RSS

Kamis, 29 Juli 2010

26 Juli 2010

Bertemu Mantan Dyan (sbelum tertinggalkan waktu terlalu lama)

Siang itu, di terik yang kemudian menggiring hujan dateng, aku ma Vita maksain diri untuk ikut dolanan bareng Dyan dan Wanda dengan tujuan yang sangat tulus..yakni MENGAJUKAN PROPOSAL. Awalnya, yang punya rencana ini adalah Wanda dan Dyan. Wanda hari itu datang lebih awal dari biasanya (bahkan mendahului aku dan Vita), jadi itu artinya, semua itu bukan tanpa alasan. Abis gitu..Kami berempat meluncur di atas dua sepeda motor. Menantang panas Jogja yang masya Allah banget waktu itu.

Dyan adalah salah satu temenku yang memiliki pedemeter cukup tinggi. Bayangin ajah, sebagai pemimpin rombongan siang itu, Dyan bahkan belum pernah tau APALAGI mengunjungi tempat yang akan kami tuju. Dia mencukupkan pengetahuan dan info yang dikantonginya dengan daerah yang akan kami tuju, yakni daerah Wirobrajan. Siapapun tau, bahwa daerah itu adalah perempatan ketiga arah barat Malioboro. Sayangnya, Dyan apalagi kami sama-sama tidak tau letak tepat RS yang akan dituju.

Alhasil, kami sempat tertesat satu jalur dan sebelum terlalu jauh tersesat, Dyan memutuskan untuk bertanya pada seorang ibu yang saat itu tengah melakukan transaksi pembelian di sebuah toko. Ternyata kami harus memutar arah dan melewati sebuah lampu merah. Wis, kami ikuti arahannya dan ga perlu terlalu menjelalatkan mata untuk menemukan tempat yang kami tuju. Ya secaraaaaaaaaa…tempat itu gede banget, mudah dilihat, tinggi pula. Menjulang, seperti menandakan superioritas dan otoritas.

Well. Ternyata ini bukan kunjungan pertamaku ke tempat ini. aku sempat ke tempat ini beberapa bulan yang lalu demi kepentingan yang berbeda. Usut punya usut, ternyata si Dyan memiliki semacam orang dalam di RS itu yang akan mempermudah jalur trayek kami. Wis abis gitu, setelah memarkir motor di tempat parkiran, kami masih harus mencari-cari kerjaan karena orang dalam yang Dyan punya masih bisa ditemui beberapa menit yang akan datang. Dyan terlihat ngomal-ngomel manja saat berbicara dengan si orang dalam lewat teleponnya.

Kami berempat ga kekurangan akal. Bermula dari—LAGI-LAGI—inisiatif Dyan, kami menyeberang dan menghampiri sederet pedagang kaki lima yang tengan mangkal di depan sebuah SD. Alamaaaaaaaaaaak..Dyan membeli semangkuk bakwan dan Vita mengeluarkan bekal yang ia bawa dari kos. Tiga orang temenku itu saling comot di mana-mana. Aku membesarkan hatiku sendiri bahwa ini hanyalah cobaan awal. Halaaaaaaaaaahhhh..

Ritual makan di TROTOAR JALAN PROTOKOL di siang yang terik itu diimbuhi dengan ritual ngobrol2 dan jeprat-jepret. Pede banget dan banget pede. Lha untuk apa seonggok barang mungil di tasku harus dibawa ke manapun ku pergi jika tak bisa mengoptimalkan setiap momen? Waaaaaaaahhh//Lebaaaaayy…Abis foto2 dan membayar uang bakwan, tu anak bertiga pada keausan. Seperti halnya pertemuan dan kebersamaan yang akan sangaaaat terasa dengan perpisahan dan atau keterpisahan, nikmatnya sehat yang sangat terasa ketika sakit, seperti itulah nikmat makan yang akan menjadi lengkap dan komplit setelah meneguk air. R Tanpa air, makanan yang sempat mampir di lidah, kerongkongan, dan jalur-jalur berikutnya akan terasa kurang taste-nya.

Sebabi itulah, dengan niat tulus untuk melepas dahaga dan menyempurnakan kenikmatan makan, kami berempat masuk ke areal sebuah SD dengan satu tujuan; MEMBELI AIR. Di koperasi sekolah tentunya. Aku memilih duduk di sebuah kursi panjang karena aku memang tidak berkepentingan dengan air yang akan dibeli. Sama sekali tidak terlintas di benakku bahwa orang-orang sekelilingku memerhatikanku, meski tidak memandang sinis. Dalam kebanyakan momen, aku memang kurang bisa PEKA terhadap sindroma-sindroma yang ada di sekitarku.

Dan siang itu, ternyata bukan aku ajah yang memiliki sensitivitas yang kurang bertaring. Tiga temenku juga begitu. Untunglah tidak berapa lama setelah itu, Wanda mendobrak kejumudan itu dan menyadarkan betapa barusan kami telah keluar dari alam kesadaran…Hehehehe..Lebayy..Intine pas itu, kami lagi berada di tengah komunitas yang memiliki sebuah perbedaan dengan kami. Perbedaan yang terlihat jelas dalam salah satu atribut yang tengah kami kenakan. Jane tidak ada yang perlu dipermasalahkan dan diherankan. Tapi andaai aja kami sadar sedari awal, mungkin…kami tidak perlu berbondong-bondong masuk ke area itu. Well, sekadar pengalaman yang pantas menjadi pelajaran. Aku masih tetap memegang teori bahwa tidak ada yang salah dalam perbedaan, kecuali jika perbedaan itu kemudian mendatangkan hal-hal yang kurag tepat (tidak dalam perspektif hitam-putih)

Wis, kami kembali menyerang dan kembali pada tempat awal. Kali ini orang dalam yang dimiliki Dyan juga masih belum bisa ditemui. Untungnya, momen menunggu kala itu bisa dipermak sedemikian rupa..jadinya terkesan tidak terlalu membosankan..Bahkan waktu terasa amat sangat cepat berjalan. Yaaaaaaaaa…karena kami berempat kemudian kembali mengeksploitasi barang kecil yang ada di tasku dengan ritual NARSISME. Bekgrondnya jane ga gitu bagus. Cuma ya karena pemandangan itu adalah new view, maka kelihatannya menyejukkan. Lagian tidak ada yang tidak indah koq, jika kita memakai kacamata filosofis tipe keindahan. Dan dokumentasi-dokumentasi itupun telah menjadi saksi bahwa kami berempat pernah bertemu dan bersama…Hegege

Agenda utama siang itu, bertemu orang dalam yang dikenal Dyan. Sebelum masuk ke gedung itu, aku iseng bertanya pada Dyan perihal jenis kelamin orang itu…Oh..ternyata LAKI-LAKI. Pertanyaan selanjutnya uda bisa aku pastiin, “CAKEP, GA????” dan kali ini Dyan menjawab dengan malu2, “menurutku sich cakeeeeeeeepppp”, dengan gaya yang Dyan bangettttt…Kami masuk dan mendapatkan orang yang kami tunggu sudah duduk manis di situ.

Yuhuuuuuuuuu…ternyata lumayan cukup menjadi penyegar di siang yang terik itu. Apalagi ditambah dengan atribut yang dikenakannya, semakin mengukuhkan dirinya sebagai orang yang berdedikasi dan bermilitansi. Heleeeeeehhh..sampai mana dah, tulisan ini. Ngalor-ngidul ra jelas. Intine tu cowok ternyata SO NOT –BAD—untuk tidak mengatakan cakep—dan dia pun terllihat amat banget profesional dengan jas putih yang dikenakannya. Kami duduk di sofa empuk dalam formasi yang terpisah. Dyan bersama orang itu, dan kami bertiga bersebelehan dengan wanita yang ….mmm…memakai baju putih kombinasi pink. Hehehheehhehe…(Wanda dan Vita pastilah mengerti, bagaimana mb ini adanya..)

Senin, 26 Juli 2010

Kisah Kasih Nyata dalam Kuliah Kerja Nyata

Beh, judulnya sangat provokatif. Istilah dan pemplesetan kepanjangan ini sudah memasyarakat di kalangan civitas akademika manapun. Salah satu pemateri dalam pembekalan pun secara sengaja dan tanpa sungkan menuturkan plesetan ini. wajar ajah sich, dalam artian mungkin saja hal itu terjadi. Aku banyak mendengat selentingan cerita yang demikian, baik saat aku masih di pondok ataupun setelah aku merasakan bangku kuliah seperti saat ini.

Kaidah dan landasan berpikirnyapun sebenarnya sederhana saja, yakni intensitas kebersamaan, selain rentan menimbulkan kres dan benturan kepentingan juga memunculkan semacam…mmm..apa ya..bahasa yang paling representatif, mungkin simpati dengan tensi yang tinggi dan selanjutnya akan melahirkan perasaan suka. Naaaaaaaahhh..sampailah pada point yang uda aku ulur-ulur sejak tadi. Awalnya aku menganggap bahwa pemlesetan istilah itu hanya berhenti dalam ranah wacana, dalam arti tidak akan banyak terjadi dalam kehidupan real. Pikiran ini mungkin dipengaruhi oleh anggapan pribadiku sendiri. Hehehe..Aku pikir, too old to talk about love and dating right now. Ngomongin cinta dan pencarian temen dating hare gene tu sungguh amat telat dan ngasep sekali. Ya khususnya bagi aku yang uda semester tua.

Anggapan tersebut bisa jadi muncul dan banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadi aku. Yang jelas anggapan demikian tumbuh subur di otakku dan aku pun percaya, sedikit banyak, temen-temen yang sudah seusiaku mungkin juga menyadari bahwa saat ini bukanlah waktunya untuk membicarakan hal demikian. Egois mungkin, mentang-mentang aku sendiri merasa sudah cukup merasakan sensasi-sensasi itu ketika masa SMA. Tapi memang itu yang kurasakan. Parahnya, anggapan yang bercokol di kepalaku itu ternyata cukup menjadi hijab yang membuat aku SANGAT TIDAK PEKA dengan sindroma-sindroma KKN (dalam arti yangd diplesetkan) yang tengah melanda temen-temenku di posko.

What??? Tunggu dulu…Ini bukan gosip dan tulisan ini tidak aku niatkan untuk menyebutkan siapa saja temenku yang terkena sindroma ini, bagaimana gejalanya, atau bagaimana perspktifku. Tidak..Tidak…Blog ini bukanlah forum gosip, dan meski aku doyan nonton infotainment, aku berupaya agar blogku tidak akan terkontaminasi oleh kebiasaan—yang tidak sepenuhnya buruk—itu. Aku hanya ingin menulis, menulis yang membebaskan dan membiarkanku menjadi diri sendiri. Aku males kalo harus bertarung dengan diksi dan seperangkat hal lain-lain hanya untuk menghasilkan sebuah tulisan. Apalagi untuk mencari decak—tanpa kagum—dari orang lain. Bagiku masa-masa itu sudah terlewat dan hari ini aku hanya ingin menulis dengan dan dalam diriku sendiri, dengan semua style dan feature yang aku punya.

Ok, back to the laptop. Kisah Kasih Nyata atau bisa dibahasakan dengan cinlok bagi aku sebenernya sangatlah wajar adanya. Meski terang-terngan berpikir bahwa masaku saat ini bukanlah masa-masa yang demikian, aku keikut trend juga. Misalnya, saat pertama kali berkumpul dengan temen sekelompok, aku langsung mengedarkan pandangan pada temen-temen sekelompokku—terutama para cowo—untuk men-checklist apa ada temen kelompokku yang lumayan sedap dipandang. Tak ada keperluan sebenernya, cuma aku merasa hal itu selalu dan pasti dilakukan sebagian besar orang saat bertemu pertama kali dengan orang yang barangkali sebelumnya tak pernah dikenal. Apalgi dalam event ini, temen KKN adalah tim yang akan mengisi hari-hari selanjutnya dalam durasi sekitar 50 hari. Lama banget khaaaaaaaaaaaaaannn?

Buat aku sendiri, melakukan hal yang demikian bisa menolong aku untuk memiliki DO (Daftar Obrolan) dengan temen-temen sekos sesama semester enam yang juga menghadapi babak kehidupan yang sama. Tanpa harus menyebutkan bagaimana penilaian pertamaku terhadap temen-temen kelompok KKNku, malam itu setelah pertama kali kumpul, aku bener-bener melakukan ritual itu dengan temen-temen kosku. Tuker-tuker cerita laah…dengan bahasa “di kelompokku tu ada anak fakultas-----------, dia tadi---------------tapi dia juga----------------pakaiannya--------------tapi tulisannya----------------kalo wajahnya-------------menurutku dia tu---------------. Kemarin aku nanya ma temen sefakultas-jurusannya------------------katanya dia tu------------------------”

Begitulah kira-kira draft obrolan yang biasa aku lakoni bersama-sama temen kosku, khususnya sesama semester enam. Buang-buang waktu memang, tapi hal tersebut sudah menjadi semacam ritual yang kalo dalam hidangan tu menjadi desert alias penggembira…Ntar kami akan ketawa cekikikan masing-masing sambil menutup pembicaraan dengan percakapan yang demikian”Ntar kalo lagi sama-sama kumpul dan kamu ingintau ma yang namanya--------tak sms dech”..(Aku hakkul yakin jika tulisan ini dibacan Ting2 dan Unyil, mereka akan tertawa malu-malu. Lalu akhirnya terbahak. Hahahaahahahahahahhahaha)

Eh, jadi digresi. Jadi gini, buat aku pribadi, pertemuan pertama dengan anggota sekelompok hanyalah berhenti dalam hal yang demikian saja. Ada ketakutan dan harapan ketika melewati kesan pertama wajar adanya. Takut—atau lebih tepatnya males—melihat temen yang gerak-geriknya tampak tak sinkron dengan diriku dan juga berharap banyak pada orang-orang yang TErLIHAT bisa diandalkan. Dan seteleh dua pekan menjalani masa karantina ini, aku kemudian memercayai kata pepatah bahwa FIRST LOOK IS REALLY DECEIVING. Dalam sebagian kasus memang demikian, meski dalam kasus lain, kesan pertama memang tetap bertahan.

Well, ternyata, setelah semalam aku mendapatkan berita investigasi dari sumber yang terpercaya, bahwa pertemua pertama di kantin dakwah itu menyisakan beberapa bekas spesial bagi sebagian temen-temenku. Hahahaha. Aku sendiri sama sekali dak nyangka dan amat banget mengherankan, bagaimana bisa aku tidak sensitif terhadap persoalan sesintitif bernama perasaab dan ketertarikan????? Hohohhoho…Yang jelas, aku tidak terlambat mengalami masa pubertas, jadi seharusnya aku tidak terlalu lugu dengan hal itu…Tapi mengapa aku terlelu menutup mata pada fenomena yang sebenernya sudah sangat jelas di hadapanku? Tidak, aku TIDAKLAH LUGU SAMA SEKALI…Hanya mungkin, aku terlalu dipengaruhi oleh pola pikir dan pengalaman pribadi yang memaksanku menganggap bahwa…TOO OLD TO TALK ABOUT LOVE AND DATING NOWADAYS.

Setelah mendengar beberapa selentingan, aku malah maunya ketawa terus dan cekikikan tiada henti, menertawai kebodohanku sendiri. Dan kejadian ini semakin mendukung teori yang pernah aku tulis di diariku beberapa waktu yang lalu. (Lihat gambar)…sambil nulis inipun, aku masih senyum2 sendiri. Yaaaaaa…bagaimana tidak, selama ini aku berpikir bahwa perhatian, sikap “liyan”, dan segala hal yang menjurus ke situ adalah hal yang sifatnya BASA-BASI dan tidak sama sekali menunjukkan keseriusan. Aku malah lebih sensitif terhadap hal-hal yang berbau konflik. Hehehehe. Eh ternyata, setelah aku me-flashback beberapa kejadian, aku malah membenarkan bahwa semua gejala-gejala itu sebenernya merupakann suatu hal yang akan ditindaklanjuti…

Gatau dan belum bisa memastikan, bagaimana Kisah Kasih Nyata ini akan menemukan serie episodenya. Menjadi roman yang dikenang sepanjang masa, atau justeru menjadi elegi yang ditangisi. Lebay dech, bahasaku. Ya intine aku belum bisa memberikan prediksi satupun. Karena semua kemungkinan bisa diperhitungkan dan semua keadaan juga tidak bisa di-skip begitu aja. Dalam keadaan ini, aku cukup menjadi audien yang akan menulis semua uneg-unegku di forum jejaring sosial. Hehehehe. Mau ketawa lagi deccch…dan tentang seri episode, satu hal yang sama sekali tidak bisa aku pastikan adalah bahwa apakah kisah ini akan menjadi awal ataukah justeru akan berakhir setelah berakhirnya masa KKN. Atau, ada kemungkinan lain? Ya makanya itu kubilang, aku belum bisa memastikian. Tapi not bad lah, minimal cerita-cerita yang muncul selama masa ini bisa menjadi bahan tulisanku yang tidak akan bergenre gosip.

Cinta memang ajaib, tapi jauh lebih ajaib waktu. Tanya kenapa. (Bingung mau nulis epilog mode: on)

Minggu, 25 Juli 2010

KKNe sing ra mutu po akune? (Refleksi pribadi)

25 Juli 2010, berarti uda dua pekan aku menikmati MK wajib 4 SKS yang dibebankan kepada semua mahasiswa S1. Dua pekan berlalu, berarti tinggal enam pekanan lagi babakan ini akan selesai. Entah mengapa aku selalu merasadiburu waktu dan menunggu kapan hari terakhir itu akan darang. Dalam hal ini, aku memang agak menyayangkan sikapku yang cukup sulit untuk bersosialisasi dengan orang baru yang otomatis juga memiliki karakteristik yang belum banyak kuketahui. Sikap—atau kebiasaan—yang kedua adalah ketidakmampuanku untuk bersikap manis di depan orang yang tidak aku senangi. Mentog2nya, aku hanya diam tanpa berekspresi saat berhadapan. Aku pikir cara ini lebih aman dibanding aku harus susah-susah nyemprot dan membuang energiku untuk menunjukkan bahwa aku tidak suka pada seseorang. Dan paling maksimalnya, sikap burukku ini adalah nyeletuk di hadapan seseorang tersebut dan maen belakang.

Sebenere wajar ajah jika kemudian aku merasakan banyak hal yang berbeda dengan kondisi hati dan keadaan yang terjadi di sekelilingku. Aku hanya tidak terbiasa berkompromi dengan sikap dan sifat temen-temen baruku yang mungkin sudah menjadi trademarknya. Di kelas, aku bisa berkompromi dengan sifat Ayu yang manja, dengan Unyil yang—kala itu—terlalu manut ma cowonya, serta arogansi-arogansi temenku dalam sesi diskusi dan dialog. Aku bisa berkompromi dengan semua keadaan yang tidak menyamankan itu setelah sekian lama mencoba menyelami mereka. Aku kemudian tau bahwa pada awalnya, ciri khas setiap orang tidaklah selalu menyenangkan di mata orang lain. Tapi dengan berjalannya waktu, kemauan untuk berpikir kompromistis, serta keinginan untuk berpikiran luas sedikit banyak berhasil membuat aku lebur dalam karakter-karakter temen2ku..

