Satu hal pertama yang membedakan suasana di desaku dan tempat aku merantau dalam hal Pilpres ini adalah kuantitas spanduk atau baliho. Di t4 rantau, mataku mpe kblinger ngeliat bermacam atribut warna-warni dengan janji yang juga warna-warni..slogan yang beraneka ragam, dan lain-lain…Nach kalo di desaku, bahkan di kecamatan sekalipun, poster dan semua pernak-pernik itu memang ada, tapi….ga senorak dan gak semerusak lingkungan di tempat aku ngerantau…Jadinya masih bisa lumayan ngademin otak dan hati…Hehehe…
Hal kedua, gak laen dan ga bukan, adalah karena aku dapet surat suara untuk nyontreng…Dak kayak di tempat aku rantau..Hohoho..Umur dua puluh tahun yang harus dapet suara lach…Jangan sampai aku dak kedaftar DPT, bisa tambah gagap politik nech…He.
Dan yang ketiga, yang paling penting, aku bisa tau kondisi lapangan secara live di sekitarku…Bagaimana masyarakat menentukan pilihan, bagaimana mereka memandang filosofi sebuah pilpres, bagaimana mereka menanggapi semua janji yang diberikan calon, dll…Inilah beberapa cuplikan pernyataan yang disampaikan keluarga dan atau tetanggaku…
1. Kamu milih yang mana? Saya tadi dapet sms dari temen, katanya kalo mau ikut ulama`, pilih yang nomor sekian..Kyai sana itu milih yang ini, kyai yang di sebelahnya juga…(Tanggapanku…Emang di desaku kyai masih menjadi panutan utama, bahkan sosok ini diangggap lebih legitimate dibanding birokrat. Asal ngikutnya bertanggungjawab, it`s ok…)
2. Saya tadi dak milih…Males, tempatnya jauh, dan ada temennya, TPSnya jauh, dak dapet uang pula…Kalo pilpres kayak gini khan uang da cair sampe ke bawah, coba kalo pilihan caleg atau kalebun..Saya khan akan bersemangat..Karena uangnya nyampe..(Sekilas orang ini memang bisa dianggap bukan warga negara yang baik, namun senyatanya banyak hal yang melatarbelakangi kenapa ucapan dan perbuatannya yang demikian harus muncul. Bahasa hermeneutikanya , sebuah masalah menyimpan banyak dimensi…)
3. Ini percakapan bibiku, adik keduaku dan adik pertamaku…Si bungsu bilang, “aku tau bapak tadi milih yang mana, masalahnya aku ngikut bapak ke bilik suara..Bapak milih nomor sekian…” Bibiku berujar,”Hus, jangan ngomong kayak gitu..Itu pilihan sendiri. Dak usah disampein sama orang laen…”…Kontan adik pertamaku langsung nanggapi juga…”Ya dak papa kalo cuma ngomong kayak gini, wong ini bukan pilkades…Dak mungkin ada yang tersakiti”..(Yang ini aku dak mau ngasih tanggaan, cuma satu hal yang ada di pikiranku waktu itu…Walaupun sudah banyak iklan, banyak baliho, bahkan banyak uang yang dihabiskan untuk ‘membeli’ suara, toh dak ada yang teu saat di bilik suara, apakah uang dan segepok materi itu bener-bener bisa membeli harapan wong cilik)
4. Hm..Kalo mbahmu itu khan pegawai negeri, pasti dia pilihanya nomor sekian…
Aku nyontreng kali ini…Punya hak suara, dan aku merasa sudah memilih orang yang menurutku tepat…Meski masih banyak kekurangannya..Sebab emang dak ada orang yang sempurna…Aku sch dak gitu fanatik dengan calon yang aku pilih…Terserah mau menang atau tidak…Tapi yang jelas, aku hanya berharap, siapapun yang ntar terpilih…Semoga setengah dari janji kampanyenya bisa terlunasi…Itu aja…
Dan epilognya, aku hanya bisa mikir simpel dan singkat, berapa nominal uang ya, yang harus dikeluarkan untuk membeli sebuah kemenangan dan atau membeli sebuah kekalahan????
0 comMentz:
Posting Komentar