Disebut surat mungkin kurang tepat, dikatakan puisi juga tidak pas. Karangan ringan aja sebenre, sebuah karangan yang akan memaparkan sekelumit kisah tentang seseorang. Tak berat dan tak rumit.
Sesederhana itu pulalah mahluk bernama rindu, barangkali. Rindu sebenernya ya tidak perlu terlalu dibuat ribet dan rumit. Biasa ae dan seharusnya disikapi biasa aja. Idealnya gitu, dan wacanan memang amat sangat lebih mudah dibanding kepanjangan tangan wacana tersebut. Btw-btw, belum ada regulasi yang melarang seseorang untuk merindukan siapa dan apapun yang dikehendakinya. So, rindu boleh aja, asal jangan gila-gilaan. Oooppss, emang seperti apakah rindu yang gila-gilaan? Intine rindu yang ga sehat ae laaaaaaaaaah…
Dan pada diriku sekarang, what yearning I have? And how should it be? Pertanyaan yang sebenere gampang banget untuk dijawab. Tapi ya embuhlah, aku uda mulai dulu merasa kewalahan dan hampir merasa ga kuat untuk berjibaku dengan makhluk bernama rindu. Ga gitu ganas, tapi efeknya cukup mematikan. Bagaimana tidak, hampir tidak ada satu pun teori yang bisa secara saklek memetakan bagaimana ia adanya dan bagaimana ia hidup dan berkembang. Seperti, gejala pertama yang aku kenali adalah…bahwa Rindu tak harus bertemu.
Ya, bener. Gejala itu juga menjangkitiku. Aku merindukan seseorang namun aku emoh untuk bertemu dengannya. Aku tak berwacana belaka dengan pernyataanku tadi. Murni, itulah yang kurasakan. Agaknya aku mulai berpikir bahwaa…bertemu bukanlah satu-satunya penangkal atau solusi yang solutif atas mahluk bernama rindu. Orang lain barangkali ada yang merasakan seperti yang aku alami saat ini, hanya mungkin motif dan alurnya berbeda. Dan untuk kasusku sekarang, aku mulai berpikir bahwaaaaaaaa…Ada satu alasan besar mengapa aku tak ingin menebus rinduku dengan ritual semacam pertemuan kopi darat atau cengkerama digital..
Lagi-lagi aku menganggapnya sebagai suatu hal yang sederhana dan amat simpel. Aku tak ingin menebus rindu yang menumpuk itu dengan pertemuan sebab aku pun mulai yakin, bahwa material yang aku rindukan tidak lagi bisa seruang dan sewaktu bersamaku. Ia semacam hidup dalam kenangan manis yang telah usai dan tidak akan pernah terulang lagi sampai kapanpun, dengan orang yang sama maupun orang yang berbeda. Wujudnya masihlah ada dan empiris, hanya saja jiwa dan segala kenangan tentangnya terasa telah menjadi sebuah metafisika bagikuuuu.. Sebab itulah aku berpikir positivistik ajah, tak mau menghampiri metafisika yang jelas-jelas tidak empirik dan tidak berwujud. Jadi, jalan keluarnya, biarlah rindu itu menumpuk dan menemukan riwayatnya dengan natural, tanpa harus ada ritual-ritual pertamuan yang terkadang hanya menyakitkan. Hahahahahahahaaaaaaaaaaa…MELOOOOOOOOOW…
Berangkat dari semangat dan kesadaran itu, aku jadi lebih berpikir banyak tentang perasaan, keinginan, juga mungkin egoismeku. Dan kontemplasi ga jelas itu kemudian mengantarkanku pada gejala yang kedua. Gejala rindu gila yang kedua. Yakni bahwa, rindu pada seseorang tidak hanya akan kembali memflashback ingatan pada episode2 kehidupan sebelumnya, namun juga memberi banyak pintu untuk kembali berpikir. Kembali merenungkan berbagai persitiwa, bermacam proses, serentetan kenangan, dan beberapa hal yang mungkin akan sedikit banyak mengubah persepsi kita tentang orang yang tengah menjadi referen dari semua perenungan dan kenangan-kenangan masa lalu itu…
Dalam fase-fase inilah, seprti yang kurasakan, terbuka amat sangat banyak kemungkinan seseorang akan menydari betapa berharganya momen, kenangan, dan jiwa yang sudah lewat dan tak akan kembali tersebut. Kita bisa tertawa sendiri, menangis sendiri, malu-malu sendiri, dan segala hal yang barangkali bisa membuat kita lebih bijak dan lebih arif memandang kehidupan dan semua akseseorisnya. Dalam kasusku, lagi-lagi, yang ingin aku tuturkan hanyalah bahwa dalam momen tersebut, aku baru menyadari bahwaaaaaaaa..arti seseorang—you know who—yang tak akan pernah menampakkan dirinya kembali lagi tersebut amat banget terasaaaaaaaaa….Betapa tanpa skenario Tuhan yang mempertemukan aku dengannya, aku nyaris tidak mungkin menjadi ITA hari ini…
Dan malam ini, berlomba dengan denyit-denyit keyboard yang mulai kelelahan, rinduku berdentam pelan-pelan. Iramanya relatif stabil, sebab aku sudah sedari dulu merancang banyak hal agar irama dan ritme rinduku tidak sefluktuatif perasaanku. Sayang memang, langkah konkret itu harus aku lakukan dengan hal yang sebenarnya kurang masuk akal dan sangat tidak mengenakkn; Bersandiwara. Pura-pura tak punya rindu, pura-pura tak ada kangen, dan berlagak seakan semuanya baik-baik saja padahal aku tengah menyumbat mulut luka yang mengaga bersama perihnya yang merngaroma… Aku bahkan dengan rasa tega yang penuh meski dengan amat berat hati sudah menutup akses alasanku untuk bisa bertemu dengan dia—you know who—yang sebenernya menjadi muara dari semua rinduku.
Dalam perhitunganku, ketika akses-akses alasan itu sudah aku blokir, aku tak lagi perlu risau menunggu waktu bisa kembalikan masa-masa indah yang pernah melenakanku itu. Aku tak perlu lagi menunggu apakah ada kabar dari masa lalu yang akan kembali melemparkanku pada surga sementaranya. Aku meneguhkan hati—meski sampe sekarang belum teguh-teguh, ehehehehe—bahwa,,,akhir dari episode panjng yang aku jalani haruslah berujung pada keikhlasan…Biarlah ikhlas yang masih mati-matian aku pelajari ini menjadi ikon yang manis dari semua episode yang juga,,,hhh,,,too sweet to forget…Paling tidak, aku harus berpikir ulang SERIBU SERATUS KALI untuk mencabut ucapanku, menjilati lidah yang sudah aku buang, dan membuka jalur akses alasan yang sudah aku dirikan semenjulang mungkin.
Rindu mengajarkan banyak hal, semisal bersyukur atas momen dan anugerah yang sudah berlalu, bagaimana mengikhlaskan banyak hal dan menjadikannya tambang hikmah yang tak akan habis digali, namun rindu ternyata licik juga. Aku merasakan hal ini utamanya dalam hal…apologinya yang terlalu berlebihan. Entah, percaya atau tidak, sudah pernah atau belum pernah kaualami, aku rasa rindu menjadi rezim paling otoriter yang bisa dengan mudah memasukkan ‘intervensi’ seseorang ke dalam semua lini kehidupan. Mudahnya, tak jauh beda dengan salah satu lirik yang dinyanyikan Avril Lavigne, everything that I do, reminds me of youu….Dan lirik itu bukan hanya wacana yang mengawang-ngawang, Saudara-saudara!!!!!!
Aku merasakan, mengalami, dan menyaksikannya sendiri. Meski latar belakang rinduku memang support, namun aku bisa memprediksi bahwa gejala ini tak hanya menjangkitiku. Ya, pernahkah Kau merasakan bahwa ketika Kau merindukan seseorang, dia bisa hadir di setiap tempat yang pijak dan setiap waktu yang kau temui? Pada semua keadaan yang melibatkanmu, pada setiap suasana yang menjadi rutinitasmu, dan semuanya. Di setiap denyut pikiran, di setiap jengkal tempat, di semua perasaan, dan dalam 24 jam sehari serta 7 hari sepekan. Dalam hal ini, mau tidak mau, apologi yang berlebihan menjadi salah satu komponen yang akan mendukung suksesi gejala ketiga ini.
Ngeselin emang, tapi rasa rindu berikut gejala-gejalanya—yang barangkali akan sangat amat berbeda di antara masing-masing orang—adalah suatu hal yang alami an-sich dan amt sangat natural. Jadi, mustahil rasanya untuk bisa menghindar dan berlari. Aku sendiri, hingga hari ini, masih percaya, bahwa rindu akan menemukan bentuk dan riwayatnya sendiri, bersama teka-teki yang akan disingkap oleh sang waktu…
Untuk seseorang yang berada di balik pikiran dan perasaanku ketika menulis ini, aku ingin…ingin sekali mengulang kembali semua momen-momen yang tak akan datang kembali lagi. Momen bersamamu, momen mengenalmu, momen menghujatmu, momen memujamu, momen menghawatirkanmu, dan saat ini, momoen merindukanmu adalah rentetan-rentetan proses yang banyak banget berandil dalam membentuk keseluruhan diriku. Aku sama sekali tak pernah berpikir bahwa…Aku akan merindukanku segila ini, akan menyanyangimu setakterdefinisi ini…
Kalaupun kau pasti tidak akan kembali—karena aku harus selalu memastikan bahwa aku benar-benar pergi dari hidupmu—aku masih menaruh harap di batas putus asaku yang paling dalam, untuk kembali merasakan energi-energi yang sering kaupekikkan di telinga tuliku. Tidak untuk memintamu kembali datang dan bertandang, namun untuk mengabadikan sosok dan kenangan bersamamu dalam memoriku yang tak akan pernah terhapus oleh apapun…
Malam ini, atau mungkin pagi ini, aku kembali rindu pada segenapmu. Rindu pada perdebatan panjang kita yang kebanyakan tak berujung-pangkal, rindu pada diammu yang tak pernah mau aku bobol, rindu pada optimismemu, dan yang pasti, aku rindu caramu mencintaiku dan membuatku tak lagi merasa bahwa engkau adalah orang lain. Aku rindu malam-malam panjang ituuu…Jika saja kau baca tulisan ini, kau mungkin akan tau, aku kembali menangis, untuk dan karenamu. Selamat tidur, lelaplah di hatiku.
*) Written on 09-10-10
0 comMentz:
Posting Komentar