RSS

Rabu, 10 November 2010

Senioritas

Senior sering kufahami sebagai orang yang lebih lama mencecap asam garam kehidupan dalam sebuah komunitas tertentu. Sebagai misal, pas misalnya tengah duduk di bangku kelas I Aliyah, aku bisa menyebut teman-teman yang duduk di kelas II Aliyah sebagai seniorku. Yang pertama, orang tersebut sudah lebih lama mencecap bangku Aliyah dibanding diriku, dan yang kedua, orang yang kumaksud berada dalam satu naungan denganku, yakni, katakanlah dalam hal ini berada dalam sekolah yang sama. Mudahnya, senior adalah kakak angkatan. Ketika masih duduk di bangku sekolah, aku belum begitu akrab dengan kata tersebut dan lebih sering menggunakan bahasa “kakak kelas” untuk merepresentasikan temen yang kelasnya lebih tinggi daripada kelasku.

Sangat mungkin, aku mulai akrab dengan kata tersebut ketika aku mulai masuk dalam dunia kuliah. Ketika bertemu dengan seorang yang belum pernah kutemui sebelumnya, dan katanya pernah sepondok denganku dulu, seorang teman mengatakan padaku bahwa orang tersebut adalah seniorku. Dari momen itu aku mulai menambah satu karakteristik dalam definisi senior, yakni ciri bahwa senioritas tidak harus terlalu terikat dengan kelas formal. Semisal jika ada orang yang pernah sepondok denganku namun ia tak selembaga formal denganku, maka ia juga bisa disebut seniorku, sebab kami pernah minum dari pancuran yang sama. Well, sesudah pertemuan di rektorat baru itu, aku mulai terbiasa dengan istilah senior di telingaku.

Antitesis atau mungkin lebih enak dibahasakan dengan padanan senior adalah junior. Dalam pikiran kecilku dahulu, junior adalah kata untuk merepesentasikan anak kecil. Kesimpulan itu aku dapatkan dari merk sikat gigiku, yakni pepsodent junior. Lama-lama, di lain kesempatan, ketika kakek (ayah ibuku) wafat, ada sebuah celetukan yang membuat aku kembali berpikir. Saat itu, adik tiri ibuku mengatakan bahwa adik cowoku adalah mbah kakung junior, karena face-nya yang aga sama. Dari dua momen itu, aku mulai membangun pemahaman bahwa senior-junior adalah dua padanan kata yang saling melengkapi. Seseorang bisa dikatakan senior jika dia memiliki junior. Ya…begitulah adanya.

Meski begitu, setelah beberapa saat menjalani hari-hari sebagai mahasiswa, aku merasa ada ketidaksetaraan antara intensitas pengucapan senior dan junior, minimal di lingkunganku sendiri. Senior sangat sering diucapkan, oleh orang semua kalangan bahkan. Namun tidak begitu dengan kata junior. Aku kurang terbiasa mendengar kata junior digunakan dalam percakapan di sekelilingku. Temen-temen biasanya menggunakan kata “adik kelas”, “adik angkatan”, atau bahkan “kader” untuk menggambarkan junior.

Aku sendiri, cukup sering menggunakan bahasa senior dalam percakapan sehari-hari. Namun, ini hanya selera pribadi, aku biasanya cukup hati-hati dan selektif untuk mengakui diri sebagai junior seorang senior. Semisal, aku bisa dipastikan tidak akan mengakui seorang senior yang bertingkah kurang enak atau apalah, yang sekilas kurang mengenakkan. Namun, jangan ditanya jika tengah membincangkan seniorku yang berprestasi, yang keren, yang pinter, dan hal-hal baik lain, maka aku bisa saja kebablasan mengakui seorang kakak kelas sebagai seniorku. Heheheh. Curang emang, namun itulah faktanya. Aku bahkan sampai kelewat batas, yakni dengan kebiasaan terlalu membanggakan dan melebay-lebaykan senior yang hebat dan bisa tidak mengakui diri sebagai junior seorang senior yang ga ngenakin dan ga bisa dibanggakan. Hehehe.

Berangkat dari kebiasaan itu, aku juga kemudian melakukan pembatasan-pembatasan definisi dalam mengartikan senior. Misalnya dalam pergerakan. Aku akan merasa benar-benar menjadi seorang junior jika si senior pernah memberikan hal yang berarti bagiku, dari level yang paling kecil hingga level yang paling besar. Paling tidaklah, aku pernah berbincang dengannya, pernah membaca tulisannya, pernah mendengar orasinya, menyimak presentasinya, atau minimal pernah mendengar trackrecordnya. Dari situ aku belajar. Bagaimanapun, ‘keberadaan’ seorang senior, buat aku adalah sebuh keniscayaan, sebab aku dan si senior sedikit banyak menghadapi medan yang sama. Jadi, sangat tidak sia-sia jika aku belajar dari masa lalu dan sejarah, meski bukan sejarahku sendiri.

Ngomong2 soal senior, aku juga secara tanpa sengaja membuat distingsi yang cukup berbeda jauh antara senior organisasi dengan senior angkatan atau jurusan. Dipiki2 ulang, ternyata aku sering menggunakan bahasa senior dalam terminologi organisasi, sedangkan untuk menyebut senior angkatan atau jurusan, aku biasanya menggunakan bahasa kakak kelas. Distingsi ini tak ada hubungannya dengan masalah kebanggaan atau kemauan untuk mengadakan pengakuan. Hehehe. Aku terikut arus kebiasaan sepertinya, sebab di kelas, bisa dibilang jarang ada bahasa ‘senior’ untuk menunjukkan referen kakak kelas. Tidak begitu halnya dengan dunia organisasi. Di organisasi, aku lebih diakrabkan dengan bahasa senior.

Inisiatif untuk menulis catatan ini sebenarnya diawali oleh kegelisahan eksistensialis yang menderaku. Hahahahah, bahasanyaaaaaaaaaa..Jadi, sebagai mahasiswa yang uda sangat lama hidup di kampus, secara otomatis aku memiliki lebih banyak junior dibanding senior (dalam kacamatan intensitas bertemu dab berinteraksi, dll). Dari sini aku mulai merasa gerah juga. Gerah karena idealisme dan paradigmaku sendiri. Dalam pikirku, seorang senior, betapapun dengan semua keterbatasannya, harus mempertanggungjawabkan titel seniornya di depan para kader yang ia punya. Dahulu, saat masih duduk di semester bungsu, aku selalu mengidealkan sosok senior yang demikian. Makanya aku mudah banget understimate terhadap senior yang terkesan kurang mampu mempertanggungjawabkan jarak masa yang telah dilaluinya. Pikirku sederhana saja, dia uda satu tahun lebih lama mengenyam bangku kuliah dibanding aku, lha masa iya kemampuan dan wawasannya ga jauh beda ma aku?

Celakanya, paradigma itu tak banyak berubah ketika aku harus menerima gelar sebagai seorang senior. Aku merasa, aku belum dan mungkin tak akan pernah siap untuk menjadi seorang senior jika terlalu saklek melihat paragima itu. Aku bukan menafikan pandangan bahwa setiap orang memiliki sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak sama sekali. Aku hanya berpikir bahwa, dalam sebuah komunitas yang meski menghargai heterogenitas namun tetap mengidealkan standar yang homogen, siapapun dituntut untuk bisa memnuhi kualifikasi tertentu, yang kurang lebih sama. Dan dengan hal ini, mau tidak mau siapapun harus berusaha untuk memenuhi kualifikasi itu, seberapa berbeda bagaimanapun karakter dan kehidupannya dengan orang-orang lain.

Mudahnya, jika di kelas formal, maka standar yang harus dipenuhi adalah penguasaan materi yang memadai, presentasi yang bisa dimengerti, dan dialog yang bisa membuka dan mengeksplorasi wacana baru, dan satu lagi yang tidak termasuk dalam ranah kognitif. YAKNI MENGAYOMI ADIK KELAS. Di ranah organisasi juga begeto, tidak jauh berbeda lah..Hanya saja mungkin skill dan materi kognitif yang harus dikuasai cukup berbeda tipis. Jadi selaen bisa mengayomi, PR lain yang diemban seorang senior adalah bagaimana memberikan best performa dan best attitude plus best example bagi juniornya. Hal ini, setidaknya dapat kusimpulkan dari ilustrasi berikut,,,

Suatu hari, seorang temen korp (angkatan di organisasi) menyuruh seorang junior 2009 (berarti terpaut dua tahun dengan aku) untuk menjemput salah seorang temen sekorpku agar segera mendatangi lokasi sebuah acara. Temen yang memberikan instruksi itu—namanya Sulaiman—faham betul bahwa temen yang hendak dijemput—namanya Imam—tengah tidur selelap bayi. Jadi, hanya beban dan tanggungjawab menjadi seniorlah yang bisa membangunkannya. Tak berapa lama, junior/kader—yang bernama Iam—tampak datang dengan membawa si Imam yang masih dengan jelas mengilustrasikan kantuk yang masih menghinggapinya. Sulaiman merasa misinya sukses dan dia pun segera menghampiri Imam, menceritakan skenarionya yang sukses. Dengan gayanya yang khas, Imam berujar, “jika bukan anak 2009, aku tak akan bangun secepat ini. Coba ajah kamu nyuruh anak 2008, aku mungkin belum bangun”

Dari cerita itu, aku juga memetik sebuah pelajaran dari tabiat kehdupan manusia. Yakni bahwa, manusia, dengan keterbatasan dan keburukan seperti apapun, pasti menginginkan generasi mendatang yang lebih baik dari dirinya. Filosofi ini juga bisa aku liat dari pengabdian orangtua untuk masa depan anak-anaknya. Mulya memang, dan siapapun pasti sama-sama pernah merasakan bagaimana posisi menjadi senior dan menjadi junior. Kalo mau parno-parnoan, aku awalnya sering berpikir bahwa senior tu identik dengan sifat maunya sendiri, enaknya sendiri, nyuruh-nyuruh, sok-sokan, dan menindas junior. Meski tidak sepenuhnya salah, namun keadaan dan posisi ketika menjadi senior membuatku berpikir untuk mengubah pandangan itu. Aku tau bahwa sebejat-bejatnya senior, dia tetap menginginkan adanya kaderisasi yang bisa melahirkan kader yang jauh lebih baik dari dirinya. Hanya memang, kaderisasi dilakukan dengan cara-cara yang seniorsentris dan diterapkan pada junior yang barangkali masih asing dengan surface-surface yang sudah biasa didiami si senior.

Ya begetolah hiduuuuuuuuuup..adalah sebuah perubahan dan perkembangan yang tak akan pernah selesai. Hehehehe. Oya, kemarin, saat harus menjadi fasilitator Opak dan PKD, aku kembali dilanda ketakutan yang maha dashyat kalau-kalau aku tidak bisa mempertanggungajawabkan titelku sebagai seorang senior. Awalnya, ketika dinamika kelompok Opak, aku masih bisa mengandalkan banyak hal yang ada di otakku, seputar dunia kampus. Ngomonglah seadanya, tanpa perlu banyak konsep, tanpa perlu banyak draft, semuanya toh akan mengalir juga. Bertemu dengan orang baru, kenalan, tuker-tuker cerita dan pengalaman, dan…yaaaaa..gampanglah, bisa dikondisikan. Aku ajakin ajah mereka ngomong santae dan enaaaaak…

Namun suasanya amat sangat jauh berbeda dengan keadaan ketika PKD. Aku kelabakan saat harus mengenakan co-card sebagai fasilitator sedang tak ada sama sekali materi PKD yang aku kuasai. Untungnya, aku masih diselamatkan keadaan. Banyak temen-temenku yang bernasib sama, meski mungkin otak mereka tidak se-blank diriku. Kami pun mulai kembali belajar, menekuri modul, sharing pengetahuan dan wawasan, serta seekali bercanda. Ikon besarnya satu; BELAJAR!!!!!! Hhh,,,ya beginilah, sesal memang tak ada pernah ada di awal meski bisa diprediksikan keberadaan maupun tensinya sejak awal. Aku dan temen-temen sampai-sampai harus kembali mengikuti materi Ansos karena kurang memahami materi.

Hal yang ditakutkan sebenarnya cuma dan hanya satu. KHAWATIR ADA WACANA ATAU PERTANYAAN YANG TIDAK TERHANDLE KARENA BELUM DIPREPARE. Dan garis besarnya ya nyatanya sama, tidak mau malu di depan kader serta tidak mau memberikan contoh yang tidak baik (berupa sikap oon) terhadap kader. Yaaaaaaaaaaaaa…aku rasa itu normal adanya. Tapi ya…menjadi senior memang tak semudah yang dibayangkan, tak sesimpel yang ada di pikiran saat masih menjadi junior. Kini aku mulai belajar dan berpikir banyak untuk mendekonstruksi teori-teori kecil yang dulu aku konsep dan aku kembangkan sendiri. Hehehe. Ya, perubahan adalah suatu keniscayaan.

Dan sebagai orang yang sudah pernah mencecapi rasanya menjadi junior dan senior, aku merasa bahwa dalam keadaan bagaimanapun, manusia selalu menjadi mahluk whose middle position. Secara bersamaan, ia memiliki senior dan memiliki junior. Senior mengayominya, dan ia pun mengayomi junior. Senior memberinya contoh yang baik, ia pun harus memberi contoh yang lebih baik pada juniornya. Begitu seterusnya, salah satu siklus kehidupan manusia. Dan untuk menjadi senior ataupun junior yang baik, teorinya tidak berbeda. DO BEST AE. Dewas enough more.

Dan satu lagi, sebagai akhir tulisan ini, aku ingin mencuplik senior yang diartikan dan dianggap sebagai kependekan dari senang isteri orang oleh kalangan tertentu. Aku sendiri mendengar istilah ini pertama kali dari seorang yang…mmm..ingiiiiiiin banget aku telepon pas aku lagi bingung untuk mahami materi Ansos. Epilognya mungkin ga asik, tapi, aku sedang ingin menuli sesuatu tentang orang itu,,,jadi dipaksain dech. heheheheheh

0 comMentz: