Every events call out for a story. Itu teoriku, sesederhana apapun event itu. Jangankan event, sebuah pikiran atau perasaan yang nangkring sebentar di kepala kita juga memiliki sebuah alur yang akan terasa menarik jika ditelusuri dan diurutkan. Dan karena semua apa yang kita tulis akan memiliki pembaca, maka tidak berlebihan jika di sela kesibukan dan kemalasan, kita menyempatkan diri untuk sesekali bertutur dan bergulat dengan pikiran serta tuts-tuts keyboard…
Well, cerita kali ini datang dari sebuah rumah kecil dengan dua kamar yang terpisahkan oleh hijab setengah reot,,Aku belum tau jelas lokasi rumah itu untuk memberikan deskripsi yang enak..Tapi yang jelas rumah itu masih pake style rumah kuno kayak punya mbah di rumah. Sebuah rumah dengan satu ruangan besar yang dipisahkan sekat-sekat untuk menjadi pembatas antaruangannya. Rumah tersebut terletak di RW 10 Pawirodirjan Gondomanan Yogyakarta.
Nah, uda nyambung khan, dengan maksduku? Aku akan kembali menulis sebuah episde cerita tentang episode KKN yang uda kutunggu-tunggu kapan selesenya. Kali ini tentang suasana dari beskempku yang berbeda namun juga bergaya. Jadi…setelah melewati beberapa proses dan deal-deal, akhirnya aku dkk sepakat untuk menyewa lokasi itu sebagai beskemp KKN kami.
Hal pertama yang bikin beda dan mungkin akan menjadi kenangan adalah..Karena di rumah tersebut, kami tidak menggunakan mesin pemompa air yang biasa dimajas-metonimiakan menjadi SANYO. Lha terus piye? Ya air dari sumur bisa sampai ke bak mandi hanya dengan satu cara dan satu instrument, yakni TIMBA. Wooooooaaa..Keren banget coba. Jadi bisa dibayangin, jika tidak ada orang yang mau sedikit bergulat dengan kejenuhan dan kelelahan saat nimba, bak air tidak akan terisi dan itu artinya..peran air sebagai sumber utama kehidupan (dalam pelajaran IPA kelas 3 SD) akan terhambat…
Makanya jangan salah, pilihan untuk ber-KKN di kota tidak bisa langsung dijudge sebagai pilihan yang tidak menantang. ITU SALAH BESAR. Ya, bukannya setiap tempat yang dipijaki manusia adalah tambang pengalaman dan pengetahuan yang akan memuaskan dahaga siapapun yang mau mengeksploitasinya? Dan di tempat ini, aku dkk juga kembali pada alam..Salah satunya adalah dengan adanya ritual timba ini…jadi semangat gotong royongnya cukup bisa dioptimalkan. Yayayaya, meski aku keseringan melihat Roby—lagi-lagi dia—yang mengisi bak mandi dengan air dari sumur menggunakan timba.
Tak salah jika kemudian Dyan mengatakan bahwa bagi Roby, KKN itu adalah Kuliah Kerja Nimba. Jane ya terserah mau diplesetin apa aja dan diartiin gimana ajah. Ada banyak kemungkinan yang tidak bisa diteorikan, kemngkinan yang mungkin didapatkan mereka yang mau bener-bener melihat kehidupan…Aku dewe baru sekali melakukan ritual ini. Itupun hanya ketika aku akan mencuci senampan gelas yang biasanya dipake aku dkk untuk meneguk air dari sebuah dispenser yang teronggol bersahaja bersama sebuah galon…
Karena adanya timba inilah, maka air di bak mandi pun terasa punya sensasi beda. Lebih menyejukkan dan menentramkan bagi kepala-kepala yang masih mulai belajar mengakrabi suasana baru dan orang-orang dengan karakter yang berbeda. Aku dewe merasakanya. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan air di kosku apalagi air di Surabaya ato Semarang…Dinginnya menyejukkan dan sejuknya mendinginkan…
Yang kedua, adalah adanya benda kecil mungil berwarna putih milik Dyan yang berhasil merubuhkan semua tapak dan batas. Heheheh..Apakah itu? Benda itu bernama modem. Baik nian si Dyan, memasrahkan modemnya untuk dieksploitasi seutuhnya oleh temen-temen barunya. Alhasil benda kecil itu menjadi benda most wanted bagi sebagian besar temen-temenku dan tentunya aku sendiri. Yang dilakuin ya ga jauh2 dari jejaring sosial..hehehehehe…Terjadilah rutinitas antri dan shift untuk melototin mata di depan layar monitor yang ga kunjung stabil meski uda dibantu dengan stabilizer,,,hehehe.
Internet memang hebat, mengukuhkan hegemoni globalisasi untuk menjadikan dunia seperti kecamatan Gondomanan yang hanya bisa diakses dengan beberapa klik. Dengan duduk manis di ruangan keci itu, aku dkk sudah bisa berselancar ke mana-mana, melewati tawaran hitam-putih yang datang silih berganti di depan mata kami…memanjakan mata dengan pemandangan-pemandangan yang lahir dari kreasi makhluk sejenis kami, berdecak, kagum, mengumpat, tertawa, cekikian sendiri, dan mendadak menjadi AUTIS—ini bahasa mas Zaki—dan mengacuhkan siapapun yang berada di sampingnya. Seolah dunia hanya diisi oleh seperangkat komputer di depan mata…
Yang ketiga adalah budaya atau tradisi menitip beli nasi lalapan di warung sebelah. Dalam hal ini, kami juga mau tidak mau terlibat dalam ritual makan bersama yang semakin mempererat pertemanan dan kekompakan. Buat aku makan bersama bisa mengisi perut dan memperkukuh emosi. Tapi sayangnya dalam ritual ini, para cowo2 memiliki hobi yang tidak perlu dilestarikan, yakni MENITIP NASI DAN TIDAK MAU JALAN SENDIRI. Sindrom ini paling parah melanda Pak Ketum. Adapun yang lain, seperti Ino, Huda, dan Mas Sabil, sepengetahuanku, sudah pernah mengorbankan tenaga dan waktu untuk bisa membeli nasi dengan menggunakan KAKI dan uang sendiri.
Dalam hal ini, aku rasa aku dan Bk Cici adalah pelopor yang memberanikan diri untuk membeli nasi di tempat itu. Pas itu malem…Aku dan Bak Cici uda mulai kelaparan tapi belum tepat untuk segera meninggalkan posko. Akhirnya kami menyisir daerah sekitar dan menempatkan warung yang cukup representatif dan ekonomis. Dari situlah semuanya bermula…banyak yang akhirnya mengikuti jejak kami. Hehehehe… Oya, dalam hal titip-menitip nasi, nama Wanda juga tidak boleh dilupakan. Ibu bendahara ini juga kerap menerima titipan dari temen-temen yang ingin mengisi perut secepatnya. Wanda bahkan pernah beberapa kali membelikan nasi di luar tempat langganan kami ituuuuuuu,,,
Yang keempat, dan mungkin yang terakhir—jika tidak dilanjutkan—adalah adanya perokok aktif yang sangat merugikan perokok pasif. Yang paling dirugikan, sejauh ini adalah Dyan dengan asmanya terus Vita dan Fikri yang kerap batuk-batuk. Aku dewe uda berusaha sedkit berkompromi dengan keadaan itu, karena aku tau ada beberapa temen yang sebenernya memiliki kebutuhan yang lebih urgen untuk dihindarkan dari asap rokok itu. Adapun para perokok aktif, juga tidak memiliki pilihan banyak. Rokok, bagi mereka, mungkin seperti pulsa sms buat aku. Dibilang egois sech, iya juga..meski ga sepenuhnya. Lha gimana lagi wong mereka uda addicted alias kecanduan…
Perokok pasif garda depan adalah Mas Sabil dan Mas Zaki. Mereka hampir selalu merokok setiap waktu. Frekuensinya kurang lebih sama. Meski merk rokoknya berbeda. Seperti beberapa perokok lain yang aku kenal, mereka biasanya WAJIB merokok selepas makan. Barangkali seperti kecanduanku tidur kalo uda larut malam. Sedang perokok lain yang terbilang belum begitu MILITAN adalah Paijo dan Wildan. Mereka hanya sekali-kali merokok, tidak sesering Mas Sabil dan Mas Zaki…Yang laen aku belum tau…
Dan sebagai epilog, aku mungkin ingin memberikan deskripsi yang cukup representatif—semoga tidak ada yang tersakiti karena aku sudah mengenyahkan engeri negatifku sejenak—ya setidaknya bagi AKUUUUU
Most connected with Mas Sabil dan Mas Zaki: SMOKING
Wanda: Ngitung uang, tersenyum, dan nagih uang mingguan
Wildan: Nitip nasi lauk tahu-tempe
Ino-Vita: Bergulat dengan rubik
Fikri: Jeprat-jepret
Paijo: Browsing, bantuin Roby di depan laptop
Roby: Duduk di depan laptop, shalat jamaah ke masjid
Mb Cici: Sll ngasih bimbel malam
Huda: My tribe; Maduraniezzzz..
Aku: [dikosongkan]
0 comMentz:
Posting Komentar