RSS

Rabu, 30 Desember 2009

Kembara akhir Semester 5 (Hohoho...)

Dualisme Amanah; Antara Anugerah dan Musibah
Oleh Humam, Ita, Rozaq, Mail

A. Mukaddimah
Perjanjian primordial seorang hamba (seperti disebutkan dalam QS 7:172) merupakan sebuah momentum pemberian amanah bagi hamba yang bersangkutan. Dengan pengakuan bahwa Allah adalah Tuhannya, maka kejadian yang demikian menandakan bahwa hamba yang bersangkutan telah sanggup menerima segala konsekuensi dan follow up action dari pengakuan yang telah dilakukannya. Ketika seorang hamba telah menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan yang diyakininya, maka dengan demikian ia pun harus mengerjakan segala hal yang diperintahkan oleh Allah.

Dalam hal ini, al-Qur’an sendiri berulang kali menyebutkan term amanah, baik dalam bentuk mufrad (singular) maupun dalam bentuk jamak (plural). Adanya beberapa penyebutan ini—secara langsung maupun tidak langsung—kemudian menunjukkan bahwa amanah tidak hanya merepresentasikan hubungan antar manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga antar sesama manusia, bahkan dengan elemen-elemen lain.

Amanah secara etimologis-praksis bisa diartikan sebagai sebuah sifat yang mencerminkan kehati-hatian seseorang dalam mengemban kepercayaan orang lain. Penggunaan yang demikian misalnya kita dapatkan dalam ajaran tauhid mengenai salah satu sifat para rasul, yakni sifat yang ketiga, sifat amanah. Amanah dalam konteks ini berarti sebuah sikap menjaga kepercayaan yang telah diberikan dengan melakukan hal-hal yang bisa mewujudkan tujuan pemberi kepercayaan tersebut. Dalam konteks lain, misalnya dalam QS 2:283 dan QS 4:58, amanah lebih berarti sebuah kata benda dan bukan merupakan kata kerja sebagaimana yang difahami dalam konteks sifat yang wajib bagi rasul.

Dalam praktiknya, bisa dibayangkan bahwa amanah dalam konteks ini kemudian menimbulkan semacam dualisme dengan dua kutub yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, jika amanah bisa dijaga dengan baik, maka amanah tersebut menjadi jembatan yang bisa mengantarkan penjaganya pada keadaan yang lebih baik. Begitu juga sebaliknya, ketika amanah yang dibebankan malah disalahgunakan dan atau tidak dijaga dengan baik, maka amanah tersebut akan menjadi semacam bumerang yang kemudian bisa digaambarkan dengan peribahasa senjata makan tuan

Amanah juga merupakan salah satu representasi dari status manusia sebagai khalifah fi al ardl yang dalam kesempatan lain juga diberi gelar sebagai ahsanul khaliqin. Dengan menyadari posisinya sebagai khalifah fi al ardl, maka seorang manusia yang berkesadaran penuh akan memahami bahwa ada banyak tugas yang harus dilakukannya di muka bumi. Berbagai macam tugas tersebut merupakan manifestasi dari komitmennya untuk menjaga amanah yang telah dibebankan oleh Allah, manusia lain, maupun tuntutan dari dirinya sendiri.

Sebab itulah, menarik kiranya untuk mengetahui bagaimana Al-Qur’an memposisikan sikap yang harus dimiliki oleh setiap mu’min ini. Tema ini merupakan tema besar dalam kajian akhlaq yang selalu menarik perhatian, sebab pada dasarnya, masing-masing orang memiliki amanah sesuai dengan keadaan hidupnya masing-masing. Amanat dalam kehidupan manusia memiliki peran penting. Amanah menjadi jaminan terpeliharanya keselamatan hubungan antar sesama manusia. Dan idealnya, amanah tersebut bisa dijaga dengan sebaik-baiknya. Namun pada realitasnya, amanah kerap menjadi suatu hal yang paling sering disalahgunakan.
B. Ayat-Ayat Representatif

Secara langsung, term amanah dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali, dua di antarnya disebutkan dalam bentuk mufrad, sedang yang lain disebutkan dalam bentuk jamak. Adapun beberapa ayat yang cukup representatif mengetangahkan bagaimana posisi amanah dalam kehidupan integral seorang muslim adalah sebagai berikut;

· Al Baqarah 283

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang, akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Sebab barangsiapa yang menyembunyikannya, maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan

Tafsir Mufaradat
Rihan :Barang yang dijadikan jaminan
Yuaddi :Menjaga, memelihara, melaksanakan
Yaktumu :Menyembunyikan

Ayat yang menempati bagian penghujung surat al Baqarah ini menunjukkan setting atau nuansa muamalah. Hal ini bisa dilihat dari ayat sebelumnya dan kandungan ayat ini sendiri. Bagian awal ayat ini, misalnya, menyebutkan anjuran untuk melakukan dokumentasi administratif atau pencatatan terhadap transaksi-transaki yang terjadi, khususnya transaksi yang tidak menggunakan pembayaran tunai atau piutang. Anjuran ini secara otomatis juga mensyaratkan adanya seorang penulis yang bertugas mencatat segala hal mengenai transaksi. Akan tetapi jika pada suatu keadaan tidak ada seseorang yang kompeten untuk menjadi juru tulis dan atau tidak ada alat-alat tulis yang memadai, maka Al-Qur’an memberikan solusi berupa benda jaminan. Benda jaminan ini biasanya diberikan oleh orang yang memiliki tanggungan hutang atau sisa pembayaran kepada orang yang menjual barang yang dibelinya.

Alternatif solusi ini masih diperingan kembali oleh Al-Qur’an dengan kebolehan tidak memakai barang jaminan jika sudah ada kepercayaan antara dua pihak yang bersangkutan. Anjuran ini cukup menunjukkan dorongan yang kuat untuk menjalin kerjasama yang solid antarsesama muslimin, tidak terkecuali dalam hal transaksi ekonomi. Kepercayaan yang diberikan seorang muslim terhadap saudaranya merupakan suatu hal yang sangat berharga, sebab jika kepercayaan tersebut berhasil ia pelihara dengan baik, maka akan tercipta hubungan yang akan saling menguntungkan. Kepercayaan merupakan suatu hal yang mahal, sebab sekali seseorang berkhianat, maka ia akan diblacklist dengan sebutan penghianat yang tidak bisa dipercaya lagi.

Lebih lanjut Al Maraghi mengatakan bahwa tujuan Allah memberikan alternatif solusi dan keringanan berganda dalam hal ini adalah untuk memudahkan seorang muslim membantu saudaranya. Misalnya saja ketika seorang muslim ditemui oleh saudaranya yang ingin melakukan pembelian dengan pembayara kredit, maka muslim tersebut bisa langsung membantu saudaranya tanpa harus repot-repot mengurus keperluan administrasi barang jaminan.

Dalam praktik yang demikian inilah berlaku asas kepercayaan. Asas ini mengandaikan adanya suatu kepercayaan antarsesama muslim, sehingga kuatnya kepercayaan ini kemudian bisa menggugurkan syarat adanya barang jaminan hutang (jika suatu saat terlambat dan atau tidak mampu melunasi hutang). Kepercayaan inilah yang dibahasakan dengan lafadz amanah dalam ayat ini, sebab orang yang memberi hutang memercayai bahwa pemilik piutang akan menunaikan kewajibannya tepat waktu. Amanah sendiri bisa diartikan dengan kepercayaan. Setelah mendapat kepercayaan dari seseorang yang menghutangi, hendaklah si pemilik hutang menjaga kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Dalam kasus ini, dia bisa menunjukkan penjagaannya terhadap amanah dengan membayar kredit secara rutin dan tepat waktu.

Ayat ini barangkali cocok dijadikan sebagai pembuka wacana mengenai amanah, sebab kendatipun dilatarbelakangi oleh hal yang sifatnya kasuistis, akan tetapi ayat ini berhasil mengetengahkan wacana amanah yang global. Setidaknya, amanah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang berhati-hati dalam menjaga dan atau menggunakan kepercayaan yang telah didapatkan. Kepercayaan yang dimaksud misalnya jabatan, barang titipan, dan lain sebagainya. Amanah ini juga merupakan sebuah hasil dari serentetan usaha yang dilakukan. Sebab, orang lain tidak akan sembarangan memberikan kepercayaan terhadap orang yang belum terbukti amanahnya.

