RSS

Selasa, 03 Maret 2009

Pemilwa


Apaan tuch, Pemilwa? Pemilwa itu Pemilihan Mahasiswa. Semacam ajang demokrasi kampus. Aku kurang suka menyebut `pesta` demokrasi...Karena `pesta` adalah hal-hal yang lux dan euforia...Bahasa kerennya Israf. Dan, meski ada sedikit nuansa itu di Pemilwa ini, aku tidak ingin semakin mengukuhkannya...Alasan sederhananya, aku kurang suka, untuk tidak menyebutkan tidak suka...Karena nanti pernyataan itu akan membumikan isu yang sempat mampir di telingaku, semisal penyelewengan uang negara demi kepentingan kampanye, atribut metropolis, dan hal-hal lain yang tidak boleh diteruskan dan cukup menjadi monolog....

Puncak rentetan acara Pemilwa adalah pencoblosan pada 26 Februari kemaren...Ya, sebelumnya ada banyak acara yang serupa, semisal kampanye dialogis, kampanye monologis, kampanye akbar, sampe pemasangan (dan pemberangusan) pamflet serta baliho kampanye di seluruh penjuru kampus...Aku bener-bener merasakan kampus sebagai sebuah miniatur negara...Apalagi momentumnya malah hampir mepet...April ma Februari..

Ohya, aku sempet ikut (meski tidak aktif) dalam kampanye dialogis akbar calon presma...Dan sama dengan saat aku berangkat memasuki ruangan –menjinjing tanya, bagaimana retorika masing-masing capres-, saat pulang menuju kos, kantong tanyaku masih tetap berisi bahkan penuh, -what should I do jika retorika yang berhasil mencuri kagumku bukanlah orang yang selumbung denganku? What? What? Aku inget banget, saat itu aku hanya tersenyum pada bingungku...(yang pasti aku ga plinplan dwonk? Lha wong aku belum menjatuhkan pilihan pada siapapun..Aciah..)

Aku ga full aktif di kepanitiaan. Masalane, selain aku hanya anggota tim verifikasi yang tugas lemburnya di awal acara (awal Februari dengan jatah satu kali masuk ruangan dan satu kali makan), aku paling sulit (atau bahkan tidak bisa) meninggalkan kuliah. Ada ribuan rasa bersalah yang akan memburu dan menyerangku jika aku sampai meninggalkan kuliah demi alasan organisasi atau kepanitiaan... Terlebih aku tau, posisiku tidak terlalu strategis dan dibutuhkan...(Ah, apologi lagi...). Paz 26 Feb itu, aku sedikit keki juga saat membaca pengumuman di sekretariat panitia, "Panitia HARAM masuk kuliah"...Saat itu aku tak mau berjanji menepati aturan itu, aku hanya bergumam, sebisa mungkin aku akan bijak, deal with keadaan.

Dan bener! Aku hanya bisa masuk dua kuliah, satunya ngga...Aku relakan saja...Kuliah yang tak pernah bisa aku tinggalkan adalah Filsafat Ilmu. Yang ngajar bikin aku tumbang...Oalah...

Ohya, aku adalah makhluk baru di kampuz yang sangat dan teramat asing masalah politik,. BLAZ...Aku dak tau kecuali sedikit hal...Yang belum bisa aku pertanggungjawabkan validitasnya..Aku rasa tak akan cukup waktu untuk menelusuri dan menjawab semua kebingungan dan pertanyaanku. Lebih tepatnya, buang-buang waktu...Jadi, aku mengikuti arus saja..Membiarkan kebingungan dan pemberontakan itu mengaum sendiri dalam batinku..Aku yakin, meski ada ragu, suatu saat, aku akan mengerti jawaban di balik semua bingungku...

Tapi, siapa menyangka siapa menduga...Aku kemudian jadi TS (alias Tim Sukses) untuk salah satu partai (Ah, haruskan aku tulis namanya sedangkan aku tidak tahu banyak hal tentang apa dan bagaimana partai itu)..Ah, oklah, namanya PKM, kepanjangannya Partai Kedaulatan Mahasiswa. Yang menarik dari partai itu, untuk aku sendiri adalah warna lambangnya...Merah, item, putih,, kaya lambangnya Dewa ato warna motor ksatria..Itu aja. Selain itu, nothing..Mengenai slogan ato apalah namanya, aku tak ingin banyak mengingatnya...Alasanku satu dan ini tidak sama sekali bertendsi politik. Bukankah aku sudah terlalu bosan dan –maaf- muak dengan janji dan serapah politik?

Namun aku hanya mahluk kecil karena ajang perjuanganku hanya di fakultas...Lebih khususnya, meloloskan calon-calon dari KORP GADJAH MADAq dan atau jurusanku agar lolos menjadi ketua BEM F maupun BEM J. Dan, alhamdulillah, keempat kandidat itu lolos jadi ketua BEM F dan BEM-J...Tak pelak, aku harus ‘jual muka’ dan mendadak supel pada semua warga jurusan dalam rangka kampanye. Bukan main kagoknya..Palagi paz temen2 kelaz yang aga deket ngegojlok aku segala macam...Namun, ah, ternyata soliditas sesama teman mampu mengikis semuanya...Dan, satu catatan yang paling aku ingat, adalah bahwa....kampanye yang paling sulit adalah kampanye pada temen deket..

Lalu, what I can take behind this?
Hm...Banyak hal tentu, setidaknya lelah dan kerja seharian yang menderaku saat itu kembali memaksaku mengingat banyak fragmen saat aku masih di MAK dulu..Semangat yang meletup itu...Perjuangan yang tak berdarah namun tak kalah menggetirkan, dan semua hal yang hanya bisa aku kenang saat ini...

Yang pasti, aku tau sedikit hal mengenai dinamika kampuz, khususnya dalam masalah politik..Satu pertanyaan yang selalu aku ajukan, apa enaknya jadi ketua ato pengurus organisasi kampus, mpe diperebutkan setengah mati dengan menghalalkan segala hal? Pengalaman, relasi, gengsi,nama, ato? Ya, mungkin pemikiranku masih terlalu sempit (atau ada yang mau bilang tolol?)..Namun setidaknya, itu adalah hal yang paling sering mengusik tenangku..Tak apalah, aku rasa aku masih punya hak untuk mengoarkannya...

Aku tak faham dinamika dan bagaimana luar dan dalam politik. Tapi aku berpikir, hal ini adalah pelajaran berharga bagi calon pemimpin masa depan yang akan melanjutkan amanah bangsa dan terdiri dari aku serta teman-teman sebayaku...Pertanyaannya adalah, sudahkah nilai-nilai luhur dan kejujuran itu tertanam dalam awal proses dan langkah pembelajaran ini? Jawabannya, aku serahkan pada semua orang yang terlibat dalam Pemilwa dan ga sengaja kesasar di blogku...

Namun harapku, semoga hal-hal luhur dalam proses ini akan terus dilestarikan saat generasi ini menjadi pemimpin. Dan exactly, untuk hal-hal yang kurang menyenangkan dan merugikan diri sendiri apalagi orla, semoga aja segera terberantas....Ya, menulis ini memaksaku mengingat pada sebuah sampul majalah pondok, -yang ada sepuluh eks di lemariku namun tak pernah aku baca- kalo ga salah namanya Muara, terbitan Lubra, yang saat itu mewawancarai Prof. A`la dan mengutip satu kalimat Prof A`la di sampul itu..."politik itu intinya moral..."..Aku membenarkannya, meski setelah berpikir lama, aku kemudian berpikir dan ingat anggapan-anggapan yang ditujukan pada pedagang tembakau, "jika tidak curang, tidak akan bisa dapat laba..."

Tulisan ini ingin aku akhiri dengan sebuah cuplikan kisah berikut;
Saat itu aku sudah sempoyongan dan sudah kehabisan akal mencari tempat merebahkan lelah yang cukup nyaman. Mataku sudah terasa rabun, aku nekat melewati kerumunan beberapa orang yang juga tengah menghabiskan malam dengan tujuan yang tidak jauh-jauh berbeda...Aku terus berjalan hingga sebuah suara mengusik kantukku,
"Terimakasih ya, Dik..." ujarnya
"Iya, sama-sama," Aku cepat menimpali ucapannya dengan bahasa planet, (demi menjaga image...hahaha...jadi inget si teroris GilGent..)
Dia adalah ketua partai, mantan ketua rayon. Aku lihat matanya berkunang-kunang..(Bahasa Bu Eni, matanya biru..). Aku jarang punya mood untuk bertukar ucap dengannya. Jadi, momen ini boleh dikatakan momen yang langka..Aku telah jauh dari t4 dia duduk ketika ingin kutanyakan, "Terimakasih untuk apa? Bukankah kau sudah berbaik hati mau mengisi pulsaku?"
Eits, satu lagi... POLITIK itu RUMIT; the second most complicated thing, setelah term CINTA...