I. PEMBUKA WACANA
Hingga saat ini, beribu tahun setelah masa periwayatan dan kodifikasi hadist Nabi, hadist Nabi berhasil hidup dan terus dijadikan acuan dalam hidup keseharian muslim. Berbagai karya kodifikasi maupun segala hal yang berkaitan dengan hadist juga mendukung hidupnya hadist dalam masyarakat muslim.
Rasanya bukan tanpa alasan jika ulama’ hadist melegitimasi kitab shahih Bukhari sebagai kitab acuan terbesar setelah Al-Qur’an. Beberapa hadist yang disajikan dalam kitab tersebut terdiri dari hadist yang sudah teruji validitasnya sehingga bisa langsung diterapkan langsung dalam hidup keseharian muslim. Hal lain yang memengaruhi lahirnya legitimasi tersebut adalah ketekunan Al Bukhari dalam mencari hadist dan mengatasi segala hambatan yang dialaminya dalam proses mencari hadist.
Kegigihan Al Bukhari tersebut ditopang kuat oleh daya ingatnya yang luar biasa. Beberapa riwayat mengabarkan kekuatan daya ingat beliau yang mampu menyerap berjuta-juta file informasi dengan ketangkasan yang juga sepadan. Dua hal inilah yang barangkali menjadi faktor penting dalam proses kelahiran dan legitimasi shahih Bukhari sebagai top of the top work dalam bidang hadist.
Tak heran jika kemudian Bukhari sangat dekat dan identik dengan kitab shahihnya tersebut. Senyatanya, Bukhari memiliki beberapa karya lain yang meski tidak sepopuler dan se-legitimated Shahihnya, namun juga cukup sukses menyajikan informasi yang dibutuhkan pembaca. Sebagian dari beberapa karyanya tersebut masih linier dalam kajian hadist. Hal ini menjadi logis sebab ilmu hadist dan seluk beluk periwayatannya adalah suatu ilmu yang kompleks dan memunculkan varian-varian kelilmuan lain yang tidak kalah menarik.
Satu di antara beberapa karya tersebut adalah kitab Tarikh Al Kabir yang mengupas tuntas mengenai hal ihwal para perawi yang turut andil dalam mata rantai periwayatan. Pembahasan ini bagi saya pribadi cukup menarik, sebab kajian terhadap kitab ini juga berarti sebuah upaya untuk ‘mengusik’ dan kembali mempertanyakan kredibilitas Bukhari yang sudah teruji dan diakui kredibilitasnya lewat kitab Shahihnya. Mampukah predikat extra cumlaude tersebut dipertahankan Bukhari dalam karyanya ini?
I. RIWAYAT HIDUP IMAM BUKHARI
Biografi seorang tokoh merupakan hal yang tidak pernah dilupakan saat kita membahas karya dan pemikirannya. Pengaruh latar belakang, dinamika hidup, maupun karier akademik seorang tokoh dalam karya yang dihasilkan agaknya sudah cukup diakui oleh sebagian besar orang. Sedikit banyak, perjalanan hidup dan latar belakang keluarga tokoh juga turut berperan dan kemudian tampak dalam sebuah karya yang dihasilkan. Bukhari yang menjadi tokoh sentral dalam pembincangan kali ini dilahirkan pada 13 Syawal 1949 dengan nama Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al Mughirah ibn Bardzibah al-Juf’I al-Bukhari. Nisbah akhir yang kemudian menjadi nama populernya ini didasarkan pada alasan bahwa ia tinggal di Bukhara.
Sejak kecil, Bukhari telah mendapatkan lingkungan belajar yang kondusif. Kendatipun ayahanya meninggal, namun ibunda Bukhari memberikan perhatian yang cukup intens pada Bukhari kecil dengan menyediakan fasilitas yang bisa memancing daya nalarnya. Hal ini juga didorong oleh keadaan ekonomi keluarga yang memungkinkan Bukhari kecil untuk belajar banyak hal. Kegigihan ibunda Bukhari dan kesungguhan Bukahri sendiri terlihat jelas saat usianya 10 tahun dan sudah mengahafal beberapa hadist di luar kepala dengan hafalan yang sangat mengagumkan.
Kondisi golden age dan era sesudahnya inilah yang barangkali terbawa dan berkembang pesat hingga masa-masa kejayaannya dalam karier kajian hadist. Bukhari muda memiliki konsistensi dan kemauan kuat dalam bidang yang digelutinya. Ia dengan senang hati berkelana dari satu kota ke kota lainnya untuk keperluan mencari hadist. Selama hidupnya, Bukhari telah cukup sukses dalam upayanya mengabadikan nama dengan menulis beberapa kitab yang cukup berpengaruh dan digunakan secara luas oleh penggiat ilmu, khususnya penggiat ilmu hadist. Bukhari wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. Namun namanya akan tetap harum sampai kapanpun. Riwayat ketekunan dan kehebatan daya ingatnya akan menjadi suatu cerita yang tidak akan pernah berhenti dituturkan.
II. SEJARAH PENULISAN KITAB
Rasanya tidak terlalu sulit menyusun kitab rijalul hadist bagi seorang Bukhari yang memang sudah menggeluti upaya pengumpulan hadist dalam jangka waktu yang cukup lama dengan kuantitas hadist yang juga banyak. Ketika ia meneliti suatu hadist, maka secara tidak langsung ia juga telah meneliti siapa saja yang terlibat aktif dalam mata rantai periwayatan. Penulis belum menemukan kejelasan mengenai kitab mana yang lebih dahulu diselesaikan, apakah Shahih Bukhari ataukah kitab Tarikh ini. Namun begitu, sekali lagi, senyatanya menyusun kitab rijalulul hadist seperti ini sangatlah mudah dilakukan Bukhari. Sebab ia sudah memiliki banyak data dan hanya bertugas mensistemasinya.
Bukhari menyusun kitab ini di Madinah setelah sebelumnya berhasil menyelesaikan penulisan kitab Qadaya` al Sahabah wa al tabi’in. Sejarah mencatat bahwa Bukhari menulis kitab Tarikh al kabir di Madinah, tepatnya di sisi makam Rasullah. Agaknya ia sangat memulyakan Rasulullah, sehingga dalam proses penulisannya pun ia merasa lebih comfort di sisi makam Rasul, selain juga dengan tujuan tabarruk.
Motivasinya dalam menyusun kitab ini didasarkan pada kekhawatiran akan ada banyak orang menyusun hadist yang lengkap dengan isnad, tetapi tidak mengetahui biografi para perawi yang berada dalam sanad sebuah hadist.
Berangkat dari kekahwatiran inilah, Bukhari kemudian berinisiatif menyusun sebuah kitab yang khusus membahas rijalul hadist dari semua kalangan, sejak kalangan sahabat hingga rawi pada masanya. Dengan demikian, saya menduga kuat bahwa kitab ini menjadi pioner dari kitab rijalul hadist, paling tidak dalam masa dan atau wilayah Al Bukhari hidup. Bisa jadi, sebelumnya tidak ada karya yang secara spesifik membahas rawi-rawi dalam sebuah hadist. Sebab itulah ketika kitab ini pertama kali dilaunching, ulama’ banyak yang merasa takjub dan terperangah
III. SELAYANG PANDANG KITAB
Isi kitab yang terdiri dari empat juz ini memuat biografi 12.305 perawi. Jumlah ini berbeda dengan apa yang disampaikan Ajjaj Al Khatib bahwa ada empat puluh ribu perawi yang disajikan dalam kitab ini. Perbedaan jumlah yang sangat signifikan ini tentu menimbulkan pertanyaan baru yang cukup serius. Penulis sendiri masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut sebab belum bisa mengakses langsung pada kitab yang bersangkutan.
Terlepas dari hal tersebut, hal yang menjadikan karya ini berbeda dari yang lain adalah keluasan kajian yang memaparkan perawi dari seluruh kalangan, yakni dari kalangan sahabat hingga perawi akhir yang hidup pada masa Bukhari. Sehinga dapat dibayangkan betapa rumitnya pekerjaan Bukhari waktu itu. Kehati-hatian dan ketelitian Bukhari sekali lagi tergambar dalam kitabnya yang mengalami revisi sebanyak tiga kali ini.
IV. METODE DAN SISTEMATIKA
Tidak jauh berbeda dengan beberapa kitab rijalul hadist lain, kitab ini juga menggunakan metode alfabetis dalam mengurutkan nama-nama perawi. Kendati begitu, kitab ini juga memiliki acuan lain dalam hal pengurutan nama. Acuan lain tersebut di antaranya adalah memulai pengurutan nama rawi dari nama Muhammad (sebelum huruf alif) dengan maksud mengangunggkan Nabi Muhammad. Adapun acuan lain yang dipakai adalah mendahulukan penyebutan nama sahabat dibanding nama lain meski secara alfabetis rawi yang bukan sahabat seharusnya didahulukan.
Dalam memaparkan biografi rawi, Bukhari menggunakan metode naratif; yaitu menjelaskan segala hal yang berkait dengan gaya bercerita dan alur yang kronologis. Beliau sangat hati-hati menyajikan data mengenai seorang perawi. Hal ini erat kaitannya dengan eksklusifitas syarat bertemu yang ditentukan oleh Bukhari sebagai syarat sah diterimanya hadist. Beberapa hal yang disebutkan misalnya nama asli, nama kunyah (julukan atau nama populer), tahun dan tempat kelahiran, daerah tempat tinggal, hubungannya dengan rasulullah (khusus pada perawi sahabat), para guru rawi, para murid rawi, aktivitas keseharian, hadist yang diriwayatkan, tahun wafat, dan lain-lain.
Bukhari agaknya tidak terlalu perfeksionis untuk menyajikan data yang lengkap mengenai seorang perawi. Dalam artian, Bukhari tidak memaksakan diri menyajikan data yang validitasnya belum teruji akurasinya atau bahkan ‘mengira-ngira’ data seorang perawi. Beliau hanya menyajikan data-data yang akurasinya bisa dipertanggungjawabkan. Kehati-hatian Bukhari ini terlihat jelas dengan adanya varian-varian dalam kuantitas data perawi. Bisa saja seorang perawi disisipi data yang sangat lengkap, namun perawi yang lain hanya memiliki tiga atau empat data.
Setelah menjabarkan data-data yang diperolehnya, Bukhari kemudian memberikan penilaian mengenai rawi yang baru saja dijelaskan. Selain memaparkan penilainnya mengenai seorang perawi, Bukhari juga menyisipkan penilaian tokoh lain terhadap rawi yang tengah ia kaji.
Secara spesifik, demikian sistematika yang dipakai oleh Bukhari dalam kitab ini,
a. Bagian terbesar pertama adalah klasifikasi alfabetis berdasarkan huruf pertama nama perawi, dimulai dari nama muhammad, nama yang berawalan alif sampai dengan ya’. Bukhari menggunakan istilah bab dalam klasifikasi terbesar ini. Semisal bab Alif.
b. Bagian kedua adalah subbab pertama (pen.). Subbab pertama ini adalah klasifikasi berdasarkan nama perawi yang sama. Artinya, subab ini menjabarkan semua perawi dengan nama yang sama, sehingga kemudian muncul istilah bab daud, bab hasan, bab hammad, dan lain-lain. Pelabelan pada subbab pertama ini adalah dengan lafadz bab dan minhum (jika merupakan nama pertama dalam bab alfabetis).
c. Subbab kedua. Subbab kedua ini tidak tercantum dalam semua bagian kitab, namun hanya pada beberapa bagian tertentu. Bagian yang dimaksud adalah sebuah nama yang dimiliki sangat banyak orang, semisal nama Ziad yang memiliki bab dari alif hingga ya’. Sehingga untuk memudahkan pembaca dalam upaya searching, Bukhari berinisiatif membuat bab dalam bab, yang penulis istilahkan dengan nama subbab kedua. Subbab kedua ini juga disusun secara alfabetis. Adapun acuan yang dipakai dalam menentukan urutan ini adalah nama kedua dalam nama rawi yang bersangkutan.
V. PLUS DAN MINUS
Salah satu bukti legitimasi terhadap kredibilitas kitab ini adalah dipilihnya karya Tarikh Al Kabir sebagai referensi beberapa kitab hadist, semisal kitab al tsiqat karya Ibnu Hibban, Al Jarh wa at-ta’dil karya Abi Hatim al-Razi, dll. Al Taj al-Subuki bahkan berkomentar bahwa tidak ada penulis yang menghasilkan kitab sejarah sehebat ini. Para penulis sejarah, penulis nama-nama rawi, maupun penulis nama kunyah selalu bergantung pada kitab yang satu ini. Al bukhari sendiri mengatakan bahwa sedikit sekali hal yang belum diketahui riwayatnya oleh beliau . Banyaknya penulis kitab yang beracuan pada kitab ini dalam hemat penulis disebabkan komprehensifitas dan kuantitas perawi yang dibahas dalam karya ini. Sehingga, kitab ini bisa dijadikan referensi untuk berbagai keperluan.
Di balik segala kelebihan dan komentar baik tersebut, beberapa kritik juga tidak lepas ditujukan kepada kitab ini. Kritik yang muncul didominasi karena tidak lengkapnya data yang disajikan Bukhari dalam biografi masing-masing perawi. Ketidaklengkapan tersebut berimplikasi langsung terhadap aspek jarh wa ta’dil yang merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan status sebuah hadist.
Adanya beberapa acuan dalam pengurutan nama perawi juga cukup berpotensi membingungkan pembaca. Hal ini disebabkan tidak semua pembaca mengetahui acuan yang digunakan Bukhari dalam menyusun kitab ini, meski Bukhari telah menegaskan sistematika yang dipakainya dalam mukaddimah kitab ini (contoh penulisan yang tidak memakai urutan alfabetis adalah pencantuman Hammad bin Rustam yang didahulukan dari penulisan Hammad Abu Yahya). Hal lain yang juga berpotensi untuk membingungkan pembaca adalah karena banyaknya rawi yang disajikan tanpa adanya klasifikasi thabaqah, misalnya.
Banyak kalangan menilai bahwa Bukhari terlalu perfeksoionis dan idealis dalam menyusun karya yang mencakup semua rawi dari tingkatan sahabat hingga masanya dengan keterbatasan kemampuan manusia dan pendeknya waktu. Hal ini misalnya dijelaskan oleh Suryadi dalam tulisannya yang menyajikan lima alasan catatan (baca: kekurangan) kitab ini. Ada juga yang berpendapat bahwa kitab ini memang unggul pada zamannya namun tidak lagi memiliki fungsi yang signifikan dewasa ini. Ia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk meligitimasi rawi-rawi yang ada dalam shahih Bukhari.
VI. PENUTUP
Adanya respon positif dan negatif terhadap sebuah karya merupakan sebuah keniscayaan akademik yang tidak bisa dihindari. Karya Bukhari yang satu ini barangkali menuai kritik lebih banyak dibanding kitab Shahihnya. Akan tetapi hal ini hanya berkait dengan aspek metodologi penyusunan dan kelengkapan data. Kehati-hatian dan kemampuan Al Bukhari memainkan daya ingatnya yang luar biasa, seperti yang tampak dalam kitab shahihnya juga tampak jelas dalam karyanya ini. Ia adalah seorang yang amanah dan tidak mau ambil resiko terhadap sesuatu yang belum teruji validitasnya.
Secara umum saya rasa kredibilitas, konsistensi, dan ketekunan Bukhari tetap kental dalam karyanya ini, meski –sekali lagi karya ini—tidak mendapat sambutan sehangat kitab shahihnya. Namun demikian, keberanian Bukhari untuk menjadi pioner dalam hal ini sangat patut diapresiasi. Allah Knows Best.
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Indal (dkk.). 2003, Kitab Al Bukhar, dalam Studi Kitab Hadist, Yogyakarta: Teras.
Bukhari, Abu Abdillah Ismail bin Ibrahim al Ju’fi al. 1986, al-Tarikh al Kabir Beirut:: Dar al fikr
Maftukhin, Historiografi Hadistl Telaan Kritis atas Kitab Tarikh Al Kabir, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta 2007,
Suryadi, 2003. Metodologi Ilmu Rijalil Hadist Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah
0 comMentz:
Posting Komentar