1. Jelaskan pengertian ayat-ayat tersebut dengan merujuk pada para mufassir?
§ Quraisy Syihab dalam tafsirnya Al Misbah mengungkapkan bahwa senyatanya pengkhianatan yang disebutkan dalam QS Ali Imran 161 terjadi pada saat perang Uhud. Perang Uhud adalah suatu kejadian di mana muslimin mengalami kekalahan. Salah satu faktor kekalahan tersebut disinyalir adalah kerakusan sahabat yang kemudian menghambur ke bawah gunung untuk mengambil harta rampasan perang.
Dengan tindakannya ini, mereka berarti juga telah mengkhianati komando rasulullah untuk tetap berada di atas gunung apapun yang terjadi. Strategi ini adalah taktik utama rasulullah untuk memenangkan perang dengan jumlah pasukan dan logistik yang tidak seimbang antar kedua belah pihak. Pada dasarnya, selain dilatarbelakangi rasa rakus, mereka juga khawatir rasulullah tidak akan memberikan pembagian harta rampasan perang dengan adil kepada para prajurit. Lebih lanjut Quraisy menambahkan bahwa padanan kata dari al-ghulul di sini adalah lafadz al fadhihah, yakni melakukan sesuatu yang mencemarkan nama baik dan memalukan.
Ayat ini juga menegaskan bahwa seorang Nabi (terlebih Nabi Muhammad) tidak akan melakukan suatu penghianatan, sebab hal tersebut bertentangan dengan sifat amanah Nabi. Dengan demikian, khianat dalam ayat ini juga berarti khianat secara umum, semisal dalam mengemban amanah publik (misalnya jabatan) atau amanah antar individu (misalnya dititipi barang atau pesan untuk disampaikan pada orang lain)[1]
§ QS Al Baqarah ayat 188 ini menggunakan term addalwu (jama` dari dalyun )– al idla`[2]. Pada dasarya, arti dari kata ini adalah menurunkan timba untuk mengambil air. Thaba` Thabai menambahkan bahwa pengertian menurunkan timba ke dalam sumber yang tujuannya mendapatkan air tersebut sama halnya dengan praktik suap yang dilakukan secara sembunyi. Sebagaimana diketahui bahwa ketika sebuah timba dimasukkan ke dalam sumur, maka orang lain tidak bisa melihatnya. Secara otomatis, orang lain juga tidak tahu bahwa ada timba yang berusaha mengambil air (manfaat) dari sumur tersebut. Hal ini sama dengan keadaan praktik suap yang memang sengaja disamarkan dari publik agar tujuan suap tersebut tetap off the record.[3]
Jika dilihat dari konteks ayat sebelumnya yang menerangkan kebolehan berbuka setelah menunaikan ibadah puasa, maka ayat ini menegaskan bahwa kebebasan yang dimaksud dalah kebebasan yang bertanggungjawab. Ada aturan-aturan yang harus diindahkan seorang muslim dalam hal mencari nafkah atau mengadakan interaksi ekonomi. Secara umum, aturan tersebut tertulis dalam larangan memakan harta secara bathil. [4]
Sedangkan ayat sesudahnya memaparkan satu contoh dari praktik bathil tersebut, yakni menyuap seorang hakim dengan tujuan agar hakim tersebut melakukan suatu hal yang diperintahkan –dan tentunya menguntungkan- bagi si penyuap. Padanan kata dari term ad-dalwu ini adalah ar-risywah. Ironisnya, seperti disebutkan dalam teks ayat ini, orang yang disuap menyadari bahwa pemberi suap tersebut berada dalam pihak yang salah. Namun, karena mendapatkan uang suap, hakim yang menerima suap tersebut kemudian membohongi hati nuraninya sendiri dan menggunakan kemahirannya untuk membela orang yang salah.
Ensiklopedi Al-Qur`an menjelaskan asbabunnuzul ayat ini sebaga berikut: Pada suatu hari, ada dua orang yang saling berseteru dan sama-sama mengaku bahwa merekalah pemilik sah sebuah tanah. Namun, keduanya tidak memiliki saksi dan bukti yang bisa menguatkan pengakuannya. Karena proses ini cukup alot, maka hakim memerintahan kedua belah pihak untuk sama-sama bersumpah. Mereka berdua sama-sama bersumpah. Namun salah satu dari mereka, yakni orang yang bernama Imri`i Qays memberikan sumpah palsu. Karena itulah, ayat ini kemudian turun. Hal ini juga berkait erat dengan kebiasaan masyarakat saat itu (mungkin juga saat ini) yang menjadikan pengadilan sebagai media penyelamat untuk membela mereka yang sebenarnya berada pada pihak yang salah. Ironi ini disebabkan menjamurnya mafia peradilan. Di pengadilan, orang yang pandai bersilat lidah dan memiliki dana cukup, sangat dimungkinkan bisa memenangkan kasus meskipun berada dalam pihak yang salah. Hal ini merupakan outcome dari praktik menyogok hakim, pengacara, dan orang-orang yang berkecimpung dalam lembaga peradilan. [5]
Praktik mafia peradilan ini sudah bukan merupakan hal yang patut diherankan dewasa ini. `Amplop’ yang diberikan kepada jaksa atau hakim seakan telah menjadi syarat sah suatu peradilan. Hal ini merupakan sebuah ironi sebab idealnya, pengadilan adalah lembaga yang berusaha mencari dan menjunjung keadilan. Harta yang didapatkan hakim tersebut (dari hasil suap) tidak akan berbarokah dan membahagiakannya. Hal ini senada dengan apa yang dialami si penyuap. Walaupun ia terbebas dari perkaranya di pengadilan, akan tetapi ia menderita kerugian materi yang tidak sedkit setelah menyuap hakim.
§ QS Al Maidah ayat 42 ini menggarisbawahi kata assuht sebaga keyword pembahasan yang mungkin bisa dikaitkan dengan korupsi. Dalam tafsirnya, Thaba` Thabai menegaskan bahwa assuht adalah harta yang cara perolehannya melalui jalan yang haram dan tidak legal. Praktik ini menandakan bahwa si pelaku tidak memiliki komitmen yang kuat dalam agama dan muru`ahnya.[6] Al Maraghi mendukung pendapat ini dengan memaparkan bahwa definisi suht adalah sebuah mata pencahariaan yang buruk dan diharamkan. [7]
Sedangkan konteks ayat ini adalah masyarakat Yahudi yang membudayakan kebiasaan suap dan menyogok. Hal ini merupakan dominasi golongan yang memiliki kekuasaan dan bisa memeras rakyat dengan uang sogok sebagai pelicin saat rakyat kecil tengah membutuhan bantua para pejabat tersebut. Suap yang bertujuan membenarkan pihak yang salah dan menyalahkan pihak yang benar ini sudah menjadi mata pencahariaan sekunder pejabat Yahudi kala itu. Sehingga hampir bisa dipastikan, dalam setiap event peradilan, orang yang kaya atau sanggup membayar suap lebih bsar pasti memenangkan kasus. [8] Jika dibandingkan istilah sebelumnya, yakni dalwun, saya kira assuht ini memiliki cakupan makna yang lebih luas dan umum.
§ Asbabun Nuzul QS Al Maidah ayat 33 ini adalah peristiwa di Madinah saat ada beberapa orang dari bani U`kal dan Urainah yang menyampaikan keinginan untuk masuk Islam kepada rasulullah. Namun, mereka mengatakan bahwa mereka tidak merasa nyaman tinggal di Madinah. Nabi pun memerintahkan seorang penggembala untuk menemani beberapa orang tersebut keluar dari Madinah. Nabi juga menyertakan seekor unta yang akan menjadi alat transportasi mereka serta mengidizinkan mereka meminum susu dari unta tersebut. Berangkatlah beberapa orang tersebut didampingi seorang penggembala.
Di tengah perjalanan, orang yang berniat masuk Islam tersebut kemudian membunuh si penggembala yang menemani mereka dan membawa lari unta yang merupakan milik negara yang berasal hasil zakat. Mendengar kabar tersebut, rasulullah kemudian mengutus pasukan untuk memburu dan mengejar pembunuh dan perampok yang telah berlaku jahat tersebut. Setelah tertangkap, mereka mendapat hukuman cungkil mata, dan dipotong tangan dan kaki secara silang hingga hukum mati. Mereka mendapat hukuman plus-plus tersebut sebab melakukan kejahatan yang juga plus-plus, yakni membunuh dan merampok, serta menghianati kepercayaan dan fasilitas yang telah diamanahkan rasulullah. Hukuman mati biasanya diberikan kepada mereka yang mengganggu ketentraman masyarakat luas dan membunuh. Sedangkan hukuman salib sampa mati diberlakukan bagi orang yang mengganggu, membunuh, dan merampok. Hukum potong tangan ditujukan bagi orang yang hanya melakukan perampasan harta. Hukuman diasingkan dalam ayat ini bisa diartikan dengan hukuman kurungan atau penjara. [9]
Melihat kronologi asbabun nuzul di atas, agaknya orang-orang tersebut memang tidak memiliki niat yang ikhlas dan teguh untuk memeluk Islam. Hal ini, paling tidak terbukti dengan permintaan mereka yang cukup besar dan neko-neko pada Nabi. Atau bahkan, wajar jika dikatakan bahwa niat mereka sejak awal tidak lain adalah untuk merampok dan membunuh, namun dengan kedok masuk Islam agar memudahkan tercapainya rencana mereka. Dugaan ini diperkuat dengan apa yang diungkapkan Al Maraghi bahwa setelah membunuh si penggembala dan membawa lari unta tersebut, beberapa orang tersebut kemudian kembali pada kaumnya dan menyatakan bahwa mereka kembali kafir. [10] Ayat ini secara umum melarang manusia untuk menciptakan chaos di muka bumi, khususnya chaos yang sifatnya perampasan hak-hak orang lain, seperti perampasan harta dan nyawa. Potongan ayat yang menunjukkan objek harb (memerangi) Allah dan rasulnya masih bersifat abstrak. Hal ini dikonkritisasi dengan potongan selanjutnya, yakni membuat kerusakan di muka bumi yang sebenarnya masih memiliki dimensi yang demikian luas. Barangkali, chaos yang dimaksud dalam ayat ini adalah suatu tindakan yang mengancam lima hal yang harus dijaga dan dilindungi (yakni jiwa, harta, akal, keturunan, dan harta)
§ Di antara ayat yang dibahas dalam tulisan ini, barangkali QS Al Maidah ayat 38 adalah ayat yang paling populer di telinga kita. Budaya potong tangan sebagai hukuman bagi siapapun yang mencuri ini senyatanya merupakan tradisi jahiliyah yang diadopsi oleh Islam dengan beberapa perubahan komplementif. [11] Dalam tafsir Ahkamnya, syaikh Abdul Halim Hasan menegaskan bahwa ada dua macam pencurian, yakni pencurian besar dan pencurian kecil. Sayangnya, Syaikh Abdul Halim Hasan tidak memberikan eksplorasi yang cukup memadai terhadap ciri-ciri dan karakteristik pencurian besar. Ia agakanya lebih tertarik terhadap apa yang diistilahkannya sebagai pencurian kecil. Hal ini setidaknya terbukti dengan eksplorasi yang cukup luas mengenai pencurian kecil. Ia hanya menyebutkan bahwa hukuman bagi pelaku pencurian besar adalah hukuman mati, atau potong tangan dengan sistem disalib. Jika dibandingkan dengan tafsir Al Maidah ayat 33, maka pencurian besar ini adalah pencurian yang mengakibatan kekacauan secara luas, tidak hanya pada level individu.
Syaikh Abdul Halim Hasan mengatakan bahwa pencurian kecil adalah pencurian secara sembunyi-sembunyi terhadap harta yang bukan merupakan diamanahkan kepada orang yang mencuri. Ia juga menegaskan bahwa ada dua macam hukuman dalam pencurian kecil ini, yakni hadd (potong tangan) dan ta`dzir (diasingkan, didera, dan dipenjara). Karakteristik pencurian tersebut kemudian berpengaruh besar terhadap jenis hukuman yang harus diterima orang tersebut. Syaikh Abdul Halim Hasan menguti salah satu hadist yang mengatakan bahwa tidak ada hukuman hadd bagi orang yang menghianati amanah. Berangkat dari inilah ia kemudian menyimpulkan bahwa hukuman hadd (seperti yang disebutkan dalam ayat ini) hanya berlaku bagi orang yang mencuri hak miliki orang lain dan bukan harta yang diamanahkan pada pelaku pencurian tersebut. Dengan demikian, dapat difahami bahwa hukuman yang paling representatif untuk para koruptor adalah dipenjara. [12]
Tafsir terbitan UII menambahkan bahwa suatu hukuman terhadap pencurian ini baru bisa dilaksanakan jika pelaku sudah mengakui atau sudah ada bukti dan saksi yang sangat menguatkan dan terjamin validitasnya. Akan tetapi, hukuman ini masih mungkin bisa digagalkan jika korban yang bersangkutan memberikan maaf pada pelaku, biasanya disertai beberapa persyaratan, seperti mengembalikan harta yang dicuri. [13] Ulama` masih berbeda pendapat menganai jumlah barang curian yang menyebabkan seseorang harus menjalani potong tangan. [14] Namun hampir semua ulama` tafsir menyetujui bahwa tujuan adanya hukuman ini adalah menimbulkan efek jera pada sang pelaku dan pada orang lain.
§ QS Al Muthaffifin ayat 3 ini merupakan respon atas budaya masyarakat Madinah saat Nabi telah tinggal di kota tersebut. Penduduknya memiliki kebiasaan ‘curang’ dalam hal timbangan dalam perdagangan. Menariknya, mereka menuntut ukuran atau timbangan yang penuh saat membeli sesuatu pada orang lain, namun ketika menjual sesuatu, mereka mengurangi takaran tersebut. Memang, secara matematis, kerugian pihak yang membeli barang dengan takaran yang kurang tidaklah terlalu besar, akan tetapi hal ini berdampak pada aspek sosial. Praktik semacam ini akan menghilangkan rasa saling percaya dan menumbuhkan rasa saling kecurigaan antar masing-masing orang. Jika praktik ini dilegalkan, maka manusia pun akan memiliki kerakusan dalam harta sehingga mereka cenderung akan mendedikasikan lebih banyak waktunya pada harta dan mengenyampingkan urusan agama. [15] Selain itu, sebagaimana prinsip menabung –sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, maka keuntungan yang si penjual dan kerugian si pembeli pun akan berlipat-lipat.
Muhammad Abduh memberikan pemaparan yang cukup menarik terhadap ayat ini. Ia merujuk pada ayat 1 surat ini yang menyebutkan istilah muthaffif. Baginya, kata ini ditujukan pada orang yang plin-plan dan mau enaknya sendiri. Pada saat dia menjual sesuatu kepada orang lain, maka takarannya hanya mencapai thafaf, yakni tidak penuh tapi hanya hampir penuh. Sedang ketika ia ingin membeli dari orang lain, maka ia menuntut thufaf, yakni takaran yang penuh atau lebih dari penuh. Bagi Abduh, jika dihubungkan dengan ayat selanjutnya, maka hanya orang-orang yang tidak percaya pada hari kebangkitan (dan hari pertanggungjawaban) lah yang akan melakukan hal semacam ini. [16]
2. Jelaskan jenis-jenis korupsi dan hukumannya dalam Al-Qur`an?
Jenis-jenis korupsi yang disebutkan dalam Al-Qur`an, di antaranya adalah;
§ Al Ghulul
Jika dibandingkan dengan beberapa term lainnya, katagori ghulul ini memiliki titik tekan kepada suatu penghianatan atas amanah yang telah dipercayakan. Penghianatan ini secara umum terkait dengan suatu amanah (jabatan) dan memang memiliki arti luas, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah penghianatan dalam hal harta benda.
Pada dasaranya hukum korupsi dan beberapa term yang berkaitan dengan korupsi tersebut adalah haram, sedangkan hukumannya memang beragam. Ada hukuman yang masih bernuansa dunia (seperti pemotongan tangan, salib, diasingkan, bahkan dibunuh) serta bernuansa akhirat (semisal akan diminta pertanggungjawaban di akhirat dan mendapat siksa yang pedih). Dalam hal ghulul ini, dikatakan bahwa balasan yang bernuansa akhirat adalah keharusan mereka memertanggungjawabkan sesuatu yang telah disembunyikannya. Seorang mufassir bahkan menyebutkan bahwa di akhirat, seseorang yang telah menggelapkan sesuatu akan memanggul sesuatu yang pernah disembunyikannya sehingga tidak bisa disembunyikan lagi dan diketahui oleh semua orang. [17]
§ Ad-Dalwu
Berbeda dengan al ghulul, term satu ini lebih bermakna suap (atau yang biasa disebut risywah). Suap biasanya diberikan dalam suatu praktik peradilan kepada pihak-pihak yang cukup berpengaruh, semisal jaksa, hakim, maupun pengacara. Karena itulah, praktik ini dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Tujuan yang diharapkan si penyuap dalam aktivitas ini tidak lain adalah memenangkan perkara ataupun memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan sesuatu. Sesuatu yang ingin diselesaikannya bisa merupakan hal yang halal maupun haram. Namun, terlepas dari hukum hal yang ingin dicapai, kehadiran ad-dalwu dalam usaha mencapai hal tersebut sudah memberikan nilai minus. Tidak ada penjabaran mengenai hukuman praktik ini dalam Al-Qur`an. Akan tetapi, penyajian fi`il nahi dalam bahasan ini cukup merepresentasikan bahwa praktik ini haram dilakukan, karena akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
§ As-Suht
Jika merujuk pada apa yang dipaparkan dalam tafsir Al-Mizan, maka agaknya karakteristik yang satu ini cakupannya lebih umum, bahkan bisa disamakan dengan akl bathil seperti yang termaktub dalam QS. Al Baqarah 188. Artinya, term ini masih menaungi beberapa term lain yang masuk dalam katagori korupsi, karena as-suht diartikan sebagai aktivitas mendapatkan uang dan penghasilan yang dilakukan dengan cara-cara tidak baik, atau bahkan haram. Akan tetapi jika dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, maka tampaklah bahwa ancaman terhadap pelaku assuht ini tidaklah main-maisn.
Buktinya, Allah menyamakan orang yang melakukan aktivitas ini dengan mereka yang suka (dan sengaja) mendengar-mendegar kabar yang sudah diketahui kebohongan kabar tersebut. Ayat sebelumnya juga menegaskan bahwa mereka (yang dimaksud) dalam ayat ini cenderung ‘tebang pilih’ dalam menjalankan aturan Al-Qur`an. Jika hukuman dalam Al-Qur`an mereka anggap enteng, maka mereka akan menerimanya. Namun jika Al-Qur`an memberikan aturan yang cukup berat, maka mereka akan memanipulasi aturan tersebut dan menggantinya dengan aturan yang ringan. Wajarlah kiranya jika Allah sampai memerintahkan Nabi untuk sedikit bersikap ‘cuek’ terhadap golongan ini.
§ Al-Muharabah
Hukuman bagi pelaku al muharabah ini disebutkan secara tegas dan konkrit dalam Al-Qur`an. Al-Qur`an juga membahasakan bahwa orang yang melakukan praktik tersebut mendapat kesengsaraan di dunia dan di akhirat. Kesengsaraan di dunia agaknya sudah bisa dipastikan sebab ia telah menciptakan kekacauan secara luas. Secara otomatis, hukum yang mengancamnya jauh lebih berat dibanding perbuatan tidak terpuji yang objeknya individu. Al Maraghi menambahkan bahwa untuk katagori ini, seorang yang ingin bertaubat bisa melunasi taubatnya dengan keteguhan hati dan mengembalikan semua apa yang pernah diambilnya. Selain itu, ia pun harus mendapat maaf dari sekelompok orang yang telah dirugikannya.
§ Assariqah
Jika ditinjau dalam konteks ayat ini pada masa turunnya, maka ayat ini agaknya lebih menekankan pada pencurian yang dilakukan orang yang tidak memiliki jabatan. Dalam artian, pelaku pencurian ini bukanlah orang yang memanfaatkan kesempitan dalam kesempatan dan fasilitasnya sebagai seorang yang memangku jabatan atau apa yang lazim kita sebut korupsi.
Ada beberapa perbedaan dalam menyikapi hukuman kepada pelaku pencurian ini, pun juga perbedaan dalam nominal harta yang dicuri sehingga menyebabkan si pencuri harus menjalani hukum potong tangan. Perbedaan tersebut umumnya disebabkan berbedanya sudut pandang yang dipakai oleh masing-masing ulama`. Akan tetapi, jumhur ulama` menyatakan bahwa harta yang dicuri sekurang-kurangnya adalah seperempat dinar. Sedangkan mengenai hukuman, maka di sini ulama` berpendapat bahwa pada pencurian pertama, tangan kanan lah yang dipotong. Ukuran memotong ini adalah sampai pergelangan tangan. Jika masih mengulangi kesalahan tersebut, maka kaki kirinya yang akan dipotong, dilanjutkan dengan tangan kiri, kemudian kaki kanan. Hukuman terakhir dalam pencurian ini adalah pengasingan. [18]
§ Al Khasr
Di antara berbagai macam korupsi lain, korupsi yang satu ini –bisa dibilang- merupakan korupsi yang paling kecil dan ringan, setidaknya jika dilihat dari nominal barang yang digelapkan. Hal ini juga didukung oleh kompleksnya definisi korupsi dan berbedanya sudut pandang dalam mendefinisikan koruspsi. Selain itu, kebanyakan orang berapologi bahwa kekurangan dalam timbangan merupakan suatu hal yang relatif sulit dihindari dan sudah diikhlaskan oleh pembeli. Beberapa hal ini menyebabkan tidak adanya UU dan aturan yang jelas dalam praktik pengurangan timbangan seperti ini. Karena itulah, dalam Al-Qur`an, hukuman perbuatan korupsi yang satu ini juga terkesan lebih ringan, dengan hanya disebutkan akan mendapatkan kecelakaan besar di dunia dan atau masuk neraka wail di akhirat.
3. Uraikan kontekstualisasi penafsiran ayat-ayat tentang korupsi!
ü Saya beranggapan bahwa QS Ali Imran ayat 161 adalah ayat yang paling cocok untuk menggambarkan korupsi secara umum yang disebut-sebut telah membudaya di negara kita. Korupsi sejauh ini lebih diidentikkan dengan penggelapan uang yang bukan merupakan miliki pribadi, akan tetapi merupakan uang milik negara (umum). [19] Karena itulah, orang yang berpotensi melakukan penggelapan uang ini tidak lain adalah orang yang memiliki amanah (baca : jabatan) dalam lembaga publik.
