SHADAQAH ISTERI DARI HARTA SUAMI
; RELASI FINANSIAL KELUARGA ISLAM
Studi Sanad dan Matan Hadist Riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah
Oleh Masyithah Mardhatillah (0530003)
A. Latar Belakang Masalah
Dalam posisinya sebagai referensi sekunder dalam ajaran Islam, hadist hadir dalam bentuk penjelas dan pelengkap Al-Qur’an yang memaparkan hal-hal klarifikatif dan lebih terperinci dibanding Al-Qur’an. Hal yang demikian menjadi sebuah kewajaran sebab hadist bersumber dari Nabi Muhammad yang berbaur langsung dengan kehidupan masyarakat Arab Islam empat belas yang lalu. Teks hadist pun lebih dekat dengan kehidupan real sebab ada banyak hadist yang menggambarkan diskusi antar Nabi dan sahabat maupun dialog saat Nabi menjawab pertanyaan sahabat.
Kehadiran hadist tidak hanya bisa membumikan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an, namun juga memberikan penjelasan, pengkuhususan (bagi ayat yang amm), dan memberi batasan—taqyid—(bagi ayat-ayat yang muthlaq). Bisa diibaratkan, hadist adalah sekumpulan perangkat yang berupaya mengejawantahkan ‘apa’ yang sebenarnya ingin disampaikan Allah lewat Al-Qur’an. Sebab itulah tidak jarang, Rasulullah kerap memberikan tafsir langsung beberapa ayat Al-Qur’an dalam beberapa hadistnya. Selain itu, Nabi Muhammad juga memberikan informasi penjelas bahkan pelengkap beberapa tema bahasan Al-Qur’an yang masih global.
Meski hadist Nabi banyak dipengaruhi oleh kultur Arab empat belas abad yang lalu, akan tetapi kehadiran hadist Nabi cukup menunjukkan bahwa ajaran Al-Qur’an bukanlah dogma yang harus diamini apa adanya dan saklek seperti yang tertera dalam fisik teks. Al-Qur’an masih membutuhkan perangkat-perangkat hujjah lain untuk bisa diamalkan dalam hidup keseharian.
Salah satu tema Al-Qur’an yang diangkat oleh Rasulullah dalam beberapa hadistnya adalah relasi suami-isteri (ahwal syakhsiyah) dan masalah shadaqah (muamalah). Al-Qur’an banyak membahas relasi suami isteri dalam beberapa ayatnya, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, hakikat pernikahan, pole ideal relasi hubungan suami isteri, dan lain-lain. Selain itu, Al-Qur’an juga memberikan banyak dorongan dan rambu-rambu dalam bershadaqah, seperti ayat yang memberikan penjelasan kepada siapa saja shadaqah harus diberikan, larangan menyertakan ‘caci maki’ dalam harta yang disadaqahkan, dan lain sebagainya.
Selain menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam sebuah keluarga, Al-Qur’an juga mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hubungan komplementif (saling melengkapi, dengan ayat hunna libaasun lakum, wa antum libaasun lahunn). Hal ini menandakan bahwa Islam mengandaikan adanya division of labor (pembagian kerja) dalam sebuah rumah tangga. Tidak ada pihak yang tersubordinasi dan pihak yang superior dalam posisinya di sebuah rumah tangga. Semangat ini diperkuat dengan beberapa hadist yang menyiratkan bahwa suami dan isteri tidak berada dalam hubungan yang hirarkis, tapi komplementif.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad ternyata memberikan pedoman yang cukup rigid dan terperinci. Salah satunya tercantum dalam hadist nomor 4941 dalam kitab Shahih Bukhari. Bahasan dalam hadist ini tidak hanya berhenti pada permasalahan hubungan suami isteri, namun juga memuat semangat sosial dengan shadaqah yang diberikan pada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Berikut hadist dimaksud:
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ
Yahya menuturkan pada kami, Abdur Razaq telah mendapat hadist dari Hammam, dan Hammam mendengar dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda; Jika ada seorang perempuan yang menafkahkah harta suaminya tanpa idzin dari suami tersebut, maka perempuan tersebut mendapatkan setengah pahala yang didapatkan suami
Jika dibaca secara sekilas, maka hadist tersebut tampak menggambarkan suasana bangsa Arab empat belas abad yang lalu di mana perempuan masih ‘bersembunyi’ di wilayah domestik ketika laki-laki sudah terjun bebas di dunia publik. Adanya frase ‘tanpa idzin suami’ juga menimbulkan pertanyaan, sebab hadist ini terkesan seolah-oleh membolehkan isteri untuk ‘main belakang’ tanpa memberitahu suami tentang segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga yang dibina.
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, dalam makalah singkat ini peneliti akan melakukan kritik sanad dan kritik matan kecil-kecilan untuk mengetahui validitas dan sejauh mana serta bagaimana hadist ini bisa diamalkan. Untuk mengetahui beberapa hal tersebut, peneliti akan menempuh beberapa langkah untuk memastikan validitas hadist (dengan kritik sanad yang berupa takhrij, i’tibar) dan mengetahui sejauh apa dan bagaimana aplikasi hadist ini (dengan kritik matan).
B. Takhrij al-Hadist
Takhrij al-hadist adalah suatu upaya untuk mengetahui asal suatu hadist. Asal hadist yang dimaksud adalah kitab yang memuat hadist yang bersangkutan dan mata rantai sanad yang berhasil mengantarkan sebuah hadist melewati beberapa kurun periode. Dengan mengantongi informasi mengenai kitab yang memuat sebuah hadist—dan secara otomatis juga mengetahui siapa saja yang terlibat dalam mata rantai periwayatan—peneliti bisa memiliki modal awal untuk melanjutkan penelitian dalam rangka mengetahui validitas sebuah hadist.
Dalam terminologi hadist sendiri, beberapa ulama’ telah memberikan definisi yang cukup representatif mengenai takhrij al-hadist. Beberapa ulama’ tersebut bahkan juga memberikan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengetahui asal muasal sebuah hadist. Langkah-langkah tersebut adalah cara kerja manual yang melibatkan kitab induk hadist, kitab index kata kunci sebuah hadist, dan lain-lain. Namun begitu, dewasa ini, aktivitas takhrij al-hadist juga bisa dilakukan secara digital dengan bantuan komputerisasi yang lebih memudahkan peneliti hadist.
Takhrij secara bahasa bisa diartikan penelusuran atau pencarian hadist dari berbagai sumber asalnya dengan mengetahui sanad dan matan hadist yang bersangkutan. Tujuan dilakukannya takhrij yang merupakan langkah awal yang ditempuh dalam penelitian suatu hadist ini adalah untuk mengetahui asal-usul riwayat yang akan diteliti serta mengetahui seluruh jalur periwayatan yang mentransmisikan sebuah hadist.
Dalam penelitian singkat ini, penulis memanfaatkan fasilitas takhrij digital dengan menggunakan software mausuah al-hadist al-syarif. Dengan mengantongi nomor hadist yang akan diteliti, yakni Bukhari nomor 4941. Hadist senada (sematan) yang disajikan oleh sofware mausuah ada lima hadist, yang terdapat dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, dan Sunan Ahmad bin Hanbal. Berikut peneliti sajikan hadist-hadist tersebut.
1. Sahih Bukhari, bab Nafaqah, nomor 1804 dan bab Buyu’ nomor 1924
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ
2. Sahih Muslim, bab Zakat nomor 1704
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ
3. Sunan Abu Daud, bab Zakat nomor 1437
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهَا نِصْفُ أَجْرِهِ
4. Musnad Ahmad, bab baqi musnad mukatssirin, 7841
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُِ
5. Shahih Bukhari, bab Nikah, 4796
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ وَرَوَاهُ أَبُو الزِّنَادِ أَيْضًا عَنْ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الصَّوْمِ
Keterangan:
· Sanad hadist dari Musnad Ahmad tidak ditampilkan dalam software mausuah, akan tetapi sanad hadist ini akan peneliti sajikan dalam bagian lampiran skema sanad hadist.
· Hadist dalam Shaih Bukhari nomor 4941 dibarengkan penyebutannya dengan hadist dalam Shahih Bukhari nomor 1924, sebab kedua hadist tersebut adalah dua hadist yang memiliki kesamaan sanad dan matan secara persis.
C. I’tibar Sanad
I’tibar dalam terminologi hadist berarti membandingkan hadist-hadist yang setema dari beberapa jalur yang berbeda untuk mengetahui apakah seorang rawi memiliki syahid dan atau mutabi’. Tujuan i’tibar ini tidak lain adalah untuk memberikan judgment final terhadap kualitas sebuah hadist. Sebab, suatu hadist yang ditopang dengan adanya syahid dan mutabi’ tentu akan lebih berkualitas dibanding hadist yang tidak memilik syahid atau mutabi’ sama sekali. Logikanya, semakin banyak jalur yang meriwayatkan sebuah hadist, maka kredibilitsa hadist yang bersangkutan juga akan lebih baik.
Berbekal i’tibar, misalnya, seorang peneliti bisa merecek ada berapa orang yang menerima sebuah hadist dari seorang perawi. Hal ini terkait dengan metode transmisi (adah wa tahammul). Jika seorang perawmi mendapatkan hadist dari gurunya dengan perangkat plural (misalnya haddatasana, sami’na), maka bisa dipastikan bahwa perawi tersebut memiliki syahid dan atau mutabi’. I’tibar inilah yang diandalkan beberapa peneliti hadist untuk mengetahui syahid dan mutabi’ yang ada dalam periwayatan sebuah hadist. Selain berfungsi menyingkap adanya syahid dan atau mutabi’, i’tibar juga bisa menyajikan beragam matan hadist yang biasanya berbeda antar satu jalur dengan jalur lainnya.
Pemerhati kajian hadist sendiri umumnya bersepaham dalam memberikan definisi mengenai i’tibar, hanya disampaikan dalam bahasa yang berbeda-beda. Pada intinya, mereka beranggapan bahwa i’tibar adalah upaya untuk mencari jalur periwayatan lain dari sebuah hadist dengan tujuan mengetahui seberapa banyak dan seberapa berkualitas perawi yang terlibat dalam transmisi suatu hadist yang akan berpengaruh langsung pada kualitas hadist yang diteliti.
Definisi yang demikian tampak cukup kabur dengan definisi dan atau fungsi takhrij al-hadist. Dalam pandangan peneliti, takhrij hanya berhenti pada upaya untuk mengetahui asal-usul—dari mana saja—sebuah hadist berasal. Takhrij menyajikan sebuah data yang kemudian diolah dengan aktivitas i’tibar. Pengolahan data yang disajikan oleh takhrij ini dilakukan dengan menggambar sebuah skema atau bagan yang diharapkan dapat mempermudah proses pembuatan dan pemahaman i’tibar.
Sedangkan istilah syahid dan mutabi’ merupakan dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya penguat rawi dalam masing-masing tingkatan. Jika seorang rawi dari kalangan sahabat memiliki pendukung dari sanad yang berbeda, maka sahabat tersebut memiliki seorang syahid. Namun jika rawi tersebut bukanlah sahabat (tabi’ien, atba’ tabiin, atba’ tabi’-tabi’in, dst), maka rawi dari jalur lain yang mendukung disebut sebagai mutabi’.
Dengan melakukan penelusuran pada software mausuah, peneliti menemukan ada lima hadist yang setema dan memiliki kesamaan semangat dengan hadist inti yang diteliti. Dari keenam hadist tersebut, peneliti telah membuat skema periwayatan hadist yang menghubungkan mata rantai sahabat hingga mukharij. Skema periwayatan tersebut telah peneliti lampirkan pada bagian lampiran
Skema i’tibar hadist dimulai dari tingkatan sahabat, yakni Abu Hurairah yang dalam hal ini tidak memiliki syahid. Abu Hurairah tidak memiliki syahid sebab dari keenam hadist yang didapatkan peneliti, semua hadist tersebut berpangkal pada Abu Hurairah. Sendirinya Abu Hurairah ini juga didukung dari perangkat transimi singular yang ia gunakan, yakni qala (قال) dan an (عن) .
Namun begitu, ketika peneliti membuka kitab Fathul Bari secara manual untuk keperluan kritik matan hadist, peneliti mendapatkan beberapa hadist hampir senada yang mata rantai periwayatannya berpangkal pada Aisyah binti Abi Bakar. Akan tetapi, penulis tidak memasukkan beberapa hadist Aisyah tersebut ke dalam skema hadist karena sebuah alasan. Alasan tersebut adalah karena ketika peneliti merecek pada mausuah dengan menyisipkan nomor hadist yang tertera dalam Fathul Bari, peneliti tidak mendapatkan hadist yang senada. Ada ketidaksinkronan antara nomorisasi hadist dalam Fathul Bari yang diterbitkan kitab Darul Kitab Ilmiyyah dengan Shahih Bukhari dalam mausuah. Karena masalah ini belum terselesaikan, maka penulis memilih untuk tidak memasukkan hadist riwayat Aisyah ke dalam skema i’tibar sanad.
Perawi selanjutnya (dari golongan tabi’ien senior dan pertengahan) yang menerima hadist dari Abu Hurairah adalah Hammam. Hammam ini memiliki seorang mutabi’, yakni Al-A’raj. Hammam adalah tabi’ien senior dan Al-A’raj adalah tabi’ien pertengahan. Keduanya sama-sama menerima hadist dari Abu Hurairah, hanya kemudian menyampaikan pada dua orang yang berbeda. Hammam menyampaikan pada Ma’mar, dan Al-A’raj menyampaikan pada Abuz Zinad. Alasan teritorial-lah yang berada di balik pemilih murid ini. Jika Hammam dan Ma’mar sama-sama tinggal di Yaman, baik baik Al-A’raj dan Abuz Zinad juga tinggal di wilayah yang sama, yakni Madinah
Adanya mutabi’ dalam thabaqah ini kurang begitu didukung oleh perangkat transmisi yang sesuai, sebab perangkat yang digunakan merupakan perangkat yang umum, bukan khusu plural dan bukan pula khusus singular. Perangkat transmisi tersebut adalah an (عن) .
Thabaqah selanjutnya, yakni tingkatan ketiga adalah thabaqah yang terdiri dari atba’-tabi’in. Thabaqah ini adalah golongan yang menerima hadsit dari Hammam dan mutabi’-nya, yakni Al-A’raj. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Hammam maupun A’raj sama-sama mentransmisikan hadist pada seorang muridnya masing-masing. Dengan demiian, Ma’mar yang menerima hadist dari Hammam hanya memiliki satu mutabi’, yakni Abuz Zinad yang menerima hadist dari Al-A’raj.
Golongan keempat adalah atba’-tabi’ at-tabi’in yang dalam hadist inti diwakili oleh Abdur Razaq. Abdur Razaq sendiri memiliki seorang mutabi’, yakni Syuaib. Abdur Razaq menerima hadist dari Ma’mar (keduanya adalah orang Yaman), sedangkan Syuaib menerima hadist dari Abuz Zinad yang merupaka mutabi’ dari Ma’mar. Abdur Razaq dan Syuaib merupakan atba’ tabi’in junior dan senior.
Golongan selanjutnya adalah syaikh al-mukharij yang merupakan jembatan yang menghubungkan atba’ tabi’ at’tabi’in (Abdur Razaq dan Syuaib) dengan para muhkarij hadist. Namun begitu, ada satu jalur periwayatan yang tidak melewati mata rantai kelima ini, sebab syaikhul mukharij yang bersangkutan sekaligus menjadi atba’ tabi’ at-tabi’in. Kasus ini terjadi pada mukharij Imam Ahmad bin Hanbal yang langsung menerima hadist dari Abdur Razaq.
Syaikhul Mukharij yang dalam hadist inti diwakili oleh Yahya memiliki tiga mutabi’. Dua di antaranya sama-sama meriwayatkan dari Abdur Razaq (keduanya adalah Muhammad dan Hasan bin Ali), dan satu lagi sisanya mendapatkan hadist dari Syuaib, yakni Abul Yaman. Dengan begitu, dalam bahasa peneliti, Yahya memiliki mutabi’ internal, yakni Muhammad dan Hasan bin Ali dan juga memiliki mutabi’ eksternal, yakni Abdul Yaman.
Golongan terakhir yang merupakan mukharij hadist ini terdiri dari enam jalur, tiga di antaranya berujung pada Bukhari, satu jalur berujung pada Muslim, satu jalur berujung pada Abu Daud, dan satu jalur terkahir berujung pada Ahmad bin Hanbal. Adapun periwayatan dari Bukhari berasal dari jalur Yahya yang menerima Abdur Razak dan satu jalur yang berasal dari Abul Yaman yang mendapatkan hadist dari Syuaib, mutabi’ Abdur Razak.
Hadist yang berujung pada imam Muslim melewati jalur dari Muhammad (mutabi’ Yahya) yang mendapatkan hadist dari Abdur Razaq. Sedangkan hadist yang berujung pada Abu Daud adalah hadist yang ditransmisikan oleh Hasan bin Ali (mutabi’ Yahya) yang juga mendapatkan dari Abdur Razaq. Dan jalur terakhir, yakni jalur yang berujung pada Imam Ahmad berasal dari jalur Abdur Razak (yang memiliki mutabi’ Syuaib).
D. FOLLOW UP I’TIBAR
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa setelah mengantongi informasi tetang ada tidaknya dan berapa jumlah syahid dan mutabi’ yang terdapat dalam sebuah hadist, peneliti beralih pada langkah selanjutnya, yakni menentkan kualitas hadist berdasarkan kauntitas perawi yang terlibat dari semua jalur yang ada. Upaya ini hanya bisa dilakukan jika peneliti sudah mengetahui keberadaan serta jumlah syahid dan mutabi’ dalam sebuah hadist.
Pada thabaqah pertama, sahabat Abu Hurairah tidak memiliki syahid. Dalam artian, tidak ada sahabat lain yang menerima hadist yang dijadikan pembahasan inti dalam makalah ini. Jika demikian, maka thabaqah pertama periwayatan hadist ini menyumbang kuota gharib. Sedangkan dalam thabaqah kedua, yakni golongan tabi’ien, Hammam memiliki satu mutabi’, sebab Abu Hurairah ternyata juga menyampaikan hadist yang sama kepada Al-A’raj. Golongan kedua ini menyumbang kuota hadist aziz.
Adanya satu mutabi’ yang mendukung rawi pada jalur utama yang menjadi subjek penelitian ini juga terjadi pada thabaqah atba’-tabi’in, di mana Ma’mar yang menerima hadist dari Hammam memiliki seorang mutabi’ bernama Abuz Zinad. Dari thabaqah ini, ada dua kuota untuk hadist aziz. Sedangkan pada thabaqah selanjutnya, yakni thabaqah atba’ tabi’tabi’in, perawi inti (Abdur Razaq) juga memiliki seorang mutabi’, yakni mutabi’ eksternal yang mendapatkan hadist dari Abuz Zinad, yakni Syuaib. Dengan begitu, ada dua perawi dalam sebuah thabaqah. Maka, golongan ini juga menyumbangkan kuota aziz.
Thabaqah selanjutnya menggambarjan bahwa ada tiga orang dalam satu tingkatan, sebab syaikhul mukharij pada hadist inti yang bernama Yahya memiliki tiga mutabi’. Dua di antaranya adalah mutabi’ internal yang sama-sama meriwayatkan dari Abdur Razaq (yakni Muhammad dan Hasan bin Ali) dan satu sisanya adalah mutabi’ eksternal yang menerima dari Abul Yaman (yang menerima dari Syuaib). Dengan begitu, jumlah rawi dalam tingkatan ini membuka peluang untuk menjadikan hadist ini sebagai hadist mutawatir.
Tabaqah selanjutnya adalah tabaqah terahir, yakni mukharrij. Bukhari merupakan mukharij hadist yang menjadi inti pembahasan dalam penelitian ini dan memiliki tiga mutabi’, yakni Muslim, Abu Daud, dan Ahmad bin Hanbal. Muslim menjadi mutabi’ Bukhari karena meriwayatkan hadist yang setema, meski melalui jalur periwayatan yang berbeda. Muslim menerima hadist dari Muhammad (mutabi’ Yahya) yang juga menerima dari Abdur Razak. Sedangkan mutabi’ kedua adalah Abu Daud yang juga meriwayatkan hadist yang senada meski melalui jalur yang berbeda, yakni jalur Hasan bin Ali (juga termasuk mutabi’ Yahya—yang menyampaikan hadist pada Bukhari—) dan juga menerima dari Abdur Razak.
Mutabi’ yang ketiga adalah Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan hadist yang setema, namun tidak melalui perantara mutabi’ internal yang dimiliki Yahya sebagaimana dua mutabi’ sebelumnya. Ahmad bin Hanbal langsung meriwayatkan dari Abdur Razak.
Selain keempat sumber ini, hadist yang setema dengan hadist inti pembahasan juga diriwayatkan oleh Bukhari, namun dengan jalur yang berbeda, yakni jalur Abu Yaman yang merupakan mutabi’ eksternal dari Yahya.
Beberapa pemaparan di atas menunjukkan bahwa mata rantai sanad dalam hadist ini memiliki tiga katagori, yakni katagori gharib (pada tingkatan sahabat), katagori aziz (pada tingkatan tabi’in, atba’-tabi’in, dan atba’ tabi’tabi’in), dan katagori mutawatir (pada tingkatan syaikhul mukharij dan mukharij.) Adanya tiga macam katagori ini cukup membingungkan peneliti, sebab ada potensi untuk menganggap hadist ini sebagai hadist ahad (gharib dan aziz) dan juga sebagai hadist mutawattir. Namun, karena porsi mata rantai ahad lebih banyak, maka peneliti menganggap hadist ini sebagai hadist ahad.
Sedangkan untuk menentukan satu di antara tiga macam hadist yang masuk dalam katagori hadist ahad, maka peneliti lebih memilih untuk menganggap hadist riwayat Abu Hurairah ini sebagai hadist aziz. Alasannya, pertama, beracuan pada apa yang disampaikan Fauzan Zanrif bahwa jika ada satu thabaqah saja yang memiliki dua rawi, maka hadist tersebut merupakan hadist aziz. Meskipun peluang menjadi hadist gharib juga ada (dalam thabaqah sahabat), akan tetapi peneliti melihat bahwa potensi hadist ini untuk menjadi aziz lebih banyak dibanding potensi untuk menjadi gharib. Kedua, peneliti mengabaikan adanya dua thabaqah yang memiliki beberapa rawi dan otomatis menjadi potensi hadist mutawatir sebab syarat hadist mutawatir adalah terpenuhinya kuantitas rawi yang memadai dalam semua thabaqah, tidak hanya dalam satu-dua thabaqah.
(Kritik sanad...Next postin6...)
0 comMentz:
Posting Komentar