RSS

Kamis, 25 Maret 2010

Sok-sokan edc

Alowha...Uda cukup lama agaknya aku dak brainstorming ngeblog. Ngeblog pun biasanya cuma mosting sesuatu yang berasal dari bangku kuliahku, ndak update status ya gandaan tugas. Hmhm, jadi sok-sokan sibuk karena kena skorsing dan ngebut proyek..Sebenere banyak banget waktu yang cukup kebuang sia-sia...Hm, apologizenya mungkin sampai di sini ajah..Tiga keadaanku saat ini adalah, UTS di depan mata, aku lagi kere banget, dan aku uda berhasil beli hape baru pas dapet rejeki dak dinyana kemaren..he

Sekarang...What will i write?
Aku jadi ikut2an kebingungan dan kesulitan nentuin judul tulisan..Masalane aku maunya yang gaya-gaya dan tidk terlalu normatif. Sok-sokan niru ksatria sebenre, lagian aku juga lebih suka baca essai ketimbang artikel ilmiah yang kadang 2ton-an itu. Alhasil aku selalu bikin judul yang gaya-gaya sok ngesai gitu pas bikin tulisan untuk kepentingan akademik. Dari situ juga aku malah kikuk untuk bikin judul yang normatif..Hmhm, yakni di SKRIPSIku!! Ow, em ji..bagaimanakah yang terjadi? Hehehe..Yaudahlah, hari ini aku ingin menulis tentang...

Mmm...Cinta, egoisme, dan Kebesaran Hati *)

Aku tiba-tiba inget dengan perkataan guruku pas aku masih di NJ dulu. Guru itu adalah orang seetnisku yang ambil jurusan psikologi..Namun jangan kira dia bukan kitabiyah. Dia itu genuine orang yang bahasa Arab, Nahwu, dan Sharrafnya bisa diandalkan. Bapak ne kueren banget..Dan cara ngajarnya juga lumayan enak..Meski kalo spoilednya kumat, dia bisa manyun-manyun long term pake acara ga masuk kelas..(Loh, koq malah ngomongin guru di sini? He...Sekadar mengingat beliau dech, lagian aku ndak nyebutin namanya..jadi kalo bukan anak WaliSongo, agaknya gak akan mudeng..)

Ok, dia pernah bilang..Bahwa sebenere egoismu itu kerap dibahasakan dengan cinta..Is it right? Ya pas itu aku tolak asumsinya mentah2 dan gajebo2. Apalagi pas beliau bilang gini, kita sering merasa takut kehilangan orang lain..dengan dalih bahwa kita mencintai orang tersebut. Sebenernya tidak demikian. Kita takut orang –yang katanya kita cintai itu pergi—karena kita membayangkan, alangkah sepi dan berbedanya kehidupan kita jika orang tersebut tidak lagi di sini. Alangkah ga enaknya hidup kita tanpa orang itu..Alangkah sepinya..Alangkah ga berwarnya..Dan semua hal yang ga ngenakin..

Well, aku kemudian berpikir, sering banget aku nulis..I am afraid of missing him..Ato pernah juga aku sampaikan ma orang yang bersangkutan viasms, i am afraid of missing you...Namun sebenere, mengapa aku harus takut kehilangan dia? Mengapa aku seakan dak rela jika orang itu pergi? Benerkah itu karena aku menyanyanginya? Ato, seperti yang disampaikan guruku, hanya simbol sekaligus perwujudan dari egoismeku? Hm, sampai di sini aku mulai menaruh curiga pada diriku sendiri..Jangan-jangan aku sok-sokan bilang gitu karena emang aku egois dan dak mau beranjak dari babak kehidupan yang buat aku kerasa mengasyikkan?

Lama aku berpikir, menghubungkan beberapa kejadian yang kualami dengan praduga itu...Diam-diam aku membenarkannya..Kadang aku hanya menjadikan orang yang kusayangi sebagai simbol dari egoismeku..Lalu seberapa besar? Dan benarkah mutlak begitu? Apa tidak ada anomali? Hm..Aku juga belum tau dan belum berani memprediski..Intine aku baru pada tahap menyadari, bahwa term cinta itu mungkin dan barangkali benar adalah term yang serrrrrrrrring banget dijadikan legalitas sekaligus justifikasi untuk (melakukan) hal apapun, bahkan hal yang pada esensinya bertolakbelakang dengan cinta itu sendiri..Seperti halnya juga egoisme pribadi..

Aku bilang, aku sayang sama seseorang dan aku mau dia tetap di sini dan dak ke mana-mana. Kalopun sebenere perasaan itu ada, tapi seberapa jauh aku bisa mereduksi perasaan –yang katanya tulus—itu dari egoisme diri? Lha misalnya, kalo dia pergi dan dak lagi di sini, apa urusanku? Bukankah dia memiliki dunianya sendiri? Dan aku hanya bagian dari kehidupannya? Bukankah pada akhirnya manusia akan benar-benar sendiri dan mengandalkan dirinya sendiri?

Tidakkah sebenernya yang paling bercokol di pikiranku adalah...Mmm..Kalo dia pergi, ga ada lagi orang yang akan selalu ada untuk aku, ga akan ada lagi ritual-ritual unplanned tapi juga addicted itu, dan ga akan ada lagi hal-hal yang sudah biasa aku lewati pada momen-momen sebelumnya. Jika begitu, sebenere aku lebih mengkhawatirkan keadaanku sendiri setelah orang itu pergi tow? Bukan karena aku lebih menghawatirkan keadaan orang yang aku sayangi itu? Aku lebih membayangkan bagaimana diriku akan sendiri jika tak ada dia lagi. Bukan begitu??

Lalu, lebih jahat siapa dwonk, orang yang meninggalkan dan yang ditinggalkan? Embuh ah, yang jelas buat aku sekarang, sesakit apapun alur yang diciptakan Tuhan, nyeri dan pedih itu akan menelan dan ditelan waktu..Asal manusianya aja mau selalu terus mencari langit yang lebih biru..Membesarkan hatinya sendiri, mengkondisikan diri agar semuanya segera baik-baik saja, dan juga meyakini bahwa Tuhan dak pernah sembarangan ngatur alur bagi hamba-Nya..He will always give the best...Ya, sebab dalam teoriku, seberapapun seseorang itu mendapatkan kesialan, pasti masih ada celah-celah yang bisa membuat dia bersyukur. Misalnya dengan membandingkan kejadian yang lebih ga ngenakin. Pada akhirnya dia akan bilang gini, ‘Untung masih ndak gini gini..., walaupun aku uda gitu gitu..’

Wewlwh, kenapa bisa selancar ini nulisnya meski mungkin terlalu berapi-api dan akhirnya kalimatku malah acak-adut? Hm..Aku sebenere ga tengah merasa kehilangan seseorang hingga aku merasa ada tarik menarik antara perasaan cinta dan egoisme diri. Cuma emang ada beberapa kejadian—yang dialami orang lain dan secara dak sengaja aku ketahui—dan kemudian mengilhamiku untuk menulis selancar itu. He, nyaris tanpa rem...Ide-ide seakan berhamburan menghujani otak dan jari-jariku...

Nah trus...Aku kemudian berpikir, hal teraman dan ternyaman apakah yang bisa dilakukan manusia yang mengaku mencintai seseorang dalam mereduksi egoisme pribadinya?! Hehehe..Ne aku siapin cadangan untuk diriku sendiri aja sebenere...Meski semuanya hanya teori, tapi aku pikir mending dech, dibanding ga ada sama sekali teori. Heheeeee. Mmm..Alternatifnya menurut aku adalah, berbesar hati ajah...Dengan mengambil kaidah ‘aku bahagia bila kamu bahagia’..

Hehehe..jadi melanko. Nda gitu amat sech..Aku sebenere cuma berpikir bahwa cara teraman dan ternyaman itu adalah membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri...dalam artian kalo pun seseorang itu harus pergi (karena pada akhirnya semua manusia akan melewati alur kehidupannya seorang diri), kita harus bisa make sure kalo dia baik-baik saja. Dan jika dia sudah berada dalam keadaan yang lebih enak dari sebelumnya, kita bisa tersenyum mengingat segala hal tentang dia. No tear anymore. No regret anymore...dan biarkan alur hidup mengalir dengan sendirinya...

Emang urgen banget tu, untuk sejak dini membangun apa yang namanya ketegaran, kebesaran hati, dan silabi-silabi lain kurikulum kehidupan. Ya, sebab Tuhan pasti ngasih yang terbaik untuk hambaNya...Dan juga yang tidak kalah penting adalah bahwa...Mmm..Aku harus segera belajar mengurangi ketergantungan pada orang lain..Dalam segala hal apapun. Sebab memang pada akhirnya, manusia akan benar-benar sendiri. Lalu sampai kapan kita akan mengandalkan orang lain? Tidakkah kita punya sangat banyak potensi untuk bertahan dan mengandalkan diri sendiri??

*) Untuk beberapa kejadian
Yang mengilhami lahirnya tulisan ini..

0 comMentz: