RSS

Senin, 31 Mei 2010

Is oVer

Lanjutan..

1. Kritik Sanad
Kritik sanad adalah proses lanjutan yang dilakukan seorang peneliti hadist untuk mengetahui segala hal mengenai orang-orang yang terlibat dalam proses transmisi sebuah hadist. Kritik sanad ini hanya bisa dilakukan setelah seorang peneliti melakukan takhrij dan i’tibar. Jika dalam i’tibar peneliti hanya meneliti kuantitas rawi dalam tiap thabaqah, maka kritik sanad berupaya memperluas kajian dengan juga membahas kualitas seorang rawi.

a) Skema Hadist




















Skema di atas menunjukkan jalur periwayatan hadist satu jalur yang berasal dari Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih Bukhari nomor 4941. Ada enam rawi yang terlibat dalam periwayatan hadist ini dan akan peneliti urutkan berdasarkan term rawi dan sanad.

No Nama Periwayat Urutan Periwayat Urutan Sanad
01 Abu Hurairah Rawi I Sanad VI
02 Hammam Rawi II Sanad V
03 Ma’mar Rawi III Sanad IV
04 Abdur Razaq Rawi IV Sanad III
05 Yahya Rawi V Sanad II
06 Bukhari Rawi VI / mukharij Sanad I/mukharij


b) Kualitas Perawi
Pada bagian ini peneliti akan memberikan paparan dan ulasan singkat mengenai biografi para rawi yang terlibat dalam transmisi hadist yang berasal dari Abu Hurairah dan tercantum dalam hadist Bukhari nomor 4941. Pembahasan biografi akan dimulai oleh rawi pertama yang menerima langsung dari Rasulullah, yakni Abu Hurairah yang akan dilanjutkan hingga sampai pada mukharij hadis yang bersangkutan, yakni Imam Bukhari. Bagian ini menjadi sangat penting untuk menunjang kemudahan penelitian dalam bagian ketersambungan sanad pada bagian selanjutnya.

Abu Hurairah yang bernama asli Abdurrahman bin Shakhr ini mendapat kunyah demikian karena kecintaannya pada kucing. Ia termasuk sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadist dan karenanya, hadist yang berasal darinya banyak tersebar dalam berbagai bab maupun kitab. Abu Hurairah berkarier dan wafat di Madinah, tepatnya pada tahun 57 H.

Kredibiltas intelektual (tsiqah) dan kepribadian (‘adalah) pun sudah diakui sebagian besar ulama’. Hal ini menjadi sangat wajar sebab banyaknya hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah menandakan bahwa Abu Hurairah sangat dekat dengan Nabi dan selalu bersama Nabi. Sehingga, bisa dipastikan beliau juga turut ‘tertular’ kepribadian Nabi yang begitu sempurna. Apalagi, adanya kaidah bahwa ‘semua sahabat memiliki kredibilitas dalam keadilan’ juga turut menguatkan asumsi ini.

Sebagai seorang sahabat, sudah barang tentu Abu Hurairah berguru dan mendapatkan hadist dari Rasulullah. Selain itu, beliau juga berguru pada Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Aisyah, Hasan bin Tsabit, dan lain sebagainya. Jumlah murid Abu Hurairah melebihi jumlah guru yang dimilikinya. Salah satu murid beliau adalah Hammam bin Munabbah yang dalam hadist ini mendengar langsung perkataan Abu Hurairah. Murid Abu Hurairah lainnya adalah Abu Ja’far, Abu Humaid, Anas bin Malik, dan lain sebagainya.

Hammam yang sebelumnya disebutkan sebagai murid Abu Hurairah adalah putra Munabbah bin Kamil. Ia merupakan tabi’ien senior yang hidup di Yaman dan wafat pada tahun 132 H. Hammam ini memiliki nama kunyah Abu Uqbah. Ia merupakan salah satu murid Abu Hurairah dan juga banyak memiliki murid, di antaranya adalah Ma’mar bin Rasyid. Selain Abu Hurairah, Hammam juga memiliki beberapa guru lain, semisal Qatadah bin Da’amah, Muhammad bin Hajadah, dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Sedangkan murid yang dimiliki Hammam, selain Ma’mar bin Rasyid adalah Wahab bin Munabbah, Uqail bin Mu’qil, Affan bin Muslim, Abdus Shamad bin Abdul Warits, dan lain sebagainya. Adapun kredibilitas yang dimiliki Hammam cukup bisa dipertanggungjawabkan, sebab semua ulama’ yang memberi penilaian pada rawi yang satu ini sama-sama memuji kredibilitas Hammam dengan gelar tsiqah. Hanya ada satu ulama’ yang memberikan gelar tsubut pada Hammam ini, yakni Adz-Dzahabi.

Ma’mar bin Rasyid adalah seorang atba’ tabi’in senior yang berdomisili di Yaman. Ia banyak berguru dan menerima hadist serta menyampaikan hadist yang telah diterimanya pada orang lain. Beberapa guru Ma’mar di antaranya adalah Hammam bin Munabbah, Hisyam bin Urwah, Hisyam bin Hasan, Washil Maula Abi Uyainah, dan lain-lain. Sedangkan murid Ma’mar, artinya orang yang mendengar hadist yang disampaikan Ma’mar di antaranya adalah Abdur Razaq, Abdul Aziz bin Yusri, Abdurrahman bin Muhammad, Muhammad Ja’far, dan lain-lain.

