Ya pasti aku jawab nda. He. Apologi memang. Meski kadang aku merasa bahwa aku harus bisa menjadi seseorang yang individual dan egois dalam beberapa momen tertentu. Bukan gimana, kadang aku pikir, menjadi mahluk yang terlalu sosialis itu ndak enak juga. Ya masalane idup khan maunya memang menyajikan dua hal yang kadang saling tarik menarik dan bertentangan. Di satu sisi kita inginnya gini, dan sedang orang laen inginnya gitu. Kalo terlalu sosialis, kasian kitanya sendiri donk..kalo bukan kita yang neserin diri sendiri, terus siapa lagi?
Contohnya aja, beberapa hari yang lalu…ada temenku yang berencana mau pinjem kamera. Hmh, aku sich sebenere ga mungkin lupa kalo aku uda berjanji ma diriku sendiri, tu kamera ga boleh bermalam di manapun tanpa aku di sampingnya. Weleh, ya intine…aku uda berkali-kali dpat wejangan dari temen2ku bahwa barang elektronik bernama kamera itu ga bisa seenaknya dipindahin tangan ke mana-mana. Risikonya besar…RENTAN RUSAK dan kalo uda rusak (naudzubillah), biaya reparasinya juga segede gunung. Jadi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, aku buat keputusan kalo kamera itu hanya boleh dibawa oleh AKU..ke manapun aku pergi.
Banyak alasan lah, mengapa aku sayang banget dan protektif abis ma kamera tu. Yang paling utama mungkin adalah karena aku membelinya dengan proses yang sangat tidak bisa dikatakan mudah. Bagaimana aku berdarah-darah menghabiskan malam, begadang bersama biibii hanya untuk bisa mengantongi barang ini. Sweet struggle banget.. makanya aku ndak ingin kameraku tu napa-napa. Aku sayang dia banget, intinye begitu.
Tapi temenku yang mau pinjem juga adalah temen yang bisa dikatakan deket, meski kami baru intens komunikasi sejak beberapa bulan yang lalu. Sungguh aku bingung harus bagaimana waktu itu..Aku harus mengorbankan kepercayaan seorang temen atau merelakan kameraku berada jauh dariku dan aku akan sangat mengkhawatirkannya. Aku bingung banget, mana yang harus aku korbanin. Aku pending aja jawabannya dengan alasan yang sebenere kurang bisa diterima. Alhamdulillah dia mau mengerti. Hhh..Endingnya, dengan alasan yang super jujur dan polos, aku bilang ajah ma temenku kalo kamera itu hanya untuk PRIVATE USAGE. Aku ndak tau dia marah, kecewa, ato gimana..tapi intine dia berusaha sebisa mungkin bersikap wajar di depan aku.
So dari satu sampel ini, aku individual donk?
Eits..tunggu dulu. Aku juga banyak mempunyai contoh lain yang membuktikan bahwa aku ndak se-individualis itu. Hehehe. Gausa disebutin lach..Ntar kesane pamer ato gimana. Oya, satu hal lagi tentang diriku dalam cerita itu, buru-buru aku menyadari bahwa kadang dalam sebagian besar momen, aku sulit memberikan kepercayaan penuh pada orang lain, terutama yang berhubungan dengan namaku. Misalane tugas kelompok. Aku berkali-kali ngumpulin tugas individu ke dosen hanya karena ngerasa bahwa aku dak sreg numpuk tugas kelompok di mana aku tidak bertindak sebagai editor dan eksekutor akhir dalam penulisan makalah. Malu-maluin kadang, tapi aku tetep keukeuh. Hmhm,,ya begetolah diriku. Makanya meski sering ngerasa berat dan misuh2, aku lebih seneng bikin tugas individual. Lebih nge-taste.
Ok, pertanyaan yang ingin aku ajukan pada dirku sendiri adalah, seberapa jauh aku punya kemungkinan untuk bersikap individualis? Kapan saja dan dalam keadaan apa saja?
Well, aku hanya boleh bersikap demikian sebutuhnya saja. Misalnya saat aku sedang dikejar deadline proyek, aku harus bersikap ekstra cuek terhadap siapapun juga. Terhadap orang-orang di sekitarku, terhadap orang-orang di pikiranku, terhadap orang-orang di hapeku, dan semuaaaaaaanya. Cucianku, setrikaan, tugas kuliah, kamar yang belum kubersihin, dan lain sebagainya. Dan yang ada di pikiranku hanya satu..; SELESAIN PROYEK SEBELUM BESOK!!! Tak pelak dalam keadaan ini, pikiranku itu jadinya linear-linear saja. Ga berwarna. Yang ada hanya kebingungan, konsentrasi, kejenuhan, laper, ngantuk, dan semua hal yang silih berganti datang menemaniku…
Ada kalanya aku malah mencari beberapa supporting tool untuk melancarkan aksi individualismeku ini. Yang paling sering ya menyendiri, mengasingkan diri, berjalan entah ke mana, terus..,menutup telinga dengan headphone sambil dengerin musik dalam volume yang above standard. Biasane cara-cara ini akan aku tempuh mana kala aku lagi introuble, ada beban pikiran yang tidak bisa terselesaikan, ada masalah yang bikin aku pusing setengah mati, dan…beberapa hal yang pokoe bikin aku dak enak untuk berinteraksi dengan orang,,,
Saat itulah biasanya, aku mulai sok-sokan menggelar monolog-monolog riuh di batin dan pikiranku. Kalo uda ndak bisa, baru aku mendatangkan motivasi eskternal berupa ndegerin musik ato nonton pilem, juga jalan-jalan ga jelas ke mana untuk sekadar memotret kehidupan. Tapi aku tetep suka sendiri. Aku pikir itu lebih menentramkan dan lebih membebaskan, sebab aku bisa bebas berekspresi..tanpa harus terhalangi karena ada temen di sampingku. Intine pas saat itu, aku merasa kalo semua yang ada di sampingku nyebelin…meski sebabnya cuma satu orang ato satu kejadian. Ga fair banget emang, tapi yang penting, aku uda berusaha (meski ga sepenuhnya berhasil) untuk mengenali titik kelemahanku dan sedikit demi sedikit mengatasinya…
Meski begitu, aku memang tidak bisa cuek pada beberapa orang tertentu, seberapa nyebelinnya mereka buat aku. Ya sebabnya sederhana, karena aku sayang mereka, maka aku perhatian ma mereka. Jadi seberapapun aku berusaha untuk dak care ma urusan mereka (dengan menggunakan kaidah lu-lu gw-gw), aku yo tetep ndak bisa. Jadi untuk urusan beberapa orang ne, aku yo..sebisa mungkin ga terlalu nampakin kalo aku sayang ma mereka. Harus tetep jaim. Bisa-bisa mereka over GR lage. Ga boleh tu..
Aku dak tau berapa porsentase individualis-sosialis yang ada dalam diriku. Apa 50-50. 70-30, ato berapapun. Agak sulit rasanya mendeteksi orang yang moody kayak aku, meski itu dilakukan dan dialami oleh aku sendere. Hehehe. Tapi yo, aku penah denger, katanya seorang kutu buku itu cenderung individualis. Aku ya jelas ga masuk dala mkualifikasi ini, karena aku males banget untuk urusan baca buku. Tapi, benarkah aku sosialis? Sementara aku sering emoh berinteraksi dengan orang yang lebih tua dibanding aku..biasana famili ato keluarga yang ga gitu intens komunikasi. Ya gatau dech, untk saat ini kayaknya aku belum bisa menentukan manakah yang lebih dominan ada pada diriku antara du kutub berseberangan itu…
Epilognya, buat aku, porsi individualis dan sosialis itu harus seimbang ajah lah..jangan mpe terlalu sosialis mpe ngorbanin diri sendiri terlalu jauh, jangan pula mpe individualis keterlaluan terus ga peduli sama sekali dengan orang sekitar.
0 comMentz:
Posting Komentar