Ketika memiliki jabatan, seseorang berarti mendapat amanah dari publik untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebaik mungkin. Dalam proses ini, selain mendapat gaji, orang tersebut kerap mendapat tugas untuk mengelola sejumlah dana demi keperluan tertentu. Momen inilah yang kerap kali menjadi pemicu terjadinya tindak pidana korupsi. Tentunya, hal ini tidak hanya diatarbelakangi oleh keinginan (dan kerakusan) pribadi, akan tetapi secara langsung maupun tidak juga didukung oleh sistem yang berlaku, semisal adanya kmpromi dan bagi hasil korupsi dengan pihak terkait atau kurangnya controlling dari departemen di atasnya maupun kurang beratnya hukuman bagi pelaku korupsi.
Dengan demikian, praktik ini merupakan praktik paling konkrit dari apa yang disebut Al-Qur`an dengan istilah berkhianat, yakni menghianati amanah yang telah dititipkan pada seseorang. Jika dikontekskan dengan peristiwa perang Uhud, senyatanya korupsi yang terjadi dewasa ini memiliki kesamaan. Kedua perilau khianat ini sama-sama didasari oleh tidak adanya dedikasi dan komitmen yang kuat untuk mengemban amanah dari atasan maupun publik dan ketidakmampuan untuk meredam godaan mengambil kesempatan (harta) saat dihadapkan pada kesempatan yang memang terlihat menguntungkan.
ü Menyuap penguasa yang tercantum dalam QS Al Baqarah 188 ini dikatagorikan dalam tindak pidana korupsi. Kasus suap ini juga kerap kali terjadi di negara kita baru-baru ini. Sebut saja kasus Artalita Suryani dan Al Amin Nur Nasution yang keduanya kini tengah meringkuk di sel penjara TIPIKOR. Uniknya, di negara kita, pelaku suap (pemberi dan penerima suap) sama-sama mendapat hukuman. Hukuman bagi penerima suap mungkin memang wajar, namun hukuman bagi pemberi suap biasanya diberlakukan sebab uang yang digunakan untuk suap ini juga merupakan uang umum dan bukan milik pribadi. [20]
Dalam kasus Artalita Suryani yang berhasil diungkap oleh KPK misalnya, Artalita menyuap jaksa Urip untuk melicinkan usahanya agar terbebas dari skandal BLBI yang hingga saat ini agaknya masih akan menjadi cerita menyedihkan yang tak kunjung berkesesudahan.[21] Terkuaknya kasus ini, paling tidak menyeret dua orang yang bersangkutan, yakni Artalita sebagai penyuap dan jaksa Urip sebagai pihak yang menerima suap. Ya, memang sungguh memalukan. Seorang jaksa yang berposisi sebagai penegak hukum tertinggi justru tidak mengindahkan aturan yang seharusnya ia junjung tinggi.
Hal senada juga diumpai dalam kasus Al Amin Nur Nasution. Anggota fraksi persatuan pembangunan ini kemudian diketahui menerima suap dari pihak yang berkepentingan bagi proyek alih fungsi lahan di daerah Bintan, Riau. Pemerinah setempat, khususnya bupati beranggapan bahwa dengan memberikan uang pelicin pada Al-Amin yang berkedudukan sebagai wakil rakyat, maka proyek yang berkali-kali sempat ditolak pemerintah pusat akan cepat disetujui. [22]
Kedua kasus tersebut merupakan salah satu contoh kecil perilaku suap yang telah menjangkiti masyarakat kita. Praktik ini juga terkadang diistilahkan dengan sogok yang secara umum dianggap memiliki konotasi jelek yang lebih ringan. Misalkan melakukan sogok agar bisa masuk perguruan tinggi, dan lain-lain. Praktik sogok atau suap ini, dalam hemat penulis tidak hanya bisa dilakukan dengan perantara materi, namun juga hal-hal lain semisal hubungan keluarga atau pertemanan. Misalkan saja saat kendaraan kita terkena tilang karena melanggar peraturan lalu lintas, maka kita pun tidak dikenai denda materi jika salah satu polantas yang tengah jaga adalah kenalan atau keluarga kita. Inilah yang kerap disebut dengan nepotisme; suatu hal yang sangat sulit dihindari dewasa ini.
ü Kendatipun cakupannya masih umum, akan tetapi QS Al Maidah ayat 42 kembali mengingatkan saya, betapa mafia peradilan telah berkembang sangat cepat dan sukses di negara kita. Agaknya, budaya bangsa Yahudi tersebut masih terlestarikan hingga saat ini. Para hakim, jaksa, bahkan pengacara seakan memiliki dua profesi sekaligus, yakni profesinya yang mulya sebagai penegak hukum dan profesi lain sebagai penerima ‘amplop’. Terungkapnya kasus jaksa Urip yang menerima suap dari Artalita Suryani merupakan satu contoh kecil dari bobroknya lembaga peradilan kita. Pengadilan tidak lagi dapat menjalankan fungsinya sebagai badan penegak hukum, namun lebih kepada suatu lembaga yang merupakan lumbung segala tindakan tersembunyi yang membekam nurani. KPK agaknya telah cukup sensitif dengan permasalahan ini dan mafia-mafia peradilan di negara kita. Hal ini paling tidak terbukti dari undang-undang korupsi yang agaknya sudah cukup representatif.
Hal ini belum termasuk beberapa kasus yang kemudian dibekukan pemeriksaannya hingga kemudian tidak pernah terungkap. Peradilan kita masih sangat lekat dengan ideeologi pandang bulu.
ü QS Al Maidah ayat 33 secara literlek menjelaskan ancaman bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasulnya dan mengganggu ataupun merampas hak orang lain. Jika dikontekskan dengan praktik korupsi, maka ayat ini bisa dikatakan senada dengan dampak yang diakibatkan oleh maraknya korupsi yang dilakukan pejabat kita. Secara tidak langsung, mereka telah merampas hak-hak hidup, pendidikan, dan kesehatan rakyat kecil. Hal ini erat kaitannya dengan konglomerasi dan sentralisasi uang di Indonesia yang hanya berputar pada orang-orang tertentu saja. Tidak salah jika dalam salah satu tulisannya, Efendi Ghazali mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki banyak orang kaya, bahkan konglomerat, namun jumlah orang miskin, bahkan yang sangat miskin juga tidak kalah banyak.
Ketika seorang pejabat melakukan tindakan korupsi dan menggelapkan uang negara, maka secara otomatis uang yang seharusnya disalurkan pada orang-orang kecil yang memang membutuhkan subsidi dari pemerintah tidak akan mendapat haknya. Sehingga, meningkatnya angka kemiskinan, menurunnya angka kesehatan, dan hal-hal ironi lain tidak dapat dihindarkan. Hal ini senyatanya tidak jauh berbeda dengan chaos yang disebutkan dalam ayat ini, hanya praktiknya saja yang berbeda. Karena itulah, saya rasa pemerintah, khususnya KPK perlu merancang sebuah formualasi yang lebih representatif dan proporsional terhadap pelaku chaos yang umumnya merupakan orang yang mendapat amanah dari rakyat untuk memperuangkan aspirasinya.
ü Hukuman mencuri yang tercantum dalam QS Al Maidah ayat 38 agaknya sudah kurang (untuk tidak mengatakan ‘tidak’) relevan jika diberlakukan di Indonesia saat ini. Selain sudah adanya undang-undang yang mengatur kasus pencurian, perlu juga diingat bahwa ideal moral dari pemberlakuan hukuman ini adalah untuk mendatangkan rasa jera pada pelaku atau pada orang lain. Outcome yang diharapkan dengan hukuman ini adalah agar pelaku tidak mengulangi lagi dan orang lain yang juga tidak berani melakukan perbuatan tersebut. Hukum penjara yang diberlakukan di negara kita agaknya suda cukup representatif dalam hal ini. Namun, hal yang perlu dilihat kembali adalah penegakan hukum yang masih tebang pilih. Karena, sering kita jumpai, seorang yang mencuri ‘ayam’ dikenai hukuman yang lebih berat dibanding pejabat yang telah terbukti melakukan korupsi.
Dengan pemberlakuan potong tangan, saya kira pelaku pencurian bukannya akan jera dan menjauhi perbuatannya tersebut. Jika tangannya dipotong, maka ia akan mendapatkan kesulitan dalam mencari nafkah karena ‘fasilitas’ yang biasa dimilikinya tidak bisa kembali dipregunakan lagi. Karena itu, masa kurungan dalam penjaran hendaknya dikondisikan semaksimal mungkin agar bisa memunculkan rasa jera sehingga pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya.
Saya beranggapan bahwa dalam penerapannya, ayat ini lebih cocok diberlakukan bagi orang yang mencuri dalam pengertian umum, bukan pada orang yang korupsi. Meskipun korupsi juga bisa dikatagorikan mencuri. Hal ini disebabkan korupsi pada umumnya berakibat pada masyarakat secara luas, sehingga selain hukuman penjara, pelaku korupsi juga seharusnya ‘benar-benar’ diwajibkan mengganti uang yang telah digelapkannya, selain juga denda material.
ü QS Al Muthaffifin ayat 3 memaparkan ancaman kecelakaan besar (dan atau neraka wail) bagi mereka yang melakukan kecurangan dalam muamalah, khususnya dalam transaksi jual beli. Dewasa ini, agaknya sistem tersebut telah menjadi budaya dalam perekonomian kita, sehingga sulit dihindari. Misalkan takaran bensin di kios-kios kecil atau bahkan SPBU sekalipun. Sebelum adanya slogan ‘Pasti Pas’ dari Pertamina, beberapa kasus menggambarkan bahwa banyak terjadi kecurangan dalam pengisian bahan bakar. Kasus yang paling sering terjadi adalah pengisian yang tidak dimulai dari angka nol liter (dalam indikator jumlah yang dikeluarkan), sehingga sangat banyak konsumen yang membayar dengan harga satu liter namun mendapatkan bahan bakar kurang dari satu liter. Hal ini belum termasuk takaran di kios-kios kecil yang seringkali asal-asalan dan menggunakan prinsip ‘asal terisi’
Contoh lain dalam kasus ini yang sangat akrab dengan keseharian kita adalah budaya pungli (pungutan liar) dalam pemberlakuan tarif parkir kendaraan bermotor. Dalam keputusan Pemda, tarif parkir kendaraan bermotor jenis sepeda motor adalah 200 atau 500. Akan tetapi, tidak jarang petugas parkir memungut iuran 1000 atau bahkan hingga 3000, biasanya dalam sebuah event-event tertentu.
Dalam hal kecurangan ini, KPK memiliki dua pasal, yakni pasal 7 dan pasal 12. Namun kedua pasal ini terlihat kurang respek terhadap masalah-masalah kecil yang terjadi di masyarakat. Barangkali pertimbangan KPK dalam masalah ini karena nominal yang biasanya dikorupsi sangatlah sedikit dan orang yang sebenarnya dirugikan merasa ‘sah-sah saja’ dengan sistem yang telah berlaku.
[1] Lih. Quraisy Syihab, Tafsir Al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.
[2]Lih. Chamamah Suratno (ed), Ensiklopedi Al-Qur`an: Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Bhakti Prima Yasa, 2003), hlm. 400
[3]Lih. Thaba` Thaba`i, Tafsir Al Mizan juz 2, (Beirut: Yayasan al-I`lami, tt), hlm. 52.
[4]Lih. Mushthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, vol. 2. (Semarang: Toha Putra, 1987), hlm. 140-142.
[5]Lih. Chamamah (ed), Op. Cit, hlm. 401.
[6]Lih. Thaba` Thaba`i, Op. Cit juz 3, hlm. 341.
[7]Lih. Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi juz 6, Op. Cit, hlm. 207
[8]Lih. Hafidz Dasuki (dkk.), Al-Qur`an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: UII Press, 1991), hlm. 442.
[9]Lih. Hafidz Dasuki (dkk.), Ibid, hlm. 428.
[10]Lih. Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi juz 6, hlm. 189.
[11]Lih. Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsr Ibnu Katsir, terj: Salim Bahreisy, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 91
[12]Lih. Syaikh Abdul Halim Hasan, Tafsir Al Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 377.
[13]Lih. Hafidz Dasuki, Op. Cit, hlm. 437.
[14]Lih. Ibnu Katsir, Op. Cit, hlm. 92-93.
[15]Lih. Zaini Dahlan, Tafsir Al-Qur`an juz 30, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2007), hlm. 59.
[16]Lih. Muhamamd Abduh, Tafsir Juz Amma, terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1999), hlm.76-77.
[17]Lih. Hafidzh Dasuki, Op. Cit, hlm. 77.
[18]Lih. Hafidz Dasuki, Op. Cit, hlm. 434
[19]Pasal 3 UU no. 31 tahun 1999 menyatakan bahwa Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Lih. Tim KPK, hlm. 27.
[20]Aturan menganai penyuap ini ada dalam pasal 6 ayat 1 huruf a, UU no. 20 tahun 2001. UU ini berlaku pada orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepada untuk diadili. Lih. Tim KPK, Memahami Untuk Membasmi; Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Tim KPK, 2006), hlm. 45.
[21] Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 12 huruf c UU no. 20 tahun 2001. UU tersebut berbunyi demikian. “Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili” Lih. Tim KPK, Ibid, hlm. 51
[22]Kasus ini tergolong dalam apa yang dipaparkan dalam pasal 5 ayat 2 huruf a UU no. 20 tahun 2001, bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Dalam kasus ini, bupati Bintan juga terseret sebab menyuap pegawai negeri juga termasuk korupsi, sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat 1 huruf b UU. no. 20 tahun 2001. Lih. Tim KPK, Ibid, hlm. 33-39
OOuw..agaknya entri ini masih perlu aku perbaiki. Kebetulan komp yang aku pake ol sekarang agak eror program arabnya. So, daripada dak posting, mending aku post dulu seadanya, Baru tar ngeditnya. Hm...Hari ini hari pertamaku UTS...Dan tulisan yang kubuat dengan mata hampir terpejam ini adalah tugas take kozt MK Tafsir Ahkamku. Dosennya Ok punya...Semoga ok juga dengan memberikan aku nilai yang proporsional..He...