masih global. Jika dalam membahas pernikahan (poligami dan monogami) Al Maraghi lebih terpaku dalam masalah poligami saja, maka tidak demikian dengan hasil ulasan Quaish Shihab yang meski tidak terlalu komprehensif, namun sudah menyinggung beberapa hal yang ada kaitannya dengan pernikahan, tidak hanya dalam masalah poligami dan monogami.

Dari sini dapat dipahami bahwa kelebihan tafsir yang diformat tahlili adalah pembahasan yang lebih terarah dan terfokus. Namun, tafsir yang demikian masih mengharuskan pembaca untuk mencari-cari ayat setema yang tersebar dalam beberapa bagian Al-Qur’an. Sedangkan tafsir sastra-sosial yang diformat dalam bentuk tematik memang praktis, namun pemaparannya bisa dikatakan kurang mendetail, utamanya jika dibandingkan dengan ulasan pada tafsir yang diformat tahlili, sebab tafsir ini hanya memaparkan ulasan dalam lingkup umum.

E. Tokoh-Tokoh
 Muhammad Abduh dengan tafsirnya al-Manar.
 M. Rasyid Ridha.
 Musthafa al-Maraghi dengan tafsir al-Maraghi-nya.
 Muhammad Syaltut dengan karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim
 Quraish Shihab dengan karyanya Wawasan Al-Qur’an
 Waryono Abdul Ghafur dengan Tafsir Sosial-nya

F. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
• Menghindari sikap miopi dalam memandang sebuah permasalahan. Ketika ayat-ayat yang membahas satu tema dikumpulkan, maka konsumen tafsir akan lebih mampu memiliki wawasan yang cukup komprehensif tentang sebuah tema. Dengan demikian, besar kemungkinan konsumen tersebut tidak kemudian memahami satu tema berdasarkan satu atau beberapa gelintir ayat.
• Produk tafsir ini tersaji dalam bahasa sastra yang mengalir dan enak dibaca. Hal ini akan berefek langsung pada tingginya peminat karya tafsir yang demikian.
• Di samping menggunakan pendekatan ar-riwayah (atsar), corak tafsir ini menggunakan pula interpretasi akal, sehingga dapat dikatakan bahwa corak tafsir ini menggabungkan pendekatan bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi dengan sangat hati-hati.
• Praktis dan fleksibel. Tafsir sastra-sosial bersifat praktis dan aplikatif, dalam arti bisa langsung diterapkan dalam kehidupan. Sedangkan fleksibilitas yang dimaksud di sini adalah produk tafsir yang lebih membumi dan mampu menjawab permasalahan yang muncul. Agaknya, kehadiran corak dan karya tafsir semacam ini cukup berperan dalam meneguhkan slogan Al-Qur’an shahih likulli zaman wa makan.
• Keberadaan tafsir sosial (khususnya produk kontemporer) yang terdiri dari beberapa tema menjadikan karya tafsir ini sebagai sebuah ensiklopedi yang bisa diandalkan. Sehingga ketika seseorang menghadapi sebuah permasalahan, ia tinggal merujuk pada tafsir sosial dan mendapatkan pemecahan serta wawasan yang komprehensif mengenai masalah yang tengah dihadapi.
• Eksplorasi yang memadai. Produk tafsir sastra-sosial memberikan ruang yang besar bagi mufassir untuk menyisipkan data maupun analisis apapun yang ada hubungannya dengan tema yang dibahas. Ia bisa menyertakan asbabun nuzul, tinjauan hukum sosial, analisis bahasa, alasan pemilihan diksi, dan lain-lain.

Kekurangan
• Munculnya asumsi bahwa suatu ayat dimiliki oleh satu katagori tertentu. Kekurangan ini senyatanya sangat relatif dan kondisional. Bagi mereka yang hanya bisa menangkap satu muatan tema dalam satu ayat, maka tafsir ini cukup ‘bertanggungjawab’ pada keadaan yang demikian. Namun bagi mereka yang bisa menangkap ada banyak dimensi cahaya dari ‘permata’ Al-Qur’an, maka asumsi yang demikian senyatanya tereduksi dengan sendirinya. Klasifikasi ayat dalam sebuah katagori bisa jadi memunculkan kurangnya minat untuk menemukan hal-hal yang sebelumnya masih belum tereksplorasi.
• Produk tafsir ini cenderung bersifat temporal, relatif, dan lokalistik. Hal ini jualah yang barangkali mendorong anak bangsa kita untuk menghasilkan karya tafsir yang lebih meng-Indonesia, sehingga bisa langsung diterapkan. Meski sekali lagi, heterogenitas tetap tidak bisa dihilangkan dalam keragaman masyarakat Indonesia. Temporal di sini erat kaitannya dengan dinamika masyarakat yang mengalami perubahan cukup masif. Misalnya saja, jika pada beberapa dekade yang lalu belum ada bir sehingga tidak termasuk dalam katagori minuman yang memabukkan, maka dewasa ini bir pun harus dimasukkan dalam katagori tersebut.
• Minimnya eksplorasi terhadap ayat-ayat yang membahas ritual kegamaan dan hukum. Tafsir sastra-sosial ini lebih memberikan eksplorasi yang jelas dan lengkap terhadap masalah-masalah sosial.

G. (BUKAN) PENUTUP

Epilog tulisan ini barangkali akan lebih manis dengan kutipan Quraish yang mengatakan bahwa kita, khususnya insan akademis memiliki semacam fardu kifayah untuk membumikan Al-Qur’an dan menjadikannya mampu menyentuh realitas kehidupan. Al Qur’an harus senantiasa dipelihara, salah satunya dengan memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer (memberi interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks) tanpa harus mengabaikan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.

Ya, dunia tafsir memang dunia yang dinamis dan tidak akan mencapai istilah final. Manusia akan terus berubah dalam dinamika yang tidak pernah surut. Sedang Al-Qur’an harus tetap menjalankan fungsinya sebagai petunjuk dan ‘pengatur’ kehidupan manusia. Sebab itulah, jika kita tidak mau terbawa arus, maka kita harus mencipta arus tersebut dengan karya dan kreativitias kita. Semoga. Allah Knows Best.

DAFTAR PUSTAKA

A. Rafiq (ed). 2005. Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005. hlm. 88.
Al Maraghi. 1974. Tafsir Al Maraghi, terj.Alhumam MZ Semarang: Toha Putra
Hidayah, Nuril. 2006. Konsep I’jaz dalam Al-Qur’an dalam Perspektif Madzhab Tafsir Sastra (Studi Komparasi antara Pemikiran Bintu Al Syati’ dan Nasr Hamd Abu Zaid), Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Khoruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Mulyana, Slamet. 1986. Kaidah Bahasa Indonesia, Flores: Nusa Indah
Mustaqim, Abdul. 2008. Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mustaqim, Abdul . 2005. Aliran-Aliran Tafsir, , Yogyakarta, Kreasi Wacana
Depdikbud,. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Nasmizartian. 2005. Tafsir Sosial Al-Qur’an (Telaah Pemikiran Keislaman Amien Rais), Skripsi, UIN Yogya Fakultas Ushuluddin.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an (Bandung:Mizan, 1996)
Shihab, Quraish. 2007. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan

Presented: 30 Nov, 2009
Ur brighter day

Senin, 23 November 2009

Suasana Baru di KampuZ..

Sejak beberapa hari yang lalu, di kampus ada pemandangan baru. Hm..Sekadar deskripsiku, jadi kampusku itu lokalnya terpisah jalan raya. Sehingga ada kampus barat dan kampuis timur. Nah, karena fakultasku ada di kampus timur, jadi aku paling sering jejakin kaki ke situ. Selain fakultasku, di sayap ini juga ada perpustakaan, multi purpose, student centre, GOR, rektorat lama, kantin, fakultas dakwah, dan ATM. Selain itu, semuanya (lima fakultas, rektorat, pusba, maskamp, dll) ada di kampus barat. Jadi dak ada tu istilahnya kampus I, kampus II, dan seterusnya seperti yang kerap aku lihat di PT laen. Ya, meski hotel kampusku adanya ndak di Sapen, tapi di Maguwo.

Nah,,terus, karena alasan lokal itulah, aku berani memprediksikan bahwa ada lebih banyak orang yang berkunjung ke kampus barat dibanding ke kampus timur. Jadi minoritas gitu aku. Tapi ndak apa-apa. Yang ingin aku ceritain bukan minoritas dan mayoritas itu. Jadi sejak beberapa pekan yang lalu, di kampusku ada pemandangan baru berupa satpam yang nongkrong di areal taman yang nyambung ke parkiran samping fakultas dakwah. Jadi lucu juga ngeliatnya. Pasalnya sebelum itu ga ada. Yang tambah bikin lucu adalah karena satpam yang bertugas di situ tampak sangat kelelahan dan over kepanasan karena tidak adanya tempat yang representatif untuk mereka. Yang juga bikin aku lucu sekaligus kasian sama mereka adalah karena mereka serasa kewalahan ngelayani pengendara kendaraan.

Idealnya khan seorang penjaga parkir dan ato satpam itu ngehandle satu areal parkir ajah. Nah kalo diitung-itung, ada sekitar empat parkiran yang harus dihandle ma seorang satpam malang itu. Aku kadang dak tega ngeliat dia kewalahan meriksa STNK dan ato karcis parkir bagi yang dak bawa atau dak punya STNK. Yang ngantri juga ga kalah kewalahan. Kadang jadi panjaaaaaaaaaaaaaaang banget. Nach yang mau keluar dari kampus banyak banget, mulai dari birokrat dan mahasiswa, yang ngurus cuma satu orang. Ketimpangan ini tak jarang membuat pak satpam menyuruh pengendara kendaraa ngeloyor pergi tanpa terlebih dahulu memeriksan kelengkapan administrasinya (ih, lebay) namun tak pernah lupa menyelipkan sebuah senyuman. Aku dewe pernah ngalami pas lagi bonceng ma umi. STNKnya ada dalam dompet yang dompetnya juga nyellet di bagian tas yang paling dalam. Akhinya tu satpam dak mau ambil pusing dan segera nyuruh kami ngeloyor.

Aku sich, inginnya tukang parkir yang ada di masing-masing areal parkir juga dapat tugas seperti pak satpam. Jadi wilayah kekuasaanya lebih kecil tukang parkir, sebab ia hanya meng-handle semua kendaraan yang ada di arealnya. Di gerbang depan, pak satpam hanya bertugas merecheck ulang kendaraan. Jadi tugasnya ringan namun yang diurusnya banyak. Hal ini adil lah, dengan petugas parkir di areal yang kerjanya lumayan berat namun yang jadi tanggungawabnya secara kuantitas lebih sedikit. Hal ini buat aku dapat meminimalisir terjadinya kriminalitas di kampus, khususnya di area parkir. Ya, aku mungkin masih sakit hti karena helm MDSku pernah menelan dan tertelan luka di area parkir.

Ya aku sich dak tau apa dan bagaimana alasan pihak elit kampus bikin kebijakan yang demikian. Jadi ya, tulisan ini hanya lahir dari subjetivitasku dan atas ketidaktahuanku. Hehehe. Tapi aku ancungi empat jempol dech, atas inovasi dan kemajuan ini. Khan dak enak juga kalo misalnya para pelaku kriminal (pencuri sepeda ontel, kendaraan bermotor, atau helm) dibiarkan bebas bernafas di kampus aku tercinta. Tapi ya itu, kasian satpamnya aku. Aku mah jarang ngampus pake motor, jadi dak gitu terganggu dengan keadaaan itu.

Pemandangan baru yang kedua aku lihat di jalan menuju kampus dari arah TPI. Jadi sebelah kanan jalan menuju kosku (kalo jalan dari timur) itu adalah trotoar yang biasa dilewati mahasiswa, biasanya ya emang mau ke kampus timur. Tapi dak banyak yang lewat di situ. Rawan kecelakaan sich, selain jalan di sebelah kanan (yang berarti ngelawan arus), ada tikungan tajem, dan jalan itu termasuk jalan yang disemuti pengendara. Jadi emang dak banyak yang lewat situ. Pengendara motor atau bahkan ontel pun sering lewat di depan minhaj demi menghindari kemacetan di situ.

Nach, jadi sejak beberapa hari yang lalu juga, jalan di sebelah kanan itu dibantai abis-abisan ma petugas BM (Building Management) kampusku. Emang bagus sich, ada trotoar khusus. Dipagar lagi. Aku bisa memanfaatkannya kalo abis dari tempat rental. Tapi aku malah kasian ma pedagang kaki lima yang biasa mangkal di sana. Beh…Yakin. Aku uda hafal wajah-wajah, gerobak, dan apa yang mereka jual. Dari mulai bengkel (kalo ndak salah namanya SINYO), konter mini, tempat buat stempel dan afdruk foto, agen koran, hingga kalo malem yo…pedagang lalapan di situ. Secara otomatis mereka tergusur dan harus segera mencari tampat lain. Bayangin aku berada di posisi mereka bikin aku miris banget.

Aku sering ngisi angin di bengkel SINYO. Sekarang lokasinya uda pindah ke sebelah selatan warung padang. Penjual koran, stempel, dan afdruk gantiin tempat dan gerobaknya pedagang roti bakar, penjual lalapan entah ke mana, dan U Cell masih di situ. Dua pemandangan yang, sebenarnya buat aku memberikan sebuah paradoksa yang sangat dilematis. Di satu sisi kita tidak bisa lantas mengabaikan nurani namun di sisi lain kita juga harus patuh pada aturan sosial.

Ya, hidup memang seringkali menyajikan paradoksa-paradoksa yang tak berkesesudahan. Dan juga beberapa hal yang ironis. Termasuk jembatan layang yang menghubungan kampus barat dan kampus timur. Megah namun tak ramah. Sudah jadi dan kuat namun belum ada yang bisa melewatinya. Penyelesainnya uda sempurna beberapa bulan yang lalu. Nama kampuskupun dengan bangga dicantumkan di situ, dengan font gede dan lighting yang tak kalah gemerlap. Membuat siapain terperangah saat melewati jalan Adisucipto atopun jalan Solo. Sayang aku dan siapapun belum dapat idzin untuk menggunakan fasilitas itu. Hm..sampai kapan ya? Jangan nunggu aku wisuda lah..Kelamaan. kasian akunya juga…Hehe…Well, kembali lagi pada subjektivitas dan ketidaktahuanku.

Ngur serngutan, 24 Nove, 2009. 09.26.

Jumat, 20 November 2009

Come back to campuZ…

Besok akhirnya aku akan kembali berkarier di kampus dalam rangka kuliah bagian dua semester gasal ini. Bagaimanapun aku harus bahagia, sebab Tuhan sudah memberiku kesehatan dan kemampuan untuk bisa kuliah…Keadaan yang kurang lebih berbeda dengan perkuliahan bagian pertama kemarin. Dan tentunya, aku harus bisa mempertahankan dan menjaga kesempatan itu…

Momen mengistirahkan badan (dan otak) saat aku terbaring sakit kemarin kemudian momen liburan ini cukup sukses menjadikanku seorang yang maunya santai-santai terus. Aku rasanya belum sepenuhnya kembali ke kota ini…; kepada rutinitasnya yang hampir bahkan berhasil membuatku kewalahan, kepada rumitnya jam-jam yang harus aku atur tanpa harus mengorbankan salah satu hal yang aku tekuni, dll..

Aku baru manasin otak menjelang UTS kemarin. Dengan setumpuk bahan materi kuliah, aku berusaha mengembalikan waktu dan meminimalisir langkahku yang sudah jauh tertinggal di belakang. Aku kewalahan, tak pelak begitu. Apa yang harusnya aku telan dalam beberapa bulan harus aku kuasai dalam jangka waktu tidak lebih dari 24 jam. Perjuangan yang cukup melelahkan, meski dengan hasil yang –menurut prediksiku tidak begitu memuaskan.

Dari itu aku mulai mengikis rasa minder yang belakangan menderaku karena aku sudah jauh tertinggal dibanding teman-temanku yang lain. Meski tidak sepenuhnya berhasil, aku lumayan ngeroso bahwa sedikit banyak aku sudah mengetahui apa yang mungkin sudah mereka kuasai.

Perjuangan belum dan tidak akan pernah berakhir…besok aku sudah harus melepaskan masa-masa liburan dan kembali bertarung dengan rutinitas kampus. Dengan makalah dan jadwal presentasi yang belum sama sekali aku lunasi. Dengan dosen yang kadang maunya sendiri dan kurang down to earth dan merakyat, dengan tuntutan absen yang seperti tidak pernah mengijinkanku untuk SEKALI pun bolos kuliah…dan hambatan yang paling penting lagi, yakni…kemalasanku masuk kuliah

Catatan sepekan yang lalu. Mending aku posting ketimbang hanya usang dalam lemari waktu.
21 Nov, 2009/ 07.16

My Mother

Who should I give my love to?
My respect, and my honor to?
Who should I pay good mind to?
After Allah and Rasulullah?
Comes your mother, who next? your mother, who next? your mother
And then your father

Kepada siapakah harus kuberikan cintaku?
Harus kutunjukkan rasa hormat dan ketulusanku?
Dan harus pada siapa aku berpikiran positif?
Setelah pada Allah dan Rasullah?
Pada Ibumu. Lalu pada siapa? Pada Ibumu. Lalu pada siapa? Pada ibumu. Kemudian, pada siapa? Barulah pada ayahmu

Coz who used to hold you?
And clean you dan clothe you?
Who used to feed you and always be with you?
When you were sick, stay up allnight
Holding you tight, that’s right, no other
My mother

Sebab siapakah yang biasa memelukmu?
Memandikan dan memakaikan baju padamu?
Siapa yang biasa menyuapimu dan selalu ada di sampingmu?
Dan saat kamu sakit, siapa yang begadang menjagamu?
Memelukmu erat?
Ya, benar..Ibumulah yang melakukannya..Bukan siapa-siapa.

Who should I take good care of?
Giving of my love..
Who should I think the most of?
After Allah and Rasulullah
Comes your mother, who next? your mother, who next? your mother
And then your father

Aku harus memberikan perhatian penuh pada siapa?
Memberikan sepenuh cintaku?
Siapakah yang harus berada di urutan terpenting,
Setelah Allah dan rasulullah?
Ya, pada ibumulah kau harus memberikan semuanya. Lalu pada siapa? Pada ibumu. Kemudian pada siapa? Pada ibumu. Lantas, pada siapa? Barulah pada ayahmu.

Coz who used to hear you, before you could talk?
Who used to hold you, before you could walk?
And when u fell, who picked up
Clean your cut, no one but your mother
My mother…

Sebab siapakah yang terbiasa mendengar gumammu sebelum engkau bisa bicara?
Siapa yang biasa menggendongmu sebelum kamu bisa berjalan?
Dan membangkitkanmusaat kamu terjatuh?
Kemudian membersihkan lukamu?
Tak ada seorangpun yang melakukannya..
Selain ibumu…

Who sholud I stay right close to?
Listen most to? Never say no to?
After Allah and Rasulullah
Comes your mother, who next? your mother, who next? your mother
And te\hen your father

Pada siapakah aku harus senantiasa mendekat?
Selalu mampu mendengarkan ucapnya, dan tidak pernah berkata tidak?
Setelah pada Allah dan Rasulullah?
Ibumulah orang itu. Lalu siapa? Ibumu. Kemudian? Ibumu. Barulah kemudian ayahmu.

Coz who used to hug you, and buy you new clothes
Comb your hair and blow your nose
And whe you cry who wipe yout tears
Knowa your fears
Who really cares?
My mothers..
Say Alhamdulillah..Thank you, Allah, for my mother,,,

Siapakah yang biasa memelukmu, dan membelikanmu baju baru
Menyisir rambutmu dan memainkan hidungmu
Dan saat kau menangis, siapa yang selalu menghapus air matamu
Memahami rasa takutmu?
Dan siapa yang benar-benar peduli padamu?
Ya, orang itu hanya ibumu.
Ucapkanlah Alhamdulillah, terimakasih ya Allah, kau telah mengirimkan ibuku untukku.

Lagu ini uda lama aku tau dan aku denger. Gak pasti kapan, tapi masih aku saat di Annuqayah yang jelas. Lagu ini juga mungkin adalah salah satu di antara sekian banyak surat cinta yang ditulis dan dikirimkan pada sosok-sosok ibu di seluruh penjuru dunia. Alasan pertama aku suka lagu ini adalah karena penyanyinya anak-anak..jadi suara polosnya bener-bener jadi nilai yang dak terbandingkan dalam lagu ini.

Alasan kedua, liriknya menyentuh dan menggenangkan semua penjuru hati. Ah lebay. Artine lagu ini buat aku sedikit banyak menceritakan betapa seorang ibu adalah mahluk super setia terhadap putra-putrinya; yang selalu ada dalam semua keadaan, yang selalu siap dalam semua kebutuhan, dan selalu peduli dalam semua permasalahan. Emang bayanginnya aja uda bikin mellow. Dari capeknya hamil, pertaruhan nyawa saat melahirkan, malam-malam panjang yang diberikan sepenuhnya, dan perjuangan lain dech…Hingga kemudian sang anak dewasa. Sampai akhir idupnya pun, seorang ibu tetap tak pernah kehilangan dan kekurangan stock cinta yang akan diberikan pada putra-putrinya. Ya, bicara tentang jasa dan cinta ibu ini emang ibarat ngomongin aliran samudera; dak akan pernah putus dan dak akan pernah ada habisnya…

Alasan ketiga adalah karena lagu ini adalah salah satu perwujudan living hadist. Beh, mentang2 anak TH. Tapi bener, lagu ini memang diilhami dari sebuah hadist Nabi. Aku belum pernah menelusuri seluk beluk matan dan sanadnya, yang jelas hadist ini pertama kali tersave di otakku pas aku kelas I MTs dari kitab akhlak. Aku lupa nama kitabnya, yang jelas terdiri dari dua kata, sama-sama mashdar wazan taf’il. Jadi untuk memasyaratkan hadist ini pada anak-anak, si pencipta memilih opsi untuk mengemasnya dalam bentuk lagu, biar nyantolnya lebih cepat, juga mungkin lebih bertahan lama…

Jadi di sini itu ada improvisasi dari pertanyaan sahabat pada Nabi saat itu. Intine waktu itu sahabat tu (aku juga lupa sapa namanya) bertanya pada Nabi, siapakah manusia yang patut ia jadikan top of the top precious thing dan jadi the most of the most dalam kehidupannya. Mungkin ada hubungannya dengan asbabul wurud, Nabi kemudian memberikan taukid mpe tiga kali demi mengukuhkan bahwa ibunda adalah orang yang harus jadi prioritas…

Banyak juga kalimat-kalimat yang jadi indah banget. Semisal when you were sick, stay up allnight. Bener banget tuch. Aku liatnya pas adik2ku sakit, terutama saat mereka kecil, umik tuch biasanya standby sepanjang malem…kalo pagi biasanya mata umik memerah karena kecapean. Itu hanya beban fisik. Mana lagi beban psikologis. Umik biasanya keliatan morang maring murung pas ada salah satu anaknya yang sakit dan selalu cemas. Belum lagi kalo giliran diimunisasi, umik dapet bagian begadang lagi. Hal yang sama juga terjadi saat anak sulungnya yang uda gede dak mau diopname karena takut ma jarum suntik. Hehehehe…

Nach, kalimat yang juga membiusku adalah SHE USE D TO HEAR ME BEFORE I COULD TALK. Ya, nyambungnya malah bukan hanya ke umik..Tapi juga kepada orang-orang yang cukup terbebani dan terepotkan dengan masalah-masalah yang menderaku, orang-orang yang selalu bisa melihat bahwa senyumku menyimpan tangis, dan orang-orang yang selalu mau bersedia menjadi pendengar kesah bahkan tangisku…jadi tanpa harus ngomong pun, mereka uda faham bahwa ada trouble dalam diriku. Ayah misalnya. Great banget dia mahamin aku. Nyaris tanpa cela. Sikapnya yang tegas namun lembut telah bikin aku dak bisa untuk tidak berbagi segalanya dengan sosok ini. Oya, saat aku kecil, umik mungkin juga sangat bahagia saat pertama kali aku bisa bergumam, saat pertama kali aku bisa mengucapkan bahasa manusia..dan mungkin memanggil namanya. (Alasan yang paling logis napa umik sebahagia itu, karena aku anak pertama). Jadi sebelum momen kemampuan itu datang, suara-suara ancur dan gumaman sunyiku menjadi lagu yang paling nentramin buat umik. Mungkin sich gitu. Aku mah hanya menduga-duga saja.

Terus juga tentang, ALWAYS BE WITH YOU, WHO PICKED YOU UP WHEN YOU FELT, CLEAN YOUR CUT, WIPE YOUR TEAR WHEN YOU CRY, USED TO HUG, dan KNOWS YOUR FEARS, bagi aku lebih menggambarkan kedekatan emosional dan romantisme antara ibu dan anak. Sayang saat uda segede ini, aku merasa kurang begitu merasakan romantisme itu dengan umik. Mungkin karakter umik yang jauh berbeda denganku ato gimana. Perhatian umik lebih bersifat kongkret, seperti puasa diniatin untuk aku, cuciin baju aku, dan ngusahain aku agar tetap selalu modis semodis umik. Hehehe. Kalo romantisme2 itu hampir sepenuhnya aku dapat dari ayah. Karakterku kayaknya banyak ngdopsi dari ayah. Ayah demokratis dan fleksibel, meski tidak jarang fanatik. Jadi aku merasa comfort cerita hal segila apapun sama dia, diskusi tema apapun…Pokoknya he is my best…

Kalo kalimat COMB YOUR HAIR, BLOW YOUR NOSE, FEED YOU, CLEAN AND CLOTHES YOU, AND BUY NEW CLOTHES, tu menurutku baru sifatnya material gitu. Kalo masalah baju aku emang umik masternya. Aku bahkan bisa dibilang dak pernah beli sandang sendiri. Pasti umik yang ngurus, karena umik juga punya komunitas yang mungkin cukup intens ngomong masalah mode. Jadi aku tinggal terima jadi. Meski ya, aku juga sering iri-irian ma umik. Abiz umik kadang seleranya masih dak jauh beda ma aku, sehingga kami sering terlibar dalam aksi saling rebutan jilbab. Kalo masalah nyisirin rambut dan ngutilin idung, aku dak inget umik pernah melakukannya padaku. Ngutilin idung paling sering ayah..tentang nyisir rambut, pas aku masih SD, kayaknya bukan umik yang sisir rambutku. Ga tau sapa, aku lupa. Tapi kalo mandiin dan memakaikan bajuku, aku inget …biasanya pas aku mau berangkat SD. Dak tau sapa. Bisa umik, bisa mbah, bisa buk yah, bisa juga orang laen. Banyak opsi. Dan karena aku dak bisa kembali pada masa itu plus emoh investigasi, jadi aku ambil yang inget2 ajah. Btw kalo masalah nyuapin, kayaknya banyak yang pernah nyuapin aku. Hingga saat ini pun. Hehehe. Tapi momen yang paling aku inget adalah saat umik melahirkan Elton, aku TK saat itu, Pak Mink yang nyuapin aku.

Aspek ketiga yang aku dapat dalam lagu ini adalah adanya unsur etika dan atau kewajiban seorang anak terhadap ibu (baca: orangtuanya), yang tergambar dalam I SHOULD GIVE MY LOVE AND RESPECT TO, I SHOULD PAY GOOD MIND TO, LISTEN MOST TO, NEVER SAY NO TO, I SHOULD THINK THE MOST OF, dan I SHOULD STAY RIGHT CLOSE TO. Nach, kasarnya nich, bales apa yang uda dikorbankan dan diberikan Ibu kita. Emang dak mungkin ada bandingannya…Namun ketika kita sudah berusaha membahagiakan dan membuat ibu kita bangga terhadap kita, (dalam skala terkecil sekalipun) maka pada saat itu niat tulus yang kita punya juga bisa berarti sebuah balasan. Kalo ada hasil konkretnya, lebih bagus tu. Lha masa kita dak mau berbuat baik pada orang yang darahnya mengalir dalam tubuh kita dan mengorbankan hampir segala yang dia punya untuk kita?

Well, paragraf sebelumnya itu hanya buah dari kontemplasiku yang belum sempurna dan sifatnya teoretis. Aku selesein tulisan ini juga sepotong2, jadi konsentrasiku mau ga mau terpecah dalam beberapa fragmen itu. Ya ada telpon lah, aku yang ngantuk lah, listrik yang padam lah, ada teman ke kamarku, ada jeritan tanda ada sms di hpkudan hambatan lain…Tapi aku bener2 nargetin ne tulisan kelar. Itung2 kasian blogku kalo kesepian..

Aku sich sebenernya ga gitu supportif ma hadist ne. Tau kenapa? Ya karena aku serasa ga terima sosok ayah dinomorduakan. Jadi sebelum tau asbabul wurudnya, aku belum gitu ngeh gitu untuk kemudian mahami hadist ini secara tekstual. Jadi buat aku ayah itu adalah sosok best of the best dalam hidupku. Emang ayah dak pas selalu ada dalam semua keadaan, terutama pas aku kecil, tapi aku ngeroso comfort banget kalo bareng ayahku saat ini, utamanya saat ada masalah. Aku juga ngerasa ayah enak kalo bareng aku. Kami kompak gitu. Mungkin karena aku sedikit banyak mewarisi karakter ayah. Berusaha tenang dalam keadaan genting, berusaha menanam harapan saat putus asa lebih dulu tersemai, dan satu hal lagi; MENIKMATI KEADAAN!!!

Ya pada intinya, aku pikir dak ada yang perlu dibedain secara stratifikatif. Ibu nomor satu dan ayah nomor dua. Ato ayah nomor satu dan ibu nomor dua. Bicara perjuangan, keduanya sama-sama berjuang. Cuma bidangnya memang berbeda. Jika Ibu uda susah-susah hamil dan melahirkan, ayah khan juga banting tulang cari nafkah. Everything and everyone has their place and their role. Jadi keduanya kudu sama-sama dihormati. Tapi cara mendekati dan menghormati mereka juga harus disesuaikan dengan karakter dan pembawaan masing-masing. Aku misalnya, harus bisa mengetahui hal apa yang paling bikin umik bahagia. Misalnya prestasi akademik, pola hidup yang bersih, dan pola pikir yang dewasa. Beda ma ayah, ayah tu lebih bahagia jika aku bisa tegar dan luwes, bisa bersikap sewajarnya dan bisa memandang hidup dengan bijaksana.

Jadi ya gitu…aku berharap asbabul wurud ini adalah karena ada seorang anak yang durhaka ma ibundanya. Mungkin karena sang ibu uda tua sedang dia masih kuat dan sehat, maka si anak sering membentak si ibu ato gimana lah, yang deket2 ma itu. Jadi brulah nabi ngasih warning demikian. Ya, itu hanya sebatas dugaan. Eh, tunggu dulu..aku termasuk anak yang durhaka ndak ya, ma umik? Ndak dech…dak sampe separah itu. Beh. Apologinya tak berkesesudahan…konflik itu khan biasa, yang penting sekarang aku uda banyak belajar dari kejadian itu dan emoh mau mengulangi lagi…

Tapi kenapa surat cinta dan puisi rindu itu kebanyakan dilamatkan pada sosok ibu? Hampir tak kutemukan ada syair untuk ayah…Hanya dikit kalopun ada. Mm…Aku memang merasa sosok ayah ternomorduakan dalam hal ini.. ada dak terimanya juga Asumsiku, karena ibu cenderung lebih dekat secara emosional. Lebih halus dan lebih mau berbaur dengan anaknya dibanding ayah yang sosoknya berwibawa dan bersahaja. Tapi itu dak dialami oleh semua orang koq. Ya termasuk aku. Wah, pengalaman pribadi lage yang diceritain…

Epilog tulisan ini,, adalah bahwa kita harus mau menyelami karakter seseorang untuk bisa memahami dia kalo kita juga mau dimengerti olehnya. Penyelaman karakter itu dak sulit koq. Kita hanya tinggal membangun komunikasi dan belajar berdamai dengan keadaan dan ego kita. Mengalah kadang menjadi sebuah keharusan. Ya, gampang teorinya sulit praktiknya. Tapi yang pasti, penyelaman karakter itu menjadi sebuah keniscayaan yang harus kita lakukan demi membina hubungan baik dengan semua orang, terutama orang-orang tersekat kita.

Jogja Mendung, 21 Nove, 2009. 07.03

Rabu, 18 November 2009

1st Makalah abis recovery...

I. PEMBUKA WACANA
Hingga saat ini, beribu tahun setelah masa periwayatan dan kodifikasi hadist Nabi, hadist Nabi berhasil hidup dan terus dijadikan acuan dalam hidup keseharian muslim. Berbagai karya kodifikasi maupun segala hal yang berkaitan dengan hadist juga mendukung hidupnya hadist dalam masyarakat muslim.
Rasanya bukan tanpa alasan jika ulama’ hadist melegitimasi kitab shahih Bukhari sebagai kitab acuan terbesar setelah Al-Qur’an. Beberapa hadist yang disajikan dalam kitab tersebut terdiri dari hadist yang sudah teruji validitasnya sehingga bisa langsung diterapkan langsung dalam hidup keseharian muslim. Hal lain yang memengaruhi lahirnya legitimasi tersebut adalah ketekunan Al Bukhari dalam mencari hadist dan mengatasi segala hambatan yang dialaminya dalam proses mencari hadist.
Kegigihan Al Bukhari tersebut ditopang kuat oleh daya ingatnya yang luar biasa. Beberapa riwayat mengabarkan kekuatan daya ingat beliau yang mampu menyerap berjuta-juta file informasi dengan ketangkasan yang juga sepadan. Dua hal inilah yang barangkali menjadi faktor penting dalam proses kelahiran dan legitimasi shahih Bukhari sebagai top of the top work dalam bidang hadist.
Tak heran jika kemudian Bukhari sangat dekat dan identik dengan kitab shahihnya tersebut. Senyatanya, Bukhari memiliki beberapa karya lain yang meski tidak sepopuler dan se-legitimated Shahihnya, namun juga cukup sukses menyajikan informasi yang dibutuhkan pembaca. Sebagian dari beberapa karyanya tersebut masih linier dalam kajian hadist. Hal ini menjadi logis sebab ilmu hadist dan seluk beluk periwayatannya adalah suatu ilmu yang kompleks dan memunculkan varian-varian kelilmuan lain yang tidak kalah menarik.
Satu di antara beberapa karya tersebut adalah kitab Tarikh Al Kabir yang mengupas tuntas mengenai hal ihwal para perawi yang turut andil dalam mata rantai periwayatan. Pembahasan ini bagi saya pribadi cukup menarik, sebab kajian terhadap kitab ini juga berarti sebuah upaya untuk ‘mengusik’ dan kembali mempertanyakan kredibilitas Bukhari yang sudah teruji dan diakui kredibilitasnya lewat kitab Shahihnya. Mampukah predikat extra cumlaude tersebut dipertahankan Bukhari dalam karyanya ini?



I. RIWAYAT HIDUP IMAM BUKHARI
Biografi seorang tokoh merupakan hal yang tidak pernah dilupakan saat kita membahas karya dan pemikirannya. Pengaruh latar belakang, dinamika hidup, maupun karier akademik seorang tokoh dalam karya yang dihasilkan agaknya sudah cukup diakui oleh sebagian besar orang. Sedikit banyak, perjalanan hidup dan latar belakang keluarga tokoh juga turut berperan dan kemudian tampak dalam sebuah karya yang dihasilkan. Bukhari yang menjadi tokoh sentral dalam pembincangan kali ini dilahirkan pada 13 Syawal 1949 dengan nama Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al Mughirah ibn Bardzibah al-Juf’I al-Bukhari. Nisbah akhir yang kemudian menjadi nama populernya ini didasarkan pada alasan bahwa ia tinggal di Bukhara.
Sejak kecil, Bukhari telah mendapatkan lingkungan belajar yang kondusif. Kendatipun ayahanya meninggal, namun ibunda Bukhari memberikan perhatian yang cukup intens pada Bukhari kecil dengan menyediakan fasilitas yang bisa memancing daya nalarnya. Hal ini juga didorong oleh keadaan ekonomi keluarga yang memungkinkan Bukhari kecil untuk belajar banyak hal. Kegigihan ibunda Bukhari dan kesungguhan Bukahri sendiri terlihat jelas saat usianya 10 tahun dan sudah mengahafal beberapa hadist di luar kepala dengan hafalan yang sangat mengagumkan.
Kondisi golden age dan era sesudahnya inilah yang barangkali terbawa dan berkembang pesat hingga masa-masa kejayaannya dalam karier kajian hadist. Bukhari muda memiliki konsistensi dan kemauan kuat dalam bidang yang digelutinya. Ia dengan senang hati berkelana dari satu kota ke kota lainnya untuk keperluan mencari hadist. Selama hidupnya, Bukhari telah cukup sukses dalam upayanya mengabadikan nama dengan menulis beberapa kitab yang cukup berpengaruh dan digunakan secara luas oleh penggiat ilmu, khususnya penggiat ilmu hadist. Bukhari wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. Namun namanya akan tetap harum sampai kapanpun. Riwayat ketekunan dan kehebatan daya ingatnya akan menjadi suatu cerita yang tidak akan pernah berhenti dituturkan.



II. SEJARAH PENULISAN KITAB
Rasanya tidak terlalu sulit menyusun kitab rijalul hadist bagi seorang Bukhari yang memang sudah menggeluti upaya pengumpulan hadist dalam jangka waktu yang cukup lama dengan kuantitas hadist yang juga banyak. Ketika ia meneliti suatu hadist, maka secara tidak langsung ia juga telah meneliti siapa saja yang terlibat aktif dalam mata rantai periwayatan. Penulis belum menemukan kejelasan mengenai kitab mana yang lebih dahulu diselesaikan, apakah Shahih Bukhari ataukah kitab Tarikh ini. Namun begitu, sekali lagi, senyatanya menyusun kitab rijalulul hadist seperti ini sangatlah mudah dilakukan Bukhari. Sebab ia sudah memiliki banyak data dan hanya bertugas mensistemasinya.
Bukhari menyusun kitab ini di Madinah setelah sebelumnya berhasil menyelesaikan penulisan kitab Qadaya` al Sahabah wa al tabi’in. Sejarah mencatat bahwa Bukhari menulis kitab Tarikh al kabir di Madinah, tepatnya di sisi makam Rasullah. Agaknya ia sangat memulyakan Rasulullah, sehingga dalam proses penulisannya pun ia merasa lebih comfort di sisi makam Rasul, selain juga dengan tujuan tabarruk.
Motivasinya dalam menyusun kitab ini didasarkan pada kekhawatiran akan ada banyak orang menyusun hadist yang lengkap dengan isnad, tetapi tidak mengetahui biografi para perawi yang berada dalam sanad sebuah hadist.
Berangkat dari kekahwatiran inilah, Bukhari kemudian berinisiatif menyusun sebuah kitab yang khusus membahas rijalul hadist dari semua kalangan, sejak kalangan sahabat hingga rawi pada masanya. Dengan demikian, saya menduga kuat bahwa kitab ini menjadi pioner dari kitab rijalul hadist, paling tidak dalam masa dan atau wilayah Al Bukhari hidup. Bisa jadi, sebelumnya tidak ada karya yang secara spesifik membahas rawi-rawi dalam sebuah hadist. Sebab itulah ketika kitab ini pertama kali dilaunching, ulama’ banyak yang merasa takjub dan terperangah

III. SELAYANG PANDANG KITAB
Isi kitab yang terdiri dari empat juz ini memuat biografi 12.305 perawi. Jumlah ini berbeda dengan apa yang disampaikan Ajjaj Al Khatib bahwa ada empat puluh ribu perawi yang disajikan dalam kitab ini. Perbedaan jumlah yang sangat signifikan ini tentu menimbulkan pertanyaan baru yang cukup serius. Penulis sendiri masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut sebab belum bisa mengakses langsung pada kitab yang bersangkutan.
Terlepas dari hal tersebut, hal yang menjadikan karya ini berbeda dari yang lain adalah keluasan kajian yang memaparkan perawi dari seluruh kalangan, yakni dari kalangan sahabat hingga perawi akhir yang hidup pada masa Bukhari. Sehinga dapat dibayangkan betapa rumitnya pekerjaan Bukhari waktu itu. Kehati-hatian dan ketelitian Bukhari sekali lagi tergambar dalam kitabnya yang mengalami revisi sebanyak tiga kali ini.

IV. METODE DAN SISTEMATIKA
Tidak jauh berbeda dengan beberapa kitab rijalul hadist lain, kitab ini juga menggunakan metode alfabetis dalam mengurutkan nama-nama perawi. Kendati begitu, kitab ini juga memiliki acuan lain dalam hal pengurutan nama. Acuan lain tersebut di antaranya adalah memulai pengurutan nama rawi dari nama Muhammad (sebelum huruf alif) dengan maksud mengangunggkan Nabi Muhammad. Adapun acuan lain yang dipakai adalah mendahulukan penyebutan nama sahabat dibanding nama lain meski secara alfabetis rawi yang bukan sahabat seharusnya didahulukan.
Dalam memaparkan biografi rawi, Bukhari menggunakan metode naratif; yaitu menjelaskan segala hal yang berkait dengan gaya bercerita dan alur yang kronologis. Beliau sangat hati-hati menyajikan data mengenai seorang perawi. Hal ini erat kaitannya dengan eksklusifitas syarat bertemu yang ditentukan oleh Bukhari sebagai syarat sah diterimanya hadist. Beberapa hal yang disebutkan misalnya nama asli, nama kunyah (julukan atau nama populer), tahun dan tempat kelahiran, daerah tempat tinggal, hubungannya dengan rasulullah (khusus pada perawi sahabat), para guru rawi, para murid rawi, aktivitas keseharian, hadist yang diriwayatkan, tahun wafat, dan lain-lain.
Bukhari agaknya tidak terlalu perfeksionis untuk menyajikan data yang lengkap mengenai seorang perawi. Dalam artian, Bukhari tidak memaksakan diri menyajikan data yang validitasnya belum teruji akurasinya atau bahkan ‘mengira-ngira’ data seorang perawi. Beliau hanya menyajikan data-data yang akurasinya bisa dipertanggungjawabkan. Kehati-hatian Bukhari ini terlihat jelas dengan adanya varian-varian dalam kuantitas data perawi. Bisa saja seorang perawi disisipi data yang sangat lengkap, namun perawi yang lain hanya memiliki tiga atau empat data.
Setelah menjabarkan data-data yang diperolehnya, Bukhari kemudian memberikan penilaian mengenai rawi yang baru saja dijelaskan. Selain memaparkan penilainnya mengenai seorang perawi, Bukhari juga menyisipkan penilaian tokoh lain terhadap rawi yang tengah ia kaji.
Secara spesifik, demikian sistematika yang dipakai oleh Bukhari dalam kitab ini,
a. Bagian terbesar pertama adalah klasifikasi alfabetis berdasarkan huruf pertama nama perawi, dimulai dari nama muhammad, nama yang berawalan alif sampai dengan ya’. Bukhari menggunakan istilah bab dalam klasifikasi terbesar ini. Semisal bab Alif.
b. Bagian kedua adalah subbab pertama (pen.). Subbab pertama ini adalah klasifikasi berdasarkan nama perawi yang sama. Artinya, subab ini menjabarkan semua perawi dengan nama yang sama, sehingga kemudian muncul istilah bab daud, bab hasan, bab hammad, dan lain-lain. Pelabelan pada subbab pertama ini adalah dengan lafadz bab dan minhum (jika merupakan nama pertama dalam bab alfabetis).
c. Subbab kedua. Subbab kedua ini tidak tercantum dalam semua bagian kitab, namun hanya pada beberapa bagian tertentu. Bagian yang dimaksud adalah sebuah nama yang dimiliki sangat banyak orang, semisal nama Ziad yang memiliki bab dari alif hingga ya’. Sehingga untuk memudahkan pembaca dalam upaya searching, Bukhari berinisiatif membuat bab dalam bab, yang penulis istilahkan dengan nama subbab kedua. Subbab kedua ini juga disusun secara alfabetis. Adapun acuan yang dipakai dalam menentukan urutan ini adalah nama kedua dalam nama rawi yang bersangkutan.

V. PLUS DAN MINUS
Salah satu bukti legitimasi terhadap kredibilitas kitab ini adalah dipilihnya karya Tarikh Al Kabir sebagai referensi beberapa kitab hadist, semisal kitab al tsiqat karya Ibnu Hibban, Al Jarh wa at-ta’dil karya Abi Hatim al-Razi, dll. Al Taj al-Subuki bahkan berkomentar bahwa tidak ada penulis yang menghasilkan kitab sejarah sehebat ini. Para penulis sejarah, penulis nama-nama rawi, maupun penulis nama kunyah selalu bergantung pada kitab yang satu ini. Al bukhari sendiri mengatakan bahwa sedikit sekali hal yang belum diketahui riwayatnya oleh beliau . Banyaknya penulis kitab yang beracuan pada kitab ini dalam hemat penulis disebabkan komprehensifitas dan kuantitas perawi yang dibahas dalam karya ini. Sehingga, kitab ini bisa dijadikan referensi untuk berbagai keperluan.
Di balik segala kelebihan dan komentar baik tersebut, beberapa kritik juga tidak lepas ditujukan kepada kitab ini. Kritik yang muncul didominasi karena tidak lengkapnya data yang disajikan Bukhari dalam biografi masing-masing perawi. Ketidaklengkapan tersebut berimplikasi langsung terhadap aspek jarh wa ta’dil yang merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan status sebuah hadist.
Adanya beberapa acuan dalam pengurutan nama perawi juga cukup berpotensi membingungkan pembaca. Hal ini disebabkan tidak semua pembaca mengetahui acuan yang digunakan Bukhari dalam menyusun kitab ini, meski Bukhari telah menegaskan sistematika yang dipakainya dalam mukaddimah kitab ini (contoh penulisan yang tidak memakai urutan alfabetis adalah pencantuman Hammad bin Rustam yang didahulukan dari penulisan Hammad Abu Yahya). Hal lain yang juga berpotensi untuk membingungkan pembaca adalah karena banyaknya rawi yang disajikan tanpa adanya klasifikasi thabaqah, misalnya.
Banyak kalangan menilai bahwa Bukhari terlalu perfeksoionis dan idealis dalam menyusun karya yang mencakup semua rawi dari tingkatan sahabat hingga masanya dengan keterbatasan kemampuan manusia dan pendeknya waktu. Hal ini misalnya dijelaskan oleh Suryadi dalam tulisannya yang menyajikan lima alasan catatan (baca: kekurangan) kitab ini. Ada juga yang berpendapat bahwa kitab ini memang unggul pada zamannya namun tidak lagi memiliki fungsi yang signifikan dewasa ini. Ia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk meligitimasi rawi-rawi yang ada dalam shahih Bukhari.

VI. PENUTUP
Adanya respon positif dan negatif terhadap sebuah karya merupakan sebuah keniscayaan akademik yang tidak bisa dihindari. Karya Bukhari yang satu ini barangkali menuai kritik lebih banyak dibanding kitab Shahihnya. Akan tetapi hal ini hanya berkait dengan aspek metodologi penyusunan dan kelengkapan data. Kehati-hatian dan kemampuan Al Bukhari memainkan daya ingatnya yang luar biasa, seperti yang tampak dalam kitab shahihnya juga tampak jelas dalam karyanya ini. Ia adalah seorang yang amanah dan tidak mau ambil resiko terhadap sesuatu yang belum teruji validitasnya.
Secara umum saya rasa kredibilitas, konsistensi, dan ketekunan Bukhari tetap kental dalam karyanya ini, meski –sekali lagi karya ini—tidak mendapat sambutan sehangat kitab shahihnya. Namun demikian, keberanian Bukhari untuk menjadi pioner dalam hal ini sangat patut diapresiasi. Allah Knows Best.


DAFTAR PUSTAKA
Abror, Indal (dkk.). 2003, Kitab Al Bukhar, dalam Studi Kitab Hadist, Yogyakarta: Teras.
Bukhari, Abu Abdillah Ismail bin Ibrahim al Ju’fi al. 1986, al-Tarikh al Kabir Beirut:: Dar al fikr
Maftukhin, Historiografi Hadistl Telaan Kritis atas Kitab Tarikh Al Kabir, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta 2007,
Suryadi, 2003. Metodologi Ilmu Rijalil Hadist Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah

Exam, Exam, Exam..

Apa sich, arti sebuah ujian dalam dunia akademik? Buat aku pribadi, ujian itu paling utamnya berfungsi mengingatkan aku bahwa aku memiliki tugas akademik yang harus aku selesaikan dengan semaksimal mungkin. Kalo ga ada ujian, mustahil rasanya aku akan dengan rela hati jalan ke perpus, naek tangga-tangga yang bikin kakiku keriting, mati-matian berperang melawan kantuk dan lelah saat belajar, dan segenap perjuangan lain yang tentu menggetirkan.

Meski aku selalu ingin menolak kehadirannya, namun akhirnya aku ngeh juga. Sebab ia pasti datang sich. Mm..jadinya mau dak mau aku harus menghadapinya. Saat melewati proses-proses belajar yang sulit itulah, aku sering teringat dengan kebodohan-kebodohan yang dengan mudah aku lakonkan. Ah, andai aja aku uda nguasai materi ini dari dulu, malam ini aku dak perlu begadang selarut ini. Gitulah gambarannya. Iya ndak se? penyesalan emang dak pernah ada di depan, meski aku kadang uda bisa memprediksikan bahwa penyesalan benar-benar akan menyapaku…dan juga menikamku..

Well, meski uda nyadar gitu, koq aku tetep2 kayak gini ya? Serasa dak ada perkembangan berarti pada arah yang membahagiakan. Minimal aku dak harus kewalahan pas uda mau ujian, minimal aku ndak lagi jadi penganut fanatik faham SKS-isme, minimal catatanku lengkap dan file dalam otakku dak kena virus,,dll dsb. But what? Aku ngerasa gak ada perkembangan sama sekaleee…Dalam hal ini aku memang harus banyak berbenah. Sebab jika tidak, bukan tidak mungkin aku akan kemakan dan terlumpuhkan sendiri oleh keadaan..

Mellow sich, aku malam ini. Selama beberapa hari mengikuti UTS, aku ngeroso dak ada satupun lembar jawaban yang aku sambut dengan kebahgiaan dan senyuman tulus. Pasti ada soal atau point2 dalam soal yang nylekit dan aku dak tau jawabannya. Blank. Atau bahkan tergelincir. Yang diinginkan soal adalah arat barat, aku malah ngasih peta barat daya. Tapi ya ndak ancur2 banget lach…

Dari beberapa sampel itu aku jadi memiliki prediksi sementara bahwa akan terjadi defisit Ipku yang hal itu berarti mengancam stabilitas IPKq. Bukan perfeksionis, tapi ini adalah obsesi dan siapapun berhak mati2an mengejar obsesinya masing2, include of me…namun kesempatan itu masih banyak. Aku dak boleh merasa kalah duluan..meski pada kenyataannya aku emang ketinggalan banyak kuliah dibanding temen2..

Semangat, Ta…Semangat, Ta…Semangat, Ta..
Never ever stop repairing your self!!!
Go Ita go!!! You can do anything you wanna do!!
(Aq tulis ketika akan memulai UTS. sekarang UTS uda kelar dan banyak nilai yang uda keluar..:-( )