RSS

Kamis, 13 Mei 2010

UNbeliEvabLe..

TAUHID-PLURALISTIK ALA FARID ESACK
(APLIKASI HERMENEUTIKA RESEPSI)


Mukaddimah
Di antara beberapa hermenet, Farid Esack adalah hermenet Al-Qur’an yang rancangan hermeneutiknya sangat berhubungan dengan—untuk tidak mengatakan mencerminkan—keadaan sosial-politik di negara yang didiaminya. Afrika Selatan adalah sebuah negara yang pernah berada dalam hegemoni rezim apartheid selama beberapa tahun sebelum pada akhirnya berhasil ditumbangkan oleh Nelson Mandala dkk.

Esack berpandangan optimis bahwa kemerdekaan di negaranya tidak hanya akan menjadi mimpi yang mengawang-awang. Meskipun dirasa sulit, ia masih berkeyakinan bahwa kesuksesan Iran dalam menumbangkan rezin Syaikh Pahlevi bisa kembali terjadi di negaranya. Nestapa yang sudah akrab dengannya semenjak ia kecil kembali ia rasakan di tempat ia belajar, yakni di negara Pakistan yang saat itu tengah terjadi penindasan besar-besaran terhadap kaum Kristiani dan penganut agama Hindu.

Hal yang membedakan Esack dari sebagian besar hermenet lain adalah karena ia terinspirasi dari konteks sosial-politik negaranya yang kemudian ia giring dalam cakrawala teks melalui pendekatan sosiologis. Orientasi utama yang ingin dicapai Farid Esack dengan seperangkat teori hermeneutikanya adalah deabsolutisme kebenaran, relativitas pemahaman, dan toleransi antarumat beragama. Dalam artian, Esack ingin mendobrak produk tafsir konservatif yang melahirkan eksklusivisme antar pemeluk agama yang ia maksudkan untuk mewujudkan toleransi dan kerjasama dari seluruh umat beragama untuk menunmbangkan rezim Apartheid.

Tulisan ini secara singkat akan memaparkan horizon (latar belakang intelektual dan sosial-politik secara umum) yang dimiliki Esack, beberapa perangkat (teori) yang digunakan dalam kerja hermeneutikanya, produk (kunci) penafsiran hermeneutis, serta tujuan besar yang diinginkan Esack dari seluruh upaya yang dilakukannya.

Biografi Singkat; Sosio-Politik Afrika Selatan
Biografi seorang Farid Esack tidak hanya akan menggambarkan betapa dunia akademik yang dilaluinya sangat berpengaruh terhadap prinsip atau produk pemikiran yang dihasilkannya. Lebih dari itu, mengetahui sejarah singkat Esack dapat memberikan pemahaman bahwa Esack tidaklah tidaklah main-main dalam merumuskan teori-teori hermeneutikanya. Catatan mengenai pengalaman-pengalaman hidup yang mengesankan bagi Esack terangkum dalam sebuah buku yang berjudul On Being A Muslim

Tidak sama dengan karya-karya lainnya yang lebih banyak membicarakan tentang teori-teori hermeneutika dan pandangan-pandangannya, buku tersebut berisi kegelisahan-kegelisahan eksistensial Esack ataupun pengalaman hidup yang sedikit banyak berpengaruh terhadap teori yang dilahirkannya. Dengan membaca buku tersebut, sedikit banyak kita akan memiliki pandangan mengapa Esack menggagas teori-teori heremenutikanya. Esack adalah salah satu dari segelintir rakyat Afrika Selatan yang mencoba mencari penyelesaian dari kemelut berkepanjangan yang diderita negaranya.

Esack mengalami masa kecil yang kurang membahagiakan layaknya anak kecil lain yang hidup di daerah perang. Selain permasalahan ekonomi, Esack kecil adalah anak yang hidup dengan seorang ibu yang menjadi single parent dengan saudaranya yang berjumlah lima orang. Selain menghadapi masalah ekonomi, Ibnuda Esack juga sangat tertinda dengan rezim Apartheid yang mengandaikan hirarki rasialis serta nuansa patriarki. Esack tinggal di sebuah wilayah permukiman yang kumuh dan saat itu, ia memiliki seorang tetangga beragama Kristen. Tetangganya tersebut kerap membantu Esack dalam segala halnya. Intesitas pergaulan inilah yang menjadi awal timbulnya gagasan Esack tentang perlunya kacamata baru dalam melihat pluralisme antarumat beragama.

Secara umum, Esack adalah seorang pengembara sejati yang cukup inklusif dan selalu open-minded terhadap hal-hal baru. Selain berperan sebagai teoritisi, dosen, dan kontributor aktif di berbagai media, Esack adalah seorang yang memiliki jiwa patriot yang cukup tinggi. Ia kerap turun langsung dalam perjuangan bersenjata untuk menumbangkan rezim Apartheid. Esack bukanlah tipe ilmuan menara gading yang hanya lantang berteriak dengan pemikirannya, namun ia juga bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan negaranya.

Bukti lain dari sosok Esack yang selalu heuristik adalah perpindahan haluan ideologinya. Semasa kecil, Esack sudah akrab dengan komunitas jamaah tabligh yang merupakan sebuah komunitas berideologi tradisional-fundamentalis. Namun ketika beranjak dewasa, Esack mulai memberanikan diri mengubah haluan ideologinya dengan mendirikan organisasi bernama Call of Islam yang lebih liberal dan modernis.

Kegelisahan Esack sebenarnya diawali karena masyarakat Afrika Selatan kerap menyamakan kesalehan dengan keilmuan. Dalam artian, seorang yang dianggap sebagai orang saleh secara otomatis juga dianggap memiliki otoritas sebagai orang yang mumpuni di bidang ilmu. Akibatnya, pemikiran orang saleh pun disakralkan sebagai gagasan yang tidak bisa diganggu gugat. Kebenaran pun hanya dimiliki oleh mereka yang dianggap saleh. Otoritas kebenaran menjadi terbatas pada tangan orang-orang ini.

Begitu juga dalam bidang tafsir Al-Qur’an, ulama Afsel-lah yang dianggap memiliki otoritas dan wewenang untuk menyeragamkan pandangan masyarakat Afsel tentang kandungan di balik sebuah ayat tertentu. Sehingga, tafsir yang dihasilkan oleh ulama Afsel-pun terlanggengkan sendirinya dengan taklid buta tersebut, kendatipun produk tafsir yang dihasilkan kerap tidak lagi kontesktual dan tidak aplikatif.

Salah satu produk penafsiran yang bagi Esack sangatlah mengganggu adalah penafsiran tetang self (diri sendiri) dan the other (orang lain) dalam sekat-sekat religius. Ayat Al-Qur’an yang secara tekstual banyak membedakan antara mu’min dan kafir, misalnya, kemudian dijadikan legitimasti untuk membatasi pegaulan dengan umat agama lain yang dianggap sebagai orang kafir.

Esack beranggapan bahwa produk penafsiran yang dihasilkan oleh beberapa orang saleh tersebut tidak lagi kontekstual, khususnya jika akan diaplikasikan dalam konteks Afrika Selatan yang saat itu tengah bergolak. Saat itu, masyarakat Afrika Selatan berada di bawah kekuasasan rezim apartheid yang menindas, diskrimintaif, rasialis, dan juga seksis. Dengan pandangan bahwa mu’min berbeda dengan kafir, maka produk penafsiran Afrika Selatan kala itu juga melarang adanya kerjasama antarpemeluk agama yang berbeda, meski untuk tujuan mulya, seperti memerdekakan suatu bangsa dari rezim yang otoriter.

Dari sinilah Esack kemudian berupaya melakukan beberapa terobosan, baik dalam bentuk pergerakan maupun pemikiran untuk bisa mengatasi situasi tersebut. Ia mencoba memberikan tawaran baru produk tafsir yang lebih kontekstual dan tidak hanya berpegangan pada tafsir yang telah terbaku dan tebekukan oleh otoritas orang yang dianggap saleh.

Asumsi Dasar dan Metode Hermeneutika Esack

Dalam menegakkan kerja hermeneutiknya, Esack berasumsi bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang progresif. Al-Qur’an memiliki kepedulian terhadap realitas dan karenanya Al-Qur’an bukanlah pedoman yang tidak bisa dinego. Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang selalu hadir dan menyapa umatnya dalam konteks partikular, baik dalam hal linguistik, geografis, situasional, maupun kontekstual.

Hal yang bisa menguatkan asumsi ini misalnya adalah konsep turunnya ayat Al-Qur’an secara gradual, konsep asbabunnuzul, makki-madani, maupun konsep nasikh-mansukh. Secara tegas Esack mengatakan bahwa yang menjadi pedoman adalah Al-Qur’an, bukan tafsir Al-Qur’an yang lahir dengan membawa bahasa dan sejarah yang berbeda-beda dari penulisnya masing-masing. Dari tesis ini, Esack tampak ingin menyampaikan bahwa jika Al-Qur’an saja fleksibel—misalnya dengan konsep nasikh-mansukh—mengapa tafsir senantiasa ingin dilanggengkan oleh otoritas-otoritas tertentu?

Sedangkan metode yang dipilih Esack dalam kerja hermeneutiknya adalah metode resepsi atau penerimaan. Hermeneutika yang demikian secara singkat menyebutkan bahwa Al-Qur’an yang diterima oleh masyarakat Arab empat belas abad yang lalu bisa jadi diterima dengan wajah yang berbeda oleh masyarakat Afrika Selatan tahun 1960-an kala itu. Kemungkinan ini umumnya disebabkan karena kultur dan keadaan di Mekkah-Madinah pada empat belas abad yang lalu sedikit banyak berbeda dengan keadaan di Afrika Selatan pada tahun 1960-an saat itu.

Dalam hermeneutika resepsi, suatu teks menjadi bebas tafsir. Pembaca bisa menafsirkan teks dengan pemahaman apapun yang dimilikinya, dengan catatan pemahaman tersebut beralasan dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga jika kemudian sebuah teks dimaknai berbeda oleh pembaca dengan maksud yang ingin disampaikan penulis, maka hal tersebut sudah menjadi konskuensi dari status teks yang sudah dianggap bebas-tafsir.

Hermenutika resepi mengandaikan adanya dialektika antara teks dengan kehidupan. Melanggengkan produk tafsir atas otorias tertentu, jika demikian tidak ada bedanya dengan memutus keterikatan antara teks dengan realitas kekinian yang memiliki tuntutan dan permasalahan tersendiri. Pemaksaan yang demikian kemudian juga bisa diandaikan dengan memaksakan diri kita untuk kembali hidup pada masa sebelumnya yang notabene memiliki situasi, permasalahan, dan tuntutan yang jauh berbeda.

Pilihan Esack terhadap hermeneutika resepsi ini agaknya cukup beralasan, mengingat hermeneutika ini berkait erat dengan fungsionalisme teks. Fungsionalisme teks memandang teks dari dimensi fungsional dan pragmatis, yakni seberapa jauh suatu teks dapat menjawab permasalahan.

Dan seperti pemikir lain, teori Esack ini juga banya dipengaruhi oleh tokoh yang mendahuluinya. Dalam hal ini, Esack tampak cukup terpengaruh dengan double movement-nya Rahman ketika mengandaikan adanya transformasi pemahaman dari masa lalu ke masa kini dan masa kini ke masa lalu. Bagi Esack, transformasi yang demikian merupakan sebuah kenisacayaan sebab Al-Qur’an selalu menghadapi ruang dan waktu yang berbeda. Al-Qur’an adalah kitab tuntunan hidup yang sudah final (korpus tertutup, dalam Bahasa Arkoun) namun tetap menjawab perosialan umat yang berevolusi sedimikian cepat dari hari ke hari. Dan hal itu hanya mungkin terjadi jika Al-Qur’an dikondisikan untuk lebih sensitif dan solutif terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan.

Secara khusus kuatnya pengaruh Rahman dalam pemikiran Esack tercermin dalam asumsinya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang progresif. Asumsi ini kemudian juga menggiring pada pemahaman bahwa Esack mengandaikan adanya regresi-progresi dalam memahami apa yang ingin disampaikan Al-Qur’an. Dalam pandangannya, regresi tidak hanya berarti kembali dan melihat masa lalu untuk memperhitungkan kebutuhan kekinian atas teks, namun juga untuk mengungkao historisitas dan faktor yang memproduksi teks. Sedangkan progresi berarti menghidupkan makna baru yang konteksnya berbeda dengan makna yang lahir pada ruang dan waktu yang berbeda.


Hermeneutical Keys; Aplikasi Hermeneutika Esack

Meski secara tersirat, Esack sangat gamblang mengatakan bahwa seperangkat metode hermeneutikanya dimaksudkan utuk bisa mengatasi permasalahan yang terjadi di negeri yang didiaminya. Setelah melihat bahwa kesenjangan antara muslim dan Kristen disebabkan adanya penafsiran yang sama-sama esktrim dari kedua belah pihak—yang hanya mau bekerjasama dengan orang yang memiliki keyakinan sama—Esack pun tertarik untuk mempelajari metodologi penafsiran Al-Qur’an maupun Bible.

Berangkat dari fenomena eksklusivitas yang dimiliki dua pemeluk agama yang berbeda inilah, Esack kemudian memusatkan upaya hermeneutiknya terhadap penafsiran kata kunci dalam Al-Qur’an yang dianggapnya sangat berpengaruh dalam melahirkan—dan mendobrak—tafsir yang eksklusif yang dijadikan panutan hidup muslimin secara luas. Esack kemudian memilih beberapa term kunci semisal Tuhan, tauhid, manusia, mu’min, kafir, musyrik, ahli kitab, orang-orang yang tertindas, kedilan, dan jihad.

Ketika menafsirkan iman-mu’min, misalnya, Esack tidak membatasi makna lafadz ini dengan sekat-sekat agama yang sudah terlembaga, Islam dan Kristen misalnya. Baginya, siapapun yang percaya pada keberadaan dan kekuasaan Tuhan, maka orang tersebut adalah orang yang beriman, tidak peduli apapun agamanya (konsep satu Tuhan banyak agama). Jika demikian, maka seruan pada orang-orang beriman yang kerap didapatkan dalam beberapa bagian Al-Qur’an tidak hanya tertuju pada pemeluk agama Islam, namun semua pemeluk agama yang meyakini keberadaan Tuhan.

Penafsiran inilah yang dianggap terlalu kebablasan oleh sebagian pemerhati, khususnya ulama fundamentalis-tradisional. Ulama ini beralasan bahwa pluralitas di Afrika Selatan merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari, namun pluralisme yang digagas Esack cenderung cukup euforistik dan berlebiah. Argumen ini muncul sebab Esack tidak hanya mengandaikan adanya ko-eksistensi antarpemeluk agama untuk mencapai sebuah tujuan, namun sudah sampai pada taraf pembenaran semua agama.

Hal yang sama juga terjadi manakala Esack menafsirkan kata Islam-muslim. Islam baginya bukanlah sebuah agama partikular yang terlembagakan dengan kitab suci dan Nabi sebagaimana yang banyak difahami. Baginya Islam lebih berarti ketundukan, kepasarahan (sebagaimana arti etimologi) atau pengamalan dari apa saja yang diperintahkan Tuhan sebagai konskuensi dari status keberagamaannya (keimanan, kepercayaan pada Tuhan). Dengan demikian, dalam pandangan Esack, muslim bukanlah hanya orang yang memeluk agama Islam, namun semua orang—dari latar belakang agama apapun—yang tunduk dan menjalankan perintah Tuhannya dengan baik. Siapapun Tuhannya.

Sudah bisa dipastikan, produk tafsirnya ini mendapat banyak kecaman dari kaum fundamentalis-tradisionalis. Esack memberikan sebuah hasil kerja hermenutik yang terlampau berani dan sangat riskan menimbulkan kontroversi. Namun jika mengingat bahwa tujuan akhir Esack adalah untuk menggalang persatuan antara muslimin dan umat Kristiani Afrika Selatan dan menghilangkan eksklusivisme yang terlanjur menjadi ikon kehidupan umat beragama, maka gagasan tersebut agaknya cukup beralasan—bukan berarti menerima.

Selain menggagas suatu terobosan untuk menggalang kesatuan internal, Esack juga menyediakan porsi penafsiran yang bisa digiring pada ranah eksternal, dalam hal ini rezim Apartheid yang berkuasa. Hal ini terjadi manakala Esack menafsirkan konsep tauhid. Baginya, tauhid yang sesungguhnya adalah menempatkan Tuhan pada posisi di atas manusia. Manusia berada di bawah posisi Tuhan, dengan posisi yang setara, tidak ada manusia yang lebih tinggi maupu lebih rendah. Hirarki dari konsep tauhid ini digunakan Esack untuk mendobrak kesadaran kaum tertindas di Afrika Selatan bahwa tidak ada manusia yang berhak untuk menindak sesama manusia. Jika ada manusia yang menindas manusia lainnya, maka tindakannya tersebut adalah suatu kesalahan. Begitu juga, membiarkan diri tertindas oleh orang lain juga merupakan suatu kesalahan.

Khatimah
Satu pertanyaan yang muncul di benak saya setelah membahas sedikit hal mengenai Esack adalah, apakah produk tafsirnya relevan jika dibawa ke Indonesia yang barangkali cukup berbeda dengan keadaan mikro Afrika Selatan yang saat itu tengah bergolak?

Indonesia sebenarnya memiliki Esack-Esack lain yang tidak kalah hebat—dan kontroversial—dengan pandangan tentang pluralitas-pluralisme. Esack sendiri menyatakan bahwa ia sangat terkagum-kagum pada Gus Dur maupun Cak Nur yang cukup lantang menerikkan semangat-semangat pluralisme di negara multiheterogen seperti Indonesia.

Pluralisme senyatanya merupakan sebuah keniscayaan di daerah yang plural atau heterogen. Namun, kenisacayaannya adalah bahwa masing-masing orang memiliki pandangan dan batasan masing-masing dalam mengartikan dan membatasai pluralisme. Ada yang sepakat dengan gagasan pluralisme dan ada juga yang sama sekali menolak konsep pluralisme.

Orang yang mendukung konsep pluralisme bisa jadi memiliki pandangan yang berbeda. Kelompok moderat bisanya mengartikan pluralisme sebagai prinsip kemanusiaan yang mengandaikan kehidupan yang harmonik antarpemeluk agama yang berbeda. Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk bermusuhan dengan umat agama lain dan karenanya perintah agama tersebut bisa diakomodir dengan konsep pluralisme. Sedangkan orang-orang yang cukup ekstrim dan militan menganggap pluralisme tidak hanya tercermin dalam kehidupan sosial, namun juga sudah sampai pada ranah teologis.

Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sepak terjang maupun produk pemikiran Esack. Esack adalah sosok pribadi yang mau ‘berlaga’ di ‘medan’ manapun. Ia aktif di dunia akademik, jurnalistik, pemikiran, maupun pergerakan. Sedangkan upaya Esack untuk memberikan tafsir yang membumi dan kontekstual juga patut diapresiasi dan diteladani. Ia juga menggabungkan beberapa teori untuk menghasilkan kerja hermeneutiknya.

Namun begitu, ada baiknya Esack tidak terlalu ekstrim dan bersemangat untuk menggalang persatuan masyarakat Afrika Selatan. Konsep pluralisme yang diusungnya bagi saya cukup berlebihan, sebab Esack sudah melampaui konsep kerjasama maupun prinsip untuk hidup berasama dengan rukun, namun pluralisme Esack sudah sampai pada tahap teologis. Bagi saya, solusi yang ditawarkan Esack untuk menyeleisaikan sebuah persoalan sangat rentan menimbulkan persoalan baru. Kalupun konsep satu tuhan beda agama yang digagas Esack bisa efektif dalam situasi masyarakat Afrika Selatan kala itu, apakah gagasan tersebut bisa tetap dipakai oleh masyarakat Afsel setelah Apartheid berhasil ditumbangkan?

Pertanyaannya kemudian, apakah hanya dengan pluralisme teologiskah masyarakat yang memiliki religisitas heterogen bisa disatukan? Allah Knows Best

DAFTAR PUSTAKA

Baihaki, Uni ---------------Skripsi Fakultas Ushuluddin, (Uy 1928)
Esack, Farid. 2002. On Being A Muslim, Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj: Dadi Darmadii dan Jajang Jahroni, Erlangga: Jakarta
Esack, Farid. 2005. The Qur’an; A User’s Guide One World: Oxford
Faizi, Fuad. 2004. Kajian Kritis Tafsir Resepsi Farid Esack, skripsi fakultas Ushuluddin.
Yudistira, Hadiansyah. Hermeneutika Al-Qur’an tentag Pluralisme Agama (Telaah Kritis atas Hermeneutika Farid Esack dalam Qur’an: Liberation and Pluralism; An Islamic Perspective of Intereligious Solidarity Against Oppression), Skripsi Fakultas Ushuulddin, (Uy 1286)
http://gazali.wordpress.com/2008/01/02/farid-esackhermeneutika-al-qur%E2%80%99an- demi-liberalisme-dan-pluralisme/

0 comMentz: