A. WACANA AWAL
Bagi masyarakat Indonesia, kitab Bulughul Maram tentu bukan merupakan sebuah referensi yang asing. Kitab ini banyak digunakan di berbagai institusi pendidikan maupun dalan komunitas-komunitas majlis ta’lim yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Kitab ini ternyata tidak hanya digemari di Indonesia. Komunitas cendekiawan barat maupun timur juga turut menjadikan kitab ini sebagai referensi yang cukup dipertimbangkan dalam keilmuan hadist. Beberapa tulisan menyangkut kitab ini telah banyak bermunculan, dari level tulisan ringan artikel dan book review hingga pegalihbahasaan dan penulisan kitab syarh.
Barangkali ada banyak alasan mengapa kitab karangan Ibnu Hajar ini hampir bisa dibilang sukses menjadi referensi dan konsumsi utama masyarakat Islam di Indonesia. Salah satu alasan yang paling tampak adalah karena kitab ini terkesan sengaja disusun agar bisa memiliki daya fungsi aplikatif. Sebagaimana kitab-kitab kumpulan hadist mu’tabar, kitab ini juga disusun berdasarkan urutan bab-bab fiqh. Sehingga tidak lagi mengherankan jika kitab ini cukup diminati, terkait dengan sistematika penyusunannya yang ramah dan aplikatif serta kandungan hadist yang tidak terlalu banyak namun mengena pada permasalahan yang –barangkali—sering ditemui.
Popularitas kitab ini, bagi masyarakat awam di Indonesia, bisa jadi jauh lebih populer dan dikenal dibanding kitab-kitab mu’tabar. Padahal dalam kajian ilmu hadist, kitab mu’tabar yang menduduki posisi nomor satu adalah kitab Shahih Bukhari dan dianggap memuat hadist-hadist yang berkualitas tinggi. Disusul kemudian dengan Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai.
Gradasi kitab-kitab hadist mu’tabar tersebut—meski masih belum lepas dari kontroversi-kontroversi—menjadi ikon gradasi kitab hadist secara umum. Gradasi ini menunjukkan kualitas hadist yang menjadi sumber ajaran kedua dalam agama Islam. Pertanyaannya kemudin, jika kitab Bulughul Maram memiliki popularitas yang lebih tinggi dibanding beberapa kitab mu’tabar tersebut, maka bagaimanakah kualitas hadist yang ada dalam kitab Bulughul Maram? Sinkronkah dengan popularitas yang dimlikinya?
B. KAJIAN KITAB (REVIEW, MINI-RESEARCH)
• Bulughul Maram dan Ibnu Hajar Al Asqalani
Karakteristik seseorang bisa dengan mudah terbaca dari genre dan ciri khas karya yang dihasilkannya. Suatu karya –utamanya karya tulis—bukanlah hanya dilatarbelakangi oleh aspek intelektual seorang penulis, akan tetapi juga banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, semisal lingkungan kehidupan penulis, lingkungan akademik, keadaan sosial politik ekonomi, serta masa hidup seorang penulis.
Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 M) merupakan salah satu cendekiawan muslim yang cukup produktif dalam memperkaya khazanah keilmuan Islam. Karyanya—yang konon berjumlah 150an—tersebar dalam berbagai disiplin ilmu dan ia pun cukup tekun dalam menseriusi beberapa bidang keilmuan Islam. Produktivitas Ibnu Hajar yang sedemikian tinggi ini paling tidak menyiratkan bahwa semasa hidupnya, literatur-literatur keislaman masih belum banyak terjamah oleh tangan-tangan intelektual dan akibatnya kurang bisa down to earth terhadap masyarakat muslim secara luas. Keadaan ini yang barangkali memotivasi Ibnu Hajar untuk terus produktif semasa hidupnya.
Sejarah juga mencatat bahwa Ibnu Hajar sempat menjadi qadhi terkemuka di daerah Mesir pada masa mudanya. Kendati begitu, ia tidak hanya aktif di dunia peradilan. Ibnu Hajar merupakan ahli di berbagai bidang dan karenanya mendapat gelar akademik dan menadi steak holder dalam beberapa disiplin ilmu tertentu. Asumsi ini dibuktikan dengan penyematan gelar sebagai ahli hadist tingkatan Al-hafidz yang diberikan oleh Al Albani kepada Ibnu Hajar . Cendekiawan asal Gaza Palestina ini juga mendapat gelar sebagai pemerhati papan atas dalam kajian fiqh (dengan penyematan gelar Al Imam Alim Allamah), gelar Aimmatul Alim yang diberikan pakar ilmu pengetahuan, gelar Khatimatul Huffadz yang diberikan oleh pemerhati bidang qiraah, dan Al Qudhah Al Masyhurin yang ia dapat saat tengah concern dalam bidang peradilan dan perundang-undangan.
Dengan demikian, kredibilitas Ibnu Hajar dalam keilmuan akademik sudah tidak diragukan lagi. Meski ia banyak mendalami beberapa disiplin, akan tetapi dedikasi Ibnu Hajar pada masing-masing disiplin yang digelutinya ternyata cukup fenomenal. Sebab jika tidak demikian, mustahil rasanya Ibnu Hajar akan mendapat gelar dari berbagai pemerhati bidang tersebut. Perhatiannya di bidang hadist berwujud properti yang bisa diandalkan cendekiawan selanjutnya. Ia berhasil menelorkan beberapa karya dalam disiplin ilmu hadist. Dua di antaranya adalah Fathul Bari (syarh kitab Shahih BUkhari) dan Bulughul Maram (Kumpulan kitab hadist terpilih)
Bulughul Maram merupakan salah satu di antara beberapa karya Ibnu Hajar yang hingga saat ini sudah diterjemankah ke dalam beberapa bahasa. Kitab ini berjudul asli Bulughul Maram fi Adillatil Ahkam. Pemilihan judul ini cukup menyiratkan bahwa Ibnu Hajar Al Asqalani memaksudkan penulisan kitab ini sebagai pembahasan dalam bidang hukum—fiqh—
Latar belakang penulisan kitab ini agaknya tidak jauh berbeda dengan beberapa kitab lain, yakni memberikan pedoman aplikatif kepada muslimin dalam kegiatan sehari-harinya dengan berpedoman pada sumber ajaran Islam. Dalam hal ini, Ibnu Hajar memilih hadist sebagai sumber ajaran sekaligus ‘kendaraan’nya dalam menyajikan pedoman hidup bagi muslim. Hal ini tersirat dalam pencantuman sebuah ayat Al-Qur’an yang diberikan Ibnu Hajar pada bab pertama kitab nya ini.
Lebih lanjut pada bagian pendahuluan, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa ia memaksudkan penulisan kitab ini agar bisa dinikmati semua kalangan, baik kalangan orang awam hingga ulama’. Orang awam bisa menjadikan kitab ini sebagai pedoman hidup, pelajar bisa lebih mudah menghafalkan kitab ini, dan cendekiawan pun tidak bisa lepas dari kitab ini. Untuk mencapai tujuan ini, Ibnu Hajar berusaha sedemikian rupa untuk menyajikan segala halnya agar bisa meng-goal-kan tujuan tersebut.
Untuk mewujudkan keinginan yang tidak mudah dicapai ini, Ibnu Hajar tentu harus memiliki trik-trik sendiri. Sebab, bukanlah perkara mudah untuk bisa menyajikan sebuah karya antologi yang bisa nyaman dikonsumsi semua kalangan dari level yang berbeda. Trik-trik yang dipakai Ibnu Hajar tersebut tampak dalam ciri-ciri menonjol (featured characteristic) yang kemudian menjadi identitas dan ciri khas tersendiri dalam kitabnya ini.
• Featured Characteristic dalam Bulughul Maram
Kitab Bulguhul maram barangkali tidak banyak berbeda dengan beberapa kitab mu’tabar lain yang menjadi kitab induk dalam disiplin ilmu hadist. Sistematikanya sarat dengan nuansa fiqh yang kemudian menjadikan kitab ini sebagai kitab yang bisa diandalkan dalam referensi pemecahan masalah hukum dengan akurasi waktu dan validitas yang juga tidak perlu diragukan lagi.
Namun begitu, ada beberapa hal yang cukup berbeda dengan kitab kebanyakan dan hal-hal tersebut menjadi ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki kitab antologi hadist lain. Salah satu ciri khas tersebut adalah adanya beberapa nomor hadist yang tidak mencantumkan sebuah hadist mandiri, akan tetapi merupakan penjelas dari hadist yang ada di atasnya. Sebagai contoh, pada hadist nomor 90 dan 91 bab Perihal yang membatalkan wudhu’ dalam kitab Thaharah, tidak ada hadist mandiri yang dimuat. Dua nomor tersebut menyatakan bahwa hadist sebelumnya (89) juga terdapat dalam kitab lain, yakni shahih Bukhari Muslim dari hadist Abdullah bin Zaid (hadist 90) dan hadit dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah (hadist 91).
Sedangkan pada hadist nomor 97, Ibnu Hadjar mencantumkan tiga penjelasan mengenai sebuan hadist, sehingga satu hadist bisa memakan empat nomor atau lebih. Nomor pertama adalah hadist yang dimaksud, sedangkan tiga lainnya adalah penjelas dari hadist mandiri tersebut. Tiga penjelas ini berupa penyajian matan lain dari hadist yang sema’na dengan berpedoman pada rawi lain, yakni riwayat Abu Daud, riwayat Ahmad Ibnu Abbas, dan riwayat Imam Thabrani. Ketiga riwayat ini merupakan pemaparan beberapa versi lain dari hadist nomor 97, yakni hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dengan demikian, sebuah hadist bisa memiliki beberapa nomor hadist penjelas yang memaparkan beberapa hal tentang hadist tersebut.
Ada kalanya, penjelas yang diberikan Ibnu Hajar dalam nomorisasi setelah nomor hadist yang bersangkutan merupakan pendapat atau penilaian seorang tokoh mengenai kualitas sebuah hadist yang tertera pada nomor sebelumnya. Hal ini misalnya terjadi pada nomor hadis nomor 114 yang menjelaskan status atau kualitas hadist sebelumnya (menurut pandangan Ibnu Huzaimah), yakni hadist nomor 113.
Karakteristik yang demikian secara langsung menandakan bahwa jumlah –yang berkisar antara angka 1596-1597 bukanlah jumlah keseluruhan hadist yang ada di dalam kitab ini. Hal ini disebabkan penomoran yang ada dalam kitab ini tidak hanya diberikan untuk memberi nomor suatu hadist, akan tetapi juga sebagai penjelas-penjelas dari suatu hadist. Penjelasan mengenai kualitas suatu hadist maupun hal-hal yang berkaitan dengan matan hadist inilah yang penulis anggap sebagai ciri khas Ibnu Hajar yang diandalkannya untuk menjadikan kitabnya ini bisa representatif pada semua kalangan dengan gradasi intelektual yang berbeda.
Karakteristik lain yang digunakan oleh Ibnu Hajar adalah penyebutan Imam yang disimbolkan dalam bentuk angka. Penulis hingga saat ini belum mengetahui secara jelas siapakah pelopor penggunaan simbolisasi tersebut. Posisi Ibnu Hajar sebagai pelopor dalam penggunaan simbol tersebut merupakan hipotesis yang belum ditemukan jawabannya.
Sebab dalam kitab Bulughul Maram ini, Ibnu Hajar kerap memberikan penjelasan rawi dengan simbol-simbol angka. Senyatanya hal ini masih sangat riskan, sebab urutan mukharij hadist hingga saat ini belumlah mencapai kesepakatan final. Kemungkinan ini sudah terlebih dahulu diantisipasi oleh Ibnu Hajar dengan memberikan keterangan di pendahuluan kitabnya. Penjelasan tersebut adalah sebagai berikut;
Imam yang tujuh: Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah
Imam yang enam: Semua nama di atas kecuali Ahmad
Imam yang lima: Semua nama dalam imam 7 selain Bukhari Muslim
Imam yang empat: Semua nama dari as-Sab’ah kecuali tiga orang yang pertama (Ahmad, Bukhari, Musli)
Imam yang tiga:Semua nama yang ada dalam as-sab’ah kecuali tiga nama pertama dan satu nama terakhir, yakni Abu Daud, Nasai, dan Tirmidzi.
Meskipun demikian, dalam banyak kesempatan, Ibnu Hajar kerap memberikan penjelasan tentang pengecualian yang tejadi dalam simbolisasi ini. Misalnya adalah hadist nomor 161 yang dijelaskan bahwa hadist tersebut dikeluarkan oleh Imam yang lima selain Nasai.
Selain beberapa simbol tersebut, Ibnu Hajar juga kerap menggunakan simbol muttafaq alaih. Ia memaksudkan penamaan ini dengan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kendatipun ada rawi lain yang mengeluarkan hadist tersebut, terkadang Ibnu Hajar tidak menyebutkan rawi-rawi tersebut. Hal demikian disebutkan Ibnu Hajar dalam pendahuluannya.
Dalam perhatian terhadap aspek sanad, Ibnu Hajar tampak tidak terlalu respek. Pernyataan ini tidak kemudian menegasikan kredibilitas Ibnu Hajar dalam hal hadist yang diriwayatkannya. Asumsi penulis yang demikian didasari kenyataan bahwa Ibnu Hajar tampak lebih memerhatikan aspek aplikasi hadist dibanding memberikan perhatian banyak pada aspek sanad. Hal ini hanya terlihat dari penyajian hadist-hadist dalam kitab ini yang hanya menyebutkan rawi dari golongan sahabat.
Sehingga, bagi pemerhati hadist –yang misalnya akan melakukan takhrij manual—kitab ini agaknya tidak bisa terlalu banyak membantu. Mereka masih diharuskan untuk mencari hadist yang bersangkutan ke dalam kitab induk dan referensi lain. Meski sekali lagi, jalan yang ditempuh Ibnu Hajar ini bukannya tanpa alasan. Prediksi penulis, Ibnu Hajar sengaja hanya menyebutkan nama sahabat agar memudahkan pemahaman sehingga orang awam tidak juga dipusingkan dengan masalah sanad.
Selain itu, ‘kesengajaan’ Ibnu Hajar untuk tidak menyebutkan rawi lain yang meriwayatkan sebuah hadist yang juga diriwayatkan oleh dengan Bukhari Muslim juga turut menguatkan asumsi bahwa Ibnu Hajar lebih banyak memperhatikan aspek aplikasi. Dalam kasus ini, barangkali tindakan Ibnu hajar memang wajar, sebab kualifikasi tertinggi suatu hadist adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akan tetapi, penghilangan (dengan tidak menyebutkan) rawi lain juga akan cukup menyulitkan bagi peneliti hadist
Anggapan bahwa Ibnu Hajar tidak memberi banyak perhatian pada aspek sanad sebenarnya tidak se-ansich demikian. Buktinya, dalam beberapa kesempatan, Ibnu Hajar kerap memberikan nomor khusus untuk memberi penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan hadist, baik dalam segi sanad maupun dalam segi matan. Kualitas hadist yang dimuat dalam kitabnya juga banyak ia jelaskan dengan pemaparan singkat dalam satu nomor yang tidak terpisah, sebagaimana ia juga sering memberikan keterangan mengenai lafadz hadist dan mushahhih maupun mudha’if hadist yang bersangkutan.
Ia pun kerap memberikan catatan kaki untuk menerangkan biografi singkat mengenai rawi yang tercantum dalam kitabnya ini. Ciri lain yang menjadi keunggulan kitab ini adalah adanya catatan kaki yang tentu akan sangat berguna bagi pembaca. Hampir dalam setiap nomorisasi hadist, Ibnu Hajar memberikan catatan kaki yang dimaksudkan sebagai penjelas matan maupun sanad hadist.
Terlepas dari beberapa respon tersebut, ada sementara anggapan bahwa kitab kumpulan hadist ini senyatanya tidaklah representatif jika dikonsumsi oleh masyarakat awam yang asing dengan disiplin ilmu musthalahul hadist
Adapun susunan yang ada dalam penomoran kitab maupun bab dalam kitab Bulughul Maram ini juga menjadi pertanyaan sendiri. Namun begitu, penulis sementara beranggapan bahwa sistematika tersebut didasarkan pada ibadah amaliah yang dianggap paling utama dan menduduki peringkat teratas dalam rukun islam, yakni shalat, zakat, puasa, haji. Susunan berikutnya kemudian dilanjutkan dengan fiqh muamalah, munakahah (ahwal syakhsiyah), fiqih jinayah, serta kitab pamungkas yang mencantumkan hadist yang belum tercover dalam kitab-kitab sebelumnya.
• BULUGHUL MARAM; POPULARITAS DAN KREDIBILITASNYA
Di Indonesia sendiri, popularitas kitab ini cukup besar dan menyebar di dunia akademika formal maupun nonformal. Isinya yang lugas, singkat, serta langsung mengena pada persoalan daily fiqh merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam popularitas kitab ini. Hal ini pulalah yang menjadi motivasi beberapa cendekiawan untuk untuk menghadirkan karya terjemahan versi Bahasa Indonesia dari kitab kumpulan hadist ini. Dan hingga hari ini, sudah ada banyak karya terjemahan dalam bentuk softcopy maupun hardcopy yang bisa diakses oleh muslimin.
Idealnya, popularitas yang demikian melambung ini berbanding lurus dengan kualitas hadist yang terkandung dalam kitab Bulughul Maram tersebut. Sebab bagaimanapun, hadist ditransmisikan dan sampai pada generarasi kita hari ini tidaklah melalui jalur mutawattir an-sich seperti halnya Al-Qur’an. Karena itulah semua hadist yang sampai pada kita hari ini tidak semuanya berstatus shahih (yang kemudian bisa segera diterapkan dan dijadikan landasan suatu perbuatan), meski tidak pula seuanya dhaif (yang berarti tidak segera –atau bahkan tidak bisa—dijadikan pedoman dalam bertindak).
Sehingga, kitab yang populer idealnya juga memuat semua hadist dengan kualitas yang tinggi, semisal shahih dan dhaif.
Lalu bagaimanakah dengan kitab Bulughul Maram ini? Apakah kredibiliatas (kualitas hadistnya) benar-benar sepadan dengan ppopularitas yang dimilikinya? Pertanyaan ini agaknya tidak bisa dijawab dengan satu atau dua kalimat saja. Sebab, kitab kecil ini memuat 1600-an hadist dan karenanya asumsi yang dibangun haruslah benar-benar representatif.
Hal yang barangkali perlu digarisbawahi pertama kali adalah bahwa Ibnu Hajar menggunakan referensi kitab hadist mu’tabar (yakni Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah) untuk menyusun antologinya ini. Dengan demikian, kualitas hadist yang ada dalam kitab ini, secara umum bisa dipertanggungjawabkan. Namun begitu, Ibnu Hajar juga menggunakan referensi dari beberapa Imam hadist yang tidak termasuk dalam enam imam tersebut, seperti Ibnu Khuzaimah, DaruQuthni, dll.
Beragamnya referensi ini, apakah kemudian bisa dijadikan alasan untuk meganggap bahwa hadist yang ada dalam kitab ini tidak semuanya shahih sebab tidak semuanya bersumber dari kitab mu’tabar yang sudah qualified? Anggapan tersebut barangkali bisa dibenarkan, setidaknya hal ini bisa dibuktikan dengan keterengan yang kerap kali diberikan oleh Ibnu Hajar bahwa sebuah hadist diriwayatkan oleh seorang mukharij dengan sanad yang dhaief, semisal hadist nomor 54 (yang diriwayatkan oleh Daruquthni dengan sanad yang dhaif)
Pertanyannya kemudian, apakah semua hadist yang diriwayatkan oleh imam-imam penulis kitab mu’tabar berkualitas tinggi dan apakah hadist yang dikeluarkan oleh imam-imam lain tidak berkualitas tinggi? Ternyata tidak demikian, misalnya ketika kita melihat hadist nomor 93 yang walupun dikeluarkan oleh Imam yang empat, akan tetapi berstatus ma’lul. Sedangkan hadist nomor 108, meskipun diriwayatkan oleh Daruquthni, akan tetapi dinilai shahih.
Adanya ragam referensi ini tentu memunculkan pertanyaan mengenai kriteria apa yang dipakai Ibnu Hajar dalam memilih hadist yang ia muat dalam kitabnya ini. Jika benar ia menggunakan referensi dari beberapa imam tersebut, tentunya ada banyak hadist yang ia jadikan acuan, namun mengapa hadist yang ada dalam kitab kumpulannya ini hanya berjumlah 1600-an? Hemat penulis, minimalisasi jumlah hadist yag dicantumkan dalam kitabnya ini dilatarbelakangi oleh alasan simplisitas dan keinginan untuk hanya mencantumkan hadist yang paling sering dibutuhkan muslimin menjadi pedoman hidup.
Penulis sempat melakukan takhrij terhadap hadist nomor 6 dengan berpedoman pada software mausuah al hadist al syarif. Penulis menemukan hadist dalam kitab muslim nomor 426 yang sama (juga diriwayatkan oleh seorang sahabat, yakni Abu Hurairah) vdengan apa yang ditulis Ibnu Hajar dalam hadist nomor 6 bab air dalam kitab thaharah. Sayangnya ada tambahan yang terdapat dalam kitab muslim namun tidak disebutkan oleh Ibnu Hajar, yakni
و حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ وَأَبُو الطَّاهِرِ وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى جَمِيعًا عَنْ ابْنِ وَهْبٍ قَالَ هَارُونُ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَشَجِّ أَنَّ أَبَا السَّائِبِ مَوْلَى هِشَامِ بْنِ زُهْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ فَقَالَ كَيْفَ يَفْعَلُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلًا
Satu proses takhrij ini setidaknya menunjukkan bahwa tambahan penjelasan (yang dalam kasus ini dipaparkan dalam nomor lain) tidak sepenuhnya representatif, sebab masih ada hal yang terlupakan. Meski demikian, upaya Ibnu Hajar memberikan perbandingan lafadz, penjelasan ashal lafadz dan versi-versi tambahan maupun lafadz dalam hadist yang dicantumkan dalam kitabnya ini layak diapresiasi.
C. FOLLOW-UP RESEARCH
Di balik popularitasnya yang demikian menjulang, kitab ini ternyata belum banyak memancing para cendekiawan untuk menghasilkan beberapa karya. Karya yang terkait dengan kitab ini lebih banyak merupakan karya berupa syarh yang membahas keterangan-keterangan mengenai substansi hadist yang bersangkutan. Kodikologi maupun tekstologi kitab ini masih merupakan dua hal yang tidak terjamah oleh sentuhan-sentuhan intelektual. Hal itulah yang barangkali menjadi PR bagi kita bersama. Allah Knows Best.
0 comMentz:
Posting Komentar