Setelah lepas dari stasiun tugu, kereta mulai mempercepat lajunya sehingga aku bener-bener merasa terbawa oleh keadaan. Di kursi berisi empat orang itu, aku --dan kedua temenku mendadak menjadi orang kalem—padahal di kos bisa jadi nominasi miss cerewet—yang speechles dan kehabisan kata-kata, meski hanya untuk satu dua buah kalimat. Masing-masing lebih sibuk dengan hape yang sama-sama bermerk Nokia. Untuk yang kesekian kalinya aku membenarkan teori bahwa…hape, di balik semua kemudahan dan fiturnya yang menawan, cukup mampu menjadi alasan untuk menjustifikasi sikap individualisme penggunanya, terutama dalam hal menjaga jarak dengan orang yang berada di sebelahnya. Hal ini sering kutemui dan bahkan kualami sendiri. Pas lagi kuliah, forum, rapat, atau bahkan lagi seminar, banyak peserta yang kadang lebih memilih bercengkrama dengan hapenya…dibanding orang-orang yang seforum dengannya.
Dan dalam kejadian pagi itu, ada dua alasan yang membuat para sesepuh kos Lapan A (Aku, Jenghol, dan Tink2) berdiam diri seakan tak pernah mengenal kata-kata. Yang pertama karena kami lelah setelah melewati momen-momen menengangkan sejak dari kos sekaligus mempersiapkan energi buat berlibur ntar, dan yang kedua adalah karena ada orang di tengah-tengah kami yang juga pndiam. Dia lebih sibuk fesbukan di hapenya. Menggelar pembicaraan di kereta api dan di kendaraan umum apapun akan cukup mengganggu penumpang lain, sebab itulah kami bertiga masih menegakkan kode etik penumpang angkutan umum. Kalaupun berbicara, itu sangat terpaksa dan biasanya hanya terjadi dalam dialog pendek yang terdiri dari satu jawaban dan satu pertanyaan, semisal “Jeng, ini sampai mana?” yang kemudian dijawab, “Masih menuju Wates”. Wis…
Pas baru duduk di kereta aja, dengan surprising face, Jenghol bertanya pada mas-mas yang duduk satu kursi dengan kami. Ia menanyakan apakah kereta yang kami tumpangi adalah kereta Paramek, dan mas-mas itu hanya mengiyakan dengan gayanya yang super simpel…Sebagai orang yang paling sering mengendarai Parameks di antara kami bertiga, Jenghol menyangsikan apakah kami masuk di kereta yang benar. Ia bilang bahwa kereta Parameks trayek Solo-Kebumen ini biasane tidak memiliki face to face seat untuk empat orang seperti yang kami tumpangi ini. Tapi ternyata emang ada berbagai macam seat di kereta Parameks. Yang banyak mungkin adalah kereta dengan seat yang biasa. Satu gerbong berisi beberapa kursi yang berhadap-hadapan, tidak dengan kualifikasi empat orang seperti yang kami duduki saat itu. Dan pagi ini, kami menikmati seat yang mungkin masih sangat sedikit dimiliki kereta Parameks..
Seat yang demikian aku jumpai dalam beberapa film yang aku tonton. Yang paling aku inget adalah seat empat orang di film HP yang biasanya dishoot saat menggambarkan perjalanan menuju Hogward. Selain itu yang di film Paa, terus di videoklipnya Gita Gutawa yang Harmoni Cinta. Aku masih sibuk bertarung dengan pikiran dan pertanyaanku yang berjalan seiring laju kereta. Aku inget segala hal tentang kaidah dalam bepergian menggunakan angkutan umum. Di antaranya adalah tidak mudah menerima bantuan dan makanan dari orang yang belum dikenal dan selalu waspada terhadap barang bawaan. Semua kaidah itu sudah aku hafal di luar kepala dan selalu aku terapkan setiap kali aku jalan pake angkutan umum…
Sibuk berpikir dan mengamati keadaan sekitar sambil sms-an dengan beberapa nomor di hapeku, mata nakalku tertuju pada sebuah barang imut yang dipangku oleh mas-mas di sampingku. Benda itu kecil, keselip, namun masi nongol dikit-dikit…Aku mengecek penglihatanku untuk memastikan benarkan barang yang kulihat itu adalahhhh…Hoahoahoahoa..ternyata bener, barang yang dijadikan gantungan kunci oleh mas-mas di sampingku adalah DOT BAYI. Aku menahan tawa dan segera mengalihkan perhatian ke hapeku, khawatir cekikika kecil yang berusaha kututupi terdengar olehnya dan kemudian ia tersinggung. Entah, hari itu aku rasanya tidak ingin menyakiti hati dan menyinggung perasaan siapapun.
Aku membaca sms yang masuk di hapeku, ternyata dari Tink2. Dia rupanya juga tengah menahan tawa melihat gantungan kunci orang sok kul di sampingku yang ternyata adalah dot bayi. Dapat support dari Tink2, aku semakin tak bisa menahan tawaku. Melihat wajahnya yang luar biasa menahan tawa seakan menjadi impulsku untuk semakin tak berdaya menahan tawa di tengah kelucuan itu. Asing rasanya harus menahan tawa di tenga kejadian real di depan mata yang seratus persen lucu, biasanye di kos aku akan berekspresi habis-habisan saat ada yang lucu. Tapi, sekali lagi demi kode etik, aku berusaha agar mas-mas itu tidak mengendus bahwa kami tengah menertawai barang kecil yang—mungkin—menjadi kebanggannya.
Wis, selesai urusan dot kecil itu. Kami harus menyudahi tawa karena semakin lama, intensitas kelucuan itu terasa semakin kecil. Ya, karena kami sudah tau. Beda banget dengan pas pertama kali tau. Seperti itulah keajaiban waktu yang disadari oleh Andrea. Waktu bisa menjadi perantara untuk mengubah status suatu hal. dalam kasus kami, dengan hanya menggunakan beberapa menit, waktu sudah bisa sedikit demi sedikit mengikis rasa lucu itu dan akhirnya…serasa hilang meski masih berbekas. Pikiran yang sleanjutnya timbul adalah spekulasi mengapa dot kecil itu tampak sangat amat dibanggakan oleh si mas-mas. Hehehe…
Untuk sampai ke Kutoarjo, kami harus melewati dua stasiun, yakni stasiun Wates dan Jenar. Dak jauh amat jadinya, hanya membutuhkan waktu sekitar satu jaman. Jenghol bahkan bilang kalo dia merasakan laju kereta ini lebih lambat dari laju standar. Aku dak bisa banyak komen, sebab ini pengalaman pertama nae kereta. Jadi aku dak bisa banding-bandingin dengan pengalaman pribadi, paling banter hanya mengingat beberapa hal yang bisa aku identikkan dengan apapun yang mampir di mataku pagi itu.
Saat kereta melintasi sebuah sungai atau apapun yang berbentuk kolam aer dengan bermacam skalanya, ada perbedaan bunyi yang kurasakan. Begitu kentara di telingaku sebab aku bisa sangat merasakan perbedaan bunyi antara moment sebelum dan sesudah dengan saat melintasi perairan di bawah kami. Hal yang berbeda kurasakan saat mengendarai bus di jembatan Suramadu. Karena jembatannya cukup panjang, maka perbedaan itu hanya terasa pada saat baru memasuki area jembatan dan pada saat akan keluar dari jembatan. Kejadian ini mnegingatkan aku pada masa kecil dulu. Duluuuu..saat akan berangkat atau pulang sekolah, aku harus melewati sebuah jembatan di sebelah timur rumahku. Saat sepeda motor yang dikendarai ayahku—dan aku di belakangnya sibuk berceloteh—melintasi jembatan (yang berarti di bawahnya ada perairan), aku merasakan suara sepeda motor itu sedikit berubah dan kemudian normal kembali saat aku sudah keluar dari area jembatan.
Ya, itulah deskripsi singkat orang yang asing dengan dunia fisika. Apapun lah, istilahnya, tapi saat aku mendengar bunyi yang berbeda itu, detak jantungku akan sedikit lebih kencang sebab aku akan teringat pada film-film yang pernah kutonton. Bagaimana jika jembatan ini ambruk saat kendaraan yang aku tumpangi ada di atasnya, lalu akan megap-megap sendirian karena dak bisa berenang. Ya, bener-bener khayalan yang kadang terlalu berlebihan..
Well, pemandangan lain di kereta pagi itu adalah saat ada dua orang menggunakan troli besar lengkap dengan roda di masing-masing sudutnya yang menjajakan makanan, minuman, serta koran pada semua penumpang kereta. Dua orang ini tidak mengucapkan sepatah katapun yang menandakan bahwa mereka menjajakan barang-barang itu pada orang-orang di kereta. Mereka hanya mendorong dengan pelan seakan mengatakan, “Para penumpang, ada yang berminat? Beritahulan kami dan hentikan laju kereta dorong mini ini!!” Melihat aneka makanan dan minuman yang bertengger di kereta mini itu, perut dan tenggorokanku mulai sok caper. Namun aku berhasil memerangi godaan itu dengan pikiran bahwa harga barang di atas kereta biasanya jauh di atas harga pasar dan demi alasan pengiritan, aku harus mengurungkan keinginan itu.
Deal, berhasil. Aku dak jadi beli dan aku pun dak kepikiran karena aku dak sempat membeli satu pun barang di kereta dorong itu. Btw, btw, tapi aku kasian..Dua orang yang menjadi awak kereta kecil itu tampak sudah bored dengan pekerjaannya. Meski lagi-lagi, ini masih pagi. Seorang awak berjalan mundur di bagian depan kereta mini dan awak lainnya berjalan maju di bagian belakang. Begitu seterusnya mereka berjalan menyusuri gerbong-gerbong kereta yang masih bisu karena sebagian penumpang lebih memilih diam dan tidur. Setelah menyususi gerbong paling akhir, mereka akan kembali ke gerbong awal dengan posisi yang berbalik. Jika awal perempuan tadi berjalan maju, maka sekarang ia berjalan mundur mengikuti laju kereta mini, sedang awak laki-laki yang tadi berjalan mundur kini berjalan maju. Impas. Aku menikmati pemandagan itu dan mencatat satu hal di otakku; sporitivtas. Nyambung ga sech?
Mas-mas yang duduk di sampingku ternyata turun di stasiun Jetis. Setelah di turun, kami merayakan kemerdekaan dengan menjepret beberapa moment. Hehehe. Dari tadi masih ragu-ragu yang mau jeprat-jepret. Ga enak kalo si mas-mas ga diajak. Hahahaha..Nakal mode:on. Oya, ada satu hal lagi yang lupa kuceritain. Di tengah perjalanan—aku lupa sampai di mana—ada seorang awak kereta yang memeriksa karcis yang kami miliki. Sayang ia tampak terburu-buru dan hanya memberikan tanda—ga penting—bagi tiket yang kami miliki. Kenapa aku bilang dak penting? Ya, karena awak—yang mengenakan topi gaya kayak punya Police meski beda warna itu—tidak sedikitpun membaca tiket kami. Ada berapa orang yang membeli tiket itu, ke mana tujuan kami, dan lain sebagainya. Bukan urusanku sich, toh aku dak curang. Aku bilang dak penting ya karena sangat banyak kemungkinan untuk curang karena mr. cek itu hanya asal. Andaikan saja aku bertiga hanya membayar seharga sebuah tiket pada mba-mba di loket tiket lalu mengatakan pada mr. cek bahwa selembar kertas itu untuk kami bertiga, tentu hal tersebut akan dengan mudah terjadi. Tapi ya, itu, aku kembali mengandalkan teori lamaku bahwa tidak ada yang bisa menggantikan ketenangan batin. Senakal-nakalnya aku, aku pasti ga akan tenang dan bisa nikmati perjalanan jika hanya membayar satu tiket untuk tiga orang. Iya misalane mr. ceknya asal seperti yang aku temui pagi itu, nach jika misalnya ndak? Bagaimana? Jangan sampai aku mencatat sejarah kelam dalam perkeretaapian Indonesia. Hahahaha
Saat kereta untuk yang ketiga kalinya memperlambat lajunya, aku dan kedua temenku bersiap-siap turun dan mengemasi bawaan. Masing-masing kami hanya membawa satu tas, jadi kemungkinan akan ada yang ketinggalan sangatlah kecil. Apalagi kami akan saling mengingatkan. Hehehehe. Turun dari kereta, aku kembali bertemu stasiun. Statsiun Kutoarjo namanya. Stasiun keempat yang aku temui pagi itu. Di mana-mana pemandangannya kurang lebih sama. Ada plang besar yang menunjukkan nama sebuah stasiun, kursi-kursi yang berderet panjang dan telah diduduki berbagai macam manusia dengan tujuan yang berbeda-beda, loket karcis, para pemilik jasa angkutan, dan orang yang berlalu lalang menjinjing tujuannya masing-masing.
Di stasiun ini, Jenghol yang paling berpengalaman-lah yang menjadi penunjuk arah sekaligus berjalan paling depan. Kami bergegas menuju pintu keluar stasiun dan akan segera menemui Erma. Jenghol sibuk memberi arah dan menuntun kami, Tink2 sibuk mengirim dan menerima sms koordinatif dengan Erma, dan aku celingak-celinguk memerhatikan sekitarku dengan sesekali menyahuti tawaran tukang becak atau tukang ojek. Kami masih tidak tahu harus menunggu di mana, sebab tidak ada tempat duduk yang representatif. Saat itulah aku melihat Erma datang dengan jilbab item dan sweater pink. Kami bergegas menemui anak itu yang masih berada di luar pagar stasiun…
Doar..ketemu. Erma langsung sibuk bereskpresi dan mengatakan bahwa kereta yang kami tumpangi tidaklah sama dengan kereta Parameks kebanyakan. Sebab itulah di merasa sangsi juga untuk segera masuk ke stasiun. Erma lalu meledekku yang sejak dahulu sudah mengandaikan bagaimana rasanya naik kereta. Setalah berbasa-basi sedikit, kami langsung terpisah dalam dua motor. Tink2 dibonceng adik Erma yang namanya Hani, dan aku cenglo dengan Jenghol dan Erma. Kami bertiga pake motor Supra dan Tink2 kebagian make Mio. Jengho yang driving, lalu tumpek blek Erma dan aku. Aku duduk di paling belakang, risiko jadi orang paling tinggi dan paling kurus di antara ketiga orang yang duduk di atas Supra.
Huhuhuhuhu..Ternyata perjalanan dari stasiun menuju Erma cukup jauh. Dua puluh menitan dengan kecepatan motor 40-an km/jam. Aku mulai pegel-pegel dengan posisi yang ga pw ditambah masih harus memegang tas Jenghol di tangan kananku. Baru pertama kali dilewati dengan suasana yang tidak PW, aku merasakan waktu semakin lama berjalan. Sepanjang jalan, sesekali kami berdialog singkat untuk mengusir kelelahan dan pegel linu di masing-masing badan. Dan sebgai seorang penikmat jalan, aku seperti biasa jelalatan kiri kana. Di sekitarku banyak kulihat baliho dan poster calon kada dan wakada yang akan dipilih 30 Juli besok. Kutanya Erma, ada berapa calon yang akan memperebutkan sebuah kursi, dia ga tau. Hohohoo..Tapi kayaknya lumayan banyak. Meski mungkin belum menandingi jumlah kandidat kada di daerahku…
Akhirnya sampai juga di rumah Erma…Huhuhuhu…Cape dan pegel2…(Next.)
0 comMentz:
Posting Komentar