Jadi sebenere tidak perlu terlalu diherankan jika kemudian aku masih merasa gerah dengan kebiasaan atau sikap temen-temen baruku. Aku hanya tidak terbiasa, dan untuk hal ini aku sebenernya tidak harus terlalu ambil pusing, sebab SANGAT MUNGKIN temen-temen baruku juga tidak menyukai sikap maupun kebiasaanku. Jadi sebenerenya impas ajah…Setiap orang masih berada dalam tahap awal-awal kompromi dengan suasana dan orang-orang baru.

Otya, tentang judul di atas,,aku sebenernya mulai mergukan banyak hal. yang pertama aku merasa bahwa MK 4 SKS adalah MK yang menuntut curahan perhatian dan forsir otak serta tenaga yang tidak main-main. Aku tentu tidak akan pernah melupakan MK-MK berSKS lebih dari 2 yang cukup supportif dalam membuat aku sebagai akademisi kagok yang taunya hanya berkutat dengan lembaran-lembaran yang bagiku sangat membosankan. MK Bahasa Inggris, smt 2 dengan pengampu Pak Yusron. Bukan main melelahkan, meski hasilnya juga sangat menggembirakan. Hehehehe. Terus MK Bahasa Arab Pak Mustaqim, juga di semester II dan MK MPH semester kemarin yang bener-bener melelahkan…..

Jadi seharusnya, dalam pikiranku sebelumnya, Kuliah Lapangan yang bernama KKN ini juga akan semelelahkan seperti MK-MK yang pernah aku ambil itu. Oooppss, tapi ternyata kelelahan hanya berada dalam aktivitas bolak-balek kos-beskemp yang aku lakukan tiap hari. Mentog di situ. Ya, sementara bisa kukatakan bahwa semuanya masih mentog di situ. Sampae di beskemp, aku kebanyakan diem, tura-turu ga jelas, dan paling mentog ol. Kalo lagi bagian piket ajah, aku baru ngasih bimbel atau ngajari TPA. Selain itu masih ada lagi acara-acara RW setempat yang jane tidak terlalu padat. Jadi kesimpulannya, KKN ITU NYANTAI BANGET…

Keadaan yang demikian ini sangatlah suportif pada aku yang memiliki tensi kemalasan di atas rata-rata. Jadinya ya…aku merasa belum merasakan KKN yang sesungguhnya. Dan penyebabnya bisa jadi banyak hal. yang pertama akunya yang terlalu malas, dan yang kedua keadaan yang juga mendukung. Dua faktor ini bisa saja sama-sama bener. Tapi PR urgentku sebenernya adalah berdamai dengan diri dan kemalasanku sendiri. Aku sudah bisa membayangkan bahwa suatu hari nanti, aku akan menyesal karena tidak mengoptimalkan waktu satu setengah bulan ini. Ya, prediksi itu ada..meskipun tensi kemalasanku sangat banget mengalahkannya. Aku masih hanya berpangku tangan dan melakukan pekerjaan sekenanya…

Aku bahkan merasa produktivitasku malah menurun drastis di tempat yang sebenernya bisa aku maksimalkan dengan baik itu. Sebuah buku yang selalu kutaruh dalam tas ke manapun aku pergi itu bahkan belum aku sentuh sama sekali. Padahal aku tau, aku harus segera menyelesaikan tugasku secepatnya sebelum aku disibukkan dengan berbagai hal lain. Aku merasa sulit untuk bisa akrab dengan lingkungan sekitarku. Dengan dinding-dinding kamar yang baru, dengan aroma yang sama sekali baru, dengan asap rokok yang kerap mengepul, dengan tuts-tuts yang belum aku kenal dan dia pun belum mengenalku, dan semuanya. Sebab itulah kemudian, temen-temen baruku mencium gelagatku yang selalu bersorak kegirangan setiap mendengar kata P-U-L-A-N-G. ya, sebab aku sangat merindukan romantikaku dengan kamarku, dengan dinding-dindingnya, dengan warnanya yang acak adut, dengan keadaannya yang tidak selalu rapi, dengan langit-langit yang kerap aku ajak bicara, dan dengan semua keadaan yang sudah lama mengenalku….

Tentang cerita di tempat KKNku, utamanya di beskemp, belum ada banyak hal yang berubah. Semuanya masih normal seperti biasa. Roby sudah mulai memiliki temen yang juga ikut bermalam di kamar sempit itu…Selalu ada yang mengubah dan mengupdate papan putih dan menggantinya dengan nama-nama baru setiap harii. Belakangan aku juga merasa was-was karena beredarnya isu-isu yang tidak mengenakkan seputar pembacokan atau apalah namanya yang kabarnya sudah menjamah daerahku. Sebab itu pulalah, kemarin malam (23/7/10) aku pulang beriringan dengan tiga motor, yakni motor Paijo, Wildone, dan Huda. Sugestku bener-bener akan melayang ke mana-mana mendengar kata pembacokan. Mau ngapa-ngapain kerasa was-was. Semalem (24/7/10) juga aku ma Vita pulang beriringan dengan motor Paijo. Ya ga gitu takut sich, karena pas itu Malam Minggu jadi jalanan cukup ramai.

Saat ini, aku boleh-boleh aja menunggu kapan masa KKN ini akan selesai. Tapi jauuuuuuuuuuuuuuh di bilik kejujuranku, aku pun yakin, suatu saat akan ada alasan yang membuat aku merindukan masa-masa ini. Dan aku belum tau alasan itu apa. Hehehehe.

Jumat, 23 Juli 2010

Yang Beda yang Begaya (tentang KKN juga)

Every events call out for a story. Itu teoriku, sesederhana apapun event itu. Jangankan event, sebuah pikiran atau perasaan yang nangkring sebentar di kepala kita juga memiliki sebuah alur yang akan terasa menarik jika ditelusuri dan diurutkan. Dan karena semua apa yang kita tulis akan memiliki pembaca, maka tidak berlebihan jika di sela kesibukan dan kemalasan, kita menyempatkan diri untuk sesekali bertutur dan bergulat dengan pikiran serta tuts-tuts keyboard…

Well, cerita kali ini datang dari sebuah rumah kecil dengan dua kamar yang terpisahkan oleh hijab setengah reot,,Aku belum tau jelas lokasi rumah itu untuk memberikan deskripsi yang enak..Tapi yang jelas rumah itu masih pake style rumah kuno kayak punya mbah di rumah. Sebuah rumah dengan satu ruangan besar yang dipisahkan sekat-sekat untuk menjadi pembatas antaruangannya. Rumah tersebut terletak di RW 10 Pawirodirjan Gondomanan Yogyakarta.

Nah, uda nyambung khan, dengan maksduku? Aku akan kembali menulis sebuah episde cerita tentang episode KKN yang uda kutunggu-tunggu kapan selesenya. Kali ini tentang suasana dari beskempku yang berbeda namun juga bergaya. Jadi…setelah melewati beberapa proses dan deal-deal, akhirnya aku dkk sepakat untuk menyewa lokasi itu sebagai beskemp KKN kami.

Hal pertama yang bikin beda dan mungkin akan menjadi kenangan adalah..Karena di rumah tersebut, kami tidak menggunakan mesin pemompa air yang biasa dimajas-metonimiakan menjadi SANYO. Lha terus piye? Ya air dari sumur bisa sampai ke bak mandi hanya dengan satu cara dan satu instrument, yakni TIMBA. Wooooooaaa..Keren banget coba. Jadi bisa dibayangin, jika tidak ada orang yang mau sedikit bergulat dengan kejenuhan dan kelelahan saat nimba, bak air tidak akan terisi dan itu artinya..peran air sebagai sumber utama kehidupan (dalam pelajaran IPA kelas 3 SD) akan terhambat…

Makanya jangan salah, pilihan untuk ber-KKN di kota tidak bisa langsung dijudge sebagai pilihan yang tidak menantang. ITU SALAH BESAR. Ya, bukannya setiap tempat yang dipijaki manusia adalah tambang pengalaman dan pengetahuan yang akan memuaskan dahaga siapapun yang mau mengeksploitasinya? Dan di tempat ini, aku dkk juga kembali pada alam..Salah satunya adalah dengan adanya ritual timba ini…jadi semangat gotong royongnya cukup bisa dioptimalkan. Yayayaya, meski aku keseringan melihat Roby—lagi-lagi dia—yang mengisi bak mandi dengan air dari sumur menggunakan timba.

Tak salah jika kemudian Dyan mengatakan bahwa bagi Roby, KKN itu adalah Kuliah Kerja Nimba. Jane ya terserah mau diplesetin apa aja dan diartiin gimana ajah. Ada banyak kemungkinan yang tidak bisa diteorikan, kemngkinan yang mungkin didapatkan mereka yang mau bener-bener melihat kehidupan…Aku dewe baru sekali melakukan ritual ini. Itupun hanya ketika aku akan mencuci senampan gelas yang biasanya dipake aku dkk untuk meneguk air dari sebuah dispenser yang teronggol bersahaja bersama sebuah galon…

Karena adanya timba inilah, maka air di bak mandi pun terasa punya sensasi beda. Lebih menyejukkan dan menentramkan bagi kepala-kepala yang masih mulai belajar mengakrabi suasana baru dan orang-orang dengan karakter yang berbeda. Aku dewe merasakanya. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan air di kosku apalagi air di Surabaya ato Semarang…Dinginnya menyejukkan dan sejuknya mendinginkan…

Yang kedua, adalah adanya benda kecil mungil berwarna putih milik Dyan yang berhasil merubuhkan semua tapak dan batas. Heheheh..Apakah itu? Benda itu bernama modem. Baik nian si Dyan, memasrahkan modemnya untuk dieksploitasi seutuhnya oleh temen-temen barunya. Alhasil benda kecil itu menjadi benda most wanted bagi sebagian besar temen-temenku dan tentunya aku sendiri. Yang dilakuin ya ga jauh2 dari jejaring sosial..hehehehehe…Terjadilah rutinitas antri dan shift untuk melototin mata di depan layar monitor yang ga kunjung stabil meski uda dibantu dengan stabilizer,,,hehehe.

Internet memang hebat, mengukuhkan hegemoni globalisasi untuk menjadikan dunia seperti kecamatan Gondomanan yang hanya bisa diakses dengan beberapa klik. Dengan duduk manis di ruangan keci itu, aku dkk sudah bisa berselancar ke mana-mana, melewati tawaran hitam-putih yang datang silih berganti di depan mata kami…memanjakan mata dengan pemandangan-pemandangan yang lahir dari kreasi makhluk sejenis kami, berdecak, kagum, mengumpat, tertawa, cekikian sendiri, dan mendadak menjadi AUTIS—ini bahasa mas Zaki—dan mengacuhkan siapapun yang berada di sampingnya. Seolah dunia hanya diisi oleh seperangkat komputer di depan mata…

Yang ketiga adalah budaya atau tradisi menitip beli nasi lalapan di warung sebelah. Dalam hal ini, kami juga mau tidak mau terlibat dalam ritual makan bersama yang semakin mempererat pertemanan dan kekompakan. Buat aku makan bersama bisa mengisi perut dan memperkukuh emosi. Tapi sayangnya dalam ritual ini, para cowo2 memiliki hobi yang tidak perlu dilestarikan, yakni MENITIP NASI DAN TIDAK MAU JALAN SENDIRI. Sindrom ini paling parah melanda Pak Ketum. Adapun yang lain, seperti Ino, Huda, dan Mas Sabil, sepengetahuanku, sudah pernah mengorbankan tenaga dan waktu untuk bisa membeli nasi dengan menggunakan KAKI dan uang sendiri.

Dalam hal ini, aku rasa aku dan Bk Cici adalah pelopor yang memberanikan diri untuk membeli nasi di tempat itu. Pas itu malem…Aku dan Bak Cici uda mulai kelaparan tapi belum tepat untuk segera meninggalkan posko. Akhirnya kami menyisir daerah sekitar dan menempatkan warung yang cukup representatif dan ekonomis. Dari situlah semuanya bermula…banyak yang akhirnya mengikuti jejak kami. Hehehehe… Oya, dalam hal titip-menitip nasi, nama Wanda juga tidak boleh dilupakan. Ibu bendahara ini juga kerap menerima titipan dari temen-temen yang ingin mengisi perut secepatnya. Wanda bahkan pernah beberapa kali membelikan nasi di luar tempat langganan kami ituuuuuuu,,,

Yang keempat, dan mungkin yang terakhir—jika tidak dilanjutkan—adalah adanya perokok aktif yang sangat merugikan perokok pasif. Yang paling dirugikan, sejauh ini adalah Dyan dengan asmanya terus Vita dan Fikri yang kerap batuk-batuk. Aku dewe uda berusaha sedkit berkompromi dengan keadaan itu, karena aku tau ada beberapa temen yang sebenernya memiliki kebutuhan yang lebih urgen untuk dihindarkan dari asap rokok itu. Adapun para perokok aktif, juga tidak memiliki pilihan banyak. Rokok, bagi mereka, mungkin seperti pulsa sms buat aku. Dibilang egois sech, iya juga..meski ga sepenuhnya. Lha gimana lagi wong mereka uda addicted alias kecanduan…

Perokok pasif garda depan adalah Mas Sabil dan Mas Zaki. Mereka hampir selalu merokok setiap waktu. Frekuensinya kurang lebih sama. Meski merk rokoknya berbeda. Seperti beberapa perokok lain yang aku kenal, mereka biasanya WAJIB merokok selepas makan. Barangkali seperti kecanduanku tidur kalo uda larut malam. Sedang perokok lain yang terbilang belum begitu MILITAN adalah Paijo dan Wildan. Mereka hanya sekali-kali merokok, tidak sesering Mas Sabil dan Mas Zaki…Yang laen aku belum tau…

Dan sebagai epilog, aku mungkin ingin memberikan deskripsi yang cukup representatif—semoga tidak ada yang tersakiti karena aku sudah mengenyahkan engeri negatifku sejenak—ya setidaknya bagi AKUUUUU
Most connected with Mas Sabil dan Mas Zaki: SMOKING
Wanda: Ngitung uang, tersenyum, dan nagih uang mingguan
Wildan: Nitip nasi lauk tahu-tempe
Ino-Vita: Bergulat dengan rubik
Fikri: Jeprat-jepret
Paijo: Browsing, bantuin Roby di depan laptop
Roby: Duduk di depan laptop, shalat jamaah ke masjid
Mb Cici: Sll ngasih bimbel malam
Huda: My tribe; Maduraniezzzz..
Aku: [dikosongkan]

23 Juli 2010..JOGJA PUANAAAAAAAAASSSSSSS

Pagi ini, setelah menyelesaikn beberapa pekerjaan di kos dan menjemput Vita di kosnya, aku ma dia berhasil mendarat di lokasi KKN saat matahari sudah cukup menjerang panas. But, no one knows bahwa Roby masihlah sendirian di posko itu. Menambah kebisuan yang diciptakan kesendiriannya. Aku ma Vita berbasa-basi sebentar kemudian melakukan apa saja yang bisa dan ingin dilakukan. Ngupdate petugas hari ini, tura-turu, dan melakukan apapun yang dianggap bisa bermanfaat.

Tak berapa lama, Dhian dateng...Biasanya dia selalu lebih awal datang dibanding aku dan Vita. Tapi hari ini dia aga telatan soale dia juga ada urusan ke Pati, so harus pulang. Setelah Dhian dateng, anggota bertambah so suasana jadi tambah rame...Sayang pas itu Dhian dan Vita kemudian akan berkunjung ke posko sebelah, sedang Roby juga akan berangkat ke mesjid...Jadi siologismenya, aku sendirian di posko. Untung si modem kecil masih mau kompromi, so aku dak gitu bored. Ada hape juga. Seharusnya aku merasa enjoy dan seneng di ruangan ini. Tapi entah, kesendirian, selain kondusif untuk orang yang produktif, ternyata juga sangat supportif untuk pemalas. dan aku termasuk golongan orang kedua tersebut.

aku melekin mata berlama-lama di depan monitor Dhian, menikmati kesendirian dan kemalasanku..Di luar matahari membakar...Aku males berpanas-panas ke mana-mana..Jadi aku pilih browsing ga jelas di ruang kecil ini, bahkan hingga detik ini..With knowing how to do and what to do..padahal aku pun tau, segepok tugas masih nangkring di tas itemku. Tak lama Dhian dan Vita datang. Si Dhian buru2 pulang karena dia akan segera dijemput travel yang akan mengantarkannya pulang. SI Vita datang belakangan karena dia masih harus menukar sandalnya yang ternyata ga sengaja ketuker ma sandal orang lain di posko itu…

Cerita dan rutinitas yang hamper selalu sama tiap ari. Jam 10-an, aku berangkat dari kos, sampai ke posko masih tanpa orang—selain Roby—tentunya, lalu pulang ke kos membawa cape dan lelah saat malam sudah mulai beranjak gelap. Biasanya ada Paijo yang selalu mendahului kedatanganku dan Vita. Tapi hari ini kabarnya dia masih akan datang abis dzuhur. Tapi, hamper jam 14.00, si paijo belum juga nampakin batang idung plus semua jiwa raganya…Hahahahah..Dan akhir tulisan ini akan berujung pada si Roby..

Di antara kami bertigabelas, Roby mungkin adalah peserta yang paling memiliki purest niat untuk ber-KKN. Ya ga berarti aku bilang the others (alias aku sendiri) ga niat KKN. Maksudku ya hanyaaaaaaaaa..mungkin tensinya sangat jauh berbeda disbanding Roby. Ya aku dan yang lain masihlah pinter mencari alasan untuk tidak standby atau paling tidak memupuk rasa kepemlikan terhadap POSKO KAMI. Apologiku, kehadiran raga sedikit banyak menggamabrkan kehadiran jiwa..Dan dalam posisi yang demikian, aku hanya bisa bergumam, semoga Roby bener-bener ikhlas ber-KKN. Nungguin Posko dari jam dua belas malem mpe jam dua belas siang, dengan orang yang datang dan pergi silih berganti, dengan kegiatan yang itu-itu aja dan dengan tantangan baru yang ternyata tidak mudah, dan dengan hal-hal lain..
Dan deritanya hari ini adalah, dia harus ikut kerja bakti di masjid SEORANG DIRI…Saat temen-temennya yang lain MUNGKIN masihlah berleha-leha di tempatnya masing-masing…

Break..Si Paijo datang…panas-panas gini dia pake jaket..Aku sapa, dia hanya diem

Kuliah Kerja Nganggur banget. Aku mulai merasakan BORED yang amat sangat membosankan. With nothing to do.. With no knowing how to dooo…

Selasa, 20 Juli 2010

KKN lagi, KKN lagi

...Ka Ka eN

Buat aku, KKN itu malah lebih menyeramkan dibanding skripsi. Tapi itu hanya bayangan ternyata. Dan bayangan serta hipotesis itu aku buat ketika aku masih belum menyentuh dua hal itu…Ketika dijalani, ternyata tidak sesulit yang dibayangkan, meski tidak semudah yang dibayangkan. Memang dalam banyak kesempatan hidup, kejadian yang kita lalui kerap berbeda atau bahkan jauh berbeda dibanding bayangan yang sebelumnya kita bingkai…Bayangan yang barangkali lebih tepat dikatakan sebagai prediksi..Halaaaaaaaah…Kayak the Master aja.

Well, sejak tanggal dua belas Juli kemarin, aku resmi berangkat ke lokasi KKN. Hari itu sebenere aku belum begitu siap. Yang pertama, aku masih belum mem-prepare segala sesuatunya. Termasuk mental. Yach,,sejak beberapa hari sebelumnya, aku tengah asyik menikmati liburan bersama dua orang temenku di daerah Sorowajan…Jadi kayak katarsis yang begitu mendadak sehingga suasana hatiku pun masih mau yang santai-santai. Yang selanjutnya, aku sulit beradaptasi dengan orang baru. Apalagi ketika membayangkan bahwa hari-hariku akan banyak tersita dengan kebersamaan bersama orang-orang baru ini.

Sekarang, uda tanggal 16. Tu berarti uda empat ari aku muter-muter di daerah Prawirodirjan RW 10 itu. Berangkat siang atau sore dan balik ke kos ketika malam sudah larut dan jalanan sudah mulai sepi. Rutinitas baru yang buat aku begitu melelahkan dan cukup membosankan. Untungnya, menggunakan kacamata ‘lain’ dalam memandanga segala hal baru di hadapanku kerap membuat aku cooling down dan bersabar menapaki proses dan babak kehidupan ini, babak kehidupan yang suatu saat—dan barangkali—akan aku rindukan. Entah kapan, aku juga kurang yakin.

Hari pertama, dengan berpanas-panas ria—masalane aku salah kostum, pake kaus item—aku dan temwn2 sekelompok sempat berkali-kali nyasar demi menghadiri acara pelepasan dan penyambutan di kantor kecamatan Gondomanan. Kantor kecamatan tu ternyata dekat dengan Altar yang juga berarti dekat dengan lokasi garapane Unyil. Untung aja, walaupu datang terakhir, aku masih bisa dapat gud seat dan bareng dengan temen-temen kelompok. Abis gitu kami ngumpu bareng DPL di teli Altar kemudian berpisah dan bergabung dengan kelompok masing-masing.

Then, kelompokku mutusin untuk kumpul di Alkid. Pas itu uda siang banget…Masih pake acara bingung-bingung dan nyasar-nyasar. Bukannya gimana, aku terbiasa menggunakan jalur tunggal untuk bisa sampai di sebuah tempat tujuan. Meski rada kadang punya keinginan untuk berinovasi dan menemukan jalur-jalur baru, daerah Alkid bisa dibilang adalah daerah yang cukup jarang aku kunjungi. Jadi bener-bener bingung banget siang itu, akan melangkahkan kaki ke mana. Untungnya segera datang bala bantuan yang menunjukkan arah Alkid dari daerah kami berpijak, kalo ga salah namanya Wijilan. First visit dan first listen juga. Aku mulai menduga bahwa KKN ini juga akan menambah wawasan ke-Jogjakarta-anku.

Sampai di Alkid, seorang temen KKN—namnya Zaki—dengan mimik muka yang serius menayaiku, apakah aku pernah ikut Ospek. Sial, dengan polosnya aku mengiyakan dan ia bisa segera melancarkan misinya mengolok-ngolokku. “Uda ikut Ospek, koq belum nguasai materi wawasan ke-Jogjakarta-an?”..ABCD….Aku berapologi sebisanya..Setelah itu, kami mulai ngomog ngalur ngidu wetan lor sambil menikmati uang transportasi 20ribu perkepala yang diberikan pihak LPM. Ga sampe 20ribu lah..Dari Sapen ke Gondomanan. Ya makanya itu kami segera menikmati uang itu..

Pas itu aku kurang begitu bisa menikmati keadaan karena ada sebuah beban pikiran yang tak mungkin aku ceritakan di forum ini. Intine aku gelisah dan beban itu cukup menyita pikiran dan ketenanganku..Tapi yaaaaa…aku lumayan enjoy karena sudah ada banyak logistik di hadapanku. Meski harus lagi-lagi es, tapi tawaran dan iming2 kesejukan tenggorokan dengan guyuran es di panas yang terik itu bener-bener menggoda. Dan aku dak bisa mengelak akan hal itu. Hahahahaha..Lebaaaaaaaaaay…Ada camilan juga, baik by paid maupun yang free.

Namun, alangkah terkejutnya, alangkah mengherankannya, saat aku mengetahui, bahwa…biaya nongkrong di tempat itu hampir mendekati angka 50ribu. OMJ,,,So expenssiiiiiive!! Ketua kelompokku yang mengurusi pembayaran hanya bisa mengelus hatinya dengan mimik wajah pasrah..Hehehe…Di Sapen, biaya ngumpul segitu mungkin ga sampai 20ribu. Tapi yaaaaa..mungkin demi alasan gengsi, membeli suasana, dan pajak penjual di daerah Alkid, maka harga segitu bisa membengkak dengan demikian besar. Mau ga mau, suka ga suka, ingin ga ingin, ya kami harus bayar uang itu…

Breaking noon..Kami balek ke kos masing-masing dan janjian kalo ntar sorenya kami bakal ketemu lagi untuk ketemu Pak RW dan mengurus segala sesuatunya.

Next, sore itu, kami ke Pak RW, bincang2 lumayan lama, terus muter2 dikit ke RT 28, 29, mesjid, dan kemudian juga calon beskemp kami. Aku bener-bener harus maksain diri untuk bisa tersenyum sesulit apapun keadaanku dan sesemraut bagaimanapun pikiranku kala itu. Bagaimanapun, ini medan garapan. Hanya sekali selama menjadi mahasiswa dan mungkin hanya sekali seumur hidup. Aku harus berupaya semaksimal mungkin untuk menseriusinya sesulit apapun keadaan yang aku hadapi. Hehehe..Malem itu, setelah mendapatkan beberapa hal yang harus kami musyawarhkan bersama, kami pamit pulang dan menuju sebuah tempat makan.

Tempat prasmanannya sich ankringan, tapi terkemas menarik dan unik, dan mungkin juga bisa dikatakan mewah. Yaa…secara, menu lauk dan sayurnya cukup komplit dan lux. Aku baru first visit, sebab aku emang—kayaknya—ga pernah lewat di tempat ini. Kalo ga makan di Sapen, Papringan, Gowok, paling mentok aku makan di Gaten dan Sagan. Ga sampai ke daerah ini. Sayang banget pas itu aku uda overhungry alias kelaparan, so aku uda kehilangan selera makan. Uda kupancig dengan cumi-cumi dan udang, tapi tetep aja selera makanku lari entah ke mana.. Tapi ya akhirnya diabisin juga…

Mmmm…Hal baru yang aku dapetin di tempat itu adalah cara penyajian teh. Biasane teh ya gitu-gitu aja. Teh anget ato es teh yang disajikan siap saji dan bisa langsung diseruput. Tapi kali ini lain. Jadi konsumen bisa menentukan kadar gula yang mereka inginkan sesuai dengan selera masing-masing. Selain itu, ada juga porsi cadangan bagi yang akan nambah. Not bad lah, meski aku mulai mengkhawatirkan uang yang harus—kembali—diambil dari uang transport itu..Abis makan kami ngobrol-ngobrol dikit terus langsung pulang..Sebab malam uda beranjak larut dan semuanya sudah pada lelah.

Keterkejutan kedua hari ini, uang makan 12 orang adalah seratus tiga puluh satu ribu. Omj omj omj. Kayaknya kami salah sasaran lagi dalam hari ini. Tapi ya gapapalah, dibuat pelajaran ajah…Sekaligus pengalaman untuk tidak mengulangi hal yang sama pada kesempatan selanjutnya. Then, kami pulang ke tempat kos masing-masing dengan sebuah janji bahwa besok kami akan kembali ke lokasi tepat jam sepuluh.

Esoknya, lusanya, hingga hari ini, semua berjalan dengan natural dan apa adanya. Meski ada beberapa kres dan kecemburuan sosial, show must go on. Aku mulai membiasakan diri dengan rutinitas baruku. Banyak keluhan memang, seperti masalah teknis, masalah temen sekelompok yang sok-sokan, masalah bolak-balek posko-kos yang melelahkan, dan lain sebagainya. Tapi semuanya emang harus dijalani. Ya mau-ga mau.

Kamis, 08 Juli 2010

Masih tentang liburan kereta…(2-Semoga masih berlanjut)

Setelah lepas dari stasiun tugu, kereta mulai mempercepat lajunya sehingga aku bener-bener merasa terbawa oleh keadaan. Di kursi berisi empat orang itu, aku --dan kedua temenku mendadak menjadi orang kalem—padahal di kos bisa jadi nominasi miss cerewet—yang speechles dan kehabisan kata-kata, meski hanya untuk satu dua buah kalimat. Masing-masing lebih sibuk dengan hape yang sama-sama bermerk Nokia. Untuk yang kesekian kalinya aku membenarkan teori bahwa…hape, di balik semua kemudahan dan fiturnya yang menawan, cukup mampu menjadi alasan untuk menjustifikasi sikap individualisme penggunanya, terutama dalam hal menjaga jarak dengan orang yang berada di sebelahnya. Hal ini sering kutemui dan bahkan kualami sendiri. Pas lagi kuliah, forum, rapat, atau bahkan lagi seminar, banyak peserta yang kadang lebih memilih bercengkrama dengan hapenya…dibanding orang-orang yang seforum dengannya.

Dan dalam kejadian pagi itu, ada dua alasan yang membuat para sesepuh kos Lapan A (Aku, Jenghol, dan Tink2) berdiam diri seakan tak pernah mengenal kata-kata. Yang pertama karena kami lelah setelah melewati momen-momen menengangkan sejak dari kos sekaligus mempersiapkan energi buat berlibur ntar, dan yang kedua adalah karena ada orang di tengah-tengah kami yang juga pndiam. Dia lebih sibuk fesbukan di hapenya. Menggelar pembicaraan di kereta api dan di kendaraan umum apapun akan cukup mengganggu penumpang lain, sebab itulah kami bertiga masih menegakkan kode etik penumpang angkutan umum. Kalaupun berbicara, itu sangat terpaksa dan biasanya hanya terjadi dalam dialog pendek yang terdiri dari satu jawaban dan satu pertanyaan, semisal “Jeng, ini sampai mana?” yang kemudian dijawab, “Masih menuju Wates”. Wis…

Pas baru duduk di kereta aja, dengan surprising face, Jenghol bertanya pada mas-mas yang duduk satu kursi dengan kami. Ia menanyakan apakah kereta yang kami tumpangi adalah kereta Paramek, dan mas-mas itu hanya mengiyakan dengan gayanya yang super simpel…Sebagai orang yang paling sering mengendarai Parameks di antara kami bertiga, Jenghol menyangsikan apakah kami masuk di kereta yang benar. Ia bilang bahwa kereta Parameks trayek Solo-Kebumen ini biasane tidak memiliki face to face seat untuk empat orang seperti yang kami tumpangi ini. Tapi ternyata emang ada berbagai macam seat di kereta Parameks. Yang banyak mungkin adalah kereta dengan seat yang biasa. Satu gerbong berisi beberapa kursi yang berhadap-hadapan, tidak dengan kualifikasi empat orang seperti yang kami duduki saat itu. Dan pagi ini, kami menikmati seat yang mungkin masih sangat sedikit dimiliki kereta Parameks..

Seat yang demikian aku jumpai dalam beberapa film yang aku tonton. Yang paling aku inget adalah seat empat orang di film HP yang biasanya dishoot saat menggambarkan perjalanan menuju Hogward. Selain itu yang di film Paa, terus di videoklipnya Gita Gutawa yang Harmoni Cinta. Aku masih sibuk bertarung dengan pikiran dan pertanyaanku yang berjalan seiring laju kereta. Aku inget segala hal tentang kaidah dalam bepergian menggunakan angkutan umum. Di antaranya adalah tidak mudah menerima bantuan dan makanan dari orang yang belum dikenal dan selalu waspada terhadap barang bawaan. Semua kaidah itu sudah aku hafal di luar kepala dan selalu aku terapkan setiap kali aku jalan pake angkutan umum…

Sibuk berpikir dan mengamati keadaan sekitar sambil sms-an dengan beberapa nomor di hapeku, mata nakalku tertuju pada sebuah barang imut yang dipangku oleh mas-mas di sampingku. Benda itu kecil, keselip, namun masi nongol dikit-dikit…Aku mengecek penglihatanku untuk memastikan benarkan barang yang kulihat itu adalahhhh…Hoahoahoahoa..ternyata bener, barang yang dijadikan gantungan kunci oleh mas-mas di sampingku adalah DOT BAYI. Aku menahan tawa dan segera mengalihkan perhatian ke hapeku, khawatir cekikika kecil yang berusaha kututupi terdengar olehnya dan kemudian ia tersinggung. Entah, hari itu aku rasanya tidak ingin menyakiti hati dan menyinggung perasaan siapapun.

Aku membaca sms yang masuk di hapeku, ternyata dari Tink2. Dia rupanya juga tengah menahan tawa melihat gantungan kunci orang sok kul di sampingku yang ternyata adalah dot bayi. Dapat support dari Tink2, aku semakin tak bisa menahan tawaku. Melihat wajahnya yang luar biasa menahan tawa seakan menjadi impulsku untuk semakin tak berdaya menahan tawa di tengah kelucuan itu. Asing rasanya harus menahan tawa di tenga kejadian real di depan mata yang seratus persen lucu, biasanye di kos aku akan berekspresi habis-habisan saat ada yang lucu. Tapi, sekali lagi demi kode etik, aku berusaha agar mas-mas itu tidak mengendus bahwa kami tengah menertawai barang kecil yang—mungkin—menjadi kebanggannya.

Wis, selesai urusan dot kecil itu. Kami harus menyudahi tawa karena semakin lama, intensitas kelucuan itu terasa semakin kecil. Ya, karena kami sudah tau. Beda banget dengan pas pertama kali tau. Seperti itulah keajaiban waktu yang disadari oleh Andrea. Waktu bisa menjadi perantara untuk mengubah status suatu hal. dalam kasus kami, dengan hanya menggunakan beberapa menit, waktu sudah bisa sedikit demi sedikit mengikis rasa lucu itu dan akhirnya…serasa hilang meski masih berbekas. Pikiran yang sleanjutnya timbul adalah spekulasi mengapa dot kecil itu tampak sangat amat dibanggakan oleh si mas-mas. Hehehe…

Untuk sampai ke Kutoarjo, kami harus melewati dua stasiun, yakni stasiun Wates dan Jenar. Dak jauh amat jadinya, hanya membutuhkan waktu sekitar satu jaman. Jenghol bahkan bilang kalo dia merasakan laju kereta ini lebih lambat dari laju standar. Aku dak bisa banyak komen, sebab ini pengalaman pertama nae kereta. Jadi aku dak bisa banding-bandingin dengan pengalaman pribadi, paling banter hanya mengingat beberapa hal yang bisa aku identikkan dengan apapun yang mampir di mataku pagi itu.

Saat kereta melintasi sebuah sungai atau apapun yang berbentuk kolam aer dengan bermacam skalanya, ada perbedaan bunyi yang kurasakan. Begitu kentara di telingaku sebab aku bisa sangat merasakan perbedaan bunyi antara moment sebelum dan sesudah dengan saat melintasi perairan di bawah kami. Hal yang berbeda kurasakan saat mengendarai bus di jembatan Suramadu. Karena jembatannya cukup panjang, maka perbedaan itu hanya terasa pada saat baru memasuki area jembatan dan pada saat akan keluar dari jembatan. Kejadian ini mnegingatkan aku pada masa kecil dulu. Duluuuu..saat akan berangkat atau pulang sekolah, aku harus melewati sebuah jembatan di sebelah timur rumahku. Saat sepeda motor yang dikendarai ayahku—dan aku di belakangnya sibuk berceloteh—melintasi jembatan (yang berarti di bawahnya ada perairan), aku merasakan suara sepeda motor itu sedikit berubah dan kemudian normal kembali saat aku sudah keluar dari area jembatan.

Ya, itulah deskripsi singkat orang yang asing dengan dunia fisika. Apapun lah, istilahnya, tapi saat aku mendengar bunyi yang berbeda itu, detak jantungku akan sedikit lebih kencang sebab aku akan teringat pada film-film yang pernah kutonton. Bagaimana jika jembatan ini ambruk saat kendaraan yang aku tumpangi ada di atasnya, lalu akan megap-megap sendirian karena dak bisa berenang. Ya, bener-bener khayalan yang kadang terlalu berlebihan..

Well, pemandangan lain di kereta pagi itu adalah saat ada dua orang menggunakan troli besar lengkap dengan roda di masing-masing sudutnya yang menjajakan makanan, minuman, serta koran pada semua penumpang kereta. Dua orang ini tidak mengucapkan sepatah katapun yang menandakan bahwa mereka menjajakan barang-barang itu pada orang-orang di kereta. Mereka hanya mendorong dengan pelan seakan mengatakan, “Para penumpang, ada yang berminat? Beritahulan kami dan hentikan laju kereta dorong mini ini!!” Melihat aneka makanan dan minuman yang bertengger di kereta mini itu, perut dan tenggorokanku mulai sok caper. Namun aku berhasil memerangi godaan itu dengan pikiran bahwa harga barang di atas kereta biasanya jauh di atas harga pasar dan demi alasan pengiritan, aku harus mengurungkan keinginan itu.

Deal, berhasil. Aku dak jadi beli dan aku pun dak kepikiran karena aku dak sempat membeli satu pun barang di kereta dorong itu. Btw, btw, tapi aku kasian..Dua orang yang menjadi awak kereta kecil itu tampak sudah bored dengan pekerjaannya. Meski lagi-lagi, ini masih pagi. Seorang awak berjalan mundur di bagian depan kereta mini dan awak lainnya berjalan maju di bagian belakang. Begitu seterusnya mereka berjalan menyusuri gerbong-gerbong kereta yang masih bisu karena sebagian penumpang lebih memilih diam dan tidur. Setelah menyususi gerbong paling akhir, mereka akan kembali ke gerbong awal dengan posisi yang berbalik. Jika awal perempuan tadi berjalan maju, maka sekarang ia berjalan mundur mengikuti laju kereta mini, sedang awak laki-laki yang tadi berjalan mundur kini berjalan maju. Impas. Aku menikmati pemandagan itu dan mencatat satu hal di otakku; sporitivtas. Nyambung ga sech? 

Mas-mas yang duduk di sampingku ternyata turun di stasiun Jetis. Setelah di turun, kami merayakan kemerdekaan dengan menjepret beberapa moment. Hehehe. Dari tadi masih ragu-ragu yang mau jeprat-jepret. Ga enak kalo si mas-mas ga diajak. Hahahaha..Nakal mode:on. Oya, ada satu hal lagi yang lupa kuceritain. Di tengah perjalanan—aku lupa sampai di mana—ada seorang awak kereta yang memeriksa karcis yang kami miliki. Sayang ia tampak terburu-buru dan hanya memberikan tanda—ga penting—bagi tiket yang kami miliki. Kenapa aku bilang dak penting? Ya, karena awak—yang mengenakan topi gaya kayak punya Police meski beda warna itu—tidak sedikitpun membaca tiket kami. Ada berapa orang yang membeli tiket itu, ke mana tujuan kami, dan lain sebagainya. Bukan urusanku sich, toh aku dak curang. Aku bilang dak penting ya karena sangat banyak kemungkinan untuk curang karena mr. cek itu hanya asal. Andaikan saja aku bertiga hanya membayar seharga sebuah tiket pada mba-mba di loket tiket lalu mengatakan pada mr. cek bahwa selembar kertas itu untuk kami bertiga, tentu hal tersebut akan dengan mudah terjadi. Tapi ya, itu, aku kembali mengandalkan teori lamaku bahwa tidak ada yang bisa menggantikan ketenangan batin. Senakal-nakalnya aku, aku pasti ga akan tenang dan bisa nikmati perjalanan jika hanya membayar satu tiket untuk tiga orang. Iya misalane mr. ceknya asal seperti yang aku temui pagi itu, nach jika misalnya ndak? Bagaimana? Jangan sampai aku mencatat sejarah kelam dalam perkeretaapian Indonesia. Hahahaha

Saat kereta untuk yang ketiga kalinya memperlambat lajunya, aku dan kedua temenku bersiap-siap turun dan mengemasi bawaan. Masing-masing kami hanya membawa satu tas, jadi kemungkinan akan ada yang ketinggalan sangatlah kecil. Apalagi kami akan saling mengingatkan. Hehehehe. Turun dari kereta, aku kembali bertemu stasiun. Statsiun Kutoarjo namanya. Stasiun keempat yang aku temui pagi itu. Di mana-mana pemandangannya kurang lebih sama. Ada plang besar yang menunjukkan nama sebuah stasiun, kursi-kursi yang berderet panjang dan telah diduduki berbagai macam manusia dengan tujuan yang berbeda-beda, loket karcis, para pemilik jasa angkutan, dan orang yang berlalu lalang menjinjing tujuannya masing-masing.

Di stasiun ini, Jenghol yang paling berpengalaman-lah yang menjadi penunjuk arah sekaligus berjalan paling depan. Kami bergegas menuju pintu keluar stasiun dan akan segera menemui Erma. Jenghol sibuk memberi arah dan menuntun kami, Tink2 sibuk mengirim dan menerima sms koordinatif dengan Erma, dan aku celingak-celinguk memerhatikan sekitarku dengan sesekali menyahuti tawaran tukang becak atau tukang ojek. Kami masih tidak tahu harus menunggu di mana, sebab tidak ada tempat duduk yang representatif. Saat itulah aku melihat Erma datang dengan jilbab item dan sweater pink. Kami bergegas menemui anak itu yang masih berada di luar pagar stasiun…

Doar..ketemu. Erma langsung sibuk bereskpresi dan mengatakan bahwa kereta yang kami tumpangi tidaklah sama dengan kereta Parameks kebanyakan. Sebab itulah di merasa sangsi juga untuk segera masuk ke stasiun. Erma lalu meledekku yang sejak dahulu sudah mengandaikan bagaimana rasanya naik kereta. Setalah berbasa-basi sedikit, kami langsung terpisah dalam dua motor. Tink2 dibonceng adik Erma yang namanya Hani, dan aku cenglo dengan Jenghol dan Erma. Kami bertiga pake motor Supra dan Tink2 kebagian make Mio. Jengho yang driving, lalu tumpek blek Erma dan aku. Aku duduk di paling belakang, risiko jadi orang paling tinggi dan paling kurus di antara ketiga orang yang duduk di atas Supra.

Huhuhuhuhu..Ternyata perjalanan dari stasiun menuju Erma cukup jauh. Dua puluh menitan dengan kecepatan motor 40-an km/jam. Aku mulai pegel-pegel dengan posisi yang ga pw ditambah masih harus memegang tas Jenghol di tangan kananku. Baru pertama kali dilewati dengan suasana yang tidak PW, aku merasakan waktu semakin lama berjalan. Sepanjang jalan, sesekali kami berdialog singkat untuk mengusir kelelahan dan pegel linu di masing-masing badan. Dan sebgai seorang penikmat jalan, aku seperti biasa jelalatan kiri kana. Di sekitarku banyak kulihat baliho dan poster calon kada dan wakada yang akan dipilih 30 Juli besok. Kutanya Erma, ada berapa calon yang akan memperebutkan sebuah kursi, dia ga tau. Hohohoo..Tapi kayaknya lumayan banyak. Meski mungkin belum menandingi jumlah kandidat kada di daerahku…

Akhirnya sampai juga di rumah Erma…Huhuhuhu…Cape dan pegel2…(Next.)

Senin, 05 Juli 2010

LIBURAAAAAAAAANNNN!! (1-semoga ada lanjutannya)

Sejak selese UAS tanggal 9 Juni kemaren, itulah sebenarnya moment liburan panjang dimulai. Sejak aku jadi mahasiswa, bulan Juni itu adalah start point dari long holiday yang durasinya sekitar 3bulanan. Keren tau dak sich, jadi mahasiswa. Uda masuknya jarang, liburannya puaaanjangg…Hehehehe. Btw, taun ini, sebagai mahasiswa yang akan memasuki masa-masa menjadi mahasiswa semester tua yang akan dipusingkan dengan skripsi, aku tak lagi dapat menikmati liburan seperti tahun-tahun lalu…Why? And What 4? Yap, aku harus mencurahkan perhatianku ke KKN dan segala tetek bengek dan administrasinya.

Dan hingga hari ini, urusan itu belum selesai..Masih dalam tahap persiapan bahkan…Tapi whatever lah…Aku yakin semuanya akan so so aja jika uda dijalani. Walaupun ngebayanginnya uda serem, takut, males, dll,,,tapi aku pasrahin ntar gimana-gimananya. Terus btw-btw, aku ternyata juga kejangkit demam liburann…Sebenere mepet waktunya dan bener-bener curi waktu. Tapi yaa…aku merasa ada seperangkat bagian di otak dan hatiku yang bener-bener harus direfresh,,sebab sementara waktu aku belum ingin merestartnya…

Hahahaha…apa pula tu bahasa…Jadi begini, kemarin, aku maksain diri untuk berlibur..Meski dengan budget pas-pasan dan persiapan yang dak mateng, akhirnya tu rencana terlaksana juga. Ada banyak hal yang berbeda dalam liburan kali ini. Pertama dan yang paling membuatku bener-bener merasa melihat hal yang sama sekali baru adalah karena aku menjalani liburan dengan anak kos. Bukan dengan orang-orang yang biasanya menjadi koloniku dalam hal liburan. Anak korp, anak kelas, keluarga, atau bahkan ksatria. Kali ini aku berlibur dengan tiga anak kos yang sama-sama juga tengah butuh something new buat melewati tantangan di depan yang uda tersaji meski belum utuh..

Hal kedua yang bikin beda, dan ini bener-bener bikin aku amazing mpe ga lelap tidur semalaman, adalah karena dalam momen liburan kali ini, aku merasakan pengalaman pertama nae kereta api….Heboh sendiri dan hebohin anak sekos. Ya mereka semua pada tau, aku, yang sudah setua ini dengan umur 21, ternyata masih belum pernah mencicipi pengalaman nae kereta api. Nah…jadi sekalian liburan, aku juga ingin mencicipi hal baru. Saking senengnya, aku sampe mengabadikan momen pertama kali di kamera itu dengan beberapa jepret kamera dan tiker kereta api pun aku simpen di diaryku…Hehehehe..

Yang selanjutnya yang bikin beda sebenere adalah karena aku banyak kembali pada alam, pada kehidupan, dan segala keadaan yang membuat aku kembali berpikir tentang banyak hal. Sejak pemberangkatan, aku uda sibuk bermonolog dengan pikiran dan perasaanku melihat apapun di sekelilingku. Meski bukan segalanya baru, tapi maknanya sangat sarat di telinga dan di hatiku. Asik lah..Menikmati pemandangan dunia dengan kacamata dan pandanan yang baru…

Dan tentang lokasi, kami memilih lokasi Purwerejo, lebih tepatnya Kutoarjo. HMmm…ada apaka dengan lokasi itu? Sbenere ga ada alasan penting, selain karena ada temen kos yang anak Poerjo dan akan kami sambangi rumahnya terus dari situ kami akan muter-muter berekspresi.. Deket banget ma Yk. Itu artinya tidak akan ada banyak energi, waktu dan finansial yang tersedot…So, when all preparations ready, kemarin pagi…Pas udara dan air masih berlomba untuk menjadi yang paling dingin, kami (aku, Jenghol, dan tink2) uda siap berangkat abis mandi, dandan, dan packing sekenanya. Lagi-lagi aku jadi orang terakhir yang siap dan akhirnya aku menjadi orang yang wanted, atau lebih tepatnya waited. DITUNGGU.

Apes rasanya, kami melangkahkan kaki ke luar kos pas jam setengah 7. Sepuluh menit lagi kereta berangkat…Sedang kami masih harus menikmat perjalanan ke halte bus dengan jalan kaki, nunggu bus, jalan ke stasiun, dan…masih banyak lagi tentunya. Kereta berikutnya masih akan berangkat jam setengah sembilan. Kami bimbang namun akhirnya modal nekat, berangkat dengan penuh semangat. Perlu waktu lima belas menitan untuk sampai di halte bus. Dan ketika itu, setelah membayar ongkos untuk tiga kepala, kami menunggu datanganya bus jalur A1 dari arah timur. Tak berapa lama menunggu, kami uda lihat tu bus nongol semakin lama sekamin gede dan akhirnya…..real di depan mata! Kami berebutan masuk dan mengkondisikan diri untuk mendapatkan good seat and good mind.

Masih pagi..Tak banyak orang yang sudah akan sibuk ke luar rumah, terlebih hari itu adalah hari Ahad, hari libur bersama…Hehehe…Penumpang di bus yang kutumpangi masih sedikit. Pengalaman nae bus trans ini pertama kali aku cicipi saat semester dua. Pas itu trans masi fresh graduate sehingga kami berboncong-bondong pake Trans untuk mencapai museum Sonobudoyo, demi menyelesaikan tugas mata kulia Filologi. Alhamdulillah hingga hari ini, aku kayaknya belum perna berdiri di kendaraan lumayan lux ini. Jarang juga sich, makenya.

Hal pertama yang muncul di kepalaku adalah bahwa…setiap orang punya tujuan dan rute hidup masing-masing. Untuk mencapainya, mereka memilih kendaraan terbaik dan ter-fit bagi mereka. Dan dalam kendaraan tersebut, adakalanya mereka bertemu dengan orang atau keadaan lain yang kemudian banyak mengubah terhadap rute dan tujuan kehidupan mereka selanjutnya. Aku sebenere terinspirasi oleh ucapannya Chatur pada Rancho, saat dia mengatakan, ‘kita pernah naik kereta api yang sama, tapi kita turun di stasiun yang berbeda dan memilih jalur yang juga berbeda’…

Dan di bus itu, ada dua orang yang paling sering mendiami kendaraan ber-AC itu. Yakni si pengemudi dan si kondektur. Yang paling miris adalah saat aku liat dan perhatiin si kondektur. Untunya pas itu masih pagi, jadi dia masih agak segeran sehingga rasa kasihanku sedikit terkurangi. Hehehe. Bayangin aja, dalam banyak keadaan, dia berdiri di situ. Sepanjang rute…Dengan orang berbeda yang berlalu lalang dan terkadang menyakiti perasaannya yang memang uda dilanda lelah. Setiap akan sampai pada sebuah halte, dia harus mengumumkan pada semua penumpang. Tidak ada yang menyahuti ucapannya. Terlebih jika tidak ada penumpang yang akan turun di halte itu, dia akan SERATUS PERSEN DICUEKIN. Ya aku ikut nyuekin juga. Abis mau gimana lagi. Emang bukan porsiku untuk mengajak ne orang berbicara. Sebab jika ia sedikit aja asyik dan terlibat dalam perbincangan dengan seorang penumpang, maka tugasnya bisa terbengkalai.

Aku dak tau berapa penghasilan bulanannya dari bekerja yang demikian. Cuma agaknya ya lumayan. Masalane dia bisa dapet pekerjaan itu juga melalui seleksi. Dia juga harus berpakaian rapi saat menjalankan tugas. Jadi ya…cukup terhormat lah. Uniform..Uniform…Yang kedua adalah…Si supir. Dia akan duduk di tempat yang sama selama beberapa waktu dan dia pun menjalani hal monoton itu dalam jam-jan yang lama dan membosankan. Aku sering meliriku melalaui spion kanan bus. Dia tampak sangat enjoy di tengah konsentrasinya mengemudi dan mendengarkan siaran radio…Padahal aku yakin, dia butuh temen untuk ngomong meski hanya basa-basi.

Next, sampai di halte stasin tugu, kami bertiga turun. Si kondektur sempat mengucapkan terimakasi dan kami hanya membalas sekenanya. Meski uda tugase kayak gitu, tapi dia khan pasti juga punya perasaan ga enak saat dicuekin. Hehehehe..Jadi sok kasian ma si kondektur. Next, dari halte berikutnya, aku langsung melompat ke stasiun tugu…Ne bukan kunjungan pertama sebab aku sudah pernah menginjakkan kaki di tempat ini Desember taun 2008, bareng Ksatria meski tidak untuk naik kereta…sampai stasiun, kami langsung menuju loket tempat pembelian karcis…

Aku bayangin bagaimana kerjanya calo di tempat ini. Di situ aku juga banyak mendapat tulisan-tulisan kecaman tentang calo…meski belum pernah berhadapan langsung, aku pernah mendapat sedikit informasi tentang profesi yang banyak ditemukan ini. Well, kami hanya mendapat satu lembar tiket yang bisa dipakai untuk dua orang…Aku tanyain ma mba cantik penjaga loket, dia bilang kereta Prameks belum berangkat. Bukan main senengnya kami…padahal aku tadi liat di per4an Gramed, uda jam tujuh kurang sepuluh menit. Jadi ne bener-bener wonder dan dewo fortuna banget buat kami yang menyangka bahwa kereta telah lama meninggalkan Jogja…

Seneng bukan maen, kami langsung menuju tempat pemberangkatan kereta. Dan bener juga, dak harus nunggu berapa lama, sebuah kereta dari arah stasiun Lempuyangan uda nongol…Kami cari-cari tempat dari gerbong satu ke gerbong yang lain namun ternyata sudah sangat amat banyak penumpang di masing-masing gerbong itu. Aku uda keki duluan, khawatir pengalaman pertama naek kereta malah menyakitkan dan bukannya menjadi memorable moment. Namun nasib baik masih berpihak pada kami…Kami dapet satu gerbong yang masing diisi sedikit orang…Segerala kami menyambar sebuah tempat duduk berisi empat orang yang sudah didiami seorang lelaki seumuran kami. Jenghol mengambil posisi teraman agar tidak berdampingan dengan lelaki tersebut ataupun berhadapan langsung dengan si lelaki. Sebagai pendatang kedua, aku mengambil posisi teraman kedua. Yakni di sisi laki-laki itu. Aku pikir masih mending dibanding Tink2 yang berhadapan langsung dengan si laki-laki.

Kereta pun berjalan…Lambat-lambat tapi kemudian cepat dan hingga melaju dengan kecepatan stabil. Ya ternyata kayak gitu rasanya naek kereta. Hampir tak ada suspense yang kurasakan saat mengendarai bus. Nek pake bus, aku pasti harus selalu memastikan wajah si supir dari spion kanan bus untuk meyakinkan bahwa wajahnya bisa menjamin dapat membawaku sampai ke tujuan…Hehehe..Aku emang was-was dalam masaah driving dan riding. Bukan karena kecelakaan yang pernah kualami, sebab aku emang—bisa dibilang—tak pernah mengalami kecelakaan serius..Paling mentok ya, jatuh dan terpisah beberapa centimeter dari maut.

Paling takut pas lagi nyalip Takut banget plus banget takut. Apalagi pas kecepatan penuh dan ugal-ugalan. Aku bisa ga lelap tidur dan menikmati perjalananku…Hal terparah yang menjadi sebab was-wasku adalah pada saat aku melihat supir bus Sby-Madura dengan enaknya telpon-telponan, mengemudikan kendaraan dengan kecepatan penuh, nyalip-nyalip sekenanya, dan then…Untungnya selamat!! Naek kereta bisa dikatakan lumayan stabil kecepatannya. Jika laju kereta uda pelan, tu berarti si masinis uda tau bahwa statsiun berikutnya sudah hampir mendarat di hadapan matanya. Cuma ada juga yang bikin ngeri, yakni ketika sebuah kereta tengah berlawanan arah dengan kereta lain. Ya relnya beda, cuma suspensinya jadi naek dan otomatis detak jantungku juga semakin tinggi.

Beberapa kasus nyata yang pernah kutonton dan film-film fiktif yang juga menceritakan kecelakaan kereta (biasane karena relnya ada trouble) cukup bikin aku was-was dan takut untuk nae kereta. Belum lagi isu bahwa kereta adalah sarang empuk pada pengutil untuk beraksi. Tapi keinginan dan rasa penasaranku ternyata lebih besar dari semua ketakutan yang sebenarnya kurang beralasan itu…Hal lain yang membedakan bus sama kereta adalah bahwa aku merasa lebih kembali pada alam saat nae kereta. Barangkali rute yang ditempuh kereta adalah rute-rute yang cukup sepi dilalui kendaraan bermotor, sehingga emang di tempat-tempat sepi yang menjadikan sunyi sebagai rajanya.

Dan yang juga nongol di pikiranku adalah bahwa..selama ini—seingatku dimulai dari perjalanan pulang dari Pare dulu, Ramadhan 2005, aku selalu mengalah pada kereta yang akan melaju. Perjalananku tersita beberapa menit untuk mempersilakan kereta melewati jalurnya. Serasa angkuh dan sok-sokan. Dan kali ini, akulah penumpang kereta yang menerima waktu-waktu privelege dari semua pengendara kendaraan bermotor yang diam sejenak untuk mempersilakan keretaku lewat. Impas kalo gitu. Meski porsinya masih jauh berbeda…Satu lagi tentang kereta, dalam beberapa interval waktu yang kadang kurasa acak, ada suara berdecit dari arah rel. Aku dak tau itu apa…yang jelas aku hanya merasakannya pada perjalanan berangkat, tidak pada perjalanan pulang..