· Al Nisa’ 58

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرً
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Tafsir Mufradat
Hakama-Yahkumu : Memberi hukum, membuat putusan
Ni’imma : Sebaik-baiknya

Rasyid Ridha menjelaskan bahwa amanah dalam ayat ini bisa dianggap sebagai isim maf’ul, yakni kata sifat yang sekaligus menjadi objek dengan pengertian segala sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang karena ada suatu kepercayaan dan keyakinan bahwa barang yang dipercayakan tersebut akan aman dan baik-baik saja. Pendapatnya ini memang cukup beralasan karena dalam praktik penggunaannya, amanah digunakan untuk menggambarkan kata sifat sekaligus kata kerja maupun kata benda. Item pertama misalnya dapat dilihat dari kalimat, “Kamu tidak amanah jika melakukan penyimpangan ini”, sedangkan amanah sebagai kata benda bisa dilihat dari kalimat, “Saya memberikan amanah ini padamu”.

Ayat ini turun pasca fathu Makkah (pembebasan atau penaklukan Makkah) ketika Rasulullah memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah. Ketika Utsman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah al-Abbas dan berkata, ”Ya Rasulallah, demi Alllah, serahkanlah kunci itu kepadaku, saya akan rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (divisi pengairan).” Melihat kejadian tersebut, Utsman menarik kembali tangannya dan urung memberikan kunci tersebut pada Rasulullah, maka Rasulullah pun bersabda “Berikanlah kunci itu kepadaku, wahai Utsman!” Utsman berkata, “Ini adalah amanah dari Allah” sambil menyodorkan kunci tersebut. Berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan kemudian keluar untuk thawaf di Baitullah. Kemudian, turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca QS. al Nisa’ ayat 58 ini.

Dari ayat ini pula, ada beberapa pemerhati yang kemudian merumuskan klasifikasi-klasifikasi amanah berdasarkan penerima dan pemberinya. Beberapa pemerhati tersebut membuat klasifikasi macam-macam amanah berdaasarkan orang yang memberi dan menerima amanah. Pemerhati pertama adalah Muhammad Mahmud yang menggagas ada dua macam amanah, yakni amanah yang sifatnya vertikal (amanah yang diberikan Tuhan kepada hambanya) semisal mengerjakan perintah dan amanah yang bersifat horizontal (serah terima amanah antarsesama hamba) semisal menyimpan rahasia dan menyampaikan titipan. Dua klasifikasi ini kemudian ditambah lagi oleh Al Maraghi dengan menghadirkan amanah pada diri sendiri, semisal menjaga kesehatan diri, mengelola emosi diri, dan lain sebagainya.

Quraish Shihab ternyata juga membuat klasifikasi amanah berdasarkan pemberi dan penerima amanah. Bedanya, jika Muhammad Mahmud hanya menyebut dua varian dan Al Maraghi menggagas tiga macam, maka Quraish juga mengulang ketiga term tersebut dengan menambah satu macam amanah lagi, yakni amanah bagi manusia untuk menjaga lingkungan.

Tiga klasifikasi ini senyatanya tidak perlu dipermasalahkan, sebab ketiganya memiliki hubungan komplementif. Selain itu, adanya tiga formula klasifikasi ini setidaknya juga menggambarkan bahwa permasalahan klasifikasi ini masih sangatlah fleksibel dan sangat mungkin untuk menerima pemikiran-pemikiran baru. Hal ini barangkali dilatarbelakangi oleh keberadaan amanah sendiri yang sudah menyentuh banyak sisi dan muncul dalam wajah yang berbeda-beda, dari level terkecil semisal titipan seorang teman hingga amanah terbesar untuk menjadi khalifah di muka bumi. Quraish agaknya berpandangan bahwa bumi dan segala pesonanya merupakan salah satu amanah terbesar yang dititipkan Allah kepada manusia.

Dilihat dari susunannya, ayat ini merupakan pembanding dari beberapa ayat sebelumnya yang menceritakan orang kafir penghianat amanah sebab tidak mengamalkan isi kitab (yang telah diamanahkan) dan malah menyembunyikan isinya. Pada ayat sebelumnya, yakni surat An-Nisa’ 57, Allah kemudian menjelaskan ganjaran bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Sedang salah satu ciri utama orang yang demikian adalah orang yang menjaga amanah dan memberikan putusan hukum dengan adil. Penyajian paparan yang demikian agaknya ingin menunjukkan bahwa ada akibat yang sangat kontras antara orang yang menjaga amanah dan orang yang mengabaikannya.

Ayat ini juga membahas mengenai perintah menetapkan putusan dengan adil menurut apa yang Allah ajarkan (memutuskan secara objektif). Dua hal ini adalah pelajaran yang diberikan Allah kepada manusia. Lebih lanjut At-Thabari dan Tantawi Al Jauhari memverbalisasi bahwa amanat yang disinggung dalam ayat ini bisa direpresentasikan dengan tanggunjawab para birokrat yang mendapatkan amanah untuk menjalankan roda pemerintahan. Agaknya, kesimpulan At-Tabari ini disebabkan adanya unsur otoritas dalam perintah untuk memberi hukum yang adil pada manusia. Memberi keputusan hukum yang adil ini merupakan salah satu amanah yang wajib dilakukan oleh pemerintah. Terlebih, ayat ini juga menegaskan bahwa amanah haruslah disampaikan pada pemiliknya. Jika apa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah rakyat, maka amanah yang diemban para pemimpin haruslah tepat sasaran, misalnya dengan membuat kebijakan yang populis dan pro rakyat.

· Al Anfal 27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

Tafsir Mufaradat
Takhunu : Menghianati, menyalahi, mengingkari

Khianat yang merupakan lawan dari amanah dan disebutkan dalam ayat ini, dalam pandangan Al Maraghi bisa berarti mengkufuri nikmat. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yakni ayat sebelumnya yang membahas mengenai orang yang bersyukur dan orang yang kufur. Alasan kedua adalah karena Al Maragahi menganggap bahwa pemberian suatu amanah merupakan sebuah nikmat. Sehingga ketika nikmat tersebut dijalankan dan dipergunakan sebaik-baiknya, maka hal yang demikian merupakan representasi dari sikap syukur. Begitu juga jika amanah (yang merupakan nikmat) tidak dipelihara dengan baik, maka hal yang demikian sama saja tidak mensyukuri nikmat berupa kepercayaan yang diberikan oleh pemilik amanah.

Al Maraghi tampak sangat memiliki kecenderungan terhadap teori yang mengatakan bahwa syukur tidaklah hanya terbatas pada gerak bibir dan lantunan suara. Esensi syukur yang paling inti justeru adalah perbuatan dan tindakan yang mencerminkan rasa syukur seorang hamba telah dianugerahi suatu hal.

Adapun asbabun nuzul ayat ini, sebagaimana disebutkan Quraish Shihab dan Saleh berkenaan dengan Abu Lubabah bin Abd al Mundhir (seorang muslim) yang ditanya oleh Bani Quraizah (musuh kaum muslimin). Saat itu bertepatan dengan momen perang Quraizah. Abu Lubabah ditanyakan mengenai rencana dan strategi yang akan digunakan kaum muslimin. Abu Lubabah memberi isyarat dengan tangan pada lehernya (maksudnya akan dibunuh). Kemudian turunlah ayat ini, setelah itu Abu Lubabah menyesali perbuatannya karena membocorkan rahasia sampai ia berkata, “Teriris hatiku hingga kedua kakiku tidak dapat kugerakkan, karena aku merasa telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(Riwayat Sa’id bin Manshur, bersumber dari Abdullah bin Abi Qatadah).

Sebuah riwayat yang lain mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan Abu Sufyan yang sengaja meninggalkan Makkah. Jibril memberitahu perihal ini pada Rasulullah, sehingga Rasulullah pun memerintahkan para sahabat untuk menangkap dan menahan Abu Sufyan. Salah seorang sahabat yang mendengarkan sabda Rasulullah tersebut membocorkan perintah Rasulullah dan memberitahukannya kepada Abu Sufyan.

Ada juga versi yang menyatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan perilaku sahabat yang memberitahu strategi perang pada teman dekatnya masing-masing. Para sahabat tersebut senyatanya tidak bermaksud dan sama sekali tidak menginginkan strategi tersebut sampai bocor dan sampai pada pihak kaum musyrikin. Mereka memberitahukan taktik perang hanya pada orang-orang terdekat saja. Namun tanpa disadari, apa yang mereka lakukan justeru semakin memperburuk keadaan karena taktik muslimin sudah diketahui oleh musyrikin (Riwayat Ibnu Jarir bersumber dari as-Suddi). Hal ini disebabkan orang yang dipercayai salah satu sahabat juga menyalahgunakan kepercayaan yang dimilikinya.

Jika diamati dari beberapa versi asbabunnuzul ini, maka arah pembicaraan ayat ini dapat diperkirakan berhubungan dengan .keharusan seorang muslimin menjaga rahasia komunitas yang tidak boleh diperdengarkan pada orang nonkomunitas. Kendati begitu, ayat ini juga secara gamblang menyatakan larangan untuk menghianati Allah, menghianati Nabi Muhammad, dan menghianati amanah antarsesama manusia. Menghianati amanah Allah misalnya dapat digambarkan dengan berbuat keonaran dan kerusakan di bumi setelah Allah menitipkan gelar (amanah) khalifah fi al ardl pada manusia. Adapun menghianati amanah Nabi, maka penulis beranggapan bahwa apa yang dimaksud di sini adalah tidak sama sekali mengapresiasi teladan terbaik yang telah diberikan Nabi. Terlebih dalam salah satu hadistnya, Nabi pernah menegaskan bahwa sepeninggal beliau, beliau menitipkan dua hal sebagai bimbingan hidup umat Islam, yakni Al-Qur’an dan hadist. Menghianati kepercayaan manusia bisa dicontohkan dengan membocorkan rahasia, tidak menyampaikan dan atau merusak barang titipan, serta melakukan penipuan.

Hal yang juga menjadi catatan dalam ayat ini adalah unsur kesengajaan yang dibahasakan dengan kalimat, “jika kamu mengetahui”. Jika difahami secara literlek, maka bisa disimpulkan bahwa penghianatan yang dilakukan atas dasar ketidaksengajaan (seperti kejadian yang menimpa para sahabat menjelang sebuah perang) adalah hal yang sah-sah saja. Anggapan yang demikian dibantah oleh Quraish Shihab. Ia menegaskan bahwa dalam hal ini, tindakan berkhianat tetap tidak bisa ditolerir

· Al Ahzab 72
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh

Tafsir Mufradat
Ardl : Memberikan amanat
Amanah : Kepercayaan yang berupa beban agama
Abaina : Tidak siap menerima
Dzalim : Berlaku aniaya karena dikuasai amarah
Jahl : Bodoh; logika terkalahkan oleh syahwat

Ayat yang kental dengan nuansa personifikasi ini menggambarkan adanya tawaran Allah kepada beberapa makhluknya, yakni langit, bumi, dan gunung-gunung sebelum kemudian ditawarkan kepada manusia untuk mengemban amanah. Bentuk konkret amanah yang dimaksud dalam ayat ini, dalam pandangan Al Maraghi adalah kewajiban-kewajiban syara’, menyembah dan beribadah kepada Allah. Mahluk-mahluk lain menolak tawaran tersebut, sedang Nabi Adam menerimanya. Adam menyatakan siap menerima dan memelihara tawaran tersebut. (Kronologi dan keterangan lebih lanjut mengenai kejadian ini belum ditemukan dalam referensi yang kami miliki).

Mengapa kemudian Adam (sebagai nenek moyang dan perwakilan manusia) harus menerima tawaran ini? Jawaban pertanyaan ini barangkali erat kaitannya dengan kemampuan yang dimiliki manusia dan atau ‘fasilitas’ khusus yang diberikan Allah kepadanya, yakni akal. Akal merupakan hal yang sangat berharga sehingga manusia menyimpan kekuatan yang tidak dimiliki oleh benda-benda sebesar bumi, langit, dan gunung-gunung. Jadi kendatipun benda-benda tersebut secara ukuran lebih besar dibanding manusia, akan tetapi mereka tidak siap menerima amanah seberat apa yang pada akhirnya dibebankan kepada manusia. Terlebih dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa manusia (dan jinn) diciptakan semata-mata hanya untuk menyembah kepada Allah. Dalam hal ini, Bintu Syati’ mengemukakan alasannya bahwa hal ini disebabkkan langit, bumi, dan gunung tidak memiliki kehendak dan kebebasan layaknya manusia.

Mengenai arah dari diksi amanah dalam ayat ini, ada beberapa pendapat yang sebenarnya serupa namun dikemas dalam redaksi yang berbeda. Salah satunya adalah Ibnu Katsir yang menyebutkan bahwa makna amanah dalam ayat ini adalah ath-tha’ah. Sedangkan Fakhrur Razi dalam tafsir Al Kabir menyatakan bahwa arah pemilihan diksi dalam ayat ini adalah at-taklif, pembebanan. Dalam hemat penulis, ketaatan maupun beban ini sama-sama bisa disandingkan pada manusia dan alam semesta yang awalnya menerima tawaran ini, sebab langit, bumi, dan gunung-gunung pun selalu ta’ath pada perintah Allah. Bedanya, beberapa benda alam tersebut memiliki ketundukan yang penuh terhadap Allah, sedangkan manusia memiliki dua potensi, yakni potensi untuk tunduk dan potensi untuk bandel.

Hal ini semakin menguatkan alasan mengapa Allah memilih manusia untuk menerima amanah ini dan manusia pun menyatakan siap menerimanya. Manusia memiliki dualisme potensi yang saling bertolak belakang. Dengan segenap kemampuan dan fasilitas yang dimilikinya untuk taat pada Allah, manusia juga memiliki potensi untuk melenceng, yang dalam ayat ini direpresentasikan dengan amarah dan syahwat. Memiliki dua hal yang saling bertentangan ini tentunya memberikan tantangan tersendiri kepada manusia untuk sebaik mungkin memosisikan diri dengan memperlakukan potensi baik dan potensi buruk secara proporsional.

Analisis yang cukup berbeda disampaikan oleh Abdullah Yusuf Ali. Ia menyatakan bahwa kata-kata langit, bumi, dan gunung dalam ayat ini merupakan makna simbolik untuk menunjukkan bahwa amanah yang dibebankan demikian berat. Pendapat yang demikian senada dengan apa yang disampaikan Hamka yang menilai bahwa ayat ini ingin menunjukkan betapa tinggi nilai sebuah amanah. Hal yang bisa diperhatikan dalam ayat ini ini adalah bahwa penerimaan amanah untuk beribadah kepada Allah bukan kemudian menandakan bahwa manusia adalah mahluk yang bodoh dan dzalim. Ungkapan bodoh dan dzalim ini lebih ditujukan untuk menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi negatif yang cukup dominan sehingga berhasil menggeser potensi positifnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan manusia bodoh dan dzalim (melakukan sesuatu dengan tidak proporsional).

C. Dualisme Amanah; Antara Anugerah dan Musibah
Jika amanah diartikan sebagai sebuah titipan dan kepercayaan, maka kita pun bisa mengambil kesimpulan bahwa kesempatan kita hidup di dunia ini merupakan sebuah amanah awal yang kemudian melahirkan amanah-amanah baru. Amanah bisa diibaratkan dengan setali tiga uang dalam kehidupan manusia. Di mana dan bagaimanapun kehidupannya, manusia pasti memiliki amanah, paling tidak amanah untuk menyembah Tuhan dan amanah untuk menjaga dirinya sendiri. Amanah ini jugalah yang kemudian menjadi implus manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas kesehariannya. Seorang mahasiswa misalnya, ketika ia menyadari penuh posisinya sebagai pengemban amanah dari orang tua dan negara, akan menseriusi kuliahnya dengan beberapa aktivitas yang bisa mengantarkannya pada kesuksesan akademik.

Dalam perbincangan ini, varian amanah ini sebenarnya tidak dapat dibatasi secara mutlak, sebab dinamika dan perkembangan umat meniscayakan adanya wajah-wajah baru yang merepresentasikan adanya amanah baru. Misalnya saja, amanah seorang karyawan terhadap atasan, amanah berupa kode etik jurnalistik bagi wartawan, dan lain sebagainya. Akan tetapi pada intinya, proses penjagaan amanah yang dilakukan seseorang akan berdampak pada kehidupannya. Jika ia bisa mengemban amanah dalam pekerjaannya, misalnya, maka ia akan mencapai kesuksesan dalam dunia kerja tersebut.

Kendati begitu, varian amanah yang paling sering muncul ke permukaan adalah amanah dalam bentuk jabatan atau kedudukan, utamanya jika posisi tersebut merupakan jabatan publik. Amanah seorang menteri kesehatan misalnya bisa diukur dengan tingkat kesehatan masyarakat suatu negara, amanah seorang kepala desa bisa dilihat dari kemamuran penduduk desa yang dipimpinnya. Anggapan ini cukup berkembang luas dan bahkan nyaris berhasil mempersempit makna amanah terhadap hal-hal yang bersangkut paut dengan urusan publik. Padahal senyatanya, amanah, sebagaimana yang sudah dikupas dalam beberapa ayat di atas, memiliki varian yang sangat banyak.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa amanah tidak selalu identik dengan menjaga sesuatu yang telah dipercayakan orang kepada orang lain. Kata ini justeru memiliki makna yang luas, sehingga amanah juga bisa diartikan dengan posisi orang berilmu yang memiliki wajib memberikan penjelasan pada jalan kebaikan dan menunjukkan pada jalan kebenaran (al-haq) kepada manusia lain, tidak memakan harta orang lain dengan bathil (seperti korupsi), dan lain sebagainya. Kewajiban menunaikan amanat ini merupakan hal yang sudah mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Namun begitu, masalah yang kemudian muncul adalah proses menyampaikan amanah yang terbilang cukup sulit, sebab manusia memiliki dua kecenderungan yang saling bertolak belakang. Kecenderungan untuk menyampaikan amanah yang diembannya dan kecenderungan untuk menyelewengkan amanah tersebut.

Di sinilah, dualisme amanah akan sangat terasa. Amanat dikiaskan seperti pisau bermata dua, satu terarah pada sasaran, yang lainnya terarah kepada yang melemparkan pisau itu. Artinya, dua mata pisau itu merupakan dua kemungkinan yang sama-sama bisa terjadi. Jika amanah disampaikan kepada ahlinya, maka pisau tersebut berarti telah berhasil menikam lawan. Orang yang menerima dan menyampaikan amanah oleh Al Maraghi kemudian disebut dengan hafidz (pengemban amanah), amin (orang yang dipercaya), dan wafiy (penyampai). Akan tetapi jika amanah yang diemban malah dimanfaatkan tidak pada tempatnya dan atau disalahgunakan, maka pisau yang digenggam seseorang berarti telah menusuk dirinya sendiri. Meski demikian, akibat dari terhunusnya pisau pada sasaran maupun ketika pisau tersebut menikam dirinya sendiri tidak kemudian selalu terasa pada waktu yang bersamaan.

Sebab itulah, tidak berlebihan kiranya jika Yunahar sampai mengatakan bahwa amanah dapat membawa manusia menempati posisi yang lebih tinggi dari malaikat sekalipun, namun juga bisa mengantarkan manusia kepada posisi yang lebih rendah daripada hewan. Dalam artian, amanah akan menjadi anugerah yang bisa menjadi tiket manusia memiliki posisi yang tinggi, namun amanah juga bisa menjebak kita dengan menjadi sebuah musibah yang bisa menurunkan derajat manusia.Dengan demikian, tugas kita selanjutnya lebih kepada untuk mensiasati agar potensi positif kita bisa lebih dominan dibanding potensi negatif. Dengan begitu, amanah yang sudah dimiliki dapat ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Allah Knows Best.

1 comMentz:

Hilal Alifi mengatakan...

aq izin ngelink, it... :p