‘Siraman Rohani’ Ke-Islaman dalam dunia Pertelevisian Indonesia
(Living Hadist dalam Tayangan Rohani)
Oleh Masyithah Mardhatillah (07530003)
1. Wacana Awal
Televisi merupakan satu di antara sekian banyak media elektronik yang telah lama dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya, televisi berganti posisi dari kebutuhan sekunder dan atau tersier menjadi kebutuhan primer yang seakan harus dipenuhi. Hal ini paling tidak dibuktikan dengan adanya sarana televisi dalam tiap bangunan, baik bangunan milik pribadi maupun bangunan milik umum.
Televisi ibarat ‘kotak ajaib’ yang menyimpan dan menayangkan segala hal meliputi pengetahuan, wawasan, hiburan, dan lain-lain. Televisi juga merupakan muara yang menampung kreativitas-kreativitas anak negeri dalam bidangnya masing-masing. Dengan demikian, selain sebagai ladang bisnis yang cukup menjanjikan, televisi pun menjadi wadah take and give keahlian dan kreativitas masing-masing.
Dalam dinamikanya hingga saat ini, kesuksesan televisi yang menjadi media pokok masyarakat Indonesia meniscayakan keberadaan televisi sebagai komoditi yang paling diburu. Televisi adalah media yang paling sering dikonsumi oleh masyarakat Indonesia. Dengan begitu, secara otomatis televisi telah memerankan posisi sebagai tempat paling strategis dalam memublikasikan segala hal, baik publikasi sosial, budaya, pendidikan, dan tidak terkecuali publikasi dalam bidang agama.
Sehingga tidak dapat dihindari, nuansa kapitalisme pun menjadi kental dalam media televisi ini. Publikasi dalam televisi hanya dapat dilakukan dengan modal yang memadai. Keadaan ini memunculkan adanya gap yang memisahkan pemilik modal dengan kelompok yang nirmodal dengan tingkatannya masing-masing. Sehingga, tidak semua orang bisa menjadi produsen tayangan dan publikasi yang ada di dalam televisi, meski mereka semua bisa dipastikan akan menjadi konsumen televisi.
Salah satu publikasi yang kerap ditemui dalam tayangan-tayangan televisi adalah siaran rohani Islam. Acara ini biasanya diformat dengan sistem ceramah dan atau dialog interaktif yang difasilitasi oleh seorang yang dianggap mumpuni dalam bidang keagamaan. Karena posisinya sebagai sebuah ‘komoditi’ dalam media televisi, maka mau tidak mau acara semacam ini juga harus menyesuaikan dengan etika dan ‘hukum rimba’ televisi. Di satu sisi tayangan yang demikian merupakan sebuah manifestasi dari dakwah Islam, namun di sisi lain tayangan ini juga tidak bisa mengabaikan keberadaannya sebagai lahan bisnis.
Sampai di sini, muncul semacam dualisme dalam acara siraman rohani yang demikian. Di satu sisi ia merupakan format dakwah yang cukup ampuh, namun di sisi lain ia juga tidak bisa menolak adanya unsur-unsur bisnis dan kapitalisme di dalamnya. Bagaimana kemudian dualisme ini bertarung? Pertanyaan inilah yang barangkali akan mengawali diskusi kali ini.
2. Dunia Pertelevisian Indonesia
Angin segar yang dianggap menjadi cikal bakal pesatnya perkembangan televisi Indonesia tampak pada 1970-an dengan adanya satelit Palapa (Palapa dan Palapa B-2) yang menjadikan sistem televisi tidak lagi berpusat pada otoritas pemerintah. Momen menjadi pemicu munculnya stasiun televisi swasta pertama pada 1998, yakni RCTI. Kemunculan stasiun televisi RCTI ini kemudian disusul dengan kemunculan SCTV pada tahun berikutnya. Kemunculan stasiun televisi swasta hingga saat ini terus berlangsung. Baru-baru ini dunia pertelevisian Indonesia juga banyak diramaikan dengan kemunculan stasiun televisi lokal maupun televisi komunitas.
Beberapa opsi yang bisa dipilih (dalam bentuk channel) penonton ini juga meniscayakan adanya berbagai macam tayangan dalam acara televisi. Acara televisi tersebut meliputi dialog, tayangan olahraga, liputan berita, acara kuliner, hingga reality show. Sebab itulah, pemerintahan Megawati kala itu kemudian menggagas kemunculan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan UU no. 23 tahun 2002 untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap tayangan-tayangan televisi. Sebelumnya, aturan adanya SIUP (Surat Idzin Usaha Penyiaran) dicabut pada tahun 1999. Tahun tersebut merupakan masa awal kebebasan pers di Indonesia setelah peristiwa reformasi pada tahun 1998. Dengan demikian, tayangan televisi di Indonesia kemudian menjadi tayangan yang bebas namun tetap terkontrol. Sayangnya, banyak sementara pemerhati yang menilai bahwa KPI tidak banyak menangani masalah konten tayangan televisi, namun lebih memperhatikan aspek legalitas tayangan.
Dalam kinerjanya hingga hari ini, KPI terus menerus melakukan perbaikan dan membenahi beberapa hal. Fenomena yang barangkali masih segar dalam ingatan kita adalah aksi ‘warning’ terhadap lima tayangan televisi yang dianggap melanggar norma etik pertelevisian, yakni Termehek-Mehek (TransTV), Face to Face (ANTV), Orang Ketiga (TransTV), Dibayar Lunas (RCTI), dan Titian Ilahi (Metro TV). Kelima tayangan tersebut mendapat teguran untuk mengubah format acaranya yang dinilai melakukan penipuan, mempertontonkan kekerasan dan perkataan yang jorok, serta mencampuradukkan acara dakwah dengan reality show.
Di sisi lain, karena keberadaannya sebagai komoditi bisnis, televisi pun dituntut untuk mengikuti hukum rimba ekonomi; mengeluarkan modal sesedikit mungkin dan mendapatkan laba sebanyak mungkin. Prinsip inilah yang mendorong para pengelola televisi untuk senantiasa membuat terobosan-terobosan baru yang bisa memajukan perusahaan televisinya. Dalam hal ini, keberadaan iklan merupakan nyawa bagi televisi, sebab iklan yang durasinya kerap melebihi durasi acara televisi ini merupakan investor yang memberikan keuntungan pada pemilik televisi.
Sebab itulah, seperti yang kita amati, acara televisi yang digemari penonton akan diselingi iklan yang lebih banyak dibanding acara yang kurang begitu diminati penonton. Berangkat dari alasan inilah, pengelola televisi kemudian berupaya menyuguhkan acara-acara yang dimungkinkan akan disukai oleh khalayak, mendagan par rating tinggi, dan karenanya akan mendapat keuntuyang juga semakin meruah. Berangkat dari prinsip inilah, banyak kemudian sementara orang yang beranggapan bahwa televisi lebih mengutamakan unsur bisnis dan keuntungan dan kurang memperhatikan imbas sosial budaya dari tayangan yang ditampilkannya.
3. ‘Siraman Rohani’ sebagai Living Hadist
Dari format seremonialnya, acara yang demikian senyatanya merupakan rutinitas yang kerap dilakukan Rasulullah beserta para sahabat. Beberapa riwayat banyak menceritakan bahwa Rasulullah sering menggelar semacam diskusi dalam sebuah majlis atau di masjid seusai shalat berjama’ah. Pada forum ini biasanya Rasulullah menanggapi pertanyaan sahabat dan memberikan ulasan mengenai tema yang tengah diperbincangkan.
Forum yang demikian menjadi sebuah keniscayaan mengingat Rasulullah saat itu memangku jabatan sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Para sahabat bisa langsung mengadukan masalah yang dihadapinya pada Rasullah untuk kemudian mendapat solusi dan atau alternatif solusi dari masalah yang ingin dipecahkannya. Romantika ini biasanya terekam dalam dialog antara Rasullah dan para sahabat dan terkadang juga disisipi dengan pemaparan setting dan suasana pada saat itu.
Salah satu hadist yang menceritakan forum diskusi ini adalah pada saat Rasulullah didatangi malaikat Jibril (yang pada saat itu berwujud sebagai lelaki tampan nan gagah) dan mendapat wahyu Allah mengenai rukun Iman. Setelah menerima wahyu tersebut, Rasulullah kemudian langsung menceritakan apa yang diterimanya kepada anggora forum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa forum yang demikian merupakan sarana terbaik Rasullah dalam menyampaikan hadist, sebab sahabat bisa langsung mengemukakan respon maupun pertanyaannya terhadap hadist yang diucapkan dan atau diperagakan oleh Rasulullah.
Adapun salah satu contih hadist tersebut terdapat pada
Sunan Ibnu Majah, babفي الايمان juz 1 hal 72
62 - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ كَهْمَسِ بْنِ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ شَعَرِ الرَّأْسِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ سَفَرٍ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ فَجَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَهُ إِلَى رُكْبَتِهِ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ فَقَالَ صَدَقْتَ فَعَجِبْنَا مِنْهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مَا الْإِيمَانُ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَكُتُبِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ فَعَجِبْنَا مِنْهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ فَمَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ قَالَ فَمَا أَمَارَتُهَا قَالَ أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا قَالَ وَكِيعٌ يَعْنِي تَلِدُ الْعَجَمُ الْعَرَبَ وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبِنَاءِ قَالَ ثُمَّ قَالَ فَلَقِيَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ثَلَاثٍ فَقَالَ أَتَدْرِي مَنْ الرَّجُلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذَاكَ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ مَعَالِمَ دِينِكُمْ
Forum diskusi menjadi salah satu format pembelajaran dan transfer of knowledge yang paling digemari adalah karena elastisitas dan efektivitasnya dalam pengembangan wacana. Tukar pendapat atau brainstorming yang terjadi dalam forum diskusi akan merangsang otak manusia berpikir kritis, reaktif, responsif, serta melatih kepekaan emosional manusia sebagai anggota sebuah forum yang tidak bisa terlepas dari etika saat berinteraksi dengan orang lain.
Di Indonesia sendiri, acara siraman rohani Islam merupakan acara yang kerap muncul di televisi. Sebuah sumber mensinyalir bahwa inisiatif untuk menggelar dakwah dalam media televisi ini berangkat dari kesuksesan televisi Amerika dengan program televangelist. Program ini kurang lebih bisa diartikan dengan program siraman rohani Kristen. Kesuksesan dalam program televangelist ini lebih bermakna kesuksesan dalam finansial. Dalam artian, acara ini berhasil memiliki rating tinggi sehingga keuntungan pemilik televisi pun meruah.
Pendapat yang demikian bisa saja benar, mengingat era globalisasi mengandaikan tidak adanya sekat antarnegara-negara di dunia. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa tayangan-tayangan yang kita konsumsi dari televisi kerap merupakan imitasi atau edisi Bahasa Indonesia dari tayangan-tayangan yang ada di negara lain. Jadi tidak berlebihan kiranya jika ada asumsi yang mengatakan bahwa maraknya siraman rohani ke-Islam-an di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh program tevelangelist tersebut. Pemilik televisi Indonesia agaknya ingin mengulang kesuksesan televisi Amerika dengan menayangkan acara yang serupa.
Meski demikian, terlepas dari alasan bisnis atau imitasi siaran rohani Kristen, inisiatif untuk memunculkan tayangan rohani ini juga muncul dari pemikiran bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas merupakan muslim pasti membutuhkan siraman rohani. Pemeluk agama pada dasarnya membutuhkan sentuhan-sentuhan keagamaan di sela-sela rutinitas kehidupan dunianya. Dengan demikian, secara apologis, kemunculan tayangan yang semacam ini juga dilatarbelakangi oleh faktor sosial keagamaan, tidak hanya untuk orientasi bisnis.
Selain itu dalam dunia televisi, faktor timing juga menjadi hal yang tidak pernah luput dari perhatian pemilik televisi. Strategi waktu ini belakangan juga menjadi sesuatu yang menarik perhatian KPI. Tidak bisa dipungkiri bahwa acara televisi beragam, dan penontonnya pun tidak kalah beragam dan terdiri dari semua kalangan. Dalam kondisi ini, mungkin tidak berlebihan jika seorang dewasa menonton acara anak-anak, namun tidak demikian jika seorang anak-anak menonton tayangan orang dewasa ini. Fenomena yang penu keprihatinan ini pada perkembangannya memunculkan adanya pelabelan setiap tayangan di televisi, yakni BO (Bimbingan Orang Tua), R (Remaja), SU (Semua Orang), dll.
Selain itu, strategi timing ini juga diterapkan dalam menyiasati penayangan acara yang ditampilkan. Dalam artian, pemilik televisi juga akan menyesuaikan tayangannya dengan trend yang tengah in dan menempatkannya pada jadwal di mana angka menonton televisi sedang tinggi (dari jam 13.00-21.30). Sebagai contoh, ketika marak-maraknya audisi menjadi bintang instant, hampir semua stasiun televisi menyajikan acara yang asan inidemikian. Begitu juga ketika Ramadhan tiba, maka stasiun televisi juga berlomba-lomba menayangkan acara bernuansa religius, semisal sinetron, acara interaktif, termasuk juga siraman rohani. Fenomena lain yang juga mendukung pendapat ini adalah penayangan acara rohani pada hari-hari besar keagamaan atau hari ibadah, semisal penayangan siraman rohani umat Kristiani pada hari Ahad.
Siraman rohani Islam yang menjadi bidikan dalam pembahasan ini biasanya ditayangkan pada waktu-waktu menjelang dan sesudah shalat lima waktu, utamanya shalat shubuh dan shalat maghrib. Durasi waktu tayangan ini paling sedikitnya adalah tujuh menit dan batas maksimalnya adalah satu jam (termasuk iklan). Frekuensi penayangan siraman rohani akan seketika melonjak pada saat bulan Ramadhan. Hal yang demikian sudah menjadi rahasia umum yang tidak bisa dihindari. Ketika Ramadhan selesai, maka berakhir pulalah penayangan sebagian besar acara-acara kegamaan tersebut. Akibatnya, Ramadhan kemudian menjadi ladang euforia yang tidak berkesesudahan dan selalu mengalami hal yang sama.
4. Sampel Acara dan Verbalisasi Hadist di Dalamnya
Acara yang dijadikan sampel pengamatan oleh penulis dalam pembahasan ini adalah acara bertajuk ‘Assalamualaikum, Ustadz’ yang ditayangkan di RCTI setiap hari sejak pukul 04.30 hingga pukul 05.00. Acara ini menghadirkan seorang narasumber yang dianggap mumpuni dalam bidang agama dengan seorang host serta beberapa audien wanita. Sejauh pengamatan penulis, nara sumber yang dihadirkan dalam beberapa episode acara adalah selalu berganti-ganti. Dalam satu episode, acara ini difasilitasi oleh Din Syamsuddin (28 Novermber 2009), dan pada episode lain difasilitasi oleh Ustadz Jeffry Al Bukhari (01 Desember 2009).
Format acara ini senyatanya tidak begitu berbeda dengan acara-acara rohani lain. Namun begitu, acara ini tidak menampilkan ceramah monoton satu arah. Pada awal acara, host memberi opening dan menjelaskan wacana awal mengenai tema yang akan dibahas. Dalam posisi ini ia menjadi moderator yang kemudian memberi kesempatan kepada narasumber untuk menyampaikan gambaran-gambaran umum yang menjadi topik pembahasan dalam episode itu.
Setelah memberikan pemaparan awal, host pun mengambil alih suara dan mulai membuka dialog. Ia juga kerap mengajukan pertanyaan pada nara sumber. Selain itu, host kemudian mempersilakan audien (sekitar enam puluh orang perempuan dengan busana yang seragam) untuk mengajukan pertanyaan pada nara sumber. Dialog dalam acara ini juga memungkinkan pemirsa di rumah untuk mengajukan pertanyaan dan angkat suara melalui telepon. Redaksi juga menerima email maupun sms yang berupa kritik, saran, atau usulan tema untuk episode-episode mendatang.
Seperti halnya acara siraman rohani lain, acara ini juga membatasi pembicaraan pada sebuah tema. Hal ini dilakukan agar perbincangan dan dialog menjadi lebih terarah dan tidak melenceng ke mana-mana. Pada 28 November, tema yang dibahas adalah masalah saksi dan pada 01 Novermber, acara ini mengulas tentang dosa-dosa besar. Pemaparan host maupun narasumber cukup menunjukkan bahwa pemilihan tema yang diangkat didasarkan pada masalah yang tengah in di negara kita. Misalnya saja, saat memilih tema saksi, maka bisa dimungkinkan hal tersebut disebabkan keadaanpengadilan tipikor maupun pengadilan umum agaknya masih tidak pernah sepi. Kasus Jaksa Urip-Artalita Suryani hingga kasus Bibit-Chandra menjadikan pengadilan tak ubahnya tempat yang paling sering dikunjungi.
Dalam proses pengadilan, saksi memainkan peranan yang cukup penting, mengingat saksi merupakan salah satu elemen yang menentukan bagaimana keputusan pengadilan. Namun begitu, tidak semua orang bisa menjadi saksi dalam sebuah proses pengadilan. Sebab itulah, fenomena ini barangkali merupakan motivasi kru tayangan ini untuk memilih tema ‘saksi’. Dalam uraiannya, Din Syamsuddin memberikan penjelasan yang cukup komprehensif mengenai tema ini. Ia kadang mengutip sebuah matan hadist tanpa menyebutkan mukharijnya. Ia juga kerap menyinggug sebuah hadist dengan pemaparan eksploratif tanpa menyebutkan matan hadist aslinya.
Hal ini sangat beralasan sebab acara ini menempatkan narasumber pada posis spontanitas. Ia mungkin bisa mempersiapkan ulasannya mengenai sebuah tema bahasan, namun ia tidak akan selalu bisa memberikan prediksi yang tepat terhadap pertanyaan yang diajukan audien. Sehingga demi menghindari kesalahan karena ragu atau lupa, maka barangkali narasumber lebih memilih jalur aman, ;memberikan ulasan yang eksploratif mengenai sebuah hadist namun tidak menyebut matan hadisnya langsung.
Contoh penyebutan hadist dengan matan yang disampaikan oleh Din Syamsudiin saat itu adalah hadist dalam kitab sunan Tirmidzi no 2223 berikut;
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ الْعُصْفُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ النُّعْمَانِ الْأَسَدِيِّ عَنْ خُرَيْمِ بْنِ فَاتِكٍ الْأَسَدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَامَ قَائِمًا فَقَالَ عُدِلَتْ شَهَادَةُ الزُّورِ بِالشِّرْكِ بِاللَّهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا عِنْدِي أَصَحُّ وَخُرَيْمُ بْنُ فَاتِكٍ لَهُ صُحْبَةٌ وَقَدْ رَوَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَادِيثَ وَهُوَ مَشْهُورٌ
Sedangkan keterangan yang disandarkan pada hadist namun tidak menyebutkan matan hadistnya adalah saat Din Syamsuddin menjawab petanyaan audien viatelepon mengenai PSK yang sudah dipastikan melakukan zina. Ia kemudian mengungkapkan bahwa dalam hal perzinahan, memang ada keharusan untuk mendatangkan empat saksi dengan kriteria-kriteria yang cukup berat. Namun jika seseorang telah dikenal sebagai orang yang kerap melakukan demikian, maka kehadiran empat saksi tidak lagi dibutuhkan.
Pada pembahasan mengenai dosa besar, Ustadz Jeffry Al Bukhari bahkan tidak menyebutkan hadist dengan matan dan sumbernya. Hal ini misalnya terjadi pada saat ia memberikan keterangan mengenai salah satu tingkatan dosa besar, yakni durhaka kepada orang tua, utamanya kepada ibu. Uje, sapaan akrab ustadz ini hanya menceritakan kisah seorang sahabat yang menanyakan pada Nabi Muhammad tentang siapa saja yang patut dihormati setelah Allah dan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad kemudian menjawab bahwa ibu berada pada urutan ketiga. Nabi mentaukidkan posisi Ibu ini hingga tiga kali.
Lagi-lagi dalam pembahasan ini, Uje mengaitkan perilaku para pejabat yang sudah terbukti melakukan korupsi dengan dosa besar yang berada dalam tingkatan atas. Uje mengemukakan bahwa dosa mencuri barang pribadi sangatlah besar dan berat, sehingga beban dosa yang berlipat-lipat akan dimiliki oleh koruptor, sebab ia mencuri uang rakyat Indonesia.
Dalam hemat penulis, acara ini memiliki kekurangan tersendiri. Sebab, meski ia memang terformat dalam sebuah dialog interaktif, akan tetapi acara ini tidak ditayangkan secara langsung. Sehingga, pemirsa di rumah yang benar-benar ingin mengajukan pertanyaan pun harus mengurungkan niatnya dan hanya bisa mendengarkan dialog tersebut dengan pasif. Jika dibandingkan dengan siraman ruhai bertajuk Nikmatnya Shadaqah di TPI pada jam yang sama, maka acara Assalamualaikum, Ustadz ini memiliki kekurangan yang sangat kentara, sebab ia merupakan dialog interaktif namun tidak disiarkan secara langsung. Idealnya, acara dialog interaktif disiarkan secara langsung agar benar-benar interaktif.
5. Beberapa Catatan
Pengamatan yang dilakukan penulis mengenai siraman rohani di televisi ini paling tidak menunjukkan beberapa hal berikut;
• Forum yang demikian merupakan living hadis yang seharusnya dilestarikan dalam kehidupan muslimin. Selain sebagai media dakwah, forum yang demikian juga bisa menjadi wadah yang mempererat ikatan emosional dan melatih muslimin dalam hal etika-etika musyawarah.
• Forum ini juga menjadi sarana dakwah yang paling ampuh, utamanya pada saat di mana televisi sudah menjadi kebutuhan pokok muslimin. Dewasa ini, dakwah tidak hanya bisa dilakukan dari mimbar-mimbar, pengajian, dan sarana-sarana konvensional dakwah lain. Penggiat dakwah Islam harus juga bisa peka melihat potensi media yang sering dikonsumsi masyarakat, agar syiar Islam tetap tersebar dan tidak hanya berdiam di menara gading.
• Ulasan dalam forum ini sudah barang tentu bersumber pada Al-Qur’an dan hadist, akan tetapi dalam sebagian besar kesempatan, ayat Al-Qur’an maupun hadist yang bersangkutan tidak diverbalisasi secara detail. Hal ini tidak sepenuhnya bisa dipandang negatif, sebab penyajian kandungan hadist barangkali dianggap lebih efektif jika audien acara ini merupakan orang awam. Akan tetapi jika forum ini beranggotakan mereka yang sudah memiliki pengetahuan agama, maka verbalisasi ayat maupun hadist merupakan sebuah keharusan.
• Forum siraman rohani kegamaan, utamanya yang ditayangkan tiap pekan atau bahkan tiap hari juga bisa menjadi kontrol sosial terhadap fenomena kemasyarakatan dan memberikan paparan tentang bagaimana agama memandang fenomena-fenomena tersebut. Dengan demikian, selain meningkatkan rasa kebersamaan dan memupuk iman, acara ini juga turut memperkaya pandangan seseorang.
REFERENSI
Software mausuah al hadist al syarif
Tim Penyusun. 2003. Ekonomi Politik Media Penyiaran, Jakarta: Departemen Agama Ditjen Bimas Islam.
http://kelompok03.blogspot.com/2007/04/park-1.html
http://www.eramuslim.com/oase-iman/televisi-musuhku.htm
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/06/13/30583/KPI.Tegur.Acara.Titian.Qolbu.Tv.One.
http://www.primaironline.com/berita/detail.php?catid=Sosial&artid=kpi-tegur-acara-titian-kalbu-tv-one
http://www.halamansatu.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=522
This writing is also published in: www.eetamirza.blogspot.com
01 Dese, 2009
0 comMentz:
Posting Komentar