KRITERIA MEMILIH JODOH
Memilih calon pasangan hidup merupakan salah satu persiapan utama sebelum memasuki gerbang pernikahan. Masing-masing orang berbeda menyikapi hal ini. Ada sebagian orang yang terlalu ideal dalam memiliki kriteria calon pasangan sehingga mereka relatif memerlukan waktu lebih lama dalam proses ini. Namun, ada juga sebagian lain yang tidak terlalu perfeksionis meski tidak berarti melupakan ‘mutu’ calon pasangannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada orang yang menikah tanpa mempertimbangkan kepribadian dan segala hal yan berkaitan dengan calon pasangannya.
Karena masing-masing orang memiliki sudut pandang yang berbeda, maka kriteria calon pasangan ideal pun juga berbeda. Orang yang berlatar belakang akademik misalnya, akan cenderung menilai calon pasangannya dengan kacamata kesuksesan dan prestasi-prestasi akademik. Sedangkan orang yang concern di bidang menulis, akan condong memberikan apresiasi lebih besar pada orang yang juga memiliki ketertarikan senada. Kendatipun berbeda, akan tetapi semua orang agaknya menyadari bahwa pernikahan adalah suatu lembaga di mana suami istri menjalani hubungan yang sinergis dan saling melengkapi. Karena itulah, kebanyakan orang yang akan menikah tidak akan sembarangan memilih orang yang akan melengkapi kekurangan yang ada dalam dirinya tersebut.
Terlebih, siapapun juga pasti mendambakan dan mengharapkan yang terbaik untuk kelangsungan kehidupan rumah tangganya ke depan. Seorang pria akan berpikir panjang untuk menentukan dan memilih orang yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dia akan mempertimbangkan banyak hal, sebab wanita yang akhirnya dipilih akan sangat berpengaruh dan berperan besar dalam mencetak kepribadian anak-anaknya. Begitupun seorang wanita. Ia akan memiliki pertimbangan yang matang untuk memilih orang yang akan memimpin dan memberinya nafkah ke depan.
Di sinilah agama memposisikan diri sebagai sebuah wadah yang mengarahkan jalan hidup manusia. Saya pikir kridor agama dalam hal ini dapat diklasifikasikan menjadi dua hal, yakni koridor primer dan koridor sekunder. Koridor primer adalah aturan-aturan yang melarang seorang muslim untuk menikahi kelompok tertentu. Kelompok ini didominasi oleh keluarga yang masih memiliki hubungan darah. Penemuan biologi mutakhir mengistilahkan perkawinan semacam ini dengan incest. Sedang koridor sekundernya adalah adanya anjuran maupun tuntunan dalam Al-Qur`an maupun hadist Nabi mengenai kriteria ideal calon pasangan hidup.
Sayangnya, beberapa teks Al-Qur`an maupun hadist yang secara tersirat mengemukakan kriteria memilih jodoh cenderung patriarki dan kurang (untuk tidak mengatakan tidak) sensitif gender serta terkesan diskriminatif. Terlepas dari subjektifitas saya, saya pikir beberapa teks ini, jika diterjemahkan secara literal sangatlah mendiskreditkan dan memojokkan posisi perempuan. Perempuan hanyalah bisa menjadi objek dengan istilah ‘dipilih’ dan terkesan sama sekali tidak memiliki hak untuk memilih dan memberikan persetujuan atau penilaian terhadap seorang lelaki. Terlebih, fiqh klasik agaknya mengukuhkan hal ini dengan memberi aturan bahwa tidak ada persyaratan adanya persetujuan dari perempuan (yakni perawan) saat ia akan memasuki gerbang pernikahan.
Perhatikan misalnya beberapa hadist berikut;
1. Diriwayatkan oleh Bayhaqi, Barang siapa memiliki perempuan karena hartanya dan rupanya yang cantik, niscaya Allah akan melengkapkan harta dan kecantikannya itu. Dan barangsiapa yang menikahinya karena agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya harta dengan kecantikan.
Janganlah Kamu menikahi perempuan itu karena kecantikannya, mungkin kecantikan itu akan membawa kesukaran bagi mereka sendiri dan janganlah menikahi wanita karena mengharapkan harta, karena mungkin karena hartanya mereka akan sombong
Dan nikahilah mereka berdasarkan agama dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asal ia beragama
2. Hadist at Tirmidzi
Sebaik-baik wanita ialah yang apabila dipandang menyenangkan, dan apabila suaminya menyuruh, diturutinya perintah suaminya, dan apabila suaminya bepergian dipelihara harta suaminya dan dijaga dirinya.
3. Hadist At Tirmidzi
Wanita itu dinikahi karena empat hal, yakni karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaklah kamu memilih wanita yang agamanya baik untuk menyelamatkan dirimu sendiri [1]
Ayat Al-Qur`an yang menyiratkan perintah menikah (QS. Annisa` ayat 3) juga menyebutkan lafadz ما طاب لكم من النساء , yakni wanita yang dicintai atau membuat lelaki senang. Kriteria lain yang disebutkan dalam hadist nabi misalnya adalah wanita yang menentramkan, mendamaikan, penuh kasih sayang, dan subur dalam artian bisa memberikan keturunan. Semua teks kegamaan tersebut terkesan mendiskreditkan perempuan sebagai pihak yang subordinatif dan selamanya menjadi objek.
Dalam upaya menafsirkan ayat dan hadist ini, saya agaknya tidak bisa melepaskan diri dari keadaan masa lalu yang menjadi konteks turunnya ayat maupun hadist tersebut. Saya pikir, teks Al-Qur`an maupun hadist yang terkesan diskriminatif ini erat kaitannya dengan budaya Arab Jahiliyah pra-Islam yang sama sekali tidak memberikan hak pada wanita. Kehadiran Islam yang memiliki semangat perubahan dan persamaan hak dalam metode dakwahnya memilih metode gradual atau tidak melakukan perombakan secara total dan sekaligus. Dengan demikian, Islam mengangkat derajat wanita secara perlahan-lahan. Dan agaknya, ayat dan hadist yang berkenaan dengan hal ini masih memiliki konteks periode awal dalam perubahan gradual ini.
Karena itulah, saya rasa ayat maupun hadist ini tidak bisa diaplikasikan dewasa ini jika masih menggunakan penafsiran literlek (tekstual). Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat peran wanita dalam dunia publik juga tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Pemerataan pendidikan juga menjadi faktor pendorong tiadanya sekat sosial yang membedakan laki-laki dan wanita secara hirarkis. Karena itu, bukan tidak mungkin jika wanita juga memiliki kebebasan menentukan siapa yang akan mendampingi dirinya dalam kehidupan rumah tangga. Namun tentunya, kebebasan ini hendaklah bisa dipertanggungjawabkan.
Terlebih saya melihat bahwa beberapa tuntunan Rasulullah dalam memilih jodoh, jika ditarik ideal moralnya adalah agar manusia (siapapun, lelaki maupun perempuan) tidak sembarangan memilih calon pasangan, sebab pernikahan adalah sebuah mitsaqan ghalidza yang tidak bisa dianggap main-main. Rasulullah lewat beberapa hadistnya juga ingin mengemukakan kriteria ideal yang umumnya menjadi pertimbangan dalam memilih calon pasangan. Namun, Rasulullah juga ingin menyampaikan hal yang harus diprioritaskan, yakni aspek agama. Rasulullah menegaskan bahwa penentuan prioritas pada tiga hal lain (rupa, harta, dan nasab) merupakan hal yang sifatnya nisbi dan akan pudar pesonanya seiring berjalannya waktu. Saya pikir penyebutan tiga hal tersebut merupakan indikasi bahwa ketiganya adalah hal yang manusiawi, namun tidak harus menjadi prioritas. Ketiga hal tersebut berbeda dengan satu hal yang disebut Rasulullah di akhir hadistnya, yakni agama.
Saya agaknya cukup terpengaruh dengan teori hudud-nya Syahrur pada point pertama. Saya cenderung memasukkan contoh ini dalam teori tersebut. Syahrur mengatakan bahwa point pertama dalam teori hududnya adalah hukum yang memiliki batas bawah yang tidak boleh kurang, namun diperbolehan lebih. Batas bawah yang dimaksud oleh Syahrur dalam permasalahan ini adalah beberapa orang yang haram dinikahi. Kelompok ini tidak boleh dinikahi dengan alasan apapun (oleh Syahrur dibahasakan dengan ‘tidak boleh kurang’), yakni tidak boleh melanggar ketetapan tersebut. Sedangkan ‘boleh lebih’ berarti bahwa seseorang bisa menambahan kriteria tertentu terhadap pasangannya berdasarkan petunjuk Rasulullah maupun pandangannya sendiri.
Nah, jika beberapa kriteria tersebut diamati, maka sangat tidak adil dan tidak etis jika hanya laki-lakilah yang berhak memilih calon istrinya dengan berpedoman pada imbauan-imbauan Rasulullah. Jika hal ini dipertahankan, maka praktik ini akan melenceng dari salah satu ajaran dasar Islam, yakni persamaan hak antara laki-laki da wanita. Hal lain yang patut menjadi perhatian dalam memilih jodoh adalah aspek moral, sebab aspek ini akan berperan banyak dalam proses memilih jodoh. Misalkan saja hal yang paling tampak ke permukaan adalah adanya kecocokan antara keinginan calon mempelai dengan restu dari orangtua yang bersangkutan dari masing-masing pihak. Aspek moral ini perlu ditekankan agar tidak mengurangi nilai luhur perkawinan itu sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan tradisi Siti Nurbaya, Kawin Lari, dan hal-hal etis lain yang bersinggungan dengan pernikahan. Saya pikir, permasalahan ini bisa diselesaikan dengan adanya komunikasi dan mediasi antar semua pihak yang berkepentingan.
Pada akhirnya, selain mempertimbangkan bahwa baik suami maupun istri memiliki hak dan tanggungjawab masing-masing dalam sebuah lembaga pernikahan, hal yang juga penting untuk direnungkan (dan didekonstruksi) adalah adanya paradigma interaksi yang sifatnya hirarkis antara suami dan istri. Agaknya, akan lebih baik jika paradigma tersebut diganti dengan paradigma sebuah interaski yang sinergis dan kompelementif. The last, hidup adalah pilihan. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan hidup kita esok hari. Dan mempertahankan pilihan lebih bijaksana daripada tidak berani menentukan pilihan. Allah Knows Best.
[1] Lih. Moh. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:1986, Hillco), hlm.
Karena masing-masing orang memiliki sudut pandang yang berbeda, maka kriteria calon pasangan ideal pun juga berbeda. Orang yang berlatar belakang akademik misalnya, akan cenderung menilai calon pasangannya dengan kacamata kesuksesan dan prestasi-prestasi akademik. Sedangkan orang yang concern di bidang menulis, akan condong memberikan apresiasi lebih besar pada orang yang juga memiliki ketertarikan senada. Kendatipun berbeda, akan tetapi semua orang agaknya menyadari bahwa pernikahan adalah suatu lembaga di mana suami istri menjalani hubungan yang sinergis dan saling melengkapi. Karena itulah, kebanyakan orang yang akan menikah tidak akan sembarangan memilih orang yang akan melengkapi kekurangan yang ada dalam dirinya tersebut.
Terlebih, siapapun juga pasti mendambakan dan mengharapkan yang terbaik untuk kelangsungan kehidupan rumah tangganya ke depan. Seorang pria akan berpikir panjang untuk menentukan dan memilih orang yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dia akan mempertimbangkan banyak hal, sebab wanita yang akhirnya dipilih akan sangat berpengaruh dan berperan besar dalam mencetak kepribadian anak-anaknya. Begitupun seorang wanita. Ia akan memiliki pertimbangan yang matang untuk memilih orang yang akan memimpin dan memberinya nafkah ke depan.
Di sinilah agama memposisikan diri sebagai sebuah wadah yang mengarahkan jalan hidup manusia. Saya pikir kridor agama dalam hal ini dapat diklasifikasikan menjadi dua hal, yakni koridor primer dan koridor sekunder. Koridor primer adalah aturan-aturan yang melarang seorang muslim untuk menikahi kelompok tertentu. Kelompok ini didominasi oleh keluarga yang masih memiliki hubungan darah. Penemuan biologi mutakhir mengistilahkan perkawinan semacam ini dengan incest. Sedang koridor sekundernya adalah adanya anjuran maupun tuntunan dalam Al-Qur`an maupun hadist Nabi mengenai kriteria ideal calon pasangan hidup.
Sayangnya, beberapa teks Al-Qur`an maupun hadist yang secara tersirat mengemukakan kriteria memilih jodoh cenderung patriarki dan kurang (untuk tidak mengatakan tidak) sensitif gender serta terkesan diskriminatif. Terlepas dari subjektifitas saya, saya pikir beberapa teks ini, jika diterjemahkan secara literal sangatlah mendiskreditkan dan memojokkan posisi perempuan. Perempuan hanyalah bisa menjadi objek dengan istilah ‘dipilih’ dan terkesan sama sekali tidak memiliki hak untuk memilih dan memberikan persetujuan atau penilaian terhadap seorang lelaki. Terlebih, fiqh klasik agaknya mengukuhkan hal ini dengan memberi aturan bahwa tidak ada persyaratan adanya persetujuan dari perempuan (yakni perawan) saat ia akan memasuki gerbang pernikahan.
Perhatikan misalnya beberapa hadist berikut;
1. Diriwayatkan oleh Bayhaqi, Barang siapa memiliki perempuan karena hartanya dan rupanya yang cantik, niscaya Allah akan melengkapkan harta dan kecantikannya itu. Dan barangsiapa yang menikahinya karena agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia kepadanya harta dengan kecantikan.
Janganlah Kamu menikahi perempuan itu karena kecantikannya, mungkin kecantikan itu akan membawa kesukaran bagi mereka sendiri dan janganlah menikahi wanita karena mengharapkan harta, karena mungkin karena hartanya mereka akan sombong
Dan nikahilah mereka berdasarkan agama dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asal ia beragama
2. Hadist at Tirmidzi
Sebaik-baik wanita ialah yang apabila dipandang menyenangkan, dan apabila suaminya menyuruh, diturutinya perintah suaminya, dan apabila suaminya bepergian dipelihara harta suaminya dan dijaga dirinya.
3. Hadist At Tirmidzi
Wanita itu dinikahi karena empat hal, yakni karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaklah kamu memilih wanita yang agamanya baik untuk menyelamatkan dirimu sendiri [1]
Ayat Al-Qur`an yang menyiratkan perintah menikah (QS. Annisa` ayat 3) juga menyebutkan lafadz ما طاب لكم من النساء , yakni wanita yang dicintai atau membuat lelaki senang. Kriteria lain yang disebutkan dalam hadist nabi misalnya adalah wanita yang menentramkan, mendamaikan, penuh kasih sayang, dan subur dalam artian bisa memberikan keturunan. Semua teks kegamaan tersebut terkesan mendiskreditkan perempuan sebagai pihak yang subordinatif dan selamanya menjadi objek.
Dalam upaya menafsirkan ayat dan hadist ini, saya agaknya tidak bisa melepaskan diri dari keadaan masa lalu yang menjadi konteks turunnya ayat maupun hadist tersebut. Saya pikir, teks Al-Qur`an maupun hadist yang terkesan diskriminatif ini erat kaitannya dengan budaya Arab Jahiliyah pra-Islam yang sama sekali tidak memberikan hak pada wanita. Kehadiran Islam yang memiliki semangat perubahan dan persamaan hak dalam metode dakwahnya memilih metode gradual atau tidak melakukan perombakan secara total dan sekaligus. Dengan demikian, Islam mengangkat derajat wanita secara perlahan-lahan. Dan agaknya, ayat dan hadist yang berkenaan dengan hal ini masih memiliki konteks periode awal dalam perubahan gradual ini.
Karena itulah, saya rasa ayat maupun hadist ini tidak bisa diaplikasikan dewasa ini jika masih menggunakan penafsiran literlek (tekstual). Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat peran wanita dalam dunia publik juga tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Pemerataan pendidikan juga menjadi faktor pendorong tiadanya sekat sosial yang membedakan laki-laki dan wanita secara hirarkis. Karena itu, bukan tidak mungkin jika wanita juga memiliki kebebasan menentukan siapa yang akan mendampingi dirinya dalam kehidupan rumah tangga. Namun tentunya, kebebasan ini hendaklah bisa dipertanggungjawabkan.
Terlebih saya melihat bahwa beberapa tuntunan Rasulullah dalam memilih jodoh, jika ditarik ideal moralnya adalah agar manusia (siapapun, lelaki maupun perempuan) tidak sembarangan memilih calon pasangan, sebab pernikahan adalah sebuah mitsaqan ghalidza yang tidak bisa dianggap main-main. Rasulullah lewat beberapa hadistnya juga ingin mengemukakan kriteria ideal yang umumnya menjadi pertimbangan dalam memilih calon pasangan. Namun, Rasulullah juga ingin menyampaikan hal yang harus diprioritaskan, yakni aspek agama. Rasulullah menegaskan bahwa penentuan prioritas pada tiga hal lain (rupa, harta, dan nasab) merupakan hal yang sifatnya nisbi dan akan pudar pesonanya seiring berjalannya waktu. Saya pikir penyebutan tiga hal tersebut merupakan indikasi bahwa ketiganya adalah hal yang manusiawi, namun tidak harus menjadi prioritas. Ketiga hal tersebut berbeda dengan satu hal yang disebut Rasulullah di akhir hadistnya, yakni agama.
Saya agaknya cukup terpengaruh dengan teori hudud-nya Syahrur pada point pertama. Saya cenderung memasukkan contoh ini dalam teori tersebut. Syahrur mengatakan bahwa point pertama dalam teori hududnya adalah hukum yang memiliki batas bawah yang tidak boleh kurang, namun diperbolehan lebih. Batas bawah yang dimaksud oleh Syahrur dalam permasalahan ini adalah beberapa orang yang haram dinikahi. Kelompok ini tidak boleh dinikahi dengan alasan apapun (oleh Syahrur dibahasakan dengan ‘tidak boleh kurang’), yakni tidak boleh melanggar ketetapan tersebut. Sedangkan ‘boleh lebih’ berarti bahwa seseorang bisa menambahan kriteria tertentu terhadap pasangannya berdasarkan petunjuk Rasulullah maupun pandangannya sendiri.
Nah, jika beberapa kriteria tersebut diamati, maka sangat tidak adil dan tidak etis jika hanya laki-lakilah yang berhak memilih calon istrinya dengan berpedoman pada imbauan-imbauan Rasulullah. Jika hal ini dipertahankan, maka praktik ini akan melenceng dari salah satu ajaran dasar Islam, yakni persamaan hak antara laki-laki da wanita. Hal lain yang patut menjadi perhatian dalam memilih jodoh adalah aspek moral, sebab aspek ini akan berperan banyak dalam proses memilih jodoh. Misalkan saja hal yang paling tampak ke permukaan adalah adanya kecocokan antara keinginan calon mempelai dengan restu dari orangtua yang bersangkutan dari masing-masing pihak. Aspek moral ini perlu ditekankan agar tidak mengurangi nilai luhur perkawinan itu sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan tradisi Siti Nurbaya, Kawin Lari, dan hal-hal etis lain yang bersinggungan dengan pernikahan. Saya pikir, permasalahan ini bisa diselesaikan dengan adanya komunikasi dan mediasi antar semua pihak yang berkepentingan.
Pada akhirnya, selain mempertimbangkan bahwa baik suami maupun istri memiliki hak dan tanggungjawab masing-masing dalam sebuah lembaga pernikahan, hal yang juga penting untuk direnungkan (dan didekonstruksi) adalah adanya paradigma interaksi yang sifatnya hirarkis antara suami dan istri. Agaknya, akan lebih baik jika paradigma tersebut diganti dengan paradigma sebuah interaski yang sinergis dan kompelementif. The last, hidup adalah pilihan. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan hidup kita esok hari. Dan mempertahankan pilihan lebih bijaksana daripada tidak berani menentukan pilihan. Allah Knows Best.
[1] Lih. Moh. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:1986, Hillco), hlm.
-Hehehe..postingan ini dimaksudkan agar content blogku lebih variatif dan mungkin bisa mengundang comment dari whoever (Sepi banget loch...blogQ). Jadi nelongso..Barangkali, dengan ini, aku bisa lebih tercerahkan ajah..sayang aku menulisnya ugal-ugalan, aku tulis di antara dua masa tidurku tanpa satu buku yang akan membawaku..Lebih sayangnya lagi, saat didiskusikan, aku malah uring-uringan gara-gara peristiwa sebelum berangkat kuliah...jadi, pembantaian seru yang s4 nangkring di dugaanku malah tidak terjadi pagi itu,..Hff..