Well, aku mau cerita dulu bagaimana keadaan siang itu..Siang pada hari pertama kuliah yang terasa sangat membosankan. Sudah menjadi rutinitas sich..Tapi entah mengapa aku belum merasa terbiasa dan mampu menghadapi hantu bernama kemalasan itu. Tetep aja waktu terasa berjalan sangat lelet. Mendengarkan ceramah dari seorang dosen dengan materi yang cukup asing buat aku, dengan metode yang kurang bikin aku comfort, dengan jadwal yang juga kurang bersahabat, dan suasana kelas yang lagi-lagi dak juga mau bersahabat denganku.
Jadi hari itu, aku uda uring-uringan duluan karena membayangkan suasana yang itu-itu saja dan keadaanku yang tak kunjung membaik. Tapi ya mau dak mau, suka dak suka, aku tetep harus mengayunkan kaki dan melangkah…Walaupun langganan terlambat, yang penting aku uda cukup berusaha untuk tepat waktu. Dan siang itu, pertama kalinya dalam sejarah dunia, aku datang mendahului bapak dosen itu..Dari situ aku kemudian semakin meyakini bahwa ada banyak manfaat yang bisa aku ambil jika aku mempercepat jam di hpku. Jadi kesannya aku tidak akan males-malesan lagi dan tidak akan mendegar ceramah dari hatiku sendiri, tentang aku yang ga disiplin waktu, ga bisa menghargai waktu, orang yang hanya bisa membaca surat al-ashr, dan lain-lain.
Masuk kelas, temen2 belum pada dateng. Bapak dosen tu ndak biasanya bawa sound kecil. Tu artinya bakal ada yang laen dalam kuliahnya hari ini. Audiovisual tentunya. Aku segera mencari posisi yang enak, sebab kata Yudi, posisi menentukan prestasi. Hehehe. Jadi bener juga, sesudah basa-basi dikit, bapak tu kemudian bilang bahwa ia tidak akan menghadiri MK selama dua pertemuan (sampai di sini, aku bersorak kegirangan, dalam hati…), dan karenanya, dua pertemuan MK itu akan diganti dengan tugas. Tugasnya sederhana; me-review film atau dokmentasi PKL anak SA di gunung Kemukus. Hm…Aku pernah denger nama ini, kalo ndak salah pas rapat di jurusan. Pas itu aku jadi panitia sosialisasi jurusan saat ada lomba gerak jalan antarSMA se-DIY. Jadi salah satu anggota rapat mengusulkan pemutaran film gitu…Nah filmnya ya ini…Saat itu aku dak sempet liat, karena aku kebagian di tempat jual minuman depan Pusba, bukan di stand depan MP.
Apa ya, kesan pertamaku? Kesan pertamaku ya..TANYA. Apaan sich, Kemukus nech? Abis gitu, aku harus merelakan waktu terasa berjalan sangat lambat saat laptop tu dosen dak konek-konek ke layar. Uda dicoba berkali-kali, tapi tetap ndak bisa. Tu dosen sampe naek turun kursi untuk ngidupin ohp. Tapi tetep aja di layar bacaannya no signal. Nach, kami semua hanya bengong ngeliat dosen tu. Lebih tepatnya prihatin namun tidak mau ambil tindakan. Kasian banget sebenernya. Tapi ya, karena pada akhirnya bisa konek, konsentrasiku kemudian beralih pada film itu. Palagi pas dosen tu wanti-wanti, film ini dak akan diulang dan bahwa kami tidak akan diberi filenya. Gitu katanya. Jadi aku harus full attention gitu.
Openingnya dak langsung ke dokumentasi PKL tu, tapi masih ada dokumentasi demo2 mahasiswa SA pas jurusan SA mau ditutup. Prediksiku sich..Sebab aku taunya cuma kayak gitu. Baru pas 2008, jurusan SA dibuka kembali. Sebelumnya katanya sempat ditutup, entah kapan dan kenapa. Padahal menurut aku ne jurusan ok juga, setidaknya sebagai manifestasi dari integrasi interkoneksinya Pak Amien gitu…Jadi khan agama dak hanya berdiam di menara gading doktrin dan normativitas2, tapi juga berada di tengah-tengah fenomena apapun dalam kehidupan masyarakat. Udah ah, ceramahnya. Di dokumentasi itu, aku hanya sempet liat bak Kiki. Keren gile emang seniorku yang satu ini. Aku kagum sama intelegensi dan retorikanya.
Dilanjutin malah tambah panjang dan digretif nech ntar. Jadi ternyata Kemukus itu adalah nama sebuah gunung di daerah Sragen. Aku taunya pas di opening. Tentang alasan penamannya aku dak gitu inget, tapi yang sempet terekam dalam ingatanku adalah bahwa Kemukus tu nama sebuah ketinggian, berasal dari kata kukus yang kemudian mendapat sisipan.. Jadi pas ngasih gambaran awal, dosenku tu mengatakan bahwa di gunung ini ada semacam ritual mencari pesugihan yang dipercaya mujarab oleh masyarakat. Banyak mungkin tempat-tempat yang kayak gitu. Tapi yang bikin beda adalah karena gunung Kemukus ini ternyata tidak hanya menjadi tempat mencari pesugihan, namun juga tempat melakukan hubungan seksual. Lho, apa hobongannya? Pensaran nda? Makanya terusin baca..
Jadi di gunung tu ada makam seorang pangeran, kalo ndak salah namanya pangeran Samudro. Suatu versi mengatakan dia adalah putra Pangeran Brawijaya, sedang versi lain mengatakan bahwa pangeran Samudera ne adalah putra raden Patah. Sintesis kreatifnya, ne pangeran adalah putra seorang raja yang memimpin sebuah kerajaan. Jadi orang-orang yang mencari pesugihan tu berziarah ke makam pangeran ne. Aku dak tau jelas apa kesitimewaan pangeran ne mpe nisan dia bisa dianggap sebagai wasilah agar pengunjung nisan ne bisa jadi kaya. Sekilas cerita yang disebutkan oleh seorang responden dalam PKL ini cuma mengisahkan bahwa pangeran ne terlibat cinta terlarang ma ibu tirinya. Nach loch? Aku jadi inget ceritane cacak tentang kisah cinta (yang lagi-lagi) terlarang antara anak dan ibu kandungnya; asal muasal gunung Tangkuban Perahu gtow. Dak tau bagaimana kisah cinta mereka, tiba2 diceritakan bahwa pangeran ne escape dari istananya dan menetap di gunung ini. Karena mungkin dia dak biasa dengan keadaan yang jauh berbeda dengan tempatnya semula, si pangeran kemudian sakit di situ.
Kabar sakitnya pangeran ne akhirnya sampai juga ke telinga warga kerajaan. Sayang, ayahnya dak mau jenguk dia ke gunung ini. Dak tau juga kenapa. Barangkali karena waktu itu, kisah cinta terlarang mereka uda diendus apa gimana. Tapi yang jelas, hanya ibu tirinyalah yang kemudian menyusul dan menjenguk pangeran yang sedang sakit tersebut. Nach…Setelah kedatangan ibu tiri sekaligus kekasihnya ne, si pangeran katanya kemudian meninggal.
Adegan awal dalam dokumenter ini cukup membosankan, salah satunya karena dokumennya yang uda rusak di sana-sini, jadi kadang masih suka putus-putus ga karuan gitu. Apalagi pas itu yang disorot adalah wawancara-wawancara dengan beberapa tokoh yang banyak tau dan atau berkaitan dengan gunung ini. Ya juru kunci lah, ya pak rt nya, pak lurah, hingga kepala dinas pariwisata. Jadi emang cukup mboseni, untung si narator suaranya enak didenger dan retorikanya bagus. Belakangan aku tau kalo narator ne ternyata bak Kiki.
Hm..jadi ada beberapa ritual yang dilakukan seorang peziarah yang mengunjungi tempat mencari pesugihan ini. Ritual2 tu seingatku adalah mengunjungi sendang Ontrowulan yang kabarnya dulu merupakan tempat si ibu tiri Pangeran Samudro mandi. Di sini katanya pengujung biasa mengambil aer gtow. Sedang Sendang yang kedua adlah Sendang Taruno, yang merupakan tempat mandi setelah melakukan hubungan seksual.
Hm…jadi gini, sebatas yang aku tangkap ajah ya…Kisah cinta Pangeran Samudro dan Ibu tirinya tu khan bernama lain perselingkuhan, jadi mungkin mereka berdua juga pernah melewatkan waktu bersama di gunung ini. Pacaran mungkin ya istilahnya. Mbuh lah, tapi yang jelas, kisah cinta mereka ini kemudian menjadi semacam justifikasi atau legalitas bagi pengunjung untuk juga mengulang cerita yang sama, dengan waktu dan aktor yang berbeda. Ya, maksudnya, salah satu bagian dari ritual untuk mendapatkan pesugihan itu adalah..melakukan hubungan sesksual dengan pasangan yang tidak resmi.
Faham ndak? Ya maksud aku, ketika berkunjung ke gunung ini dan berniat mencari pesugihan, maka semua syarat yang ada harus dupenuhi..termasuk juga melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan pasangannya. Ok, sampai di sini, mungkin aku berpikir, ini syaraf, gile, ga logis sama sekali, mana mungkin perselingkuhan dilegalkan hanya dengan alasan untuk mencari pesugihan, dan beberapa lontaran dak enak lainnya. Tapi, once more, aku tengah berada dalam kelas Antropologi Agama. Aku berkapasitas sebagai seorang peneliti yang menuturkan apa adanya, bukan apa seharusnya..jadi beberapa pikiran dan keheranan itu, bukan bahan yang akan aku masukin dalam tugas reviewku, walaupun sulit rasanya untuk tidak menyinggung hal tersebut dalam tugas itu,,(Ya, meski saat ngomong perselingkuhan dan term semacamnya, memang ada sisi hatiku yang nyerinya tak terperi. Ah lebay.)
Well, akademisi harus profesional. Jadi aku pikir, tradisi yang kabarnya sudah mengakar ini adalah salah satu manifestasi manusia yang berpikiran pragmatik dan mau segalanya serba instan. Hal ini barangkali wajar, karena persaingan ekonomi dan jerat-jerat kapitalisme uda begitu tebal di negara ini. Jadi, disebabkan juga masih belum mengendapnya kepercayaan mistis-mistis dalam masyarakat Indonesia, ritual mencari pesugihan ke gunung Kemukus ini merupakan sebuah alternatif. Ya, meski, dak ada yang instan dan mudah bener. Pengunjung dan subjek ritual ini harus sejenak membekam suara nuraninya saat melewati berbagai proses dalam ritualnya mencari pesugihan. Ya, utamanya pada proses melakukan hubungan seksual.
Nek ritual-ritual sebelumnya yow, relatif sering dilakukan oleh banyak orang. Ziarah ke kuburan orang yang dianggap berpengaruh, mandi dan mengambil air di tempat yang juga dianggap memiliki hal di luar bentuk fisikya khan emang uda cukup sering dilakukan dalam ritual-ritual lain. Tapi proses yang bisa dibilang beda ma yang laen ya proses melakukan hubungan seksual. (Ingin banget aku tulis, kalo memang yang dilakukan uda ndak bae, napa masih diikuti? Apa ndak lebih baik mencontoh sisi baik dalam diri seseorang? Tidak kemudian semua sisinya? Khan tiap orang punya dua sisi yang saling bertolakbelakang? Ooooooooopss…aku bukan pendakwah yang memandang segala hal dalam kcamata hitam putih,,Hohoho,,,)
Terus apalagi ya, yang ingin aku tulis di sini? Yang jelas aku ingin nonton tu laporan PKL lagi. Banyak hal yang belum aku fahami utuh dari fragmen-fragmen sejarahnya yang mungkin emang penting untuk diketahui. Di catatnku sich ada tulisan gini, satu nisan dua jasad. Aku lupa blas bagaimana dan siapa yang ada di nisan itu. Mungkinkan Pangeran Samudero dan ibu tirinya itu? Mengapa harus dimakamkah dalam satu liang lahat? Kayak korban bencana ajah..Nah, kayaknya ne fragmen penting. Kalo aku dak tau, dak mungkin komprehensif ntar, jadinya…Terus ada juga catatan tentang Pohon Nogosari. Yang aku inget, dari pohon ini pernah jatuh seuntai bunga yang kemudian menjadi apaaaaaa gitu.
Nah, ini lagi nech, jadi karena salah satu proses dan atau syarat yang harus dilewati dalam ritual ini adalah melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan pasangan, maka secara otomatis dan bisa diperkirakan oleh siapa saja, tempat ini kemudian menjadi semacam lokalisasi prostitusi tempet nongkrongnya PSK, pria maupun wanita yang seolah-oleh dilegalkan oleh hukum adat. Beh. Ya emang kayak gitu katanya. Jadi emang logis sich..Kalo si pengunjung bawa selingkuhannya dari rumah, mungkin jadi ga gitu berhasil ya, pesugihannya? He..mungkinkah begitu? Jadi ya…Ternyata ada fenomena lain di balik di Gunung Kemukus ini selain mencari pesugihan..kendatipun keduanya sama-sama bermotif ekonomi. Ya, suatu keniscayaan emang, kalo sudah ada syarat atau proses yang demikian, bukankah seorang pengunjung pasti akan membutuhkan seorang teman kencan yang bisa membantunya menyelesaikan semua proses dalam melakukan ritual ini?
Pertanyaannya, bagaimana respon pemerintah setempat? Tomas, misalnya juga? Wah yang ne kurang tau,,soale pihak-pihak yang diwawncarai di situ kebanyakan hanya menceritakan kisah dan asal muasal gunung ini, bagaimana eksistensinya dalam mendongkrak pendapatan daerah, bagaimana kemudian pemerintah setempat melakukan perbaikan-perbaikan struktur infrastrukutur di wilayah yang dianggap sebagai objek wisata ne, dll. Ga da satupun perbincangn yang mengarah pada legalitas prostitusi yang uda menjadi bagian tak terpisahkan gitu…
Hal lain yang bisa dilihat dari Kemukus adalah..Perselingkuhan, cinta sesaat dan atau cinta lokasi (meski aja berlanjut panjang), dan tentunya paradoksa. Paradoksa yang buat aku sebuah ironi juga. Tiap orang mungkin beda-beda menanggapinya. Tapi koq aku tetap mengherankan, bagaimana kemudian seseorang (utamanya yang uda menikah) rela mengorbankan kesetiannya pada pasangan demi mencari shortcut dalam bidang ekonomi? Belum lagi ancaman kesehatan gtow di dalam praktik kayak gituan. Ya tujuannya emang mulya, sangat mulya bahkan,, namun jika caranya demikian, masih mulyakah tujuan yang ia pegang? Dan tentang cinta serta penghianatan..sebenernya, apa hubungan antarkedua kata ini? Benarkah cinta terlahir memang untuk mendapat sebuah penghianatan? (Beh..Ini jadi tendensius kalo gne..)
Yauda biar ga nyrempet ke mana-mana, mungkin ada baiknya aku bikin epilog tulisan ini aja. Epilognya sederhana ajah dech,, seperti yang sudah biasa aku pikirkan, suatu hal dan keadaan tidak hanya memuat satu unsur. Fenomena Kemukus misalnya, ada banyak sisi di situ…Ritual, warisan sejarah, kepercayaan (atau taklid?), keyakinan, pragmatisme, pertarungan madzhab proses-hasil, ekonomi, cinta, perselingkuhan…dan akhirnya semua bermuara pada satu kata; KOMPLEKSITAS!!! Banyaknya sisi yang termuat dalam satu fenonema ini pada akhirnya berpengaruh terhadap pandangan atau penilaian kita terhadap objek yang bersangkutan. Gampangnya, Kemukus dak fair jika dilihat hanya dari sisi mencari pesugihan aja, dari sisi ekonomi aja, dan dari satu sisi-satu sisi lain yang kemudian menjebak pada sikap miopi.
0 comMentz:
Posting Komentar