Berkenalan dengan Sunan Addarimi
Oleh Masyithah Mardhatillah (07530003)
1. Opening Opinion
Hasil dari usaha kodifikasi hadist Nabi yang sampai pada masa kita dewasa ini merupakan akses ilmu pengetahuan dan sumber ajaran Islam yang sangat berharga. Selain posisinya sebagai sumber inti ajaran Islam, ada banyak sisi dalam hadist yang menarik untuk diteliti dan ditelisik lebih dalam. Misalkan saja inklusifitas hadist yang tidak hanya berbicara mengenai hal-hal normatif namun juga menggambarkan setting sosial historis masa lalu, mata rantai periwayatan hadist yang –meski rumit—namun tetap menarik untuk dikaji, klasfikasi hadist berdasarkan beberapa aspek, dan lain-lain.
Hari ini, hadist-hadist yang sudah dikodifikasi tersebut sudah siap saji dalam beberapa perangkat yang bisa dengan mudah kita akses, baik yang berupa hard copy maupun berupa soft copy dalam multimedia. Membaca hadist kemudian seperti membaca sebuah ensiklopedi normatif yang memiliki nilai legalitas yang tinggi. Hadist semakin mudah diakses dengan kemajuan teknologi. Hal ini idealnya memunculkan sebuah harapan akan kelestarian pembumian hadist di tengah masyarakat muslim.
Dalam wujud kodifikasinya, ada beberapa tingkatan yang mengurutkan beberapa kitab hadist berdasarkan kualitasnya. Pengurutan ini merupakan suatu keniscayaan mengingat hadist tidak ditransmisikan secara mutawattir layaknya Al-Qur’an. Ada beberapa macam kualitas hadist yang memang mengandaikan adanya suatu klasifikasi dalam pengemasan dan pemuatan hadist-hadist. Kebutuhan tersebut telah lama dijawab ulama’ dengan menggagas beberapa urutan kitab hadist yang masuk dalam katagori kutubussittah, yakni Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasai, Sunan Abi Daud, dan Sunan Ibnu Majah.
Di satu sisi, adanya pengurutan tersebut memang memudahkan muslimin dalam kajian ilmu hadist, utamanya dalam ranah aplikatif. Mudahnya, muslimin bisa langsung mengamalkan hadist yang ada dalam kitab-kitab berkualitas tinggi tanpa harus susah-susah mencari tau tentang kualitas masing-masing hadist. Namun begitu, adanya pegurutan tersebut senyatanya memunculkan fenomena lain, yakni tidak tercovernya kitab-kitab hadist yang sebenarnya sayang jika tidak dikaji. Katakanlah misalnya kitab yang akan dibahas dalam dialog kali ini.
Barangkali tidak banyak orang yang mengetahui atau bahkan pernah mendengar nama kitab Sunan Addarimi. Kitab ini tidak memiliki popularitas seperti kitab-kitab lain, semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam urutannya, kitab ini diposisikan sebagai kitab dengan peringkat kesembilan setelah kitab Ahmad bin Hanbal dan kitab Imam Malik. Sebab ini pulalah, barangkali tidak banyak muslimin yang mengetahui keberadaan kitab ini. Namun, tidak adakah pesona atau hal menarik yang merupakan ciri khas Sunan Addarimi dan tidak ditemukan dalam kitab lain? Benarkah kemudian kitab ini memang ansich tidak memiliki nilai lebih karena tidak termasuk dalam kutubussittah?
2. Siapakah Ad-Darimi?
Nama asli penyusun kitab hadist Sunan Addarimi adalah Abdurrahman ibnu Abdirrahman ibnu Al Fadhl ibnu Bahram Abdis Samad Addarimi. Ia memiliki nama kunyah Abu Muhammad dan namanya dinisbatkan pada Tamimy, qabilah yang menaunginya, Samarkandi, nama daerah tempat tinggalnya, dan Addarimi dari Darim Ibn Malik dari Bani Tamim.
Ad Darimi lahir pada 181 H . Hal ini berarti ia hidup semasa dengan Bukhari dan karenanya riwayat mengatakan bahwa selain Bukhari, beberapa imam hadist berguru padanya (khususnya Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi). Ia termasuk imam hadist thabaqah tertinggi. Barangkali karena semasa dengan Bukhari inilah, kitab Addarimi menjadi kurang populer, terutama jika dibandingkan dengan kitab Bukhari yang memuat hadist shahih sedang kumpulan hadistnya tidak semuanya terdiri dari hadist shahih.
Kendati begitu, hal demikian tidak lantas menunjukkan bahwa Addarimi tidak memiliki kredibilitas di bidang hafalan maupun ketekunan dalam ‘memburu’ hadist. Hal ini misalnya dapat dilihat dari track record dan trip record Addarimi. Beberapa ulama’ yang juga kredibel banyak yang memuji Addarimi dengan mengatakan bahwa ia adalah sosok yang pantas menjadi rujukan, memiliki daya hafalan yang spektakuler dan intelektualitas yang mumpuni, seorang abid yang konsisten, berkepribadian, wara’, pemerhati beberapa cabang ilmu, dan lain-lain
Ia pernah mengunjungi Khurasan, Irak, Baghdad, Kufah, Wasith, Basrah, Syam, Damasqus, Hims, dan Suwar demi kepentingan akademik, khususnya dalam bidang hadist. Setelah itu, barulah kemudian ia mengabdikan dan mengamalkan apa yang telah diperolehnya setelah kembali ke kampung halamannya di Samarkand. Sebab inilah Al-Dzahabi memberinya julukan tawafal (orang yang mengelilingi banyak negeri) kepadanya.
Addarimi menghembuskan nafas terakhirnya pada hari tarwiyah tahun 255 H setelah shalat Ashar pada usia 75 tahun. Semasa hidupnya, ia telah banyak melakukan usaha untuk mengabadikan namanya, di antaranya adalah menulis beberapa karya dalam bidang yang menjadi concern-nya, yakni kitab hadist sunan Addarimi, kitab tsulutsiyat, sebuah ensiklopedi, dan kitab tafsir. Sayangnya, karya lain milik Addarimi, selain kitab sunan-nya disinyalir tidak bisa diakses hingga saat ini karena sesuatu dan lain hal.
3. Berkenalan dengan Sunan Addarimi
Kitab kumpulan hadist yang populer dengan nama Sunan Addarimi ini berjudul asli As-Sunan Ad-Darimi Al-hadist al-musnad al-marfu’ wa al-mauquf wa al-maqthu’. Addarimi sendiri menamai kitabnya dengan alhadist al-musnad al marfu’ wa al mauquf wa al maqthu’. Melihat sedikitnya hadist yang termuat dalam kitab ini, dan secara khusus dalam masing-masing bab yang ada dalam kitab ini, ada pandangan yang mengatakan bahwa kitab ini tidak ubahnya ringkasan sunan.
Adapun latar belakang penyusunan kitab ini adalah menjamurnya bid’ah di tempat tinggal Al Darimi, yakni di Samarkand. Sunnah Nabi saat itu sudah tidak populer dan tergeser dengan keberadaan bid’ah yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat. Addarimi kemudian berinisiatif untuk menyusun kitab yang memuat kumpulan hadist agar hadist Nabi tidak ditinggalkan atau dikalahkan pamornya oleh bid’ah-bid’ah. Ia berkeinginan menyusun kitab kumpulan hadist yang diurutkan sesuai dengan bab fiqh seperti kitab-kitab ulama’ sebelumnya. Alternatif menulis kitab ini merupakan salah satu langkah Addarimi dalam memerangi bid’ah, selain juga dakwah dengan lisan. Belum ditemukan data-data yang menggambarkan bagaimana proses penulisan kitab ini.
Ada banyak kegelisahan akademik yang kami temukan ketika membenturkan sosok Addarimi sebagai seorang cendekiawan qualified dengan kumpulan hadistnya yang –bisa dibilang—memuat banyak hadist yang kualitasnya kurang baik. Idealnya, seorang cendekiawan yang juga memilki konsistensi dalam bidang agama juga akan melahirkan sebuah karya, dalam hal ini kumpulan hadist, yang berkualitas tinggi.
Dari sini, setidaknya ada beberapa hipotesis yang dimiliki penulis. Pertama, Addarimi hanya ingin mengangkat derajat hadist Nabi yang saat itu kalah pamor dengan bid’ah di daerahnya. Sehingga, beliau tidak begitu mempersoalkan kualitas hadist dan lebih mengutamakan ranah aplikatif, mengingat konsumen hadist didominasi oleh masyarakat yang awam dan atau tidak begitu mendalami hadist. Hipotesis kedua, adanya kesenjangan ini disebabkan oleh minimnya referensi yang didapatkan oleh Sunan Addarimi, jika memang beliau berkeinginan untuk mengumpulkan hadist-hadist yang shahih saja. Hal ini misalnya dapat dilihat dari posisinya sebagai ahli hadist dalam thabaqah awal.
Ada beberapa alasan mengapa kitab kumpulan hadist ini diberi nama sunan, bukan musnad atau shahih seperti nama-nama kitab kumpulan hadist lain, kendatipun Addarimi menamai kitab ini dengan musnad. Kitab ini tidak dikatakan sebagai kitab shahih, sebab tidak semua hadist yang termuat dalam hadist ini memiliki kualitas shahih. Sedangkan alasan mengapa kitab ini tidak dinamakan musnad adalah karena sistematika penulisan babnya yang menyesuaikan dengan bab-bab fiqh, sedangkan kriteria musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan sanad atau rawi. Kendati begitu, Adz-Dzahabi dan Ibnul Imad, dua sejarawan klasik lebih suka menyebut musnad terhadap manuskrip di Tendiyas, India. Penulis belum mengetahui secara pasti alasan penamaan tersebut. Akan tetapi, barangkali hal yang demikian disebabkan adanya persepsi yang berbeda dalam mendefinisikan musnad atau perubahan sistematika dari manuskrip yang bersangkutan. Selain itu, ada kelonggaran definisi yang disebutkan dalam software mausuah, yakni bahwa musnad adalah kumpulan hadist yang lengkap dengan sanadnya, tidak kemudian harus selalu berurutan sesuai sanad. Barangkali silang pendapat tersebut bisa dipertemukan dalam titik ini.
Sesuai dengan namanya, kitab ini, secara umum, memuat tiga macam hadist dengan kualitas yang berbeda. Hadist yang paling banyak termuat dalam kitab ini adalah hadist marfu’, yakni hadist yang mata rantai sanadnya sampai pada Rasulullah. Hadist marfu’ ini umumnya mendominasi bab-bab yang berkaitan dengan hukum. Dalam memberikan penjelasan sebuah hadist, Addarimi kerap menukil atsar sahabat, seperti atsar Ibnu Syihah dalam bab bersuci dan faraidl. Karena didominasi oleh hadist-hadist yang bernuansa fiqh, Addarimi juga mau tidak mau menegaskan keberpihakannya dalam fiqh, artinya dalam berbagai madzhab yang berbeda (Hal ini juga berkait erat dengan luasnya pengetahuan Addarimi dalam bidang fiqh). Selain itu, meski jarang, ia kerap kali menjelaskan alasan pemilihan diksi dan menjelaskan lafadz-lafadz yang gharib dan illat yang tersembunyi (Addarimi termasuk juga pemerhati masalah bahasa dan ahli dalam bidang illat dan ikhtilaf arruwat).
Hingga tahun 1997, ada lima cetakan sunan Addarimi, yakni:
1. Pada tahun 1293 H, pencetakan kitab ini dilakukan di Kanbower dengan tebal 467 halaman
2. Selanjutnya, Cairo kembali menerbitkan kitab ini pada tahun 1346 H dan mengemasnya dalam dua jilid kemudian diperbanyak oleh M. Ahmad Rahman.
3. Pada tahun 1404 H, dengan takhrij, tahqiq, ta’liq, Abdullah Hasyim Yamani Al-Madani di Faishal Abad berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan menghasilkan dua jilid kitab Sunan Addarimi. Pada tahun yang sama, di Cairo juga ada sebuah penerbitan yang menerbitkan kitab sunan ini, yakni percetakan Dar Ihya as-Sunnah ar-Rabiyyah dalam dua jilid.
4. Pada tahun 1405 H di Cairo, dilakukan tahqiq pada bagian ke tiga dalam disertasi doktoral setebal 1110 halaman oleh Abdul Qayyim Abdul Rabi Nabbiy al-Fakistani dengan dosen pembimbing M. Syaukani Khadr as-Sayyid.
5. Pada tahun 1412 H, Dr. Mushthafa Diib al-Bugha di Damaskus melakukan tahqiq, syarh, dan penulisan daftar isi kembali dari kitab ini.
Sistematika penulisan kitab ini tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab sunan lain yang diurutkan berdasarkan bab-bab fiqh. Bedanya, pendahuluan kitab ini memuat beberapa hal yang sedikit banyak berkaitan dengan hadist namun tidak dimiliki dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadist lain. Beberapa hal yang dimaksud adalah pemaparan mengenai kehidupan masyarakat Jahiliyah, sifat Nabi, diutusnya Nabi, peringatan untuk menjauhi bid’ah dalam hal agama, perbuatan, dan pemikiran, dan hal-hal lain yang tidak bisa dikatagorikan dalam satu tema besar sebab adanya berbagai macam pembahasan.
Kitab Sunan Addarimi ini terdiri dari 24 kitab. Masing-masing kitab tersebut terdiri dari beberapa bab, dan masing-masing bab memiliki 1 hingga 4 hadist. Nama kitab yang ada dalam sunan ini dicantumkan dalam tabel di bawah. Sedangkan nama-nama bab yang ada dalam sunan Addarimi tampak lebuh variatif, ada kalanya bab dikemas dalam bentuk khabar yang terdiri dari potongan lafadz hadist, semisal bab alwaladu lilfirasy. Jika tidak begitu, maka dikemas dalam bentuk istifham semisal bab ala ayyi suqyah yansharifu min alshalati , atau mengutip frase hadist yang termuat dalam bab tersebut. Alternatif lain adalah memberi bab dengan menyebutkan suatu pekerjaan dan menerangkan hukumnya maupun tidak menerangkan hukumnya. Hal yang demikian tentu tidak teralu sulit bagi Addarimi yang memiliki kemampuan di bidang fiqh. Ia juga memaksudkan penamaan ini agar pembaca merasa mudah mengakses hadist yang dibutuhkannya.
Berikut penulis sajikan urutan sistematika, jumlah hadist, dan nomor hadist dalam kitab sunan Addarimi
No Judul Kitab Jumlah Hadist Nomor Hadist
01 Muqaddimah 647 1 - 647
02 Al-Taharah 511 648 - 1158
03 Al Salat 404 1159 - 1562
04 Al Zakat 57 1563 – 1619
05 Al Saum 98 1620 – 1717
06 Al Manasik 145 1718 – 1862
07 Al Adahi 55 1863 – 1917
08 Al Sayd 16 1918 – 1933
09 Al At’imah 62 1934 – 1995
10 Al Asyribah 47 1996 – 2042
11 Al Ru’ya 27 2043 – 2069
12 Al Nikah 92 2070 – 2161
13 Al Talaq 32 2162 – 2193
14 Al Hudud 33 2194 – 2226
15 Al Nudzur wa Al Amin 18 2227 – 2244
16 Al Diyat 38 2245 – 2282
17 Al Jihad 45 2283 – 2327
18 Al Siyar 91 2328 – 2418
19 Al Buyu’ 96 2419 – 2514
20 Al Isti’zan 75 2515 – 2589
21 Ar Riqaq 136 2590 – 2725
22 Al Faraid 320 2726 – 3045
23 Al Wasaya 126 3046 – 3171
24 Fadail Al Qur’an 196 3172 – 3367
4. Komentar mengenai Sunan Addarimi
Meski tidak termasuk dalam kutubussittah, akan tetapi tidak bijak rasanya jika kita langsung meng-underestimate kitab kumpulan hadist ini. Apalagi, ada banyak pujian atau komentar baik yang dialamatkan pada kitab ini. Al-Ila’i,misalnya, mengatakan bahwa kitab ini seharusnya diletakkan pada urutan keenam dan menggantikan posisi Ibnu Majah dengan alasan sedikitnya rijal yang dhaief, sedikitnya hadist yang munkar dan syadz, sedikitnya rawi yang marjuh, keberadaan hadist matruk yang sangat sedikit, dan jarangnya ada rawi yang majhul dan mastur.
Selain dari alasan-alasan pujian yang dilontarkan Al-Ila’i, kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Sunan Addarimi di antaranya adalah sebagai berikut;
o Minimalisasi Repetisi Hadist
Minimnya pengulangan hadist yang tercantum dalam Sunan Addarimi merupakan konsekuensi logis dari sedikitnya hadist yang termuat dalam kitab ini. Sebisa mungkin, Addarimi tampak menghindari terjadinya pengulangan, kendati pada akhirnya pengulangan tersebut tetap terjadi. Hal ini wajar adanya mengingat kerap kali ada beberapa tema yang termuat dalam satu matan hadist. Jika pengulangan tersebut terjadi, khususnya dalam bab yang sama, maka biasanya Addarimi mencantumkan hadist lain yang merupakan mutabi’ (pada sanad) dan atau hadist yang memiliki ziyadah (pada matan). Akan tetapi jika pengulangan tersebut terjadi pada kitab yang berbeda, Addarimi biasanya tidak segan mengulang hadist dengan sanad dan matan yang persis sama.
o Tidak Memperbanyak Jalan dan Sanad
Point kedua ini senyatanya memiliki keterkaitan erat dengan point pertama. Berangkat dari keinginan untuk menciptakan kitab yang ringkas, Addarimi berinisiatif untuk tidak mengulang hadist yang sudah pernah disebutkan. Prinsip ini juga berlaku dengan tidak menyajikan hadist yang matannya sama (meski redaksinya sedikit berbeda karena ada tambahan dan pengurangan kalimat) dengan jalur sanad yang berbeda. Ciri khas ini agaknya cukup menjadi feature yang membedakan Sunan Addarimi dengan kitab-kitab lain. Dari upayanya ini, dapat difahami bahwa Addarimi cenderung menitikberatkan pada ranah aplikatif hadist dan tidak begitu menaruh perhatian besar pada aspek sanad.
Penulis belum secara jelas menemukan adanya komentar negatif mengenai Sunan ini. Akan tetapi jika melihat dari hadist yang termuat dalam kitab ini, maka kekurangan paling mencolok dari Sunan ini adalah masih ada –untuk tidak mengatakan banyak—hadist yang memiliki kualitas kurang baik, semisal maqthu’, kendatipun hadist-hadist dalam Sunan ini didominasi oleh hadist marfu’. Hal ini akan sangat riskan bagi pembaca awam yang berusaha mencari solusi permasalahan dalam bidang hadist. Jika kemudian ia berpedoman pada hadist yang marfu’, hal demikian tidak akan menjadi masalah yang berarti. Berbeda halnya dengan keadaan saat seorang pembaca berpedoman pada hadist yang maqthu’ , mursal, mu’allaq, dan atau mauquf.
5. (Bukan) Penutup
Adanya kontradiksi yang cukup ekstrim antara kredibilitas hafalan maupun sejarah pencarian hadist Addarimi dengan kitabnya yang kemudian kurang populer setidaknya mengindikasikan beberapa hal. Pertama, karena semasa dengan Bukhari yang sudah berhasil menyusun kitab shahih, maka Addarimi lebih memilih untuk bersikap merdeka dengan keinginan dan tujuannnya, begitu juga dengan karya hadistnya. Ia agaknya ingin berbeda dengan ulama’ hadist kebanyakan yang cenderung mementingkan masalah sanad. Ia memilih jalur lain, yakni mementingkan ranah aplikatif hadist-hadist yang ia cantumkan dalam kitab Sunannya. Kedua, ada perbedaan orientasi dan referensi antara penyusun kitab hadist awal (seperti Addarimi, Malik, dan Ahmadl) dengan penyusun belakangan (Shahib kutub assittah).
Terlepas dari beberapa hal tersebut, kehadiran Sunan Addarimi setidaknya cukup mengindikasikan bahwa di balik sebuah tatanan yang sudah mapan, ada beberapa elemen lain yang sebenarnya sayang jika dilewatkan dan diabaikan begitu saja.
0 comMentz:
Posting Komentar