RSS

Senin, 18 Oktober 2010

D-e-l-a-y-ed

SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN PADA MASA RASULULLAH SAW
Oleh Masyithah Mardhatillah (0753003)

A. Pengantar

Jaminan Allah atas reservasi (orisinalitas) Al-Qur’an yang disebutkan dalam QS Al Hijr 9 sudah tampak sejak pertama kali Al-Qur’an diturunkan pada masyarakat jazirah Arab kala itu. Jaminan ini, selain mengandaikan tidak akan adanya sabotase yang mampu mengurangi orisinalitas Al-Qur’an, juga menggambarkan adanya ‘penjagaaan’ yang cukup intens terhdap orisinalitas Al-Qur’an. Sebagai kitab yang menjadi pamungkas sekaligus penyempurna dan pengoreksi dari kitab-kitab suci yang sebelumnya diturunkan pada Nabi-nabi pendahulu Muhammad, sudah barang tentu reservasi orisinalitas Al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan.

Dalam sejarahnya, wahyu yang diterima Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril kemudian beliau hafalkan dalam ingatan. Catatan sejarah yang demikian setidaknya bisa dikuatkan oleh dua hal. Pertama, masyarakat Arab kala itu adalah masyarakat yang menggandrungi dunia sastra dalam hal syair dan puisi, sehingga tradisi menghafal syair dan puisi di kalangan masyarakat Arab kala itu kemudian menjadi sebuah ciri khas tersendiri. Masyarakat Arab gemar menghafal, sehingga daya ingat dan daya hafal mereka pun semakin terasah dengan keadaan yang kondusif tersebut. Sebab itulah, jika sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad menghafal dan mengingat wahyu yang disampaikan Jibril kepadanya, hal demikian wajar adanya.

Kedua, catatan sejarah bahwa nabi menghafal wahyu-wahyu yang diturunkan kepadanya juga diperkuat oleh dalil naqli berupa hadist Nabi dan kesaksian para sahabat bahwa setiap tahun, yakni setiap bulan Ramadhan, Nabi Muhammad membacakan Al-Qur’an yang dihafalnya di depan malaikat Jibril. Dalam kesempatan talaqqi ini, Jibril kerap membenarkan bacaan Nabi Muhammad. Catatan ini setidaknya menggambarkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menghafalkan wahyu yang diterimanya. Selain Nabi Muhammad, Al-Qur’an juga banyak dihafal oleh para sahabat yang langsung mendengar sebuah penuturan wahyu dari Nabi Muhammad.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad memang cukup gencar mendorong dan menyemangati para sahabat untuk menghafal Al-Qur’an dan menularkan hafalannya pada sahabat lain. Sehingga, seorang sahabat yang telah mendengarkan wahyu kemudian menghafalnya dan menularkan hafalannya tersebut pada sahabat lain. Dengan cara tersebut, hafalan Al-Qur’an di ingatan para sahabat pun semakin hari semakin menunjukkan peningkatan, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Singkatnya, ketika itu, Al-Qur’an direservasi dalam ingatan dan hafalan Nabi Muhammad maupun para sahabat.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sejalan dengan bertambahnya wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sedangkan jumlah sahabat penghafal Al-Qur’an semakin menyusut (misalnya dengan gugurnya 70 orang pada persitiwa Bir Maunah) dan ada kemungkinan hafalan mereka akan semakin lemah, timbul inisiatif untuk mengantisipasi terjaganya orisinalitas Al-Qur’an dengan alternatif kedua, yakni dalam bentuk tulisan. Dengan digalakkannya penulisan ayat-ayat Al-Qur’an, Nabi Muhammad kemudian juga melarang para sahabat untuk menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini merupakan salah satu antisipasi dan sikap hati-hati Nabi Muhammad dalam menjaga orisinalitas Al-Qur’an.

B. Eksplorasi; Penulisan Al-Qur’an pada Masa Rasulullah

Inisiasi pada Periode Mekkah dan Sistemasi pada Periode Madinah
Tidak ada catatan yang secara rigid menjelaskan aktor yang menginisiasi penulisan Al-Qur’an. Namun begitu, semangat untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an dalam bentuk tulisan senyatanya sudah tersirat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, semisal dengan bahasa al-kitab, al-suhuf, dan lain sebagainya. Dua terma tersebut setidaknya cukup menggambarkan bahwa selain berupa hafalan, wahyu Allah sebaiknya memang dituang dalam bentuk tulisan. Hal ini, secara pragmatis dan operasional, tidak hanya berfungsi untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an, namun juga memudahkan muslimin generasi belakangan yang akan mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.

Namun begitu, bukti tertuangnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk tulisan para sahabat, setidaknya bisa dilihat dari kejadian ketika Umar masuk Islam. Kala itu, empat tahun sebelum hijrah, Umar yang tengah dikuasai emosinya berniat membunuh Rasulullah yang dianggapnya telah merusak kepercayaan warisan nenek moyang penduduk Mekkah. Namun begitu, sebelum bertemu Muhammad, Umar terlebih dahulu mendengar berita bahwa ada tiga orang dalam keluarganya yang telah masuk Islam. Umar pun banting setir dan bermaksud menemui keluarganya tersebut lebih dahulu sebelum bertemu Rasulullah. Ketika ditemui, adik kandungnya beserta muslimin lain tengah membaca Al-Qur’an dalam sebuah suhuf. Saat itulah timbul rasa penasaran dalam benak Umar dan akhirnya ia pun masuk Islam karena hatinya telah luluh oleh ayat Al-Qur’an yang tercantum dalam suhuf tersebut.

Adanya suhuf ini menggambarkan bahwa sahabat memiliki insiatif sendiri untuk merekam hafalan mereka dalam bentuk tertulis. Bentuk tertulis merupakan alternatif atau cadangan yang bisa menopang dan menguatkan serta mengoreksi hafalan dan ingatan mereka terhadap wahyu-wahyu Allah. Pada periode ini, penulisan Al-Qur’an baru menjadi sebatas tindakan antisipatif yang sifatnya sekunder. Apalagi, belum ditemukan bukti sejarah yang secara tegas menggambarkan perintah atau tindakan Nabi Muhammad dalam penulisan Al-Qur’an. Catatan sejarah hanya menjelaskan bahwa kala itu, Nabi Muhammad melarang sahabat untuk menulis apapun selain Al-Qur’an. Tentu saja, larangan ini sekaligus menjadi idzin bagi para sahabat untuk menulis Al-Qur’an.

Ketika di Madinah, bersamaan dengan semakin banyaknya pemeluk agama Islam dan semakin kompleksnya persoalan umat yang membutuhkan jawaban dan respon dari Al-Qur’an, Nabi Muhammad kemudian mengangkat beberapa sekretaris. Sekretaris-sekretaris ini sangat membantu Nabi Muhammad yang kala itu menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. Tugas utama para sekretaris ini adalah mencatatan ayat Al-Qur’an yang diwahyukan pada Nabi Muhammad.

Karena pengangkatan sekretaris ini terjadi pada periode Madinah, maka secara otomatis para sekretaris ini juga harus menulis ayat-ayat yang diturunkan pada periode Makkah. Sebab itulah, dalam proses penulisannya, Nabi Muhammad kerap memberikan arahan mengenai letak-letak sebuah ayat. Bukti sejarah inilah yang kemudian mengunggulkan pendapat bahwa susunan ayat dalam Al-Qur’an memang didasarkan atas arahan Nabi Muhammad (tauqifi).

Meskipun dalam periode Madinah ini sudah terdapat sebuah sistem yang cukup apik dalam upaya penulisan Al-Qur’an, akan tetapi hingga Nabi Muhammad wafat, belum ada sebuah mushaf yang diratifikasi sebagai mushaf yang resmi. Masing-masing sekretaris memiliki mushaf-nya sendiri-sendiri. Namun demikian, perbedaan yang paling mencolok di antara beberapa mushaf tersebut hanya terletak dalam urutan surat, sebab Nabi Muhammad memang memberikan perhatian dan arahan yang cukup intens terhadap susnan ayat dalam Al-Qur’an.

Selain para sahabat, sebuah catatan juga menjelaskan bahwa Rasulullah sendiri memiliki catatan atau tulisan-tulisan Al-Qur’an. Catatan tersebut menggambarkan bahwa Nabi menyuruh Ali untuk mengambil tulisan Al-Qur’an yang ada di belakang tempat tidur Rasulullah. Ayat-ayat Al-Qur’an tertulis di atas suhuf, sutera, dan kertas. Pada kesempatan itu, Rasulullah berwasian agar Ali mengumpulkan naskah-naskah itu dan tidak menyia-nyaiakannya. Ali pun melaksanakan instruksi Rasulullah dan mengambil serta membungkus bahan-bahan tersebut.

Riwayat yang ber-setting ketika masa-masa sebelum Rasulullah wafat ini cukup beragam. Akan tetapi, beberapa riwayat tersebut sama-sama menunjukkan bahwa Rasullah menginstruksikan Ali untuk mengambil mushaf yang dimiliki dan disimpan oleh Rasulullah. Dengan demikian, ketika Rasulullah wafat, belum ada sebuah mushaf yang telah disahkan dan diresmikan oleh Rasulullah sebagai mushaf standar. Sebuah keterangan menjelaskan bahwa alasan mengapa Nabi tidak segera menetapkan mushaf yang standar adalah karena beliau masih menunggu wahyu yang akan diturunkan. Hal ini juga berkait erat dengan konsep ayat nasikh-mansukh.

Key Person
Ada beberapa perbedaan pendapat terkait jumlah atau identitas sekretaris wahyu yang diangkat Nabi, khususnya ketika periode Madinah. Dalam catatan yang dikutip oleh MM. Azami, berikut nama-nama sekretaris wahyu
1. Abban bin Sa'id
2. Abu Umama
3. Abu Ayyub al-Ansari
4. Abu Bakr as-Siddiq
5. Abu Hudhaifa
6. Abu Sufyan
7. Abu Salama
8. Abu 'Abbas
9. Ubayy bin Ka'b,
10. al-Arqam
11. Usaid bin al-Hudair
12. Aus
13. Buraida
14. Bashir
15. Thabit bin Qais
16. Ja` far bin Abi Talib
17. Jahm bin Sa'd, Suhaim
18. Hatib
19. Hudhaifa
20. Husain
21. Hanzala
22. Huwaitib
23. Khalid bin Sa'id
24. Khalid bin al-Walid
25. az-Zubair bin al-`Awwam
26. Zubair bin Arqam
27. Zaid bin Thabit
28. Sa'd bin ar-Rabi`
29. Sa'd bin `Ubada
30. Sa'id bin Sa`id
31. Shurahbil bin Hasna
32. Talha
33. `Amir bin Fuhaira
34. `Abbas
35. `Abdullah bin al-Arqam
36. `Abdullah bin Abi Bakr
37. `Abdullah bin Rawaha
38. `Abdullah bin Zaid
39. `Abdullah bin Sa'd
40. 'Abdullah bin 'Abdullah
41. 'Abdullah bin 'Amr
42. 'Uthman bin 'Affan
43. Uqba
44. al¬'Ala bin 'Uqba
45. 'All bin Abi Talib
46. 'Umar bin al-Khattab
47. 'Amr bin al-'As
48. Muhammad bin Maslama
49. Mu'adh bin Jabal
50. Mu'awiyah bin Abi Sufyan
51. Ma'n bin 'Adi
52. Mu'aqib bin Mughira
53. Mundhir
54. Muhajir
55. Yazid bin Abi Sufyan.

Lebih lanjut, Taufik Adnan Amal mengemukakan bahwa di antara beberapa sekretaris wahyu, ada empat nama yang paling sering disebut, yakni Muawiyah, Ubay bin Ka’ab, Zayd ibn Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Musa Al-Asyari. Adapun penghafal wahyu garda depan yang memiliki ketekunan dan kekuatan hafalan adalah Zayd bin Tsabit (orang yang terakhir membaca Al-Qur’an di hadapan Rasulullah sebelum Rasulullah wafat), Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, dan Abu Zayd Al-Anshari.
Wujud dan Perkembangan Tulisan

Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi, khususnya pada periode Madinah belum disistemasi dalam kemasan yang praktis dan apik. Saat itu, tulisan-tulisan Al-Qur’an masih tertuang dalam benda-benda klasik, semisal di pelepah kurma, kulit, kayu, pelana, batu, kain, tulang, dan punggung unta. Zaid bin Tsabit sempat mengutarakan bahwa para sahabat menyusun Al-Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.

Catatan sejarah yang demikian menunjukkan bahwa sahabat sangatlah apresiatif dengans segala hal yang berhubungan dengan jaminan penjagaan orisinalitas Al-Qur’an. Sehingga, kalaupun mereka berada dalam suasana yang penuh keterbatasan dengan minimnya alat tulis yang representatif, mereka tetap berupaya mencari cara untuk bisa menulis ayat Al-Qur’an. Tindakan yang demikian tidak lain didasarkan oleh sebuah pikiran futuristik bahwa Al-Qur’an yang mereka jaga kala itu akan menjadi pedoman dan acuan hidup anak cucu mereka hingga akhir zaman.

Riwayat lain bahkan menyebutkan, beberapa sahabat yang memiliki keterbatasan fisik (semisal mengalami kebutaan) juga turu andil dalam upaya pelestarian Al-Qur’an dalam bentuk tulisan ini, yakni dengan meminta pertolongan orang lain. Dengan demikian, meski Nabi Muhammad telah mengangkat sekretaris penulis wahyu secara formal. Hal tersebut tidak kemudian membuat para sahabat lain—yang tidak termasuk dalam struktur penulis wahyu—untuk acuh-tak acuh terhadap upaya penjagaan orisinalitas Al-Qur’an.

C. Catatan Akhir

Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi merupakan gerbang penulisan Al-Qur’an yang sangat berarti bagi proses penulisan Al-Qur’an pada masa selanjutnya, khususnya pada masa penyusunan mushaf standar masa Utsman. Sebagai kitab yang menjadi kitab pamungkas dan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya serta akan dipakai hingga akhir zaman, maka penjagaan orisinalitas Al-Qur’an dalam berbagai bentuk dan dalam berbagai fase sejarah merupakan sebuah keniscayaan. Selain sebagai perwujudan sikap respek terhadap nilai sakralitas Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, penjagaan (orisinalitas) Al-Qur’an dewasa ini juga menjadi perwujudan dari rasa apresiasi dan terimakasih atas upaya dan dedikasi para sahabat yang berandil besar dalam penulisan (mushaf) Al-Qur’an. Allah Knows Best

0 comMentz: