RSS

Senin, 30 November 2009

Makalah Madzahib Tafsir (2nd makalah on my 5th)

Tafsir Sastra-Sosial Menjawab Dinamika Persoalan Umat
Masyithah Mirza

A. Pendahuluan
Keabsahan Al-Qur’an sebagi kitab suci yang berasal dari Allah secara umum merupakan kepercayaan yang tidak bisa dinego lagi di kalangan muslimin. Adanya rentang waktu yang cukup jauh sejak turunnya Al-Qur’an hingga masa ini agaknya tidak cukup menjadi alasan untuk meragukan mata rantai generasi sejarah yang ‘menyajikan’ Al-Qur’an pada muslimin hingga hari ini.

Namun demikian, Al-Qur’an di sisi lain juga menjadi suatu hal yang tak pernah selesai diperdebatkan, yakni dalam aspek kandungan dan aplikasinya. Adanya pendapat dan pemahaman yang bermacam-macam mengenai ayat-ayat Al –Qur’an ini pada perkembangannya memunculkan istilah tafsir Al-Qur’an. Tafsir Al-Qur’an adalah upaya untuk memiliki pemahaman mengenai ayat Al-Qur’an.

Kegiatan menafsirkan Al-Qur’an ini dalam sejarahnya sudah dimulai pada masa Rasulullah, dan berlangsung hingga saat ini. Dalam periodisasi tafsir yang digagas oleh Abdul Mustaqim, saat ini kita tengah berada dalam periode tafsir kontemporer. Hal ini ditandai dengan bilangan tahun pada masa ini serta corak penafsiran yang mulai menunjukkan adanya varian-varian baru. Varian baru yang dimaksud di sini merupakan inovasi baru para cendekiawan muslim yang menginginkan adanya tafsir yang akomodatif terhadap persoalan umat kontemporer.

Beberapa point yang disebutkan Abdul Mustaqim tersebut, semisal asumsi dan paradigma, karakter, sumber, metode serta validitas penafsiran kontemporer salah satunya terdapat dalam tafsir-tafsir yang bercorak sastra-sosial. Semangat untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang benar-benar merupakan petunjuk dan bisa diandalkan kapan dan di manapun ini diwujudkan dalam penulisan beberapa tafsir, di antaranya adalah tafsir yang bercorak sastra-sosial.

Hal yang membedakan salah satu varian tafsir modern ini dengan tafsir klasik maupun pertengahan adalah adanya dua hal yang dibidik di dalam karya tafsir ini. Dalam sisi pemaparan bahasa, tafsir ini menggunakan pemaparan yang bercorak sastra, dan dalam segi kandungan, tafsir ini berisi pemaparan dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berkait erat dengan kehidupan sosial. Tujuan penulisan tafsir dengan corak ini kurang lebih adalah untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap masalah yang terjadi di masyarakat.

Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa tafsir corak sastra-sosial ini memiliki semacam ‘pesona ganda’ yang menjadikannya berbeda dengan tafsir-tafsir lain. Namun, benarkah begitu? Well, barangkali kita mulai pembahasan dengan satu pertanyaan tersebut.

B. Pengertian
Tidaklah mudah untuk memahami frasa tafsir sastra-sosial. Frasa yang demikian masih ambigu dan setidak-tidaknya memiliki dua kemungkinan makna. Pertama, frasa tersebut bisa dimaknai dengan karya tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bernuansa sosial dengan pengungkapan atau pemaparan tafsir yang menggunakan bahasa dan sastra yang tinggi. Kemungkinan kedua adalah suatu karya tafsir yang memiliki corak ganda, yakni corak tafsir sastra dan corak tafsir sosial.

Beberapa referensi yang penulis dapatkan tampak lebih memihak pada kemungkinan pertama. Secara umum dapat dikatakan bahwa tafsir sastra-sosial ini adalah tafsir yang membedah ayat-ayat bernuansa sosial dengan tujuan menjawab permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan menggunakan sastra sebagai media penyampaiannya.

Secara gamblang disebutkan bahwa tafsir sastra-sosial ini adalah corak penafsiran Al-Qur’an yang cenderung pada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa dalam pemaparannya. Tafsir ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan sosial kemasyarakatan yang tengah berlangsung.

Beberapa pendapat lain yang kami akses tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, hanya saja redaksi dan penekanannya berbeda-beda. Quraish Shihab misalnya menambahkan bahwa tafsir dengan corak ini berupaya mengukuhkan posisi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat muslim. Artinya, Al-Qur’an dengan segala fleksibilitasnya dikonfirmasi ulang sebagai petunjuk bagi manusia lewat karya tafsir ini. Jika Quraish demikian, lain halnya dengan Manna’ Al Qaththan yang menambahkan bahwa tafsir semacam ini berupaya menghilangkan penyakit yang ada dalam masyarakat karena sifatnya yang down to earth serta menggunakan referensi primer berupa riwayat salaf. Sedangkan Al Dzahabi menegaskan bahwa tafsir ini berupaya ‘mempertemukan’ ayat-ayat Al-Qur’an dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat.

Terlepas dari beberapa pendapat yang berhasil diakses, alasan mengapa penulis berpandangan bahwa kemungkinan kedua kurang begitu representatif adalah karena penyandingan sastra dan sosial dalam hubungan yang sepadan tampak kurang begitu cocok. Bandingkan misalnya dengan tafsir teologis-filosofis yang memiliki keterikatan erat. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa dua kata ini tidak memiliki hubungan kesejajaran, akan tetapi memiliki hubungan suboridnatif, sehingga penulis lebih memilih kemungkinan pertama.

Kegelisahan akademik lain yang kami dapatkan dalam tema ini adalah adanya skeptisme untuk menentukan katagori sebuah karya tafsir. Secara garis besar saja, tidak ada tafsir yang an-sich merupakan tafsir dengan satu katagori, taruhlah katagori tafsir bil ma’tsur. Sebab dalam Tafsir se-ma’tsur apapun, bisa dipastikan ada unsur nalar dan logika di dalamnya. Hal ini juga terjadi dalam klasifikasi empat format tafsir, khususnya dalam kasus ini adalah kekaburan antara format tahlili dan maudhu’i.

Ambiguitas yang demikian kami temui saat menentukan katagori tafsir sastra-sosial ini. Di satu sisi, beberapa sumber yang kami akses menyatakan bahwa tafsir ini masuk dalam katagori tahlili, yakni katagori yang mengandaikan adanya karya tafsir dari semua ayat Al-Qur’an, dari awal surat Al Fatihah hingga surat An-Nas. Namun, ada asumsi pribadi yang mengatakan bahwa tafsir yang demikian lebih menunjukkan pada tafsir yang hanya membahas ayat-ayat sosial, tidak terhadap semua ayat dalam Al-Qur’an seperti halnya tafsir tahlili.

Hal ini barangkali muncul dari beragamnya karya tafsir yang ada. Dalam artian, karya tafsir –yang dianggap—sebagai tafsir sastra-sosial pun bermacam-macam dalam keragamannya. Penulis memandang perbedaan yang demikian berkait erat dengan masa penulisan tafsir, sebab karya apapun yang lahir pada sebuah masa merupakan anak kandung dari masa itu sendiri. Mufassir kontemporer agaknya lebih tertarik dengan penyajian tafsir sosial dengan format maudhu’i, semisal Quraish Shihab dengan Wawasan Al-Qur’an dan Waryono Abdul Ghafur dengan Tafsir Sosial nya. Format tafsir tematik yang demikian tampak sangat berbeda dengan karya tafsir klasik yang lebih memilih format tahlili, semisal tafsir Al Maraghi, meski keduanya sama-sama termasuk dalam katagori tafsir sastra-sosial.

Meski tidak ada referensi yang menegaskan bahwa tafsir-tafsir kontemporer bisa dimasukkan dalam katagori tafsir sastra-sosial, akan tetapi kami meyakini bahwa ciri-ciri dan tujuan dilahirkannya tafsir sastra-sosial terdapat dalam, katakanlah dua karya ini. Hal yang membedakan antar karya klasik dan dua karya kontemporer ini senyatanya adalah persoalan format dan cakupan ayat yang dibahas. Dua karya tersebut juga menyajikan eksplorasi yang cukup komprehensif, sandaran pada atsar, serta dengan penyajian yang mengalir. Sehingga, rasanya ada ketidakadilan akademik jika dua karya tersebut tidak dimasukkan dalam katagori tafsir sastra-sosial, meski dalam sisi lain keduanya merupakan tafsir maudhu’i.

C. Latar Belakang dan Karakteristik

Kuat dugaan, lahirnya tafsir dengan corak yang demikian dilatarbelakangai oleh semakin dinamisnya kehidupan masyarakat Islam yang meniscayakan adanya kompleksitas masalah yang cukup masif. Bermunculanlah masalah dan persoalan baru yang sebelumnya tidak tampak. Dalam hal ini, sangat urgent rasanya untuk membuat Al-Qur’an uptodate terhadap permasalahan kontemporer tanpa melepaskan sakralitas dan makna asalnya. Sebab bagaimanapun, Al-Qur’an menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat muslim. Ia tak ubahnya kitab aturan tunggal yang mengatur segala sisi kehidupan muslim.

Dalam hal yang demikian, para cendekiawan muslim senyatanya mendapat tantangan untuk menghasilkan tafsir yang down to earth dan aplikatif serta peka zaman. Memang benar sudah ada banyak karya tafsir yang muncul pada masa sebelumnya, namun beberapa karya tersebut pada kenyataannya kurang akomodatif terhadap permasalahan dan fenomena yang terjadi di masyarakat. Hal ini utamanya disebabkan oleh masifnya perkembangan dan dinamika masyarakat. Masyarakat Islam mengiginkan adanya suatu tuntunan praktis dan aplikatif tanpa harus menguliti statusnya sebagai mahluk beragama.

Secara khusus, munculnya tafsir dengan pemaparan yang kental nuansa sastra ini merupakan konsekuensi logis dari keberadaan Al-Qur’an sendiri –yang dikatakan-- merupakan kitab sastra terbesar. Al-Qur’an memiliki sense of languange yang membuatnya menjadi kitab yang tidak hanya hebat, namun juga tidak tertandingi. Bisa jadi pula, hal ini dipengaruhi oleh minat para cendekiawan terhadap kajian sastra yang tidak pernah surut. Minat terhadap sastra ini terbukti bertahan cukup lama dan tersebar di beberapa belahan dunia. Tafsir yang pemaparannya menggunakan sastra ini bisa dianalogikan dengan upaya menyajikan ulasan sastra terhadap teks sastra.

Sedangkan kemunculan tafsir sosial kurang lebih disebabkan oleh banyaknya ayat Al-Qur’an yang membahas masalah sosial serta urgentnya masalah ini dalam hidup keseharian muslim. Al-Qur’an sebagai way of life muslim dengan inklusifitasnya yang menyeluruh memang tidak bisa lepas dari tafsir sosial ini, sebab Islam pun secara umum tidak hanya membahas hubungan vertikal dengan Tuhan, namun juga hubungan horizontal antarsesama mahluk.

Berbeda halnya dengan tafsir sastra an-sich yang tidak terikat dengan tema tertentu. Tafsir-tafsir yang demikian lebih menitikberatkan pada aspek bahasa dengan membedah makna lafadz (kata) maupun makna kalimat. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara tafsir sastra an-sich dengan tafsir sastra-sosial. Tafsir sastra an-sich hanya berhenti pada bidang bahasa dan membidik semua ayat, tidak seperti tafsir sastra-sosial yang hanya menitikberatkan pembahasan pada ayat-ayat yang bernuansa sosial.

Gambaran tentang hal ini barangkali akan menjadi jelas dengan pemaparan contoh. Produk tafsir sastra an-sich lebih banyak membahas hal-hal yang berkait erat dengan diksi yang digunakan Al-Qur’an, semisal studi kosakata Al-Qur’an yang dilakukan oleh Ibnu Abbas. Abu Ubaydah juga tertarik dengan kosakata Al-Qur’an namun memilih puisi-puisi Arab sebagai wujud penafsirannya. Mufassir lain yang menggeluti bidang ini adalah Al-Zamakhsyari dengan tafsir Al Kasysyaf-nya yang lebih menekankan pada pembahasan sintaksis. Secara garis besar dapat difahami bahwa tafsir sastra berupaya menjadikan Al-Qur’an sebagai teks sastra yang merupakan anak kandung dari zaman turunnya Al-Qur`an kala itu.

Bandingkan misalnya dengan tafsir sastra-sosial yang menjadikan sastra sebagai media untuk menyajikan karya tafsir. Tafsir yang demikian memberi paparan panjang lebar mengenai apapun tema yang dibahas dalam Al-Qur’an dengan pemaparan yang kental dengan nuansa sastra.

Dari pemaparan ini, penulis kemudian menyimpulkan bahwa tafsir-tafsir sastra-sosial ini muncul belakangan seiring dengan masif dan beragamanya permasalahan yang dihadapi muslimin dan kemudian melahirkan kebutuhan adanya varian baru dalam karya tafsir yang lebih down to earth. Hal ini, sebagaimana diungkapkan Nasmizartian merupakan upaya pemberdayaan, penyadaran, dan advokasi kehidupan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kemunculan tafsir yang demikian terjadi setelah kemunculan tafsir sufi. Beberapa saat setelah kemunculannya, tafsir sufi dianggap kurang akomodatif terhadap permasalahan dalam masyarakat. Sehingga kemunculan tafsir sastra-sosial yang demikian merupakan sebuah keniscayaan.

Dari berbagai pengertian dan latar belakang yang telah disebutkan, karakteristik tafsir sastra-sosial secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut;
• Tafsir yang responsif terhadap permasalahan umat, tidak kaku, inovatif, serta tidak hanya mengulang ulasan dalam karya tafsir lain.
• Tafsir yang disajikan dengan bahasa yang mengalir, tidak membosankan, dan mengandung unsur estetika sastra, meski tidak bisa lepas dari gayanya yang eksploratif.
• Tafsir yang menyajikan fleksibilitas pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an (berpedoman pada al ibratu bi umum al lafdzi la bi khusus as sabab)
• Disusun secara tematis berdasarkan tema-tema sentral yang memuat semua ayat yang membahas (khusus pada karya-karya kontemporer)
• Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk dan solusi atas semua persoalan.
• Pernafsiran ayat-ayat dikaitkan dengan hukum-hukum alam (sunatullah) yang berlaku dalam masyarakat.

D. Contoh Tafsir Sastra-Sosial

Dalam Tafsir Tematik Wawasan Al Qur’an subbab makanan, Quraish Shihab menafsirkan QS 106:3-4

Artinya: Hendaklah mereka menyembah Allah yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan.

Berangkat dari ayat ini, Quraish kemudian mengulas lafadz tha’am secara panjang lebar, yakni bahwa lafadz tersebut tidak hanya bermakna makanan dan minuman, namun juga berarti segala aktivitas dan usaha. Ia merujuk QS 4:4 sebagai pijakan asumsinya ini,
            
Artinya: Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan sebagian mas kawin tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian tersebut (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Ulasan pertama yang dipaparkan oleh Quraish Shihab sudah menyentuh pada aspek sosial yang kemudian dijelaskan dalam QS 106: 3-4. Dengan gaya bahasanya yang mengalir, ia menjelaskan bahwa manusia dituntut untuk bisa mencontoh ‘kasih sayang’ Allah terhadap hamba-Nya dengan cara menolong saudaranya yang tengah kelaparan dan ketakutan. Kuat dugaan Quraish dalam tafsirnya ini terinspirasi dari fenomena masyarakat umum yang sudah kehilangan semangat saling tolong menolong. Ia menambahkan bahwa dengan ini, Al-Qur’an ingin mengkonfirmasi kecukupan pangan dan stabilitas keamanan sebagai dua modal awal dalam beribadah kepada Allah. Dengan ini senyatanya Quraish ingin menjelaskan bahwa harus ada keseimbangan antara perihal dunia dengan perihal akhirat.

Lebih jauh Quraish memaparkan beberapa ayat yang menerangkan makanan dan minuman yang halal serta haram dikonsumsi. Ia juga mengulas alasan-alasan medis dan etis di balik penghalalan dan pengharaman konsumsi. Penyajian tafsir tematik yang demikian tentu akan dapat membantu muslimin yang tengah menghadapi persoalan seputar makanan. Apalagi, masalah konsumsi ini tidak bisa dispelekan, sebab konsumsi akan berpengaruh terhadap kesehatan fisik maupun kesehatan batin.

Jika pada contoh pertama penulis memilih produk tafsir yang unsur tematisnya sangat kental (sehingga secara format bisa dikatakan tafsir maudhu’i), maka pada contoh kedua penulis mengambil tafsir yang secara format merupakan tafsir tahlili namun juga terkait dengan permasalahan sosial. Sampel yang penulis ambil di sini adalah kitab tafsir Al Maraghi dengan pembahasan poligami yang terdapat dalam surat An-Nisa` ayat 4 berikut;

                               

Artinya: Dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap hak-hak perempuan yatim jika kamu menikahi mereka, maka kawinilah perempuan yang tidak yatim. Nikahilah wanita yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat. Namun jika kamu khawatir tidak bisa berlaku adil di antara beberapa isteri tersebut, maka lebih baik engkau menikahi seorang saja atau engkau bisa menikahi budak-budak yang kamu miliki. Hal yang demikian bisa menghindarkanmu untuk tidak berbuat aniaya terhadap isteri-isterimu.

Aspek sosial yang terkandung dalam ayat ini, dalam pandangan Al Maraghi adalah keharusan berbuat adil dan proporsional terhadap semua manusia yang berinteraksi dengan kita, termasuk pada anak yatim dan isteri. Adil yang dimaksudkan di sini adalah adil dalam segi fisik dan material, sebab adil dalam aspek perasaan merupakan hal yang tidak bisa dikendalikan manusia. Al Maraghi kemudian membahas panjang lebar mengenai poligami dan semua serba-serbinya, semisal keberadaan poligami sebagai sebuah pilihan akhir, keistimewaan poligami dalam keadaan-keadaan tertentu, serta hikmah poligami yang dilakukan Rasulullah. Agaknya ulasan Al Maraghi yang demikian berangkat dari fenomena sekitarnya yang menempatkan poligami dalam posisi yang penuh dilema; dihalalkan namun dalam keadaan sangat terpaksa.

Ulasannya yang cukup luas ini sangat akomodatif dan bisa diandalkan untuk menjawab persoalan-persoalan seputar poligami dan atau pemeliharaan harta anak yatim. Namun ketika dibandingkan dengan ulasan yang dipaparkan oleh Quraish Shihab, penulis kemudian memiliki asumsi sementara bahwa penyajian dengan format tematik akan lebih akomodatif, sebab eksplorasi masalah-masalah yang berkait dengan tema kemudian lebih luas, meski ulasannya masih global. Jika dalam membahas pernikahan (poligami dan monogami) Al Maraghi lebih terpaku dalam masalah poligami saja, maka tidak demikian dengan hasil ulasan Quaish Shihab yang meski tidak terlalu komprehensif, namun sudah menyinggung beberapa hal yang ada kaitannya dengan pernikahan, tidak hanya dalam masalah poligami dan monogami.

Dari sini dapat dipahami bahwa kelebihan tafsir yang diformat tahlili adalah pembahasan yang lebih terarah dan terfokus. Namun, tafsir yang demikian masih mengharuskan pembaca untuk mencari-cari ayat setema yang tersebar dalam beberapa bagian Al-Qur’an. Sedangkan tafsir sastra-sosial yang diformat dalam bentuk tematik memang praktis, namun pemaparannya bisa dikatakan kurang mendetail, utamanya jika dibandingkan dengan ulasan pada tafsir yang diformat tahlili, sebab tafsir ini hanya memaparkan ulasan dalam lingkup umum.

E. Tokoh-Tokoh
 Muhammad Abduh dengan tafsirnya al-Manar.
 M. Rasyid Ridha.
 Musthafa al-Maraghi dengan tafsir al-Maraghi-nya.
 Muhammad Syaltut dengan karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim
 Quraish Shihab dengan karyanya Wawasan Al-Qur’an
 Waryono Abdul Ghafur dengan Tafsir Sosial-nya

F. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
• Menghindari sikap miopi dalam memandang sebuah permasalahan. Ketika ayat-ayat yang membahas satu tema dikumpulkan, maka konsumen tafsir akan lebih mampu memiliki wawasan yang cukup komprehensif tentang sebuah tema. Dengan demikian, besar kemungkinan konsumen tersebut tidak kemudian memahami satu tema berdasarkan satu atau beberapa gelintir ayat.
• Produk tafsir ini tersaji dalam bahasa sastra yang mengalir dan enak dibaca. Hal ini akan berefek langsung pada tingginya peminat karya tafsir yang demikian.
• Di samping menggunakan pendekatan ar-riwayah (atsar), corak tafsir ini menggunakan pula interpretasi akal, sehingga dapat dikatakan bahwa corak tafsir ini menggabungkan pendekatan bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi dengan sangat hati-hati.
• Praktis dan fleksibel. Tafsir sastra-sosial bersifat praktis dan aplikatif, dalam arti bisa langsung diterapkan dalam kehidupan. Sedangkan fleksibilitas yang dimaksud di sini adalah produk tafsir yang lebih membumi dan mampu menjawab permasalahan yang muncul. Agaknya, kehadiran corak dan karya tafsir semacam ini cukup berperan dalam meneguhkan slogan Al-Qur’an shahih likulli zaman wa makan.
• Keberadaan tafsir sosial (khususnya produk kontemporer) yang terdiri dari beberapa tema menjadikan karya tafsir ini sebagai sebuah ensiklopedi yang bisa diandalkan. Sehingga ketika seseorang menghadapi sebuah permasalahan, ia tinggal merujuk pada tafsir sosial dan mendapatkan pemecahan serta wawasan yang komprehensif mengenai masalah yang tengah dihadapi.
• Eksplorasi yang memadai. Produk tafsir sastra-sosial memberikan ruang yang besar bagi mufassir untuk menyisipkan data maupun analisis apapun yang ada hubungannya dengan tema yang dibahas. Ia bisa menyertakan asbabun nuzul, tinjauan hukum sosial, analisis bahasa, alasan pemilihan diksi, dan lain-lain.

Kekurangan
• Munculnya asumsi bahwa suatu ayat dimiliki oleh satu katagori tertentu. Kekurangan ini senyatanya sangat relatif dan kondisional. Bagi mereka yang hanya bisa menangkap satu muatan tema dalam satu ayat, maka tafsir ini cukup ‘bertanggungjawab’ pada keadaan yang demikian. Namun bagi mereka yang bisa menangkap ada banyak dimensi cahaya dari ‘permata’ Al-Qur’an, maka asumsi yang demikian senyatanya tereduksi dengan sendirinya. Klasifikasi ayat dalam sebuah katagori bisa jadi memunculkan kurangnya minat untuk menemukan hal-hal yang sebelumnya masih belum tereksplorasi.
• Produk tafsir ini cenderung bersifat temporal, relatif, dan lokalistik. Hal ini jualah yang barangkali mendorong anak bangsa kita untuk menghasilkan karya tafsir yang lebih meng-Indonesia, sehingga bisa langsung diterapkan. Meski sekali lagi, heterogenitas tetap tidak bisa dihilangkan dalam keragaman masyarakat Indonesia. Temporal di sini erat kaitannya dengan dinamika masyarakat yang mengalami perubahan cukup masif. Misalnya saja, jika pada beberapa dekade yang lalu belum ada bir sehingga tidak termasuk dalam katagori minuman yang memabukkan, maka dewasa ini bir pun harus dimasukkan dalam katagori tersebut.
• Minimnya eksplorasi terhadap ayat-ayat yang membahas ritual kegamaan dan hukum. Tafsir sastra-sosial ini lebih memberikan eksplorasi yang jelas dan lengkap terhadap masalah-masalah sosial.

G. (BUKAN) PENUTUP

Epilog tulisan ini barangkali akan lebih manis dengan kutipan Quraish yang mengatakan bahwa kita, khususnya insan akademis memiliki semacam fardu kifayah untuk membumikan Al-Qur’an dan menjadikannya mampu menyentuh realitas kehidupan. Al Qur’an harus senantiasa dipelihara, salah satunya dengan memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer (memberi interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks) tanpa harus mengabaikan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.

Ya, dunia tafsir memang dunia yang dinamis dan tidak akan mencapai istilah final. Manusia akan terus berubah dalam dinamika yang tidak pernah surut. Sedang Al-Qur’an harus tetap menjalankan fungsinya sebagai petunjuk dan ‘pengatur’ kehidupan manusia. Sebab itulah, jika kita tidak mau terbawa arus, maka kita harus mencipta arus tersebut dengan karya dan kreativitias kita. Semoga. Allah Knows Best.

DAFTAR PUSTAKA

A. Rafiq (ed). 2005. Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005. hlm. 88.
Al Maraghi. 1974. Tafsir Al Maraghi, terj.Alhumam MZ Semarang: Toha Putra
Hidayah, Nuril. 2006. Konsep I’jaz dalam Al-Qur’an dalam Perspektif Madzhab Tafsir Sastra (Studi Komparasi antara Pemikiran Bintu Al Syati’ dan Nasr Hamd Abu Zaid), Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Khoruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Mulyana, Slamet. 1986. Kaidah Bahasa Indonesia, Flores: Nusa Indah
Mustaqim, Abdul. 2008. Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mustaqim, Abdul . 2005. Aliran-Aliran Tafsir, , Yogyakarta, Kreasi Wacana
Depdikbud,. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Nasmizartian. 2005. Tafsir Sosial Al-Qur’an (Telaah Pemikiran Keislaman Amien Rais), Skripsi, UIN Yogya Fakultas Ushuluddin.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an (Bandung:Mizan, 1996)
Shihab, Quraish. 2007. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan

Presented: 30 Nov, 2009
Ur brighter day

0 comMentz: