Pekan ini adalah examination week. Meski hanya dua MK yang tergolong tidak begitu berat, namun perasaan was-was serta phobia menghadapi episode itu cukup dominan. Apalagi, otakku telah cukup lama dibekukan dari pernak-pernik dunia akademik selama jangka waktu kurang lebih dua pekan. So abis melewati dua ujian MK itu, aku serasa bisa bernafas sejenak. Meski ntar pekan depan harus terengah-engah lagi. But whataver lah, yang penting enjoyin ajah dulu. Dan idealnya, weekend pekan ini harus menjadi momen yang supportif untuk kondisi belajar yang mengenakkan pekan depan.
Dan karena ujian MK kedua uda kelar pas hari Kamis (kemarin), it means bahwa akhir pekanku dimajukan beberapa hari. Hehehe. Jadwal sudah terscejul untuk akhir pekan ini..heng ot di tempat Unyil plus beberapa kegiatan yang mungkin unplanned. Paling mentok yang ngurusi cucian, setrikaan, nyelesein bacaan buku, dan yang terakhir dan paling mbikin males adalah BELAJAR untuk UJIAN PEKAN DEPAN!! Wohohohoho…Sudah terbayang suasana pojok kamar yang -tidak mengenakkan, konsentrasi yang buyar dan aku pugar lagi, nyamuk-nyamuk nakal, dinding-dinding kamar, alunan lagu, dan diktat serta bahan kuliah.
Berenang-renang dahulu aja. Kamis sore (25/11) aku masih harus mengurusi beberapa hal—yang hingga saat ini belum semuanya rampung—sebelum pada akhirnya bisa berangkat ke tempat Unyil. Pas di bangjo sebelah kampus, hape di saku celanaku bergetar. Aga lama, berarti panggilan bukan sms. Konsentrasiku riding mulai buyar, antara melihat layar hape atau tetep diem menunggu lampu hijau. DECIDE NOW OR NEVER, pikirku. Keputusannya adalah tetep diem dengan dua tangan di stang tanpa ada yang merogoh hape ke saku celana. Tak lama lampu hijau menyala. Kali ini keputusanku tepat. Hampir tak ada suspense di sepanjang jalan. As like usual. Satu-satunya pemandangan yang menarik pikiranku malam itu hanyalah karena ada obral baju bekas artis di depan easy dining Jl. ADisucipto yang dikerumuni oleh banyak orang. Lucu kupikir. Otak analisis nakalku bekerja. Mempertanyakan banyak hal yang sama sekali lucu dan kedengerannya tak penting. Tapi percaya atau tidak, hal itu adalah aktivitas yang paling sering kulakukan saat tengah seorang diri mengendara. Menikmati jalan, membaca semua tulisan sebisa mataku, dan menggelar monolog-monolog pribadi. Ujung-ujungnya satu, AKU KETAWA DALAM HATI. Hahahah
Sampai di rumah Unyil, Mb Dhian (mba’e Unyil yang pertama) membukakan pintu. Selaen kos Mb Rom, rumah Unyil ini adalah tempat escape dari kos yang paling sering aku kunjungi. Hehehe. Ada lah, alasan dan keperluan untuk bertandang ke tempat ini. Mulai dari urusan akademik, akomodasi, logistik, hingga urusan lain-lain. Di rumah itu, Unyil tinggal bareng kedua mbaknya yang masih sama-sama kuliah. So, moment yang paling sering memaksaku untuk nginep di tempat ini adalah ketika Unyil sendirian saat mbak-mbaknya sedang bepergian atau tourin ke manaaa gitu. Dan untuk malam itu, alasanku nginep tempat itu adalaaah..karena di kos banyak amat nyamuk nakal, ada janji ma Mb Dhie, sekaligus mau week-end-an. Entah apa agenda spesifiknya. Yang jelas judul besarnya demikian. Selanjutnya ya let it flow. Hehehehe.
Tak seperti Unyil dan Mb Intan (mb kedua Unyil), Mb Dhian terlihat sudah ready alias siap dengan performa dan busana orang yang akan keluar rumah. Aku tak tau akan ke mana. Namun beberapa detik kemudian, Mb Dhian memberiku sebuah tawaran yang cukup dilematis. Hehehehe. What’s that? NONTON HARRY POTTER DI AMPLAS,. Angel dan Demon pun beraksi. Hehehe. Aku ga bisa menentukan mana yang Angel dan mana yang Demon (iki kontaminasi karena aku lagi mati-matian memenej rasa penasaran dan rasa tak ingin beranjak dari novel Dan Brown). Intine, aku punya alasan untuk menerima dan aku juga punya alasan untuk menolak. Aku berpikir sejenak, sementara virus yang ingin mengkontaminasi di sekelilingku bertebaran tanpa filter. Yang ada di pikiranku adalah beberapa variabel-variabel besar berikut;financial, Harry Potter mania, taste a new flavor (mencicipi pengalaman baru maksudnyaaaaa..), weekend, refreshing, dan setelah dikalkulasi, total sumnya adalah..APOLOGI LEBIH BESAR DIBANDING ANOMALI. Lagi-lagi aku dak bisa menentukan mana yang apologi dan mana yang anomali. Intine, berbekal beberapa perhitungan, akhire I DECIDE!! Oke, aku meluuuuuuuuuuuuw,,,
Tak perlu banyak waktu untuk bersiap-siap. Beberapa menit setelah mengiyakan ajakan itu, aku sudah duduk manis di motor dengan driver mb Intan. Di depanku, Unyil bonceng ma Mb Dhian. Sebagai dua orang termuda di antara rombongan itu, aku dan Unyil bersikeras tak mau jadi driver. Hehehe. Ada enak dan enaknya juga menjadi pembonceng. Namun dalam hal ini, aku biasanya hanya meng-list orang-orang yang good at driving dan bisa membuatku nyaman berada di belakangnya. Heheheh. Males mau berteori lebih serius dalam hal ini.
And to be known and to be remained, exactly by me myself, malam itu adalah malam pertama aku akan menonton film di bioskop. Hohohohohoho. Selama ini aku pikir, nonton film di bioskop dan di laptop tak jauh berbeda. Sensasinya tetap dapet, dan tentunya—ini yang selalu menjadi alasan terkuatku—nonton di kos akan jauh lebih mendukung gerakan irit bulanan yang selalu aku lakukan. Hehehehe. Tapi dasar aku lagi tergoda dan ingin mencicipi pengalaman baru, akhire malam itu, keputusan untuk ikut nonton aku ratifikasi. I JUST WANNA KNOW. Itu alasanku. Bisa jadi ini adalah moment pertama dan terakhir. But surely, biarkan akhir cerita tulisan ini yang akan menjawabnya.
Selama ini, keengananku untuk mencoba hal-hal baru yang belum pernah aku lakukan sebelumnya lebih banyak disebabkan karena AKU DAK MAU OON-OON SENDIRI, apalagi bersama dengan orang yang juga tidak memiliki pengalaman an-sich seperti aku, dalam suatu hal tertentu. Sebab itulah, untuk berani masuk ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya, aku kerap kali baru mau mengangguk jika bersama dengan orang yang uda pernah mengunjungi tempat tersebut. Terdengar klise memang dan cukup menggugurkan karakterku sebagai orang yang menyukai tantangan. Namun itulah apa adanya. Jadi, ketika ada ajakan Unyil and sisters, implus untuk ngangguk jauh lebih kuat dibanding implus untuk menggeleng. Minimal, bisa tau dikit tentang banyak hal.
Ok, next venue adalah di loket pemesanan karcis nonton. Seperti yang pernah aku bayangkan sebelumnya, loket itu terdesain mirip dengan pemesanan tiket-tiket lain. Suasana pun tak jauh beda. Ada negosiasi, transaksi, lalu basa-basi. Mb Dhian sebagai ketua rombongan dan orang tertua—terdewasa—di antara kami segera menghandle urusan itu. Aku memerhatikannya meski tak seksama. Berharap jika suatu saat ada yang mengajakku ke loket macam itu, aku sudah bisa tau apa yang harus aku lakukan. Hehehe. Antisipatif buanget sich. Mb Dhian sibuk berbicara dengan si petugas dan akhirnya vonis pertama malam itu yang aku terima adalah..KAMI BEREMPAT MASIH BISA NONTON JAM SETENGAH SEPULUH DENGAN MENDAPATKAN KURSI VVIP. And you know what, kursi VVIP itu adalah kursi paling depan. Kursi di deretan belakang dan tengah sudah pada diboking dan sebagai pendatang terakhir di loket itu, kami berempat mendapat tempat duduk VIP. Aku no koment ajah dan belum bisa membayangkan, seberapa dekat ataupun seberapa jauh jarak antar aku dan layar. Yang ada di pikiranku adalah, malam itu aku akan mencicipi pengalaman baru. Dewas enough..
Kami berangkat dari rumah Unyil sebelum Isya’ so kami masih harus menghabiskan waktu beberapa lama di Plaza tergede se-Jogja itu sebelum bisa masuk ke bioskop. Dan satu hal lagi yang belum terlakoni. MAKAN MALAM. Perutku keroncongan bahkan lebih berisik daripada suasana di plaza itu. Dan hal teraman yang bisa aku lakukan adalah diam dan tak banyak komentar. Lebih fokus pada kelaparanku dan rundown-rundown di mana dan kapan aku bisa makan. Kami berempat pun menyisir beberapa penjuru Amplas hendak keluar mencari makan outdoor—di luar Amplas dan di luar pajak yang guede banget—dengan segera menemukan pintu keluar samping jalan gede.
Namun rundown ya tinggal rundown. Di luar, paku-paku air hujan tampak masih lebat menyerang aspal, bumi, pepohonan, atap-atap rumah dan kendaraan, serta semua isi bumi. Tak terasa deras bagi orang yang berteduh di bawah atap namun akan terasa amat banget lebat bagi mereka yang terpaksa menghadapi hujan dengan hanya mengandalkan atap bernama langit. Apalagi sambil berjalan dan atau mengemudi. Nuansa terasa lebih sense touching dan lebih menggigit. Duduk-duduk di tangga depan Amplas menunggu hujan mau reda hanya menambah suasana kelaparan dan kerinduan pada makanan. Aku mencoba mencairkan keadaan dengan ngutek-ngutek hapeku. Smsan dan fb-an yang sebenarnya tidak terlalu penting dan hanya diniatkan untuk mengisi waktu. Namun hujan belum juga reda, persis eperti rasa laparku (dan mungkin ketiga orang disampingku). Akhirnya, tak ada pilihan lain keculai menyisir penjuru Amplas degan satu tujuan; mencari makanan dengan harga minimalis.
Mencari makanan yang bisa mengenyangkan—minimal hingga besok pagi—di bawah harga sepuluh ribu agaknya merupakan suatu kesalahan sejarah. Ga mungkin nemu. Kalo di angkringan dan di burjo mungkin uda full tank, lha iki nang Amplas. Pilihan pertama adalah KFC, sebab referensi menunjukkan bahwa tak ada stand McD di Amplas. Mengapa pilihan jatuh ke perusahaan makanan milik Amerika itu, aku pikir kami berempat lebih memilih makanan yang uda pasti harga, kualitas, dan spesifikasinya. Jadi tak perlu khawatir akan terjadi kesalahan dalam menentukan pilihan setelah makanan tersaji di meja atau ketika akan membayar di kasir. Namun setelah masuk dalam in line alias antrian dan memelototi harga-harga yang tertera, kami akhirnya sepakat untuk mencari tempat lain yang barangkali lebih representatif (bisa diartikan, makanan lebih bergizi, lebih murah, dan tempat juga lebih enak. Hehehe. Ngeles). Okelah, akhirnya kembali walking-walking looking-looking.
Well, setelah celingak-celinguk sok kul, akhirnya dengan kesepakatan emosional dan kultural kami menetapkan pilihan dengan setengah hati ketika melihat sebuah stand tempat maka yang berbrand..mmm..aku lupa. Intine ada kata-kata Jakarta gitu. Seperti biasa, konsumen duduk di tempat yang disediakan lalu tugas selanjutnya adalah, menentukan pilihan yang akan disantap. Aku tak bisa memastikan apa yang ada di pikiran tiga saudara yang ada di sebelahku. Hanya, dalam hal ini, aku mulai merasa bahwa nafsu makanku beranjak berkurang ketika melihat daftar harga di lembaran menu itu. Whahahah..Tidak terlalu mahal jane, namun ada pikiran lain yang membuat nyaliku cukup menciut. Aku kawatir makanan yang aku beli dengan harga melambung itu tersaji dalam kualitas dan kuantitas yang tidak sepadan. Maksudnya tidak bercitarasa dan tidak bisa mengenyangkan. Hehehe. Dalam beberapa hal, manusia memang kepastian. Termasuk dalam moment malam itu. Mb Intan pas itu sudah menentukan pilihan pada semangkuk mie ayam. Namun akhirnya, setelah lama memelototi list menu dan tak juga mendapatkan pilihan yang representatif, pilihan teraman dan terkonyol pun mulai terpikir…CANCEL dan menuju PINTU EXUT!!
Ternyata tidak hanya aku yang merasakan keraguan epistemologi kala itu. Hehehe, ga nyambung. Barangkali memang benar kata pepatah, jika nuranimu tak merestui, urungkanlah langkah. Aku juga membacanya dari tiga wajah di sampingku, meskipun toh Mb Intan uda menetapkan pilihan. Akhirnya, setelah menimbang, mengingat, kami pun memutuskan untuk meng-cancel makan di tempat itu. Pola komunikasi yang dipilih pun sangat jentel, jujur namun disampaikan dengan cara yang halus dan tidak menyakitkan. Untungnya pas itu aku tidak kebagian duty untuk menghampiri si pelayan dan menyampaikan maksud untuk meng-cancel, Mb Dhian lah yang melakukan misi itu. Dan akhirnya berhasil. Kami berempat keluar dari tempat itu dengan perasaan suka cita tanpa ada yang tersakiti. Ya nda ya? Au ah..
Yang namanya pilihan yang uda ditetepkan Tuhan, bagaimanapun dia lepas, akhirnya pasti akan dihampiri lagi. Teori ini biasanya digunakan dalam terminologi jodoh, namun malam itu aku juga melihatnya dari alur cerita selanjutnya. Kami akhirnya duduk dan makan malam di KFC, di tempat yang sebelumnya kami tinggalkan. Mungkin hujan memang menjadi penghalang untuk tidak mencari makanan outdoor, namun pada saat yang sama, hujan juga menjadi alasan untuk akhirnya nangkring di tempat yang pernah ditampik sebelumnya tersebut. Jika digeneralisasi, maka teori ini bisa banyak ditemukan dalam alur kehidupan manusia. Suatu hal yang dianggap hambatan atao gangguan dan kerap bikin gerah tak jarang sekaligus bisa menjadi alasan untuk kelahiran suatu hal yang lebih indah. Ya, karena skenario Tuhan emang gabisa dihack.
Ok, back to the story. Di KFC, suasana berjalan seperti biasa. Aku hanya sempat berpikir sedikit hal. Bangsaku terjajah di negaranya sendiri. Penduduk pribumi—termasuk aku, tentunya—lebih bangga dan suka mengonsumsi apapun yang bisa meningkatkan gengsi mereka, hal-hal yang ternyata didominasi oleh produk dan atau perusahaan asing. Jane, hal yang menyebabkan keadaan tesebut terjadi ku karena produk dalam negeri emang kurang berkualitas—dibanding produk manca—atau memang karena penduduknya lebih merasa nyaman dan gaya jika mengonsumsi produk dari luar? Wallahu a’lam lah, aku juga tak tau harus memberi jawaban bagaimana. Agaknya aku belum menemukan jawaban yang representatif. Aku seharusnya tak sempat berpikir banyak di tengah rasa lapar yang uda akut itu. Namun, karena aku terjebak dalam antrian yang cukup panjang, mau tak mau ada wacana yang muncul di otakku dan aku hanya mengutak-atiknya dikit. I NEED TO EAT SOON…Hehehehe
Sampai di meja, Unyil dan Mb Dhian yang sudah lama menunggu tampak sudah tak sabar. Kami segera mengambil posisi ternyaman dan segera menghajar mangsa yang tersaji. Makan bersama memang selalu menambah kedekatan emosional yang juga berpengaruh dalam menambah citarasa makanan. Makanan kurang enakpun akan terasa semakin enak jika dimakan bersama, lha ini makanan yang uda enak, masih anget pula. Dimakan bareng dalam keadaan laperrr. Rasanya delicious very quietly dah. Sayang memang, untuk styleku, porsi yang menyuguhkanku lebih banyak lauk dibanding volume nasi adalah porsi yang tidak pas. Namun, rupanya hal terebut uda terlebih dahulu diantisipasi oleh pengusaha fasr-food. Langkah jitunya yakni menyuguhkan minuman bersoda. Jadi, walaupun kerasa dikit dan tidak mengenyangkan, akan tetapi soda cukup berandil dalam memberikan efek kenyang—yang mungkin sesaat—bagi orang yang mengonsumsinya. Ini intrik ekonomi. Hehehe. Pas ngantri tadi, mb intan sempat ngomong kalo sebuah penelitian mengatakan bahwa soda bisa memperlambat loading otak. What?? Bagaimana dengan otakku yang sudah selalu problem loading page? Namun dalam keadaan yang mengharuskanku mengambil satu-satunya pilihan yang ada, aku memang tak bisa berbuat banyak selain menyeruput segelas pepsi yang merupakan jatahku.
Salah satu ritual yang selalu muncul pada saat makan bersama adalah ngobrol. Sejak kecil aku didoktrin bahwa bicara saat makan akan mengundang setan yang akan ngampung makanan yang dikonsumsi. Sehingga, subjek akan merasakan sensasi rasa kenyang yang kurang full. Heheh. Aku tak tau hal tersebut benar adanya, memiliki landasan (bukan landasan pacu), atau hanya mitos yang dikukuhkan dari generasi ke generasi (bukan slogan biskuit Roma). Namun aku sendiri memang melihat ritual itu sebagai hal yang sangat sulit untuk dipisahkan dalam momen makan bersama. Justeru kadang, ritual makan bisa jadi taktik jitu dalam pola komunikasi. Entah, kalopun itu tidak etis, semoga tidak kebangetan. Sebab aku—bisa dipastikan—tidak bisa autis ketika makan.
Dan seperti juga momen-momen makan bersama sebelumnya, di meja kecil dengan empat kursi itu, kami mulai ngobrol-ngobrol ringan hingga akhirnya sebuah insiden terjadi. Mb Dhian pas itu berekspresi dengan gerakan tangannya—saat bercerita sesuatu yang off the record dan tidak etis diceritakan di forum ini—yang dua detik kemudian menyenggol orange juice di depannya hingga alirannya membasahi gamis serta tas mb Dhian. Mb Dhian panik namun masih sempat ketawa-ketiwi sambil mengeluhkan bahwa persediaan tissue di tasnya uda habis. Namun Mb Dhian tak kekurangan akal. Dia melakukan pertolongan pertama dengan cara jitu serta singkat untuk mengeringkan bagian tengah gamisnya yang terkena tumpahan. Dengan bantuan Mb Intan, tujuh menit kemudian, Mb Dhian kembali dengan senyum mengembang dan gamis yang sudah bersih tanpa satupun indikasi bahwa gamis tersebut sebelumnya sempat membentuk peta pulau tak bernama dari tumpahan orange juice.
Tak berapa lama setelah Mb Dhian kembali, kami berempat sudah bergegas meninggalkan meja makan dan segera menemui final destination yang malam itu dibela-belain ampe mati-matian. Kami akhirnya benar-benar menuju final destination setelah meminta tolong seorang pelayan untuk membungkuskan sisa ayam yang masih layak konsumsi. Lagi-lagi untuk hal ini, Mb Dhian sebagai ketua rombongan yang ternyata memiliki pedemeter paling tinggi di antara kami berempatlah yang menghandle urusan ini. Cukup dengan sedikit senyum dan perkataan yang lugas dan sopan, si pelayan langsung membalas dengan perlakuan yang tak kalah ramah. Sip lah. Aku semakin yakin, malam itu, bahwa dari siapapun yang kita kenal, apalagi hingga menjadi teman, ada banyak pelajaran yang bisa dieksplotasi (baca: diambil). Siapapun dia.
Abis gitu, kami berempat masih harus menunggu beberapa saat di area bioskop sebelum pintu venue 4 terbuka dan kami bisa langsung masuk, mendaratkan pantat di seat berharga lima belas ribu dalam durasi kurang dari tiga jam. Namun ternyata penantian menuju jam setengah sepuluh (dari jam9) masih mengharuskan kami berempat menggunaan stock kesabaran sudah menipis. Alhamdulillah dalam keadaan itu, kami masih dapat tempat duduk yang enak, meski tidak berkoloni empat orang. Aku ma Mb Ient dan Unyil ma Mb Dhia. Dengan Mb Ient, aku membincangkan apapun yang bisa diobrolkan. Bincang-bincang santai lah, istilahnya. Sambil sesekali memelototin hape dewe atau hape masing-masing. Aku tak tau apa yang dibincangkan Unyil dengan Mb Dhian. Namun aku tau saat itu, Unyil tengah memikirkan sesuatu yang lagi-lagi off the record. Dalam masa penungguan itu, salah satu temenku menelpon dan aku hanya bisa menemaninya ngobrol tidak berapa lama. Yayaya, sebab some minutes later, aku akan masuk ke ruang pemutaran pilem. UNTUK YANG PERTAMA KALINYA. Hehehehe.
Saat waktu itu akhirnya tiba, aku mengikuti ritme di sekelilingku ajah. Yang ada di bayanganku adalah tiga sosok laki-laki bernama Arai, Ikal, dan Jimbron yang berhasil membobol security di bioskop kampung mereka namun akhirnya ketauan. Dua petugas di depan pintu masuk yang mengecek tiket para penonton sudah tampak lelah dan suntuk. Barangkali jam ini adalah shift terakhir mereka. Entah. Yang pasti aku mulai berpikir seberapa akurat kemanan dalam sistem ruang bioskop, adakah kemungkinan untuk dibobol, dan lain sebagainya. Namun yang paling mendominasi pikiranku saat itu adalah…Kursi empuk seharga lima belas ribu yang tengah menungguku…
And that seems like a dream. Emosiku bener-bener hanyut dan akupun bisa sepenuhnya lepas dari rasa kantuk, lelah, males, dan hal-hal laen yang berpotensi untuk mengurangi asyiknya nuansa malam itu. Aku mulai faham mengapa orang-orang banyak merelakan duitnya untuk nonton ke bioskop. Selain demi alasan gengsi dan uptodate, suasana dan nuansa yang begitu kental di ruang bioskop juga akan meninggalkan kesan mendalam bagi para penonton. Meskipun banyak aturan, bioskop juga memberi ruang kebebasan penonton untuk berekspresi. Ketawa sekeras mungkin, tereak seekspresif mungkin, tegang dengan tensi setinggi mungkin, dan luapan emosi lainnya. Ckckckckc. Aku impresif banget di pengalaman pertama ini. Sedikit banyak juga dipengaruhi oleh film yang ditonton siiiiiiiiiiyyy..Harry Potter yang aku ikuti riwayat hidupnya sejak dia belum dilahirkan. Hahahaha. Lebaaaaaaay..
Nonton Harry Potter, banyak lah, catatan di dalamnya. Dalam setiap edisi, Harry Potter tak pernah lepas dari ketegangan, suspensi, konflik yang tak diduga, alur yang mendadak, penokohan yang kuat, animasi yang keren, serta ending yang kadang..mmm…menggantung. Belum lagi dengan mantera-mantera, nama-nama tokoh, aliran, nama-nama tempat, istilah-istilah baru, dan lain sebagainya. Intine buat mereka yang tak mengikuti HP sedari awal dan atau baru melihat HP di edisi 7 (1)ini, yang ada di kepalanya pastilah kata JAKA SEMBUNG (dengan tensi yang berbeda-beda). Yayaya, salah satunya adalah orang yang duduk di sebalah kiriku..(namanya tak usah disebutkan. Khawatir dia tersungging. Hehehehe. Piiiiiiiiiiiisss..Piiiiiiiiiisss). Dan seperti pada HP 5, kisah asmara dan adegan syur (baca:ciuman) juga menjadi bumbu dalam HP 7 ini. Padahal di kursi sebelahku, sempat kuliat ada adik-adik seumuran adik keduaku yang matanya tampak bahagia akan segera menonton HP 7. Ya embuhlah. Malam ini seharusnya dia obob lelap karena besok harus sekolah. Bukannya nonton HP lagi in the hoy ma Ginny Weasley. Ih, normatif ah. Hahaha.
Duduk di kursi paling depan deket pintu exit, aku cukup mampu melupakan segala hal yang selama ini membeku dan mengendap dalam pikiranku. Ujian, skripsi, masa depan, orang-orang terkasihku, skandal keci hingga skandal besar, termasuk status terbaru yang aku update di hatiku. Hehehe. Wis, I almost forget that at all. Yang ada di mataku mendominasi semua alam pikiran dan perasaanku. Really sense touching lah. Dan seperti biasa, ketika menjalani aktivitas yang disukai, tak ada yang mau peduli pada waktu hingga ketika waktu menunjukkan dirinya dalam wujud yang lain (baca: menunjukkan waktu menonton sudah habis), barulah semuanya tersadar bahwa mereka telah melewatkan waktu yang cukup lama dengan perasaan yang menyenangkan hingga waktu terasa sangat singkat. Yayaya, relativitas tentang itu memang uda aku sadari. Hehehe.
Ketika nama penerjemah teks terjemah Indonesia muncul di layar, itu artinya waktu penonton sudah habis yang juga berarti instruksi untuk segera keluar. Kami berempat, dengan emosi yang uda terkuras, masih menyempatkan ke hammam untuk merepair anything. Jalan keluar cukup melelahkan, karena sempat bingang-bingung milih lantai yang akan jadi destination abis kami turun dari lift lantai tiga, ketika eskalator sudah dinonaktifkan bahkan di-satpam line dengan rantai aga gede. Aku tak banyak komen karena Amplas memang bukan daerah kekuasannku. Heheh, maksude aku jarang banget ngluyur ke tempat ini. Terlalu lux ajah menurutku dan aku pun memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan dengan manajemen parkir di plaza ini. Alhamdulillah setelah berputar-putar (baca: naik-turun lift dan celingak-celinguk), kami akhirnya bisa pulang dengan lelah, kantuk, plus juga suka cita. Uda lewat tengah malam saat itu. Namun dengan rombongan beranggotakan empat orang, sepi menjadi kurang begitu bertaring…
Setelah malam itu, aku merasa ada satu pengetahuan taktis yang aku baru ketahui. Pengetahuan taktis bagaimana dan apa saja prsedur seorang (calon) penonton bisa menikmati sebuah film yang sudah dipilihnya. Namun sesuai teori lama, I know more, I don’t know more. Satu pengetahuan menuntut pada pengetahuan lain. Jika malam itu aku tau cara dan prosedurnya, aku malah penasaran lagi dengan banyak hal. Apa ae lah, mulai dari manajemen bioskop, gaji bulanan karyawan, pola rekrutmen, dan..banyak lain lah, yang intine berdasar satu kaidah. I JUST WANNA KNOW. Belum lagi tentang esensi dari film yang sukses bikin aku sprot jantung dan shocking soda itu. Hmmmmm..Di mana-mana, sisi perasaan yang dieksploitasi oleh produser film atau sinetron adalah RASA PENASARAN. Aku dewe uda tak sabar dan tak kuasa membayangkan, bagaimana Harry dkk akan melanjutkan perjalanan mereka mendapatkan next Horcurx.
Semogaaa…mind refreshing malam itu bisa mendongkrak staminaku menghadapi ujian pekan depan. Puji Tuhan..
*) Untuk Yyh; Jangan mutung karena aku nonton duluan yaaaaaaaaa…Piss, piss…tar bagian 7(2)nya kita nonton bareng dech. Hehehe. Be happy there. Miss yu full tank.
0 comMentz:
Posting Komentar