Semiotika Ferdinand D. Saussure
Masyithah Mardhatillah (07530003)
A. Pegantar
Secara garis besar, semiotika bisa diartikan sebagai salah satu cabang linguistik yang secara khusus mengkaji tanda yang telah memasyarakat dalam kehidupan manusia. Seorang ahli bahasa kenamaan, Saussure, telah sejak dahulu menyadari bahwa bahasa komunikasi antar sesama manusia ataupun antar manusia dengan lingkungannya tidak hanya terbatas pada tradisi oral saja, akan tetapi juga meliputi tradisi tulisan, gerak tubuh, dan lain sebagainya yang berwujud tanda untuk mengungkapkan suatu maksud tertentu.
Dalam hidup keseharian, dari wilayah paling privat hingga wilayah paling publik sekalipun, kita sangat sering menjumpai tanda-tanda, semisal tanda lalu lintas, rute jalur, petunjuk-petunjuk di tempat umum, dan lain sebagainya. Karena sifatnya yang selalu dinamis dan cenderung berbeda antarkomunitas, maka para ahli bahasa menginisiasi adanya suatu cabang linguistik yang khusus mengkaji persoalan tanda. Salah satu tujuan utama dari disiplin ilmu ini adalah mensistemasi konsep-konsep dan segala hal yang berhubungan dengan tanda agar sebuah tanda tertentu tidak disalahpahami dan bisa menunjukkan maksud yang ingin disampaikan.
Tanda merupakan bagian kehidupan yang memiliki dua mata pisau. Adakalanya, tanda bisa amat sangat membantu manusia (jika manusia benar-benar memahami maksud yang direpresentasikan di balik tanda), atau juga bisa malah menyesatkan manusia (misalnya dalam kasus ketika manusia salah memahami tanda). Sebab itulah tidaklah mengherankan jika seorang tokoh bernama Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Objek penelitian semiotika adalah tanda yang sangat rentan untuk disalahpahami. Sebab itulah, disiplin ilmu semiotika menjadi sebuah keniscayaan di tengah kehidupan yang sudah memakai tanda sebagai bagian tak terpisahkan.
B. Biografi Saussure
Ferdinand D. Saussure (1857-1913) adalah ilmuwan yang pertama kali mengenalkan istilah semiotika melalui dikotomi sistem tanda, yakni signifed dan signifier. Pada masa hidupnya, Saussure belum secara sistematis merumuskan konsep-konsep linguistik (termasuk semiotika) yang kemudian mengabadikan namanya ini. Dua tahun setelah Saussure meninggal dunia, dua muridnya berinisiasi untuk mengumpulkan bahan-bahan kuliah yang diberikan Saussure selama mengajar di Universitas Jenewa. Nama Saussure senyatanya melambung tinggi berkat buku yang tidak pernah sengaja ditulisnya tersebut, yakni Course in General Linguistic
Ilmuan yang juga disebut sebagai peletak dasar linguistik modern ini lahir di Jenewa pada 26 November 1857 dari keluarga Prostestan yang beremigrasi dari Perancis menuju Lorraine. Bakat dan ketertarikan Saussure terhadap bahasa sudah tampak sedari ia kecil. Hal ini misalnya terlihat ketika usianya 15 tahun, Saussure muda telah menulis esai “Essai sur les Languanges”. Ia pun kemudian memilih kajian Bahasa sebagai bidang yang ditekuninya ketika menjadi mahasiswa ataupun telah menjadi dosen.
C. Pokok-Pokok Pemikiran Saussure
Saussure memiliki ketertarikan untuk menggagas dasar-dasar semiotika karena ia berpandangan bahwa elemen dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda kebahasaan, yang biasa disebut juga kata-kata. Kata-kata yang sudah menjadi udara dalam kehidupan manusia, bagi Saussure, merupakan tanda-tanda linguistik yang memiliki referen tertentu. Tanda-tanda linguistik yang muncul dalam bentuk kata dan kalimat (baik tradisi tulis. tradisi verbal, maupun dalam bentuk-bentuk lain) masih mungkin disalahpahami. Sebab itulah ia kemudian tergerak untuk menggagas konsep mengenai tanda yang kemudian menjadi pijakan dasar ilmu semiotika.
Dalam masterpiece-nya, Course in General Linguistics, Saussure mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Dari definsi tersebut, dapat diketahui bahwa objek material ilmu semiotika adalah tanda. Sedangkan fokus area pembelajaran dalam ilmu semiotika ada tiga, yakni (hakikat) tanda, sistem yang mengaturnya, dan budaya di mana tanda tersebut berada. Bagi Saussure, bahasa bukanlah satu-satunya sistem tanda yang dipakai dalam masyarakat, sebab masih ada sistem tanda lain yang muncul bersama dengan perkembangan zaman, seperti lampu lalu lintas berwarna merah untuk berhenti, hijau untuk jalan terus, gerak tubuh dan isyarat bagi penyandang cacat, dan lain sebagainya.
Bisa jadi, karena pandangannya mengenai tanda yang dinamis ini, Saussure memiliki ketertarikan khusus untuk mengkaji tanda-tanda yang hidup dalam masyarakat. Tanda yang menjadi objek material dalam disiplin semiotika adalah tanda yang memenuhi dua kualifikasi, yakni tanda yang dapat diamati dan tanda yang menunjukkan sesuatu yang lain. Kualifikasi pertama berarti bahwa tanda yang menjadi objek material dalam semiotika adalah tanda yang konkret atau terindra, sedangkan kualifikasi kedua berarti bahwa tanda harus memiliki acuan terhadap sesuatu yang lain (untuk menyampaikan suatu maksud) yang bukan merupakan tanda itu sendiri.
Secara general, pokok-pokok pemikiran Saussure tersaji dalam eksplorasi-eskplorasi yang bersifat dikomotik dan distingtif. Dalam hal ini, ada beberapa pokok kajian yang menjadi titik tekan pembahasan Saussure, di antaranya adalah penanda dan petanda, langange, parole, dan langue, serta metode sinkroni dan diakroni. Dengan tiga konsep—yang ternyata tidak hanya dipakai dalam studi bahasa ini—Saussure ingin mengemukakan bahwa bahasa merupakan sistem yang masing-masing komponennya memiliki keterkaitan dan keterikatan serta saling mempengaruhi. Gagasan inilah yang kemudian membidani lahirnya aliran strukturalisme dalam dunia filsafat.
Konsep distingtif pertama yang ditawarkan Saussure adalah mengenai signified (penanda) dan signifier (petanda). Keduanya merupakan dua unsur yang membentuk tanda. Penanda (signifier) adalah aspek material bahasa, yakni bahasa tulis maupun lisan yang digunakan untuk menggambarkan sebuah benda (bisa berupa suara, huruf, gambar, bentuk, dan gerak). Sedangkan konsep dan penjabaran deskriptif mengenai sebuah benda dikatakan petanda (signifier). Sebagai misal ketika seseorang mengatakan “buku”, maka suara yang memperdengarkan kata “buku” dan didengar oleh orang lain merupakan penanda, sedangkan konsep buku sebagai alat untuk menulis atau bahan bacaan merupakan petanda. Adapun benda yang disebut buku, yang merupakan objek, maka disebut referen.
Bagi Saussure, berkumpulnya penanda dan petanda yang mengarah pada suatu benda tertentu merupakan syarat suatu hal bisa dikatakan tanda. Adanya hubungan antara penanda dan petanda kemudian dinamakan signifikasi yang juga menghasilkan makna. Penanda dan petanda merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi, seperti yang dijelaskan Saussure, hubungan antara penanda dan petanda merupakan hubungan yang arbitrer, dalam artian tidak bisa ditelusuri mengapa sebuah penanda harus memiliki petanda tertentu. Karena bersifat arbitrer (semena-mena, tidak dapat ditelusuri asal-usulnya dengan logika), maka tidak ada alasan yang bisa diberikan mengapa binatang berkaki empat yang biasa digunakan sebagai alat transportasi bisa dinamakan kuda, bukan kambing atau sapi. Meski tidak dapat ditelusuri asal-usulnya, tanda yang arbitrer tersebut tetap bisa dipahami oleh semua orang.
Selain mengenai konsep penanda dan petanda, konsep lain yang digagas Saussure adalah konsep mengenai langange, langue, dan parole. Langange adalah ujaran yang mencakup parole (sisi individu dari pribadi penutur) serta langue (kaidah, tata bahasa, dan gramatikal). Sebagai misal, kata mareriil adalah langange karena memuat dua hal, pertama, kata ini sudah lumrah diucapkan dalam masyarakat, kedua, kata tersebut memiliki keterkaitan dengan kaidah gramatika bahasa, yakni memiliki kendala yang membuatnya tidak memeuhi tata gramatika bahasa bahasa, dalam hal ini EYD. Sebab inilah, Saussure kemudian beranggapan bahwa langange bukan merupakan fakta sosial dan tidak memenuhi prinnsip keutuhan sehingga tidak bisa diteliti.
Sedangkan langue adalah bahasa konvensional yang sesuai dengan EYD dan kaidah kebahasaan, meski secara lebih luas langue ini bisa diartikan dengan sistem tanda (dalam bentuk apapun) yang mengungkapkan gagasan. Berbeda dengan langange, kualifikasi gramatikal bahasa yang terpenuhi dalam langue memungkinkan langue untuk diteliti secara ilmiah (semisal dibandingkan dengan tulisan, abjad tuna rungu, ritus simbolis, dan lain-lain), karena ia merupakan bahasa konvensional yang disepakati secara kolektif serta memenuhi kualifikasi gramatika bahasa (prinsip keutuhan). Mudahnya, langue bisa diartikan sebagai aspek kemasyarakatan bahasa yang mengandung bahasa yang sudah menjadi kesepakatan kolektif dan memenuni tata kaidah kebahasaan.
Komponen ketiga adalah parole yang merupakan aplikasi dari langue. Sama halnya dengan langange, parole adalah konsep yang tidak bisa diteliti secara ilmiah. Parole adalah bahasa sehari-hari serta keseluruhan ujaran yang hidup dalam masyarakat. Jadi, selain kasrena parole tiap masyarakat sangat dimungkinkan akan berbeda (secara bahasa maupun dialek), parole yang merupakan bahasa keseharian masyarkat cenderung tidak memerhatikan unsur-unsur kaidah tata bahasa. Titik tekan fungsional parole adalah agar suatu ujaran bisa dimengerti dan maksud si pembicara bisa tersampaikan, bukan untuk memenuhi kualifikasi gramatika bahasa.
Dari ketiga konsep tadi, tujuan linguistik adalah mencari sistem bahasa (langue) dari kenyataan yang konkret (parole). Hal inilah yang sebenarnya menjadi dasar pendekatan strukturalis, yakni tatanan wujud yang mencakup keutuhan, sebuah tatanan yang tidak sekadar merupakan kumpulan beberapa kata, akan tetapi sistem yang tiap komponen di dalamnya tunduk pada kaidah-kaidah intrinsik dan tidak memiliki kebebasan di luar struktur. Sebagai contoh, kalimat saya pergi adalah kalimat yang memenhi konsep langue dan parole. Kalimat tersebut sudah sering diucapkan dan tidak menyalahi tata kaidah kebahasaan. Akan tetapi, ketika kalimat tersebut dibalik menjadi pergi saya, maka kalimat kedua ini akan terasa janggal, karena tidak biasa diucapkan dan menyalahi tata gramatika bahasa.
Konsep ketiga yang disajikan dalam bentuk distingtif oleh Saussure adalah konsep mengenai sinkronik-diakronik. Dua konsep ini mutlak harus dieksplorasi sebab dalam pandangan Saussure, pendekatan sinkronik harus didahulukan dibanding pendekatan diakronik. Pendekatan diakronik adalah analisis tentang perubahan historis bahasa, yakni proses evolusi makna dalam berbagai periode waktu serta perkembangan dan perubahannya. Sedangkan pendekatan sinkronik adalah pendekatan bahasa pada satu momen waktu tertentu saja. Analisis yang juga disebut dengan pendekatan strukturalisme ini menginginkan adanya pendekatan yang hanya melihat struktur bahasa ansich tanpa harus memerhatikan konteks waktu, perubahan, dan sejarahnya.
Jika demikian, maka sangat jelas bahwa Saussure menginginkan adanya pendekatan kebahasaan yang diawali dengan pendekatan kebahasaan ansich tanpa harus terjebak dalam penelusuran sejarah makna sebuah kata. Saussure ingin memetakan sebuah sistem bahasa pada suatu momen tertentu saja dan bukan menelusuri sejarah evolusi makna yang melewati beberapa episode waktu.
Adapun mengenai hubungan tanda, maka Saussure menjelaskan bahwa ada tiga hubungan tanda, yakni simbolik, paradigmatik, dan sintagmatik. Hubungan simbolik adalah hubungan internal antara tanda dengan dirinya sendiri. Sedangkan dua hubungan lainnya, yakni paradigmatik dan sintagmatik adalah hubungan eksternal. Bedanya, paradigmatik adalah hubungan sebuah tanda dengan tanda lain dalam suatu sistem atau kelas, sedangkan hubungan sintagmatik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari sebuah struktur.
Mudahnya, hubungan sintagmatik mencoba mengetahui hubungan satu kata dengan kata yang mengiringinya atau bahkan satu huruf dengan kata yang mengiringinya. Sebagai misal, dalam kalimat the old man, maka untuk meneliti kata old, peneliti bisa merujuk pada kata the atau man. Seperti halnya untuk meneliti huruf m, maka harus juga mengkaji huruf a dan n dalam kata man. Adapun hubungan paradigmatic adalah meneliti suatu kata tertenti dengan melakukan perbandingan pada kata yang sepadan maupun kata yang berlawanan. Sebagai contoh, ketika meneliti the old man, kata peneliti bisa memulainya dengan juga mengkaji the young man, the young woman, dan lain sebagainya. Allah Knows Best
0 comMentz:
Posting Komentar