Entahlah, apakah judul di atas sudah cukup memenuhi kualifikasi EYD ataukah tidak. Intine, secara operasional dan pragmatis, orang yang membaca judul di atas bisa diperkirakan bisa paham dengan apa yang bercokol di kepalaku. Ya, intinya yang ada di benakku adalah, dalam konteks ini, menjalin sebuah hubungan—entah persaudaraan atau pertemenan atau yang sejenis—pada dasarnya adalah hal yang sah-sah saja, natural, manusiwi, dan wajar. Dalam pertemanan itulah, masing-masing orang yang ada di dalamnya bisa saling mengisi dan menadah. Saling memberi dan menerima. Dan dari intensitas itulah timbul semacam..mm…kedekatan batin, ikatan emosional, dan lain sebagainya yang juga banyak dipengaruhi oleh tensi kedekatan fisik.
Dalam skala yang lebih kecil lagi, aku jane terbetik keinginan untuk menulis catatan ini setelah membaca salah satu berita tentang kedatangan si Berry alias presiden AS ke Indonesia beberapa waktu yang lalu. Banyaklah, yang tersisa dari kunjungan itu. Namun yang paling menarik perhatianku adalah kejadian saat Menkominfo bersalaman dengan isteri Obama yang notabene adalah wanita. Hehehehehe. Mengapa aku tertarik, jawabannya adalah karena aku sering merasa berada dalam posisi seperti Tifatul.
Dan seperti biasa, aku tidak tengah menulis catatan yang bernuansa normatif sentris apalagi judgment. Masalah baik-buruk benar-salah, aku lebih suka menyerahkan pada orang lain, katakanlah pembaca atau orang yang pernah mengalami kejadian semacam ini. Terserahlah bagaimana penilaian masing-masing orang, yang jelas penilaian tersebut tidak lahir dari ruang hampa sejarah alias tanpa alasan sama sekali. Tidak mungkin alias impossible.
Aku sendiri, selama ini berusaha sebisa mungkin menghindari kontak kulit dengan lawan jenis. Bukan sok suci atau sok-sok yang laen, aku hanya melihatanya sebagai sebuah prinsip. Prinsip dasar yang prinsipil. Sebab itulah pada awal-awal jadi mahasiswa, aku—hampir bisa dipastika—akan merapatkan tangan jika berada dalam momen menerima uluran tangan ataupun menjadi pihak yang mengulurkan tangan. Dan aku mendapat respon yang bermacam-macam dari cowo-cowo yang berinteraksi denganku. Ada yang ekstrim menolak, ada yang moderat, dan ada juga yang apatis.
Aku sich menanggapinya biasa aja. Buat aku, kontak kulit dengan kesengajaan, selain menurunkan garansi, juga kurang pantas. Minimal buat diriku sendiri. Sehingga, walaupun aku tergolong orang yang cukup suka mensiasati aturan-aturan normatif, dalam hal ini, aku tak mau banyak bertingkah. Norma itu mentog buat aku. Namun setelah dipiki2, ternyata aturan yang aku bilang prinsipil itu hanya berlaku dalam interaksiku dengan temen2. Untuk famili dan kerabat, aku malah keseringan berkotak kulit (baca:salaman) dengan famili laki-laki—baik yang seumuran ataupun lebih tua—yang seharusnya tidak mendapat previlige itu.
Dengan temen-temen pun, kontak kulit—tangan—sulit banget dihindari. Pas lagi kerja di teamwork, lagi dalam suasana genting, keburu-buru, kontak kulit luar biasa sulit dihindari. Sehingga, dengan tingginya intensitas itu, aku merasa vibrasi atau surprising moment ketika bersentuhan tangan dengan cowo semakin menurun. Dulu, aku merasa sangat berdosa besar ketika tak sengaja—apalagi sengaja—berkontak kulit dengan cowo. Yaaaa..Hal tersebut sangat wajar rasanya, dialami olehku yang saat itu masih cukup jarang berinteraksi dengan cowo, meskipun aku punya adik laki-laki. Dan itulah salah satu hal yang dijanjikan waktu. Aku mengamininya. Bener banget…
Masalah jabat tangan itu, sedari awal, aku membuat pengecualian memang. Ada lah—tanpa harus disebutkan di sini—seorang laki-laki yang mendapat priveleg dalam urusan satu ini. Tapi yaaaaaa..Lama-lama, aku merasa perlu melonggarkan pembatasan itu. Awalnya aku dihadapkan pada kebingungan yang cukup membingungkan manakala aku tengah seforum dengan para dosen. Dan ketika acara selese, semua orang di forum itu saling bersalaman. Aku mulai ragu untuk meneguhkan prinsipku kala itu. Akhirnya aku salaman juga. Dengan apologi, berkontak kulit dengan orang-orang hebat bisa memberiku radiasi energi yang menguntungkan bagiku. Entah bisa seefektif apa…
Pada kesempatan yang lain, ketika tengah bertamu ke rumah seorang dosen, rame-rame dengan temen-temen, aku kagok bukan main ketika suami dosenku menjulurkan tangan padaku. Aku langsung menyambut uluran tangannya dan ketika itu aku berpikir satu hal; I’VE BROKE THE RULE I MADE. Karena keseringan dan akhirnya banyak momen yang memaksaku untuk bersikap lain, akhirnya aku membuat pengecualian. Untuk orang yang lebih tua, orang yang dihormati, dan orang yang memilki energi positif yang kira2 bisa ditransmisikan, tak ada salahnya berkontak kulit. Aku pun kemudian berpikir bahwa sintesis dari semua rule itu adalaaaaaahh…Salaman pada seseorang merupakan salah satu simbol bahwa aku respek sama orang itu. Whoever he is
Di lokasi KKN, aku malah lebih sering dipertemukan dengan keadaan yang membuatku tidak enak untuk menjalankan kebiasanku. Kalo pada temen-temen cowo KKN, aku sih tak masalah. Dalam artian, apapun respon mereka terhadap kebiasanku itu, aku tak gitu ambil pusing. Tapi kalo uda berhubungan dengan warga, perangkat desa, dan semua warga berjenis kelamin laki-laki dan aku berada di posisi yang mengharuskanku berkontak kulit, aku merasa bahwa aku tak sama sekali memiliki pilihan lain. Yaaaaaaa…Sebagai seorang pendatang yang ingin belajar bermasyarakart di daerah itu, mutlak bagiku untuk menunjukkan apapun yang bisa membuatku bisa mengekspresikan rasa hormat dan respekku.
Dan, entah ini apologi atau bener-bener terjadi, aku merasakan ada sensasi lain saat bersalaman dengan para warga di lokasi KKN, khususnya Mbah Hadi. Mbah Hadi selalu bisa mengingatkanku pada almarhum kakek yang luar biasa memorable buat aku. Semangatnya, sorot matanya, ceritanya, caranya bertutur, dan segala hal dalam diri Mbah Hadi selalu bisa membuatku bernostalgia dengan sosok kakek. Belum lagi dengan bapak-bapak RT yang luar biasa baik padaku dan temen-temen. Aku merasa mereka sudah setara dengan keluargaku sendiri. Persoalan di sekitar aturan prinsipil itu pun menjadi semakin rumit dan bercabang.
Hmmmm..Belakangan aku memiliki trik jitu dan cerdas terbaru. Heheheh. Berani bersalaman asal pake kaus tangan. Hehehehe. Hal ini sebenarnya juga mempertaruhkan posisi seorang senior di mata kader. He, kedengerennya fantastis banget. Padahal ya biasa ajah. Ya, teknik ini aku temukan saat PKD 2010. Tak enak dan segan rasanya kalo harus merapatkan tangan di depan kader baru yang masih ‘muallaf’ dan perlu direservasi. Tapi ya itu, aku tetep tidak menyukai segala hal yang lebay dan pass the limit, khususnya dalam hal kontak kulit atau kedeketen fisik. Aku langsung mencak-mencak—pada siapapun juga—ketika sudah melampai batas-batas kecangkolangan atau privasi aku, khususnya sebagai perempuan. Entah, dalam hal ini, aku boleh saja dibilang konservatif ato apalah. BUT THAT’S A REAL ME..Semuanya berjalan bukan tanpa alasan…
Sebab itulah ketika publik banyak menyoal perihal Tifatul yang bersalaman dengan isteri Obama, aku merasa ada banyak hal yang patut menjadi refleksiku atas permasalahan spesifik itu. Tidak perlu sebenarnya terlalu mempersoalkan Tifatul yang muslim konservatif, yang berangkat dari PKS, yang Menkominfo, ato bahkan isu mengenai siapa yang terlebih dahulu mengajak bersalaman. Kejadiannya memang demikian adanya. Sulit diteorikan, sebab semuanya terjadi begitu saja. Normativitas fiqh mungkin bisa saja men-judge tindakan Tifatul tersebut sebagai tindakan yang kurang tepat atau tidak seharusnya dilakukan, tapi masalahnya, Tifatul tak hanya memakai kacamata fiqh dalam keadan insidental itu.
Aku tidak ingin membela maupun menyudutkan Tifatul. Aku saat ini hanya berpikir sederhana sebenarnya. Yaaaaaaa…Banyak hal kecil yang dibesar-besarkan secara lebay, sehingga hal besar yang seharusnya mendapat porsi malah terbengkalai. Aku sendiri sering melakukan hal tersebut dan terjebak dalam paradigma yang demikian. Kasus salaman Mega-Hasyim saat mereka berpasangan dalam pemilu juga sempat menjadi diskursus yang cukup menghebohkan. Kala itu, dalam kacamataku yang masih cukup polos dan normatif, hal tersebut murni adalah suatu hal yang tidak pantas dilakukan. Hehehe, sampai muncul istilah menggadaikn (idealisme) agama dengan menjadikannya komoditi politik. Dan hari ini, aku ketawa ngakak mengingat aku pernah punya pikiran seperti itu…
Hehehe. Tapi ya gapapalah, suatu saat, entah itu kapan, bukan tidak mungkin aku akan kembali menertawakan tulisan yang aku tulis saat ini. Begitulah trilogi waktu, proses, dan perubahan. Tidak ada yang abadi selain ketidakabadian itu sendiri. Tidak ada yang ajeg selain ketidakajegan itu sendiri.
Above all, buat aku pribadi, saat ini, dalam keadan dan atmosfir yang demikian, hanya ingin berpikir sederhana dan lurus-lurus saja..DEKET BOLEH ASAL JANGAN KEDEKETAN. Meskipun persahabatan dan kedekatan bisa memangkas batas-batas individualisme, tetap ada batas-batas yang tidak bisa dilanggar dan menjadi harga mati. Jika tak bisa tegas dengan prinsip kecil dari diri sendiri di usia sedini ini, sangat sulit rasanya untuk bisa menghidupkan prinsip yang sudah sulit2 dipilih unutk menjadi prinsip hidup. Jadiii,,,kasian prinsipnya lah, terlanjur dipilih malah ga diladeni. Hehehehe. Dan dalam hal ini, hal yang tidak kalah penting adalah menghargai prinsip orang lain, sebab setiap orang, siapapun dan dalam keadaan apapun, memiliki prinsip. Menjaga dan mengembangkannya adalah tugas mutlak operasional masing-masing person. eheheh
0 comMentz:
Posting Komentar