Perawi yang biasa dipanggil Abu Aurah ini mendapat penilaian yang positif dari semua ulama’. Semua ulama’ yang menilainya memberikan ta’dil padanya, meski dengan predikat dan lafadz yang berbeda-beda. Predikat ta’dil yang diberikan kepada Ma’mar ini di antaranya adalah tsiqah, ashdaq al-nas, tsiqah ma’mun, tsiqah shalih, hafidz mutqin, dan tsiqah. Meski begitu, ada juga ekseptasi ta’dil yang diberikan ulama’ pada hadist yang Ma’mar riwayatkan dari Tsabit, A’masy, dan Hisyam. Peneliti belum menelusuri lebih lanjut mengapa hadist yang didapatkan Ma’mar dari tiga gurunya tersebut termasuk dalam pengecualian. Abu Aurah yang berkebangsaan Bashrah ini wafat pada 154 H.

Abdur Razaq adalah salah satu murid Ma’mar yang merupakan atba’ tabi’in junior yang juga terlibat dalam transmisi hadist Bukhari nomor 4941 ini. Rawi yang akrab disapa Abu Bakar ini memiliki cukup banyak murid, tiga di antaranya memiliki nama depan yang sama, yakni Yahya bin Ja’far, Yahya bin Muayyan, dan Yahya bin Musa. Yahya bin Ja’far inilah yang menjadi penerus Abdur Razaq dalam mentransmisikan hadist yang menjadi inti penelitian dalam makalah ini. Selain Yahya bin Ja’far, murid Abdur Razaq yang lain adalah Hasan bin Ali dan Muhammad bin Rafi’ (keduanya adalah mutabi’ dari Yahya), Abdul Malik, Abdurrahman bin Basyar, Abbas bin Abdul Adzim, dan lain-lain.

Selain itu, Abdur Razaq juga memiliki banyak guru, selain tentunya Ma’mar bin Rasyid. Guru-guru Abdur Razaq yang lain adalah Ibrahim bin Umar, Israil bin Yunus, Basyar bi Rafi, Ja’far bin Sulaiman, dan lain sebagainya. Rawi yang tinggal di Yaman ini juga wafat di kota yang sama pada tahun 211 H.

Ada bermacam penliaian yang dialamatkan pada rawi asal Yaman ini. Abu Daud, Ya’qub bin Syibah, dan Abu Zur’ah mengatakan bahwa ketsiqahan rawi ini mutlak adanya, berbeda dengan Al-Ijli dan Ibnu Hibban yang mengatakan bahwa ketsiqahan Abdur Razaq tidak mutlak, dalam artian ia bisa saja lupa atau keliru. Sedangkan Ibnu Adi menganggap rawi ini sebagai rawi yang berpredikat la baa’sa biih.

Yahya bin Ja’far bin A’yn adalah salah satu rawi yang menyampaikan hadist pada Bukhari. Rawi yang juga menjadi senior atba’ tabi’-tabi’in ini merupakan salah satu murid Abdur Razaq yang wafat di Bukhara, tepatnya pada tahun 234 H. Dari tanda ini saja, bisa dipastikan bahwa Yahya pernah menjadi guru dari Imam Bukhari yang memang lahir dan berkarier di Bukhara. Guru yang dimiliki Yahya selain Abdur Razak adalah Muhammad bin Khazim, Muhammad bin Abdillah, Waki’ bin Jarah, dan Yazib bin Harun. Dalam software mausuah, dijelaskan bahwa Yahya ini hanya memiliki satu murid, yakni Imam Bukhari.

Kualitas keilmuan Yahya ini telah terjamin dengan tidak adanya jarh sama sekali yang dialamatkan pada rawi ini. Oleh dua ulama’, yakni Ibnu Hibban dan Adz-Dzahabi, Yahya ini dinilai tsiqah dan shuduq. Imam Bukhari yang terkenal mutasyaddid tentunya juga tidak akan asal ‘comot’ hadist dari sembarang orang.

Imam Bukhari memiliki nama lengkap Muhammad bin Ismail. Nama Bukhari yang melekat pada dirinya dan begitu populer hingga saat ini berasal dari kota kelahirannya, yakni Bukhara. Dalam termionologi ilmu hadist, ulama satu ini dianggap sebagai ulama’ hadist paling kredibel dan karenanya kitab shahih yang ditulisnya dianggap sebagai kitab kedua setelah Al-Qur’an.

Bukhari telah akrab dengan dunia hadist semenjak kecil, pada usia belasan tahun ia bahkan telah membuktikan kekuatan hafalannya dengan menghafal beberapa kitab ulama yang paling terkemuka kala itu. Tak pelak ketika umurnya sudah dewasa., Bukhari semakin menseriusi kajian hadist dan ia pun berkelanan dari suatu kota ke kota lain bahkan dari sebuah negara ke negara lain hanya demi kepentingan mencari hadist. Tak heran jika kemudian ia memiliki sangat banyak guru, semisal Ahmad bin Hanbal, Isaq bin Mansur, Ayyub bin Sulaiman, dan lain sebagainya.

Software mausuah tidak menyebutkan keseluruhan guru yang dimiliki Bukhari, termasuk dalam hal ini Yahya bin Ja’far sebab saking banyaknya jumlah guru yang dimiliki Bukhari. Tidak adanya nama Yahya ini bukan kemudian menandakan bahwa Yahya bukanlah guru Bukhari, namun lebih disebabkan Yahya kalah populer dibandingkan guru-guru lain yang disebut.

Sedangkan murid-murid Bukhari di antaranya adalah Abu Zur’ah, beberapa mushaniif kitab hadist terkemuka (Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Khuzaimah), Abu Abdullah, Abu al-Fadhl, dan lain-lain.

Krediibilitas Bukhari agaknya sudah tidak perli diragukan lagi. Sebab kalau bukan karena kredibilitasnya, kitab Shahih-nya tidak akan sukses menjadi kita referensi hadist nomor wahid dalam dunia Islam. Selain itu, sifat kehati-hatian (tasyaddud) yang dimiliki Bukhari juga mengindikasikan bahwa hadist yang diterima dan disampaikannya adalah benar-benar hadist yang berkualitas dan bisa diamalkan. Misalnya saja, Bukhari menyaratkan adanya pertemuan fisik antara guru dan murid, tidak hanya semasa. Dengan begitu, ia akan mendiskualifikasi hadist yang salah dua rawinya hanya semasa dan tidak pernah melakukan pertemuan.

c) Persambungan Sanad
Persambungan sanad dalam terminologi ilmu hadist bisa disamakan dengan persambungan mata rantai sebuah hadist, yang dalam hal ini berupa orang yang mentransmisikan sebuah hadist. Ada beberapa periode atau generasi yang berhasil menyampaikan berita empat belas abad yang lalu pada generasi kita saat ini. Banyaknya orang yang terlibat serta terpisahnya jarak dan waktu sangat memungkin terjadi pengurangan, penambahan, ataupun pengubahan matan suatu hadist. Sebab itulah ketersambungan sanad dijadikan sebagai barometer utama keshahihan suatu hadist.

Namun demikian, persambungan sanad ternyata tidak hanya menjadi satu-satunya ukuran dalam hal ini. Teori ini disampaikan oleh Syuhudi Ismail dalam karyanya, Kaidah Kesahihan Sanad Hadist. Bagi Syuhudi, ada tiga kriteria yang bisa dijadikan penentu tersambung-terputusnya mata rantai periwayatan sebuah hadist. Yang pertama adalah predikat tsiqah yang dimiliki semua perawi. Bagi peneliti, hal ini wajar adanya sebab walaupun seorang rawi jelas semasa-beguru dan menerima hadist dari gurunya, namun jika rawi tersebut tidak tsiqah, maka ada kemungkinan rawi yang menjadi murid melakukan penyimpangan-penyimpangan.

Salah satu contoh penyimpangan tersebut lebih jelas disampaikan pada bagian kriteria kedua, yakni bahwa rawi yang bersangkutan tidak boleh melakukan tadlis (penyembunyian cacat) sebuah hadist. Peneliti melihat bahwa rawi tsiqah yang disyaratkan pada kriteria pertama tentu tidak akan melakukan tadlis. Sedangkan kriteria yang ketiga adalah adanya sighat tahammul wa al adah (perangkat transmisi) yang bisa dipertanggungjawabkan.

Hemat peneliti, kriteria pertama dan kedua yang digagas oleh Syuhudi Ismail sudah terkover dalam bagian sebelumnya yang memaparkan biografi singkat masing-masing rawi. Dari pemaparan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa walaupun ada satu-dua rawi yang tidak mendapat predikat yang berkualitas secara aklamatif, namun secara umum, enam orang yang teribat dalam periwayatan hadist Bukahri 4941 ini adalah mereka yang tsiqah, terpercaya, dan tidak akan melakukan penyimpangan-penyimpangan. Sebab itulah dalam bagian ini, peneliti akan lebih memfokuskan pembahasan pada posibilitas bertemu—dan bergurunya—beberapa rawi yang bersangkutan serta perangkat transmisi yang digunakan dalam meriwayatkan hadist ini.

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini, peneliti memiliki hipotesis awal bahwa semua sanad yang mentransimisikan hadist ini memang benar-benar bersambung. Asumsi ini ditandai dengan ditemukannya hubungan guru-murid dalam semua mata rantai rawi yang ada. Namun begitu, ada baiknya peneliti melakukan kroscek ulang untuk menyajikan data dan analisis yang lebih akurat dan bisa diterima. Dengan begitu, peneliti tidak hanya akan mengandalkan hubungan guru-murid, namun juga memperhatikan aspek kualitas personal rawi, perangkat transmisi, dan beberapa hal lain.

Pasangan guru-murid pertama yang akan diteliti adalah Abu Hurairah dengan Rasulullah. Asumsi pertama yang bisa menguatkan adanya ketersambungan sanad adalah masa hidup guru dan murid yang semasa. Rasulullah wafat pada tahun 11 H sedangkan Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H. Tahun wafat yang tidak terlalu terpaut jauh ini (berkisar 46 tahun) menandakan bahwa Abu Hurairah sudah lahir sebelum Rasulullah wafat, sehingga keduanya bisa dikatakan semasa. Sedangkan asumsi kedua dan ketiga, yakni bertemu dan melakukan transmisi hadist dikuatkan oleh banyaknya hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Hadist-hadist yang diriwayatkannya pun selalu berkualitas dan ia banyak memiliki syahid.

Indikasi yang paling menguatkan bahwa keduanya memang pernah bertemu dalam keperluan transmisi hadist adalah penggunaan perangkat transmisi berupa an. Perangkat ini digolongkan sebagai katagori al-sama’ oleh beberapa ulama, sehingga bisa dipastikan bahwa Abu Hurairah mendengar sendiri ucapan Rasul yang demikian. Apalagi, Abu Huraiah memang terkenal sebagai sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadist Nabi. Dan dalam hal ini, peneliti juga akan menukil definisi sahabat, bahwa sahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan Nabi Muhammad.

Subjek penelitian kedua adalah Abu Hurairah dengan Hammam bin Munabbah bin Kamil. Dalam perangkat transmisi hadist, Hammam menggunakan perangkat al-sima’ yang merupakan level tertinggi dalam perangkat transmisi hadist. Hal ini menandakan bahwa Hammam mendengar langsung hadist ini disampaikan oleh Abu Hurairah. Apalagi, nama Hammam tercatat sebagai salah satu di antara murid Abu Hurairah yang sangat banyak dan Abu Hurairah pun tercatat sebagai salah satu di antara guru Hammam.

Dari data yang diolah, peneliti juga memperoleh dua faktor lain yang bisa menguatkan potensi ketersambungan antara Abu Hurairah dan Hammam. Faktor pertama adalah karena posisi Abu Hurairah sebagai sahabat dan posisi Hammam yang merupakan tabi’in senior. Maka bisa dipastikan, walaupun Hammam tidak bertemu dengan Rasulullah, ia masih semasa dengan para sahabat, di antaranya adalah Abu Hurairah. Faktor kedua adalah jarak tahun wafat antar dua orang ini. Abu Hurairah wafat pada 57 H, sedangkan Hammam wafat pada 132 H. Meskipun ada rentang jarak sekitar 75 tahun, akan tetepai pertemuan dua orang ini masih sangat dimungkinkan, namun perangkat transmisi yang digunakan Hammam sangatlah kuat dan bahkan menempati level tertinggi.

Selanjutnya, peneliti akan menelisik ketersambungan sanad antara Hammam dan Ma’mar bin Rasyid. Hammam adalah tabi’in pertengahan sedangkan Ma’mar tergolong dalam senior atba’ tabi’in. guru-murid ini hanya terpisah oleh satu thabaqah, yakni tabi’in junior dan karenanya kemungkinan bertemu dan terjadinya transmisi hadist menjadi sangat besar dalam hubungan dua orang ini. Apalagi, jarak antara tahun wafat keduanya hanya terpaut 22 tahun, dan keduanya juga tinggal di kota yang sama, yakni kota Yaman. Adapun sighat tahammul yang digunakan, yakni an, meski bukan merupakan sighat dengan predikat tertinggi, namun oleh sebagian ulama’ tetap dianggap bahwa si murid mendegar penuturan sang guru. Beberapa pendukung ini setidaknya bisa mengimbangi predikt tsiqah Ma’mar yang belum dispekati secara mutlak dan aklamatif.

Ma’mar bin Rasyid dan Abdur Razaq adalah pasangan guru-murid yang jarak tahun wafat keduanya berkisar pada angka 57 tahun. Meski jarak ini cukup jauh, akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dan memungkinkan terjadinya persambungan sanad antar dua orang ini, Yang pertama adalah karena keduanya sama-sama merupakan atba’ tabi’in, Ma’mar adalah atba’ tabi’in senior, sedang Abdur Razaq adalah atba’ tabi’in junior. Dengan data ini, penulis memprediksikan bahwa keduanya pernah hidup semasa dan melakukan transmisi hadist. Hal yang kedua adalah karena keduanya sama-sama tinggal di Yaman. Meski para perawi hadist kerap berkelanan ke berbagai kota bahkan negara untuk mencari hadist, namun dekatnya teritorial antara guru dan murid semakin memperbesar kemungkinan terjadinya transmisi sebuah hadist. Sedang faktor yang ketiga adalah karena sighat tahammul wa al adah yang digunakan cukup berkulaitas, yakni dengan lafadz an.

Abdur Razaq yang merupakan seorang atba’ tabi’in junior dalam mata rantai hadist dari Abu Hurairah ini menyampaikan hadist pada seorang atba’ tabi’ tabi’in senior yang bernama Yahya bin Ja’far. Dari thabaqah keduanya saja, peneliti bisa menyimpulkan bahwa keduanya benar-benar pernah terlibat dalam sebuah proses transmisi hadist. Abdur Razaq yang merupakan junior atba’ tabi’in menyampaikan hadist pada senior atba’ tabi’tabi’in. Peneliti berasumsi bahwa bertemuanya junior rating sebuah level dengan senior rating di bawahnya adalah suatu kewajaran.

Apalagi, jarak yang memisahkan tahun wafat keduanya hanyalah 12 tahun. Bukti ini semakin diperkuat dengan perangkat transmisi yang menggunakan perangkat berlevel tinggi dengan yang juga menggunakan dhamir plural, yakni haddatsana. Dalam keterangan Hasdi As-Siddiqi, sighat ‘haddatsana’ ini menempati posisi tertinggi kedua setelah ‘sami’na’

Persambungan yang terakhir adalah hubungan antara Yahya dengan Bukhari. Yahya wafat pada tahun 234 H dan Bukhari wafat pada 256. Terdapat jarak waktu 23 tahun yang memisahkan tahun wafat dua orang ini. Jumlah tersebut masih sangat memungkinkan terjadinya pertemuan antarkeduanya. Meskipun Bukhari dikenal suka menjelajah ke berbagai wilayah untuk mencari hadist, akan tetapi mengingat Yahya adalah wara Bukhara, maka pertemuan keduanya menjadi sangat mungkin. Apalagi, ketika Bukhari menggunakan adat haddatsana, maka hal ini mengindikasikan bahwa ia tidak hanya sendirian menerima hadist tersebut dari Yahya. Perangkat transmisi ini tergolong ke dalam level yang tinggi dan semakin diperkuat oleh keterangan plural.

d) Kemungkinan Adanya Syadz dan Illah
Syadz dan Illah merupakan dua hal yang tidak boleh dimiliki sebuah hadist untuk bisa memenuhi kualifikasi sebagai hadist shahih. Syadz dan Illah senyatanya merupakan penyakit ter-hidden yang bisa menyerang sanad maupun matan hadist. Karena skop pada pembahasan kali ini lebih terkerucut pada kritik sanad, maka peneliti hanya akan membahas syadz dan illah dari segi sanad. Satu hal yang membuat pelacakan dua hal ini menjadi sulit adalah karenanya sifatnya yang tersembunyi dan tidak bisa diketahui kecuali dengan melakukan penelitian yang cukup mendetail mengenai sebuah hadist tertentu. Penelitian mendetail tersebut salah satunya bisa dilakukan dengan i’tibar yakni membandingkan semua jalur periwayatan yang mentransmisikan sebuah hadist seperti yang telah peneliti lakukan pada bagian sebelumnya.

Sebelum membahas aplikasi i’tibar untuk membuktikan tidak adanya syadz dan illah, peneliti akan terlebih dahulu menjelaskan definisi yang clear and distinct mengenai dua kata ini. Secara bahasa, syadz bisa diartikan jarang. Arti ini dalam terminologi ilmu hadist kemudian menunjukkan adanya periwayat tsiqah yang menyalahi riwayat rawi lain yang tingkat tsiqah-nya lebih tinggi. Sedangkan illah adalah kecacatan tersembunyi dalam hadist yang secara kasat mata tampak sempurna dan tampak tidak ber-illah.

Berdasarkan i’tibar yang dilakukan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa hadist riwayat Abu Hurairah ini tidak mengandung syadz maupun illat. Bukti terhindarnya hadist ini dari syadz adalah tidak adanya perbedaan matan yang signifikan dari semua hadist setema yang dilibatkan dalam proses i’tibar. Meskipun terjadi perbedaan matan (sebab matan yang persis sama hanya terdapat dalam Bukhari 4941 dan Bukhari 1924), namun ‘semangat’ yang tersampaikan dari semua hadist yang ada tetap sama, meski disampaikan dengan bahasa dan susunan yang berbeda. Semangat yang diusung ketujuh hadist tersebut adalah bahwa, isteri tidak perlu menanti idzin suami untuk bersadakah, dan bahwa isteri mendapatkan pahala dari sadakah yang diberikannya.

Sedangkan syadz pada sanad adalah adanya satu jalur periwayatan yang menyampaikan hadist yang menyalahi jalur periwayat lain yang lebih shahih. Syadz sanad ini juga tidak terdapat dalam hadist Bukhari 4941 sebab walaupun ada banyak jalur periwayatan, akan tetapi perbedaan yang ada tidak menyentuh pada wilayah signifikan yang bisa mengubah substansi ma’na sebuah hadist.

Sedangkan bukti yang menguatkan bahwa hadist ini selamat dari illah matan dan sanad juga bisa dilihat dari hasil i’tibar. Tidak ada satupun matan sebuah hadist yang menyimpang dari riwayat lain dan rawi-rawi yang terlibat dalam transmisi hadist ini pun telah jelas indentitiasnya (dengan kroscek ketersambungan sanad). Sehingga, kemungkinan adanya syadz dan illat dalam hadist ini bisa dinegasikan.

e) Kesimpulan Akhir Kritik Sanad
Setelah melewati beberapa proses dalam kritik sanad, yakni proses takhrij, i’tibar, pemparan biografi masing-masing perawi, memastikan ketersambungan rawi, serta memastikan tidak adanya syadz dan illat, peneliti berkesimpulan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini berkualitas shahih dan bisa dijadikan hujjah.

Secara umum, ulama hadist menggagas adanya lima kriteria yang bisa dijadikan tolak ukur untuk men-shahih-kan suatu hadist. Kelima tolak ukur tersebut adalah tersambungnya sanad, krebibilitas intelektual dan kepribadian masing-masing perawi, serta tidak adanya syadz dan illah dalam sebuah hadist. Semua paparan yang disampaikan peneliti pada bagian sebelumnya mendukung ke-shahih-an hadist ini.

2. Kritik Matan
Kritik matan merupakan lanjutan proses yang harus dilakukan seorang peneliti setelah selesai melakukan kritik sanad. Jika kritik sanad berupaya mengetahui validitas suatu hadist, maka kritik matan lebih berupaya merambah pada aspek aplikatif, yakni apakah sebuah hadist –yang berkualitas—bisa diamalkan dan bagaimana cara pengamalannya. Meski kritik matan dilakukan setelah kritik sanad, hal demikian tidak berarti bahwa kritik matan tidak lebih penting dalam kajian ilmu hadist. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kajian ini cukup jarang diminati—misalnya jika dibandingkan dengan kritik sanad—akan tetapi kritik matan memegang peranan yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dalam hemat peneliti, kritik sanad harus terlebih dahulu didahulukan dibanding kritik matan. Kesimpulan ini bukan berarti menomorduakan kritik matan dan mengunggulkan kritik sanad, namun lebih berkeinginan memastikan adanya rambu-rambu dan prosedur yang dipatuhi. Logikanya, jika kritik matan didahulukan dan kemudian baru disusul dengan kritik sanad, dan ternyata sanad sebuah hadist tidaklah berkualitas dan banyak mengandung cacat, maka kritik matan pun akan sia-sia sebab hadist yang matan-nya susah payah diteliti ternyata tidak bisa dijadikan hujjah.

Kritik matan atau yang juga dikenal dengan kritik internal hadist telah lama menjadi kajian para pemerhati hadist yang kemudian memberikan teori dan rambu-rambu bagi peneliti hadist untuk melakukan kritik matan. Salah satu pemerhati hadist yang dalam hal ini juga turut memberikan sebuah teori dan rambu-rambu kritik matan adalah Shalahuddin Al-Adlabi. Ia bahkan menulis sebuah kitab khusus dalam kajian ini, dengan judul manhaj naqdil matni (metode kritik matan). Dalam kitab tersebut, Adlabi memaparkan empat kriteria yang harus dipenuhi matan sebuah hadist untuk bisa dikatakan shahih. Keempat kriteria tersebut adalah:

 Susunan pernyataan menunjukkan ciri sabda kenabian
 Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
 Tidak bertentangan dengan hadist lain dan sirah nabawiyah
 Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indera, dan fakta sejarah

Alasan di balik pemilihan teori yang yang digagas oleh Al-Adlabi ini adalah karena peneliti beranggapan bahwa keempat kriteria yang diberikan Al-Adlabi, meskipun singkat, namun sudah mengena kepada persoalan, inklusif, dan representatif. Teori singkat ini juga cocok untuk penelitian mini seperti yang dilakukan peneliti.

Peneliti akan memulai dengan kriteria pertama yang digagas oleh Al-Adlabi, yakni susunan matan yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Ciri sabda kenabian dalam hal ini bisa diartikan dengan kalimat yang tidak bertele-tele dan langsung mengena pada pokok persoalan. Sedangkan pesan yang termuat dalam hadist ini juga menunjukkan sabda kenabian, karena sifatnya yang memberikan tuntunan dan ketentuan. Susunan hadist Nabi memang bermacam-macam, adakalanya berupa jawaban atas pertanyaan para sahabat, respon atas perbuatan seorang sahabat atau kejadian yang dilihat, ataupun langsung berupa sabda yang memberikan tuntunan atau ketentuan bagi muslimin secara luas. Dalam hal ini, hadist yang bersangkutan—peneliti belum mengetahui asbabul wurud hadist ini—berupa perkataan Nabi yang juga memberikan tuntunan dan ketentuan yang berlaku bagi muslimin.

Dengan demikian, peneliti sementara berasumsi bahwa matan hadist ini menunjukkan ciri sabda kenabian. Asumsi ini semakin dikuatkan dengan menghadirkan beberapa hadist setema yang sudah dibahas pada bagian takhrij berikut:

No Sumber Redaksi matan
1 Bukhari 4941
Bukhari 1924
Abu Daud 1437 إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ
2 Muslim 1704 لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
3 Ahmad 7841 لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
4 Bukhari 4796 قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ وَرَوَاهُ أَبُو الزِّنَادِ أَيْضًا عَنْ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الصَّوْمِ

Ada empat macam variasi matan hadist dari enam hadist yang peneliti dapatkan setelah melakukan takhrij. Tiga di antaranya adalah adalah hadist yang memiliki matan persis sama, sedang tiga lainnya berbeda. Tiga hadist yang berebda tersebut (yakni Muslim 1704. Ahmad 7841, dan Bukhari 4796) tidak hanya memuat satu pesan, namun juga tuntunan lain, yakni ketidakbolehan seorang isteri berpuasa dan menerima tamu di rumahnya tanpa seidzin suami. Larangan terhadap dua hal (berpuasa dan menerima tamu) tanpa seidzin suami tidak berlaku ketika seorang isteri mensadaqahkan harta suaminya. Dalam kasus yang demikian, isteri tidak dilarang melakukannya, bahkan isteri mendapat pahala dari perbuatan tersebut.

Variasi dalam matan hadist ini, selain menunjukkan adanya indikasi riwayah bi al-ma’na (dengan perbedaan diksi nishf-dan ajr, penggunaan isim dhamir dan isim dhahir), juga membuka kemungkinan bahwa hadist Rasulullah ini diucapkan tidak hanya dalam satu keadaan. Namun begitu, penulis belum mendapatkan pendukung asumsi ini sebab belum mengetahui asbabul wurud hadist yang bersangkutan. Satu-satunya alasan yang membuat penulis berpendapat demikian adalah karena beragamnya bab yang memuat hadist ini (kitab nafaqah, bab zakat, jual beli, dan bab nikah) dan karena ada tiga hadist yang matannya tidak hanya memuat satu pembahasan mengenai shadaqah yang dilakukan isteri dair harta suaminya.

Kriteria kedua yang diangkat oleh Al-Adlabi adalah kriteria tidak adanya pertentangan matan hadist dengan Al-Qur’an. Ada sangat banyak ayat Al-Qur’an yang mewajibkan muslimin untuk tidak hanya memberikan perhatian pada aspek vertikal dengan beribadah kepada Allah, namun juga mengasah sensitivitas aspek horizontal dalam kehidupan sosial. Selain ajarah menghormati, menyayangi, dan membantu sesama, Al-Qur’an juga banyak memberikan tuntunan mengenai keharusan meluangkan sebagian rizki yang diberikan Allah pada orang yang berhak mendapatkannya.

Secara khusus, ada banyak relasi muamalah yang diatur oleh Allah, seperti zakat, harta warist, nafaqah, wasiat, dan lain sebagainya. Masing-masing terma tersebut memiliki perbedaan masing-masing. Jika hadist ini Rasulullah menggunakan term nafaqah, maka peneliti menukil pendapat yang mengatakan bahwa nafaqah ada dua macam, yang pertama adalah nafaqah wajib yakni pemberian nafaqah dalam keluarga sedang yang kedua adalah nadaaqah sunnah, yakni pemberian yang diberikan kepada sesama manusia yang membutuhkan. Jadi dengan demikian, nafaqah yang dimaksud dalam ayat ini adalah shadaqah, bukan nafkah keluarga.

Setidaknya, peneliti berasumsi jika yang dimaksud dalam hadist ini adalah nafaqah keluarga, maka isteri tidak perlu meminta idzin suami untuk mengeluarkannya, sebab nafakah keluarga memang menjadi kewajiban seorang suami. Dengan demikian, nafaqah yang dimaksud dalam hadist ini adalah shadaqah yang biasanya diberikan kepada orang yang membutuhkan. Shadaqah hukumnya sunnah, tidak memiliki keterikatan hukum wajib, berbeda dengan zakat dan nafkah keluarga.

Dalam QS Al-Baqarah 103, Allah menegaskan anjuran kepada muslimin untuk meluangkan sebagian harta yang dimiliki kepada orang lain yang membutuhkan, sebab pemberian tersebut dapat menyejukkan dan menyucikan hati si pemberi.

          •        
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dalam hemat penulis, ayat ini tidak hanya bisa dikontekskan dengan zakat, namun juga semua pemberian lain yang hukumnya sunnah. Sebab dengan memberikan ‘kelebihan’ harta bagi orang lain, apapu bentuknya, pemilik harta akan merasa senang telah membantu saudaranya, sehingga ia akan tercerahkan dengan perbuataannya tersebut.

At-Taubah 63 bahkan hingga memberikan panduan yang cukup rigid tentang orang-orang yang berhak menerima shadaqah. Penjelasan yang sangat rinci ini tidak lain dimaksudkan agar pemilik harta terdorong untuk tidak segan memberikan sadakah kepada saudaranya yang membutuhkan. Ayat dimaksud adalah sebagai berikut;

                         
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana

Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa sekecil apapun harta yang disadaqahkan seseorang akan diketahui oleh Allah swt. Dorongan yang begitu banyak ini seakan membuat muslim yang berkecukupan untuk tidak lagi memiliki alasan untuk tidak bersadaqah.

Masih banyak ayat lain yang mengulas perihal keutamaan, rambu-rambu, dan segala hal terkait shadaqah. Misalnya saja, awal juz ___ yang mengatakan lan tanaaluu al birra hatta tunfiquu maa tuhibbun, larangan bersadakah sambil mencaci orang yang menerima sadakah, dan lain-lain. Sehingga, meskipun tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas menggambarkan kebolehan seorang isteri mensdaqahkan harta suaminya, peneliti berkesimpulan bahwa hadist ini tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

Kriteria selanjutnya adalah matan hadist yang tidak bertentangan dengan sirah nabawiah dan hadist lain. Semasam hidupnya, Nabi Muhammad dikenal sebagai sosok pemimpin yang luar biasa dermawan pada rakyat yang dimpimpinnya. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad pulang berperang dengan membawa segepok harta rampasan perang, harta rampasan tersebut hanya bersisa sedikit ketika sampai di kediaman Nabi, sebab telah dibagikan di sepanjang perjalanan. Tauladan Nabi Muhammad ini paling tidak menjadi acuan bahwa seorang yang kekurangan pun masih berusaha memberikan sadaqah, maka manusia yang berkecukupan selayaknya melebihi semangat sosial Nabi Muhammad.

Matan hadist ini juga tidak bertentangan dengan hadist lain, baik yang setema atau yang tidak. Namun dalam bagian ini, peneliti akan menyajikan data-data yang diperoleh dari kitab Fathul Bari dengan tujuan memberikan penjelasan hal-hal yang belum terkover dalam beberapa hadist yang sudah ditakhrij. Pada nomor hadist 1439 bab zakah nomor 26, terdapat riwayat Aisyah yang mensyaratkan agar harta yang disadakahkan disalurkan dengan cara yang benar serta sasaran yang tepat. Dalam hadist Aisyah yang diriwaytkan oleh A’masy, terdapat tambahan lafad ghira mufsidatin setelah lafadz idza anfaqalal- mar’atu min baiti zaujiha

Selain itu, masih dalam kitab Fathul Bari, penulis menemukan hadist lain dalam bab shadaqah yang dilakukan oleh seorang pelayan (dari harta majikannya) karena majikanya tersebut tidak sempat melakukan sadakah sebab sibuk dengan urusan lain. Hal ini, dalam pandangan Ibnu Hajar adalah sesuatu yang dima’fu (diperbolehkan), sebab keterwakilan pemberi sadaqah tidak akan mengurangi esensi sadaqah sendiri. Ibnu Hajar kemudian mengulas bahwa semangat yang ingin disampaikan dalam hadist ini adalah bahwa sebisa mungkin, muslimin tidak boleh mencari alasan untuk mengurungkan niat sadaqah. Hal ini misanya terjadi pada seorang isteri yang beranggapan masih harus menunggu idzin suami untuk mensadaqahkan harta (yang berasal dari pekerjaan suami).

Hadist lain yang mendukung anjuran untuk bersadaqah terdapat dalam kitab Fathul Baru nomor 1423. Hadist yang cukup populer tersebut menunjukkan bahwa ada tujuh golongan yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat. Salah satu di antara golongan tersebut adalah seorang yang menafkahan hartanya dengan tangan kanan dan menutupinya (menyembunyikannya) dari tangan kiri. Analogi ini menggambarkan bahwa niat tulus untuk bersadaqah seharusnya tidak dibarengi dengan kecendrungan-kecdenrugan jahat, semisal riya’, sum’ah, mencaci maki orang yang diberi sadaqah, dan lain-lain.

Sejauh ini, peneliti belum menemukan hadist lain yang menyalahi kandungan matan hadist Bukhari 4941 ini. Kalupun dalam sebagian riwayat (Muslim 1704, Abu Daud 1437, dan Ahmad 7841) matan ini dibarengkan dengan larangan-larangan yang dialamatkan bagi seorang isteri tanpa mengantongi idzin suami, akan tetapi perihal nafakah ini berada dalam pengecualian. Tidak hanya dikecualikan, seorang isteri yang melakukan sadakah ini juga berhak mendapat pahala. Dengan demikian, peneliti berkesimpulan bahwa matan hadist ini tidak bertentangan dengan sirah nabawiah maupun hadist lain.

Kriteria terakhir adalah matan hadist tidak boleh bertentangan dengan akal sehat, panca indera, dan fakta sejarah. Dalam analisis peneliti, sadaqah seorang isteri terhadap orang yang membutuhkan dengan jalur yang juga tepat sah-sah saja dilakukan, sebab sebagian dari hasil kerja (kasab) suami menjadi hak nafkah isteri. Jadi ketika nafakah tersebut diberikan, maka harta nafakah sepenuhnya menjadi milik isteri dan bebas dibelanjakan ke mana saja. Jika matan hadit ini masih menyinggung idzin yang di diberikan suami, maka hal yang demikian lebih merupakan sebuah anjuran untuk mengkomunikasikan segala hal dalam urusan rumah tangga. Terlebih saat itu, Islam baru mengangkat derajat kaum perempuan, sehingga para isteri barangkali belum terbiasa terjun dalam dunia publik. Sehingga sangat dimungkinkan, para isteri tersebut masih membutuhkan tuntunan dari para suami dalam segala halnya, termasuk dalam masalah shadaqah.

Sekilas, hadist ini tampak sangat patriarkal dengan menonjolkan peran suami sebagai pencari nafkah keluarga. Laki-laki yang berperan di wilayah publik dan perempuan yang berada pada wilayah domestik. Hal ini menjadi sangat wajar sebab, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, saat itu masyarakat Arab masih belum bisa sepenuhnya lepas dari tradisi patriarkal. Sehingga, posisi publik masih banyak dipegang suami.

Namun di sisi lain, hadit ini senyatanya sangat egalitarian, dengan memberikan kesempatan pada isteri untuk melakukan suatu kebaikan tanpa harus menunggu idzin dari suami. Hadist ini memuat semangat ‘kebebasan yang tidak bablas’ yang ingin dibumikan Islam pada masyarakat Arab yang masih sangat kental dengan nuansa patriarkal. Hadist ini adalah salah satu di antara beberapa hadist yang menjadi fajar pencerahan bagi terangkatnya posisi perempuan dalam Islam.

Uraian-uraiain sebelumnya telah menunjukkan bahwa matan hadist Bukhri nomor 4941 memenuhi semua kriteria yang ditetapkan oleh Al-Adlabi dan karenanya matan hadist ini bisa dikatakan shahih dan bisa dijadikan hujjah. Namun ketika penulis ingin memberikan kontekstualisasi dengan keadaan kontemporer yang sedikit banyak berbeda dengan seting historis diturunkannya hadist ini, maka peneliti menggunakan term ‘sarana yang berubah-ubah’ dan ‘tujuan yang tetap’ versi Yusuf Al-Qardhawi.

Setelah memerhatikan contoh-contoh yang diberikan Yusuf Al Qardhawi, peneliti berasumsi bahwa kebolehan melakukan sadaqah tanpa idzin suami merupakan sebuah sarana yang digunakan Rasulullah untuk menunjukkan tujuan atau semangat hadist yang bersifat konstan. Semangat yang ingin disampaikan dalam hadist ini, di antaranya adalah keharusan suami-isteri untuk membina komunikasi dengan baik, meniadakan halangan yang bisa mengurungkan niat untuk melakukan sadaqah, dan kewajiban seorang isteri untuk menjaga amanah suaminya. Penulis Fathul Bari menambahkan adanya semangat penjagaan jiwa (untuk tidak menyelewengkan harta dan amanah suami) dan anjuran untuk selalu melakukan kebaikan.

Dalam kehidupan kontemporer saat ini, tugas untuk mencari nafkah keluaga tidak hanya berada di tangan suami, para perempuan juga sudah banyak yang turun ke wilayah publik dengan profesionalismenya masing-masing. Maka dengan begitu, adanya pemetaan ‘sarana yang berubah-ubah’ dan ‘tujuan yang tetap’ meski dengan kemasan yang simpel ini bisa menjadikan hadist Bukhari 4941 tetap fleksibel terhadap perubahan dan perkembangan zaman.

3. Kesimpulan
Setelah melakukan beberapa tahapan proses dalam kritik sanad yang kemudian dilanjutkan dengan kritik matan, peneliti akan membuat beberapa kesimpulan-kesimpulan singkat yang paling tidak bisa menggambarkan arah dan hasil penelitian ini secara global.
Yang pertama, adalah bahwa hadist Bukhari 4941 memiliki enam hadist yang setema, dua berada dalam sahih Bukhari, satu dalam Shahih Muslim, satu dalam Sunan Abi Daud, dan satu terakhir dalam Musnad Ahmad bin Hanbal.
Kedua, dalam tinjauan kualitas hadist berdasarkan kuantitas perawi dalam tiap tingkatan melalui proses i’tibar, peneliti berkesimpulan bahwa hadist ini termasuk hadist ahad dalam katagori aziz.
Ketiga, dalam baromoeter keshahihan hadist, sanad hadist ini shahih karena memenuhi lima kriteria yang ditetapkan ulama, yakni tersambungnya sanad, kredibilitas intelektual dan kepribadian yang memadai, serta tidak adanya syadz dan illat.
Keempat,setelah melakukan kritik matan, peneliti berskesimpulan bahwa hadist inti dalam pembahasan ini berstatus shahih dan bisa dijadikan hujjah.
Kelima, semangat konstan yang tertuang dalam hadist bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Hadist ini memuat semangat dan dorongan agar membina komunikasi yang baik dengan pasangan, mengenyahkan halangan untuk bersadaqah, dan kewajiban menjaga amanah yang dibebankan pada manusia.





































DAFTAR PUSTAKA

Al Asqalani, Ibnu Hajar. Tt. Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari juz 3 Darul Kitab al- Ilmiyyah: Beirut.
As-Shiddiqy, Hasbi. 1981. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist jilid II cet. V, Jakarta: Bulan Bintang.
Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadist Nabi, Jakarta: Bulan Bintang
Ismali, Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Hadist; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Musthalahul Hadist, Bandung: Al Ma’arif
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga. 2009. Metodologi Penelitian Hadist, Yogyakarta: TH-Press
Suryadi. 2008. Metode Kontemporer Memahami Hadist Nabi; Perspektif Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi. Yogyakarta: Teras.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul Hadis, Yogyakarta:Teras
Tim Penyusun. 2002. Ulumul Hadist untuk kelas I MAK, Jakarta: Kantor Depag
http://alimasduki.blogdetik.com/2009/04/24/antara-shadaqah-dan-nafaqah/

0 comMentz: