RSS

Senin, 18 Oktober 2010

D-e-l-a-y-ed

SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN PADA MASA RASULULLAH SAW
Oleh Masyithah Mardhatillah (0753003)

A. Pengantar

Jaminan Allah atas reservasi (orisinalitas) Al-Qur’an yang disebutkan dalam QS Al Hijr 9 sudah tampak sejak pertama kali Al-Qur’an diturunkan pada masyarakat jazirah Arab kala itu. Jaminan ini, selain mengandaikan tidak akan adanya sabotase yang mampu mengurangi orisinalitas Al-Qur’an, juga menggambarkan adanya ‘penjagaaan’ yang cukup intens terhdap orisinalitas Al-Qur’an. Sebagai kitab yang menjadi pamungkas sekaligus penyempurna dan pengoreksi dari kitab-kitab suci yang sebelumnya diturunkan pada Nabi-nabi pendahulu Muhammad, sudah barang tentu reservasi orisinalitas Al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan.

Dalam sejarahnya, wahyu yang diterima Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril kemudian beliau hafalkan dalam ingatan. Catatan sejarah yang demikian setidaknya bisa dikuatkan oleh dua hal. Pertama, masyarakat Arab kala itu adalah masyarakat yang menggandrungi dunia sastra dalam hal syair dan puisi, sehingga tradisi menghafal syair dan puisi di kalangan masyarakat Arab kala itu kemudian menjadi sebuah ciri khas tersendiri. Masyarakat Arab gemar menghafal, sehingga daya ingat dan daya hafal mereka pun semakin terasah dengan keadaan yang kondusif tersebut. Sebab itulah, jika sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad menghafal dan mengingat wahyu yang disampaikan Jibril kepadanya, hal demikian wajar adanya.

Kedua, catatan sejarah bahwa nabi menghafal wahyu-wahyu yang diturunkan kepadanya juga diperkuat oleh dalil naqli berupa hadist Nabi dan kesaksian para sahabat bahwa setiap tahun, yakni setiap bulan Ramadhan, Nabi Muhammad membacakan Al-Qur’an yang dihafalnya di depan malaikat Jibril. Dalam kesempatan talaqqi ini, Jibril kerap membenarkan bacaan Nabi Muhammad. Catatan ini setidaknya menggambarkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menghafalkan wahyu yang diterimanya. Selain Nabi Muhammad, Al-Qur’an juga banyak dihafal oleh para sahabat yang langsung mendengar sebuah penuturan wahyu dari Nabi Muhammad.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad memang cukup gencar mendorong dan menyemangati para sahabat untuk menghafal Al-Qur’an dan menularkan hafalannya pada sahabat lain. Sehingga, seorang sahabat yang telah mendengarkan wahyu kemudian menghafalnya dan menularkan hafalannya tersebut pada sahabat lain. Dengan cara tersebut, hafalan Al-Qur’an di ingatan para sahabat pun semakin hari semakin menunjukkan peningkatan, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Singkatnya, ketika itu, Al-Qur’an direservasi dalam ingatan dan hafalan Nabi Muhammad maupun para sahabat.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sejalan dengan bertambahnya wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sedangkan jumlah sahabat penghafal Al-Qur’an semakin menyusut (misalnya dengan gugurnya 70 orang pada persitiwa Bir Maunah) dan ada kemungkinan hafalan mereka akan semakin lemah, timbul inisiatif untuk mengantisipasi terjaganya orisinalitas Al-Qur’an dengan alternatif kedua, yakni dalam bentuk tulisan. Dengan digalakkannya penulisan ayat-ayat Al-Qur’an, Nabi Muhammad kemudian juga melarang para sahabat untuk menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini merupakan salah satu antisipasi dan sikap hati-hati Nabi Muhammad dalam menjaga orisinalitas Al-Qur’an.

B. Eksplorasi; Penulisan Al-Qur’an pada Masa Rasulullah

Inisiasi pada Periode Mekkah dan Sistemasi pada Periode Madinah
Tidak ada catatan yang secara rigid menjelaskan aktor yang menginisiasi penulisan Al-Qur’an. Namun begitu, semangat untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an dalam bentuk tulisan senyatanya sudah tersirat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, semisal dengan bahasa al-kitab, al-suhuf, dan lain sebagainya. Dua terma tersebut setidaknya cukup menggambarkan bahwa selain berupa hafalan, wahyu Allah sebaiknya memang dituang dalam bentuk tulisan. Hal ini, secara pragmatis dan operasional, tidak hanya berfungsi untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an, namun juga memudahkan muslimin generasi belakangan yang akan mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.

Namun begitu, bukti tertuangnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk tulisan para sahabat, setidaknya bisa dilihat dari kejadian ketika Umar masuk Islam. Kala itu, empat tahun sebelum hijrah, Umar yang tengah dikuasai emosinya berniat membunuh Rasulullah yang dianggapnya telah merusak kepercayaan warisan nenek moyang penduduk Mekkah. Namun begitu, sebelum bertemu Muhammad, Umar terlebih dahulu mendengar berita bahwa ada tiga orang dalam keluarganya yang telah masuk Islam. Umar pun banting setir dan bermaksud menemui keluarganya tersebut lebih dahulu sebelum bertemu Rasulullah. Ketika ditemui, adik kandungnya beserta muslimin lain tengah membaca Al-Qur’an dalam sebuah suhuf. Saat itulah timbul rasa penasaran dalam benak Umar dan akhirnya ia pun masuk Islam karena hatinya telah luluh oleh ayat Al-Qur’an yang tercantum dalam suhuf tersebut.

Adanya suhuf ini menggambarkan bahwa sahabat memiliki insiatif sendiri untuk merekam hafalan mereka dalam bentuk tertulis. Bentuk tertulis merupakan alternatif atau cadangan yang bisa menopang dan menguatkan serta mengoreksi hafalan dan ingatan mereka terhadap wahyu-wahyu Allah. Pada periode ini, penulisan Al-Qur’an baru menjadi sebatas tindakan antisipatif yang sifatnya sekunder. Apalagi, belum ditemukan bukti sejarah yang secara tegas menggambarkan perintah atau tindakan Nabi Muhammad dalam penulisan Al-Qur’an. Catatan sejarah hanya menjelaskan bahwa kala itu, Nabi Muhammad melarang sahabat untuk menulis apapun selain Al-Qur’an. Tentu saja, larangan ini sekaligus menjadi idzin bagi para sahabat untuk menulis Al-Qur’an.

Ketika di Madinah, bersamaan dengan semakin banyaknya pemeluk agama Islam dan semakin kompleksnya persoalan umat yang membutuhkan jawaban dan respon dari Al-Qur’an, Nabi Muhammad kemudian mengangkat beberapa sekretaris. Sekretaris-sekretaris ini sangat membantu Nabi Muhammad yang kala itu menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. Tugas utama para sekretaris ini adalah mencatatan ayat Al-Qur’an yang diwahyukan pada Nabi Muhammad.

Karena pengangkatan sekretaris ini terjadi pada periode Madinah, maka secara otomatis para sekretaris ini juga harus menulis ayat-ayat yang diturunkan pada periode Makkah. Sebab itulah, dalam proses penulisannya, Nabi Muhammad kerap memberikan arahan mengenai letak-letak sebuah ayat. Bukti sejarah inilah yang kemudian mengunggulkan pendapat bahwa susunan ayat dalam Al-Qur’an memang didasarkan atas arahan Nabi Muhammad (tauqifi).

Meskipun dalam periode Madinah ini sudah terdapat sebuah sistem yang cukup apik dalam upaya penulisan Al-Qur’an, akan tetapi hingga Nabi Muhammad wafat, belum ada sebuah mushaf yang diratifikasi sebagai mushaf yang resmi. Masing-masing sekretaris memiliki mushaf-nya sendiri-sendiri. Namun demikian, perbedaan yang paling mencolok di antara beberapa mushaf tersebut hanya terletak dalam urutan surat, sebab Nabi Muhammad memang memberikan perhatian dan arahan yang cukup intens terhadap susnan ayat dalam Al-Qur’an.

Selain para sahabat, sebuah catatan juga menjelaskan bahwa Rasulullah sendiri memiliki catatan atau tulisan-tulisan Al-Qur’an. Catatan tersebut menggambarkan bahwa Nabi menyuruh Ali untuk mengambil tulisan Al-Qur’an yang ada di belakang tempat tidur Rasulullah. Ayat-ayat Al-Qur’an tertulis di atas suhuf, sutera, dan kertas. Pada kesempatan itu, Rasulullah berwasian agar Ali mengumpulkan naskah-naskah itu dan tidak menyia-nyaiakannya. Ali pun melaksanakan instruksi Rasulullah dan mengambil serta membungkus bahan-bahan tersebut.

Riwayat yang ber-setting ketika masa-masa sebelum Rasulullah wafat ini cukup beragam. Akan tetapi, beberapa riwayat tersebut sama-sama menunjukkan bahwa Rasullah menginstruksikan Ali untuk mengambil mushaf yang dimiliki dan disimpan oleh Rasulullah. Dengan demikian, ketika Rasulullah wafat, belum ada sebuah mushaf yang telah disahkan dan diresmikan oleh Rasulullah sebagai mushaf standar. Sebuah keterangan menjelaskan bahwa alasan mengapa Nabi tidak segera menetapkan mushaf yang standar adalah karena beliau masih menunggu wahyu yang akan diturunkan. Hal ini juga berkait erat dengan konsep ayat nasikh-mansukh.

Key Person
Ada beberapa perbedaan pendapat terkait jumlah atau identitas sekretaris wahyu yang diangkat Nabi, khususnya ketika periode Madinah. Dalam catatan yang dikutip oleh MM. Azami, berikut nama-nama sekretaris wahyu
1. Abban bin Sa'id
2. Abu Umama
3. Abu Ayyub al-Ansari
4. Abu Bakr as-Siddiq
5. Abu Hudhaifa
6. Abu Sufyan
7. Abu Salama
8. Abu 'Abbas
9. Ubayy bin Ka'b,
10. al-Arqam
11. Usaid bin al-Hudair
12. Aus
13. Buraida
14. Bashir
15. Thabit bin Qais
16. Ja` far bin Abi Talib
17. Jahm bin Sa'd, Suhaim
18. Hatib
19. Hudhaifa
20. Husain
21. Hanzala
22. Huwaitib
23. Khalid bin Sa'id
24. Khalid bin al-Walid
25. az-Zubair bin al-`Awwam
26. Zubair bin Arqam
27. Zaid bin Thabit
28. Sa'd bin ar-Rabi`
29. Sa'd bin `Ubada
30. Sa'id bin Sa`id
31. Shurahbil bin Hasna
32. Talha
33. `Amir bin Fuhaira
34. `Abbas
35. `Abdullah bin al-Arqam
36. `Abdullah bin Abi Bakr
37. `Abdullah bin Rawaha
38. `Abdullah bin Zaid
39. `Abdullah bin Sa'd
40. 'Abdullah bin 'Abdullah
41. 'Abdullah bin 'Amr
42. 'Uthman bin 'Affan
43. Uqba
44. al¬'Ala bin 'Uqba
45. 'All bin Abi Talib
46. 'Umar bin al-Khattab
47. 'Amr bin al-'As
48. Muhammad bin Maslama
49. Mu'adh bin Jabal
50. Mu'awiyah bin Abi Sufyan
51. Ma'n bin 'Adi
52. Mu'aqib bin Mughira
53. Mundhir
54. Muhajir
55. Yazid bin Abi Sufyan.

Lebih lanjut, Taufik Adnan Amal mengemukakan bahwa di antara beberapa sekretaris wahyu, ada empat nama yang paling sering disebut, yakni Muawiyah, Ubay bin Ka’ab, Zayd ibn Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Musa Al-Asyari. Adapun penghafal wahyu garda depan yang memiliki ketekunan dan kekuatan hafalan adalah Zayd bin Tsabit (orang yang terakhir membaca Al-Qur’an di hadapan Rasulullah sebelum Rasulullah wafat), Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, dan Abu Zayd Al-Anshari.
Wujud dan Perkembangan Tulisan

Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi, khususnya pada periode Madinah belum disistemasi dalam kemasan yang praktis dan apik. Saat itu, tulisan-tulisan Al-Qur’an masih tertuang dalam benda-benda klasik, semisal di pelepah kurma, kulit, kayu, pelana, batu, kain, tulang, dan punggung unta. Zaid bin Tsabit sempat mengutarakan bahwa para sahabat menyusun Al-Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.

Catatan sejarah yang demikian menunjukkan bahwa sahabat sangatlah apresiatif dengans segala hal yang berhubungan dengan jaminan penjagaan orisinalitas Al-Qur’an. Sehingga, kalaupun mereka berada dalam suasana yang penuh keterbatasan dengan minimnya alat tulis yang representatif, mereka tetap berupaya mencari cara untuk bisa menulis ayat Al-Qur’an. Tindakan yang demikian tidak lain didasarkan oleh sebuah pikiran futuristik bahwa Al-Qur’an yang mereka jaga kala itu akan menjadi pedoman dan acuan hidup anak cucu mereka hingga akhir zaman.

Riwayat lain bahkan menyebutkan, beberapa sahabat yang memiliki keterbatasan fisik (semisal mengalami kebutaan) juga turu andil dalam upaya pelestarian Al-Qur’an dalam bentuk tulisan ini, yakni dengan meminta pertolongan orang lain. Dengan demikian, meski Nabi Muhammad telah mengangkat sekretaris penulis wahyu secara formal. Hal tersebut tidak kemudian membuat para sahabat lain—yang tidak termasuk dalam struktur penulis wahyu—untuk acuh-tak acuh terhadap upaya penjagaan orisinalitas Al-Qur’an.

C. Catatan Akhir

Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi merupakan gerbang penulisan Al-Qur’an yang sangat berarti bagi proses penulisan Al-Qur’an pada masa selanjutnya, khususnya pada masa penyusunan mushaf standar masa Utsman. Sebagai kitab yang menjadi kitab pamungkas dan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya serta akan dipakai hingga akhir zaman, maka penjagaan orisinalitas Al-Qur’an dalam berbagai bentuk dan dalam berbagai fase sejarah merupakan sebuah keniscayaan. Selain sebagai perwujudan sikap respek terhadap nilai sakralitas Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, penjagaan (orisinalitas) Al-Qur’an dewasa ini juga menjadi perwujudan dari rasa apresiasi dan terimakasih atas upaya dan dedikasi para sahabat yang berandil besar dalam penulisan (mushaf) Al-Qur’an. Allah Knows Best

Rabu, 13 Oktober 2010

Kosmateku solid-kosmateku narsis

Sebenere judule dipaksaian bangeeeeeeettt..Hehehehe, enaknya sich, eksis-narsis. Tapi koq jadi pengaburan identitas yaaaaaa..jika terlalu keikut ma trend. Lagian, titik tekan yang ingin aku ulas dalam tulisanku ini memang berkait erat dengan masalah KEKOMPAKAN alias SOLIDITAS. Jadi, judul di atas memang bukan tanpa alasana. Hehehe..Meski kesannya maksa banget. Jadi begini, cerita dimulai ketika dalam forum bincang-bincang santai—di depan tivi atau di depan kamar mandi pas lagi nyuci dan ngantri—ada selentingan aspirasi untuk mengadakan makrab kos. Sebab memang tidak mungkin mengadakan ospek atau opak kos. Aspirasi tersebut setidaknya terpengaruh dari dua hal. Pertama, kosku tersayang baru saja mendemisioner pengurus angkatan lama dan melantik pengurus baru. So, masih fresh, biasane masih semangat-semangatnya melaksanakan program kerja. Jadi kalopun program kerjanya ga pernah dimusyawarhin di raker dan ga pernah ada proker rigid, keinginan untuk mengadakan makrab muncul juga. Yang kedua adalah iklim kampus yang baru saja melewati masa-masa pendaftaran-opak-makrab-sospem. Jadi keroso kena imbasnya juga….mpe penghuni kos pada ingin dan semangat berapi-api untuk ngadain makrab.

Makrab sebenere adalah kependekan dari ‘malam keakraban’. Setauku, ritual ini terbatas dan tidak universal. Di kota laen, kampus-kampus bahkan ga kenal dengan istilah makrab. Mungkin terminologi khas Jogja atau bahkan UIN. Entah, aku ga tau juga. Namun aku pernah berkali-kali tanya ke temenku yang kuliah di luar Jogja dan respon mereka sama persis plus simetris, GA TAU DAN GA PERNAH DENGAR, APA ITU MAKRAB. Well, uda jelas tujuan ritual ini adalah menjalin keakraban dengan kawan satu komunitas. Menjalin keakraban jane ya ga harus dengan seruang dan sewaktu kayak ritual makrab yang biasanya diisi dengan acara jalan-jalan dan touring ke mana-mana, cuma rasanya lebih ngetase ajah jika bisa melewatkan waktu bersama dalam suasana yang juga menyenangkan. Dan satu catatan terakhir tentang makrab, meski kepanjangannya adalah malam keakraban, akan tetpai ritual ini tidak harus dan tidak selalu dilakukan pada malam hari. (aku harus segera menutup paragraf ini sebab makrab dalam arti yang universal sudah berkali-kali menjadi skejulku, so akan sangat amat panjang jika dituturkan semuanya di sini)

Well, kali ini cerita bersetting pada hari Ahad, 10 Oktober 2010. Pagi itu, amat jauh dari kebiasaan, aku mandi pagi dengan penuh semangat dan dengan tekad untuk memerangi kedinginan. Mumpung lagi ada KM nganggur, aku tak perlu berpikir banyak untuk langsung nyolonong. Apalagi diprediksikan, pagi itu, KM akan sepenuh dan semacet jalan di jalan protokol pada jam kerja pas semuane pada mau berangkat. Jadi, setelah mandi dan melakukan persiapan seadanya, aku segera mengecek kelengkapan makrab. Jane aku tidak memegang posisi sentral dalam eo ini, sebab semua sudah terlimpahkan pada pengurus kos yang rata-rata masih duduk di semester lima dan semester tiga. Semester tujuh lebih enak dengan posisinya sebagai steering commite. Itu teorinya, namun di wilayah taktis, semuanya nyampur aduk tumpek blek. Ga peduli semester berapa.

Seksi akomodasi dan transportasi diatur sepenuhnya oleh bendahara kos, si Dety. Sedangkan masalah konsumsi sudah dihandle oleh Vero yang pagi itu sudah berdarah-darah memasak nutrijel coklat untuk bekal kami kemping. Wis heboh bangeeeeeeet…Lima hari sebelumnya, aku sudah menarik angket yang aku sebar ke seluruh penjuru kos, untuk mengetahui aspirasi mereka. Namun, sayang seribu sayang, tidak semua penghuni kos bisa ikut. Yayayaya, mereka memang memiliki kesibukan dan skejul sendiri-sendiri. Tapi memang, kebersamaan ga bisa dicari hingga pojok terujung Bringharjo. Sulit banget. Jadi karena mengidealkan seluruh kuota bisa terisi adalah suatu hal yang amat banget mustahil, maka kami pun berangkat meski tidak dengan anggota kos yang utuh. Ada lima belas orang yang turut serta dan aktif berpartisipasi untuk menyukseskan acara ini. Sayang seribu sayang yang kedua, di antara lima belas orang tersebut, tidak ada satupun penghuni baru yang turut serta. OMJJJJJJJ..But that’s a reaaaaaaaaaallll…Empat penghuni baru kos, pagi itu pada lagi mau ada acara lain dan halangan. So, memang tak ada boleh ada pemaksaan, termasuk dalam hal-hal yang sifatnya having fun kayak makrab. Idealnya, makrab dilaksanakan untuk merekatkan emosi antara mahasiswa lama dan mahasiswa baru, dan dalam hal ini antara penghuni baru dan penguni lama. Namun idealisme tinggal idealismeeeeee….

Lima belas orang yang pagi itu mengenakan baju terbaik dan menampilkan dandanan terimutnya masing-masing terbai dalam dua kloter. Kolter pertama adalah mereka yang memanfaatkan jasa alat transportasi paling mewah se-Jogja, yakni Trans Jogja. Total ada sepuluh orang. Sedangkan lima yang lainnya adalah seksi pembantu umum (yang bisa disulap menjadi seksi apapun dalam keadaan bagaimanapun) yang mengendarai sepeda motor. Aku berada dalam kloter kedua. Kami berlima dengan tiga motor. Aku dan Anggun, Jenghol dan Erma, dan DP sendirian. Sebenere, aku lebih memilih untuk rame2 di TransJogja. Namun, karena alasan budget juga plus menyediakan motor sebagai instrumen cadangan jika ntar terjadi apa-apa, akhirnya aku mutusin untuk make motor ajaaaaaaahhh…Masing-masing kloter sudah dilengkapi sebuah kamera, jadi tidak alasan untuk tidak narsis di momen-momen kebersamaan itu. Kloter pertama dengan kamera Rida, dan kloter kedua dengan kameraku. Sedangkan logistik berupa lauk, cemilan, dan air, dibawa sepenuhnya oleh kloter kedua. Bener-bener mesa’ke, tapi inilah konsekuensi. Wissssssssss,,,dua kloter itu berpisah setelah sempat jepret-jepret di depan MP.

Kloter kedua sampai di Altar ketika kloter pertama masih duduk manis di halte Wanita Tama alias belum dapet bus. Mesa’ke bangeeeeeet…Namun kloter kedua juga uda mulai kelabakan untuk mulai berteduh dan mencari tempat yang rindang…Mulai dari di depan kantor BI, berpindah ke sisi barat altar, lalu sisi utara altar, hingga akhirnya di tengah-tengah altar. Pas itu kerosone awan sedang tak ingin menaungi kami berlima. Hehehehe..Jadi, setelah kembali dan lagi-lagi berpose dengan tensi pede yang tinggi, suatu masalah baru kembali muncul. Dan semuanya belum sama sekali diprediksikan dan diperhitungkan saat semalem mengadakan konsolidasi di depan tv sambil nonton IMB. Andong yang dianggarkan akan mengantar anggota kloter pertama ke Taman Sari dari shelter TJ paling selatan di Malioboro mematok harga yang amat banget mahal. 30 REBU bagi turis lokal seperti aku dan temen-temen tenti merupakan nominal yang cukup menguras kantong. Setelah konsolidasi viahape, akhirnya muncul keputusan bahwa anggota kloter satu akan diangsur dengan menggunakan tiga motor yang dibawa kloter kedua. Tuuuuuuuuuuuuuucccccchhh,,,untung bawa motor. Jika ndak, dak sama sekali kebayang kalo harus ada ritual nyeker dalam acara seneng-seneng ini. Jadi, dari sepuluh orang yang masuk anggota kloter I, dua di antaranya memilih untuk menggunakan jasa becak. Mereka adalah ketua kos, ddk Soby dan menteri keartisan, Bak Njes yang mengaku bernama belakang Chandrawinata. Sedang delapan orang yang tersisa kemudian diangsur satu-persatu (dan kadang double) agar bisa segera sampai di TKP.

Dan untuk urusan yang satu ini, aku emoh jadi driver, sebab di antara anggota kloter kedua (yang ternyata semuanya sudah punya SIM-C), akulah driver yang paling amatir. So, aku lebih baik ngalah pada driver yang sudah mahir untuk menjemput dan mengangsur anggota kloter satu dari lampu merah perempatan Malbor mpe taman sari. Bukan apa-apa, kenyamanan berkendaraku jadi serasa berkurang saat aku harus mbonceng seseorang, sebab aku kurang bebas berekspresi dan merasa tengah memegang tanggungjawab yang demikian besar, menyelamatkan anak manusia yang ada di belakangku untuk sampai ke tujuan. Hehehehe. Lebay banget memang, tapi itulah ada dan nyatanya. Aku merasa gerogi plus serba salah jika harus mbonceng orang, apalagi yang mbonceng adalah Ibu muda kaya Ayu. Hoahoahoaohoahoaho…

Setelah menentukan division of labour dan job discription, akhirnya, di antara berlima, aku dan Ermalah yang akhirnya diputuskan untuk tidak jadi driver dan menunggu di Taman Sari. Sedang tiga yang lainnya, Anggun, Jenghol, dan DP, bertugas mengangsur temen-temen dengan tiga motor yang ada. Aku uda masrahin kunci motorku ke Anggun so,, aktivitas selanjutnya adalah W.A.I.T.I.N.G. Awalnya aku cuma berdua ma Erma, lalu disusul Riska dan Rida (yang dianter DP), dan kemudian temen-temen yang laen. Di tengah-tengah ritual angsuran ini, muncul lagi satu masalah baru. BANKU HARUS DITAMBAL KARENA ADA PAKU KECIL YANG KELINDES DAN NANCEP DI BAN DEPANKU. Kontan aku kelabakan, Seumur-umur aku ga pernah menghadapi masalah teknis yang demikian tanpa ada seorang laki-laki di sisiku, semisal bapak, elton, ksatria, atau temen-temen korpku. Bukan pengalaman pertama siy, cuma ini pertama kalinya aku harus menghandle urusan itu by me myself. Untungnya, aku masih diselamatkan oleh keadaan. Ada DP (D Prita) yang mau menemaniku mencari tempat tambal ban. Dan dari kacamataku, aku liat DP tau lebih dibanding aku dalam masalah tambal ban. Sebab itulah, aku tak sungkan bertanya padanya, apapun yang ada di kepalaku, semisal “Yang kena ban dalam pa ban depan?”, trus “Yang harus diganti ban depan po ban belakangnya???”, dan lain sebagainya. Aku hanya ingin menetralkan rasa panikku.

Dengan berjuta harap dan lelah yang uda mulai muncul, aku menyusuri jalanan sekitar Altar dan Taman sari kemudian menemukan sebuah tambal ban di kanan jalan, pas di jalan yang selalu aku lewati setiap kali akan ke Altar. Alhamdulillah, keadaan lagi-lagi menyelamatkanku. Ban motorku langsung dipermak abis ma si bapak dan aku ma DP hanya duduk-duduk memerhatikan betapa bapak itu cekatan merepair semuanya. DP lalu mengatakan bahwa pekerjaan ini tak akan menyita terlalu banyak waktu, maksimal 30 menit. Aku tau dia amat sangat bisa membaca kekahawtiranku. Ia bahkan menyarankanku untuk minta kompensasi uang tambal ban ke bendahara kos. Tapi yaaaaaaaa….Yang ada di pikiranku saat itu adalah bagaimana motorku bisa kembali sehat seperti sedia kalaaa…Hmmm…Aku mengamati proses penambalan ban motorku dari awal hingga akhir. DP juga sangat apresiatif dengan pertanyaan-pertanyaanku. Tak terasa aku merasa senang, siang itu, banyak pelajaran yang aku terima. Pelajaran kehidupan maupun pelajaran fisika. Heheheheheh…

Setelah membayar biaya tambal ban, aku dan DP segera cabut ke Taman Sari. Di sana, temen-temen uda pada nungguin kami. Mungkin uda aga lama, I did my apologize, tapi aku emang wanti2 agar aku ditunggu so ga perlu ada cerita someone’s missing di episode makrab ini. Saat aku datang, ternyata masih ada dua orang yang belum ngumpul, yakni ketua kos dan menteri keartisan. Mereka masih menghandle masalah kelaparan di sebuah angkringan pojok depan pintu masuk taman sari. Setelah didesak berbagai fraksi, akhirnya tu dua orang muncul…Dann..Next, kami akan masuk. Tiket sudah dibeli, jumlah pas. 15 lembar. Satu tiket berharga 3000. Dalam hati aku menyayangkan, mengapa aku tak menggunakan naluri preman untuk ‘curang’ dalam jumlah tiket ini. Kecurangan2 itu uda berulang kali aku lakukan, bersama temen-temen dan di tempat yang berbeda. Namun kali ini aku ga bisa melaksanakan trik itu. Bukan apa-apan, tiket sudah terlanjur dibeli dan aku tidak mau memberikan contoh yang tidak baik pada adik angkatan. Heheehehehe. Meski asa keuangan yang maha esa akan dianut siapapun, namun dalam beberapa keadaan, asas tersebut harus dikompromikan dengan asas-asas lain yang mungkin lebih penting, seperti memberikan teladan yang baik pada adik angkatannn..Heheheheh.

Okelah, kami berlimabelas masuk dengan lima belas tiket yang aku serahkan pada penjaga pintu masuk. Hadooooooohhh..nyesel banget rasanya ketika tau bahwa tu tiket sebandel ga diitung apalagi diliat asli ndaknya, tapi hanya diberi tanda bolong dua buah dengan alat yang biasa dipake untuk bolongin kertas…Tapi tak apalah, tak mengganggu manisnya kenangan pagi yang uda agak panas itu. Acara selanjutnya uda bisa dipastikan, FOTO-FOTO NARSIS MPE MATI GAYA. Aku pribadi uda mulai merasakan sindrom kebosanan untuk selalu berpose di depan kamera, apalagi sejak aku mengantongi kameraku awal tahun lalu. Namun dalam urusan foto bersama, aku memang merupakan salah satu orang yang tidak mau ketinggalan. Alasan paling utama, kebersamaan itu mahall…Dan legitnya juga masih akan terasa ketika suatu saat di jauh, kita mengenangnya. Makanya, aku bela-belain testing speaking ma salah satu turis bule untuk memotret kami berlima belas. Hehehe. Eh, tu turist malah juga mau ikut foto setelah motretin kami. Heheheheh. Lucu ah, oon juga. Plus malu-maluin karena kami tu rameeeeeeeeeee banget. Ada yang minta fotoin, ada yang sibuk ngatur self timer, ada yang mengeluh cape dan kelaparan, dan lain sebagainya.

Well, show must go on. Aku lebih banyak bertindak sebagai fotografer saat itu. Setelah menyusuri area taman tempat pemandian (yang dibagi dua untuk membedakan tempat mandi isteri resmi dan selir raja yang tak resmi) dan berlebay-lebay di sana, kami mulai tak kuasa menahan rasa lapar. So, diputuskan, untuk acara selanjutnya, KAMI MAKAN. MEMBUKA BEKAL YANG DIBAWA DARI KOS. Sebelumnya, kami uda urunan beras yang kemudian dimasak bareng untuk meminimalisasi anggaran. Untuk lauk sekaligus sambel, kami uda mesen di ketring Yu Semi. Selain itu, ada persediaan air, nutrijell, cemilan, dan kerupuk yang biasa dibikin teman makan nasi. Whahahahahah….soswiiiiiit banget acara makan siang itu. Aku uda amat banget kelaperan, ditambah eventnya rame-rame, jadi kerosone enak bangeeeeeeet,, meski sebenarnya biasa ajahhhh…

Saat makan, Rida yang siang itu ga mau makan—karena uda makan tadi pagi di kos—sempet ngerekam aktivitas kami. Video itu ternyata lucu bin ajaib, bikin cekikikan dan bikin dunia serasa sangat amat menyenangkan. Hehehe. Well, seabis makan, kami melanjutkan rute perjalanan ke tempat-tempat tua kaya terowongan dan kembali acaranya sama, FOTO-FOTO. Aku tak tau banyak tentang sejarah tempat ini. Yang pasti arsitekturnya keren gile, serasa kayak di pilm-pilm gitu. Sayang memang, ada banyak sisi di taman sari yang kurang terawat, sehingga uda beranjak sepuh dan membungkuk gitu. Kalo bangunan sejarah emang kadang bikin bingung, direparasi ntar bisa mengurangi nilai kesejarahan, dibiarin ntar malah ga kerawat. Gitulaaaaaahhh…di bangunan yang mirip terowongan itu, kami sempat kembali minta bantuan seorang pengunjung untuk memotret kami pas genap berlima belas. Meski fotonya kemudian ga apik karena pengaturan cahayanya ga beres, akan tetapi tu foto tetep oke punya laaaaaahhhh…

Dari terowongan itu, Anggun, sebagai salah satu penghuni yang pernah mengunjungi Taman Sari sebelum hari itu, mengajak kami ke sebuah bangunan tua yang lagi-lagi aku ga tau harus dibahasakan apa. Intinya, bangunan tu keren banget, meski sudah ga beraturan di mana-mana. Di tempat itu, tenaga kami uda hampir off. Temen-temen uda banyak yang mengeluh dan sudah tidak nafsu untuk berfoto-foto. Namun sebagian masih asyik berpose-pose sakarepe dewe. Aku bahkan masuk dalam list terakhir orang yang datang ke tempat parkiran untuk selanjutnya pulang. Pas itu, bertiga ma Jenghol dan bak Njes, aku masih berpose-pose seakan tiada lelah yang menghinggapi kami. Hehehe…

Abis itu, di tempat parkiran, kami menghabiskan logistik yang masih ada dan kemudian bersiap untuk pulang. Ternyata uang parkir dan uang bensin juga termasuk salah satu biaya yang ditanggung oleh pihak akomodasi dan atau transportasi. Yayayaya…senang lahhhh,,,hehehehe. Dan dalam urusan angsuran temen-temen, kami tetep mengandalkan driver yang tadi pagi bolak-balek. So itu artine, aku bisa beristirahat di masjid deket Taman Sari untuk sekalian shalat dzuhur. Sesudah semua anggota berkumpul dan telah melaksanakah ibadah shalat dzuhur (pada perjalanan pulang, kloter kedua nambah kuota satu orang, yakni Rida), kami mulai bingung mau ke mana abis ini. Mumpung ada motor, mumpung ada uang bensin, dan mumpung masih bareng-bareng. Tapi cuaca panaaaaaaaaaaaaaaaas banget waktu itu. Jadi sebelum tancap gas, kami putusin untuk langsung pulang ke kos.

Eh, gatau gimana dan kenapa, di lampu merah perempatan Gondomana, Jenghol menginstruksikan kami untuk banting setir ke Gembira Loka. Aku manut ajah, sebab tempat itu belum pernah aku kunjungi sama sekali. Rasa cape dan kantukku tiba-tiba hilang terbang entah ke mana. Dan ternyata, sampai di lokasi, udarane adem dan sejuk. Cukup tepat menjadi bargaining position bagi panas yang pagi itu amat sangat membakar..hohohho…Dan di tempat itu, aktivitas kami tetap tak berubah. FOTO-FOTO dengan tensi pedemeter yang melebihi tensi rasa lelah dan capek yang sedari tadi muncul. Pas itu, hanya satu hal yang bikin kami berhenti berpose,,yakni ketika..BATRE KAMERA HABISSS!!!!!!!! Hahahahahahahaha..Parah..parahh..

Well, anyway, epilog dari tulisan ini adalah, semoga, makrab kos masih akan menemukan seri-nya. Dan satu lagi, sajak yang sedari dulu muncul di kepalaku namun belum sempat tak tuang dalam tulisan. Sajaknya begene,,,
Jika aku masih tetap pada hatimu/dan tidak sedikitpun berkeinginan untuk pergi/hal itu sama sekali bukan tak ada yang lebih baik dan menarik dari engkau*/namun semata-mata/karena hatiku telah terambat padamu, pelabuhan terakhirku…MOKSO BANGEEEEEEEEEEEEETTTTTTT..TAPI ITULAH ADA DAN NYATANYA. I LUV MY KOZ (and my kozmate) SO MUCH VERY TOOOOOOOOOO….

*) Bangunan kos lebih bagus dan harga kos lebih murah…

Weekend on Weekendddddd

Buat aku dulu, weekend atau akhir pekan yang amat sangat ditunggu adalah hari Kamis dan Jumat. Pada dua hari itu, kegiatan di pondok biasanya tidak akan semembosankan hari-hari biasa. Ga da sekolah, ga ada jam belajar, ga ada jadwal kursus dan les, ga ada pengajian, dan semuanya free-free. Bebas mau ngapain ajaaaaaaaaaahhh…Ya, meski memang, di akhir pekan itu, aku biasane sulit untuk bisa bebas dari apa yang bernama piketan. Hmmmmm….Ya karena memang begitulah porsinya.

Naaaaaaaaaaahhh, sejak kuliah, ada shifting paradigm di sini. Hehehe. Maksudnya adalah pergantian atau pergeseran jadwal weekend. Hari yang kutunggu-tunggu semenjak menjadi mahasiswa adalah hari Sabtu dan Ahad, tidak lagi hari Kamis dan Jumat. Sabtu-Ahad kuliah libur, jadi aku bisa sesuka hatiku membuat skejul dan berselancar ke mana-mana tanpa harus berkompromi dengan jadwal kuliah. Dan lagi-lagi hal yang sama terulang, weekend kerap banyak kuhabiskan dengan aktivitas nyuci-nyetrika-bersih-bersih; tugas yang sering terbengkalai karena padatnya jadwal perkuliahan.

Namun kali ini ada yang beda. Weekend pertama di bulan Oktober ini benar-benar bikin hepi..Sabtu-Ahad aku aktif di jalan alias jalan-jalan dan tidak mendekam di kos, seperti yang biasa kulakukan. Pas hari Sabtu, aku ikutan temenku (namnya Unyil) dan mbak-mbaknya untuk attending international seminat at Muhammadiyah university of Yogyakarta. Hohohohoo..Maksude untuk ikutan seminar internasional di UMY. Cerita berawal ketika pas hari Kamis, di siang yang terik, aku lagi kebagian shift untuk jemput Unyil di rumahnya, sebab jam setengah 1 pas itu kami berdua ada kuliah. Setelah menghubungi dosen yang bersagkutan dan beliau bilang tengah berada di Jakarta, kami berdua pun kegirangan dan menghabiskan spare time itu dengan rujak party; bertiga ma mba’e Unyi, mba Intan. Dari forum itu, Unyil ngajak aku untuk ikutan acara yang akan digelar hari Sabtu itu. Aku belum berani mengiyakan, cuma emang pas denger kata ‘internasional’, aku sudah tertarik.

Mengapa begitu? Alasan yang paling utama dan terdepan adalah karena aku belum pernah mengikuti seminar internasional. Jadi, penasaran ajah kayak apa format acarane. Samakah dengan seminar-seminar yang biasa aku ikuti di teat perpus? Atau ada yang berbeda? Kalo ada, terus bedanya apa? Hmmmmm….Trus, ini lagiiiii…alasan pragmatis. Dapet sertifikat. Beeeeeh..Akan sangat ok tu, namaku terpampang di sertifikat seminar internasional. Event pertama pulaaaaaaaa…Transport gratis pula…Hehehehehe…

Ok, berangkat dari beberapa alasan itu dan keadaan yang tengah berbaik hati padaku, siang yang cerah itu, Unyil datang menjemputku ke kos setelah aku makan dan mandi seadanya. Hehehehe. Sempat keburu-buru juga, tapi ternyata sampae tempate Unyil, aku masih bisa berleha-leha melewatkan waktu dengan bersantai. Mba’e Unyil yang pertama, Mb Dhian, pas itu lagi sibuk ngubungi beberapa nomor di hapenya untuk menangani masalah akomodasi alias penjemputan bernama kendaraan taksi. Namun, hambatan pertama hari itu, tak ada taksi yang bisa menjemput penumpang di daerah Banguntapan barat (daerah rumane Unyil) dalam waktu tidak lebih dari 1 X 30 menit. Pas itu uda jam setengah sepuluan, dan acara mau dimulai jam sepuluh. Aku bisa baca pas itu Mba Dhian cukup panik, biasalah dikejar waktu. Tapi akhirnya dia tersenyum dan segera mengistruksikan aku, unyil, dan bk intan untuk segera bersiap berangkat. TAPI PAKE MOTOR, MASIH BUKAN TAKSI…

Seperti biasa aku bonceng Unyil. Di perjalanan itulah aku baru faham mengapa kami berempat masih terlebih dahulu harus make motor, mau ke mana kami, dan hal-hal lain yang lima menit sebelumnya masih membingungkanku. Namun sayangnya, tak sempat aku berpikir banyak hal dan menikmati jalan di Sabtu yang indah itu, hujan datang ga pake permisi ga paket peluit petir, SAMA SEKALI. Langsung deras mengguyur. Mau ndak mau kami berempat dan beberapa pengguna sepeda motor masih harus berteduh di pinggir jalan. Ada yang mau mengenakan jas hujan terlebih dahulu dan kemudian melanjutkan perjalanan atau sekadar menunggu hujan reda karena emang ga bawa jas hujan. Sayangnya, aku tak bawa jas hujan. Jadiiiii,,,di tengah kesialan itu, aku masih berlindung pada aji kemujuran minimalis. Mengenakan setelah celanan jas ujan unyil yang berwarna kuning ngejreeeeeeeeeng dan difitkan dengan dua lenganku. Minimal, tak basah terlalu komplit laaaaaaaaaahhh..Mb dhian dan mb Intan juga tidak jauh berbeda. Mereka berdua hanya menggunakan satu jas ujan yang dibuat berdua…Kami berangkat kembali…

Di jalan, ujan masih turun dikit-dikit meski tak sederas pas pertama tadi. Tapi ya tetep ajah, kami semua basah kuyup. But show must go on, kaidah ini terutama berlaku pada bk Dhian yang jadi sahibul bait acara yang akan kami hadiri itu. Proctive belt-nya adalah…KAMI HARUS MENGGANTI KOSTUM YANG UDA BASAH DENGAN KOSTUM YANG MASIH KERING. Andai aja aku ga bareng sama mereka, aku pasti ga akan susah-susah ganti kostum. Toh ntar juga nae mobil dan akan digaringkan oleh waktu dan angin. Tapi keadaannya berbeda. Karena pas itu aku berada dalam sebuah rombongan yang semua anggotanya pada mau ganti kostum, akhirnya aku manut juga. Tapi, kostumnya siapa????

Aku juga ga habis pikir dan ga pernah bisa membayangkan, kalo aku akan meminjam pakaian orang yang bener-bener fresh know alias BARU PERTAMA KENAL, dalam keadaan yang super duper darurat lagi. Tapi memang, kenyataan tidak bisa disimetriskan dengan bayangkan. Setingnya di tempat kose Unyil yang dulu, yang juga bersebelahan dengan kediaman si nara sumber seminat. Dan saat itu, aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi dan bersungkan-sungkan. Mantan kosmate Unyil yang juga akan ikut di acara itu dengan sigap dan tanpa ragu mengeluarkan seperangkat pakaiannya dari dalam lemari bajunya dan menyuruh kami berempat untuk segera memilih kostum baru. Bener-bener tak da waktu untuk berbasa-basi. Wis tumpek blek, semuanya pada ganti pakaian, dandan, pake jilbab, dan akhirnyaa…semua beres. Tinggal berangkat. Taksi yang sedari tadi menunggu di luar pager juga mungkin uda kesemutan nungguin kami kelamaan, bahkan sebelum aku dkk dateng. Aku bahkan tak sempat bercermin dan menertawai diri sendiri, betapa oonnya aku saat itu, dengan kostum itu, dengan kelelahan itu, dan dengan semua yang berujung pada tajuk, HARI YANG ANEH.

Wis, lunga. Di depan, si sopir bersanding dengan si narasumber mantan tetangga kose Unyil yang bernama M.A.B.E.L , bule asal Amerika Latin. Aku merasa sulit untuk mengingat nama bule ini. MABEL, MABEL, entah tulisannya bener apa ngga. Yang jelas, aku menggunakan kata FABEL (cerita binatang) untuk mengingat nama bule ini. Fabel lebih akrab di telingaku, sehingga kemungkinan besar aku akan lebih mudah mengingat nama ni bule dengan wasilah fabel. Tapi dasar akunya yang lola, di akhir acara seminar, saat aku kembali mengingat-ingat nama bule ini, yang keluar dari otak dan mulutku malah BAWEL. Hahahaha. Bk Intan cekikian sambil memberitauku nama si bule yang bener. MABEL, bukan BAWEL. Abis ampir sama seiiiiiiiii…(Nyambung lagi ke yang di atas), dan di belakang, tumpek blek, aku, unyil, mb ient, mb dhie, dan si mantan kosmate unyil yang ternyata bernama mb ncet.

Dan di acara, semua berlangsung seperti biasa. Meski sempat berkecil hati karena ga dapat gud seat (baca: ga kebagian kursi karena terlambat), akhirnyaaaaaaaaa…I got a good seat. Yauda, dengerin ajah..sambil sesekali ketawa dan mengerutkan alis. Jadi tema seminar pagi itu adalah perbandingan kultur Mesir dan Columbia. Abis presentasi, forum langsung ditutup tanpa ada sesi dialog. Mungkin formatnya memang begitu, atauuuuu..karena diburu waktu. Entahlah, yang jelas dan pasti kebenarannya, aku dapat privelege tiket free dengan hanya menggunakan password, “adknya mb Dhian”. Hohohoho..So swiiiiiiiiiiiiit…Tak perlu identifikasi sidik jari. Cukup dengan kalimat singkat yang bertuah..

Ya, itulah cerita singkat tentang seminar internasional pertama yang aku ikuti, plus juga tentang kunjungan pertama ke UMY. Hehehehe. Jane aku sering muter2 di wilayah Gamping ne, tapi baru ini ada takdir untuk masuk ke PT yang—kata Mada—adalah PT dengan biaya termahal se-Jogja. Wallahu a’lam laaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh…Kesannya gado-gado lah, tapi aku banyak mendapatkan pengalaman dan input baru laaahh..meski tak harus aku tulis di sini. Dari dua pembicara, aku lebih ngeh terhadap pembicara pertama, karena dia adalah native Mesir yang bukan Englishmen asli. Dalam arti, bahasa Inggrisnya masih amat banget bisa dimenegerti. Cukup berbeda dengan si Mabel yang logat Spanyolnya masih amat banget kental. Aku berulang kali cekikian saat mendengar Mabel mengucapakan A LOT [Inggris, banyak] (dengan bacaan Indonesia, sehingga kedengeren seperti dia bilang alot). Waaaaaaahhh..aku malah uda lupa ma nama si pembicara pertama. Intine dia tu orang Mesir yang idungnya mancung plus merasa sangat bangga sekali karena bisa berbahasa Jawa kromo injil. Hohohoho, seperti itu pula juga mungkin, rasanya, saat aku bisa ngomong ma bule dengan bahasa mereka. Hehehehe. Tapi yaaaaa…gradasinya beda. English khan international languange, kalo Pall Mall, another international languangeeeeee…Eh, jaka sembuuuuuuunggg

Dari kejadian ganti kostum dadakan yang serba spontanitas itu, aku belajar satu hal. Bahwa dalam keadaan apapun dan situasi bagaimanapun, satu-satunya hal yang bisa menjadi senjata manusia adalah KEBESARAN HATI; kebesaran hati untuk berkompromi dengan keadan yang tidak diinginkan, untuk menerima hal yang tidak diharapkan, untuk mencoba suatu hal yang belum sama sekali terpikirkan, dan untuk menghadapi jalan di depan, seberapapun sulit dan menyeramkannya. Hehehe. Sok iyes.

Buat Mb Dhie, Mb Ient, Unyil, Mb Ncet, Mabel, Supir taksi (Pak Rudi), dan semua kejadian plus pelajaran hari itu, thanks a lot…

Selasa, 12 Oktober 2010

Eksplorasi Singkat Lima Term Kunci Al-Qur’an (Haq, Hisab, Hayat, Hubb, Huda)

a. Pengantar Wacana
Selain berposisi sebagai kitab nomor satu yang memberikan tuntunan mengenai life-style ideal seorang muslim, Al-Qur’an juga memiliki sisi ensiklopedis. Hal demikian misalnya terlihat dalam sikap atau posisi Al-Qur’an terhadap sebuah persoalan tertentu. Tersusunnya mushaf Utsmani berdasarkan surat dan ayat secara tauqifi—menurut sementara jumhur ulama’—tidak kemudian menghilangkan sisi ensiklopedis ini. Hingga hari ini, telah banyak karya beberapa cendekiawan pemerhati Al-Qur’an yang menyusun ‘wajah baru’ Al-Qur’an yang menonjolkan sisi ensiklopedis.

Karya-karya tersebut patut mendapat apresiasi yang cukup tinggi. Sebab, selain dapat lebih membumikan Al-Qur’an bagi muslimin secara luas, ‘wajah baru’ Al-Qur’an dalam kemasan ensiklopedis juga memiliki semangat fungsional untuk memudahkan pengamalan Al-Qur’an dalam hidup keseharian. Dengan berbekal sebuah karya ensiklopedis, muslimin juga akan lebih mudah mengetahui pandangan atau posisi Al-Qur’an mengenai sebuah persoalan. Pengetahuan ini kemudian tidak hanya memudahkan pengamalan Al-Qur’an, namun juga menuntun lahirnya tradisi berpikir yang tidak miopis terhadap Al-Qur’an.

Sebagai contoh, jika dalam persoalan khamr,landasan Al-Qur’an yang dipakai adalah ayat pertama dalam tahapan proses pengharaman khamr (dengan mengatakan bahwa khamr memiliki dualisme manfaat dan mafsadat) tanpa juga melihat ayat pembanding (yang mengharamkan khamr, ayat yang menjadi ayat pamungkas dalam pengharaman khamr), maka pemahaman yang dimiliki akan menjadi parsial dan berat sebelah. Sebab itulah, sisi ensiklopedis Al-Qur’an sudah jauh-jauh hari menarik perhatian para cendekiawan pemerhati Al-Qur’an. Dalam beberapa hal, penulis melihat adanya manifestasi aspek ensiklopedis Al-Qur’an dalam tafsir-tafsir tematik yang banyak bermunculan.

Di samping membahas persoalan-persoalan tertentu dalam Al-Qur’an, semisal masalah riba, masalah ibadah, dan lain sebagainya, tafsir tematik yang banyak ditekuni adalah kajian yang menitikberatkan pada term-term kunci dalam Al-Qur’an. Kajian ini menjadi cukup menarik sebab bertalian dengan beberapa hal, semisal kajian semantika lafadz dalam Al-Qur’an, asbabun nuzul, konteks yang terkandung dalam sebuah ayat, dan lain sebagainya. Kajian term ini pada akhirnya juga akan memunculkan sebuah kesimpulan mengenai bagaimana sikap Al-Qur’an terhadap sebuah persoalan, ragam pemakaian sebuah lafadz, evolusi makna, dan lain sebagainya.

Haqq, hayat, hisab, hubb, dan huda merupakan lima lafadz yang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an di tempat dan dalam konteks yang berbeda-beda. Lima lafadz tersebut banyak muncul dalam bentuk (sighat) yang berbeda. Adakalanya muncul dalam bentuk mashdar, fiil madhi, fiil mudhari, isim fail, dan lain sebagainya. Adanya berbagai macam derivasi makna dengan berbedanya sighat ini, sejauh pengamatan penulis tidak memberikan perbedaan makna yang cukup signifikan. Dalam artian, mengkaji sebuah kata kunci dalam Al-Qur’an dengan hanya menitikberatkan pembahasan pada sebuah sighat sudah cukup untuk memiliki pemahaman yang representatif. Selain alasan efektivitas, titik tekan pembahasan pada sebuah sighat saja juga akan menyempitkan kajian dan mempermudah proses pemahaman.

b. Eksplorasi Tema
o Haqq
Haqq,dalam Lisanul Arab diartikan sebagai antonim dari lafadz bathil. Arti lafadz haqq sendiri, secara umum adalah kebenaran. Makna ini akan sangat mungkin berbeda dengan menyesuaikan pada konteks pewahyuan atau siyahul kalam. Dalam sebuah kalimat tertentu, kata ini bisa diartikan kebenaran yang senyatanya (misalnya jika langsung disandingkan dengan kata bathil). Akan tetapi dalam konteks lain, kata ini bisa diartikan lebih luas lagi, yakni dengan Allah, wahyu Allah kepada Nabi, keberadaan Nabi, ataupun mengarah langsung pada kitab suci Al-Qur’an.

Karena beberapa hal yang masuk dalam katagori kebenaran—didominasi oleh berita kenabian dan perintah ketuhanan—maka kata ini cukup banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Terlebih, kata ini juga tercantum dalam bentuk (sighat) yang bermacam-macam. Namun begitu, sebuah catatan menyebutkan bahwa pelabelan Al-Qur’an sebagai al-haq tercantum sebanyak 61 ayat yang tersebar dalam bagian-bagian Al-Qur’an.

Di antara beberapa ayat yang memuat kata haq ini, terdapat perbedaan-perbedaan makna yang sebenarnya masih mengarah pada sisi ‘kebenaran’ sesuatu, hanya saja menunjukkan sesuatu yang lebih spesifik. Beberapa klasifikasi besar tersebut adalah sebagai berikut:

o Haq yang berarti Al-Qur’an atau berita kebenaran yang diberikan Tuhan pada manusia melalui nabi

قل يا أيها الناس قد جاءكم الحق من ربكم فمن اهتدى فإنما يهتدي لنفسه ومن ضل فإنما يضل عليها وما أنا عليكم بوكيل

Artinya: Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu".(QS Yunus 108)

يا أيها الناس قد جاءكم الرسول بالحق من ربكم فآمنوا خيرا لكم وإن تكفروا فإن لله ما في السماوات والأرض وكان الله عليما حكيما

Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(An-Nisa 170)

Ragam makna pertama ini cukup mendominasi ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat kata haq. Untuk menentukan referen apakah yang ditunjukkan oleh kata haq di antara beberapa referen yang dimungkinkan (semisal dalam bentuk berita kebenaran, kitab suci, atau bahkan nabi), maka seorang pembaca Al-Qur’an bisa dengan mudah menentukannya dengan melihat siyahul kalam dalam ayat yang bersangkutan ataupun ayat sebelum dan sesudahnya. Pelabelan haq¬ -terhadap beberapa hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengokohkan kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Hal demikian tentu akan sangat berpengaruh mengingat kitab suci, berita kenabian, atau bahkan keberadaan nabi sendiri kerap tidak dipercayai oleh sebuah umat.

o Kebenaran dalam arti yang sebenarnya (tidak menyalahi yang seharusnya)

ونادى نوح ربه فقال رب إن ابني من أهلي وإن وعدك الحق وأنت أحكم الحاكمين

Artinya: Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya."(Hud, 45)

Ragam makna yang kedua ini didominasi oleh ayat yang menunjukkan kebenaran sebuah janji. Kebenaran sebuah janji tidak hanya bisa dilihat dari momen ketika janji tersebut telah terlunasi, akan tetapi juga bisa diindikasikan dengan siapa yang membuat pernjanjian. Dalam hal ini, Tuhan lah yang membuat perjanjian, sehingga semua janji yang diberikan Tuhan memang benar adanya.

o Haq yang berarti Allah

ذلك بأن الله هو الحق وأن ما يدعون من دونه هو الباطل وأن الله هو العلي الكبير

Artinya: (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.(Al Hajj 62)

Beberapa ragam makna haq sebelumnya menunjukkan referen pada kebenaran-kebenaran yang bersumber dari Allah. Dalam ayat lain, tercantum bahwa kata haq juga digunakan untuk menunjukkan referen sumber segala ‘haq’ tersebut, yakni Sang Maha Benar, Allah swt. Tentu saja, ragam makna yang cukup banyak menuntut pembaca Al-Qur’an untuk teliti dan jeli dalam menentukan referen apa yang berada di balik makna al-haq

o Haq yang berarti hak yang harus dipenuhi

وآت ذا القربى حقه والمسكين وابن السبيل ولا تبذر تبذيرا

Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.(Al-Isra’ 26)

Ragam makna lain yang menjadi pilihan makna dari lafadz al haq adalah hak berupa benda material yang menjadi hak kelompok tertentu. Hak merupakan sesuatu hal yang harus ditunaikan pada mustahiq (yang memiliki hak), yang dalam hal ini diwakili oleh kerabat dekat, orang miskin dan para musafir yang memiliki hak untuk mendapat zakat/shadaqah dari orang yang berkecukupan.

o Prosedur atau cara yang tepat

ذلكم بما كنتم تفرحون في الأرض بغير الحق وبما كنتم تمرحون

Artinya: Yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan)(QS Al Mukmin, 75)

Ayat ini secara khusus membicarakan kaum yang mendustakan Al-kitab sehingga mereka salah memiliih jalan dan pada akhirnya mereka melakukan hal-hal dengan cara yang salah, yakni bersenang-senang dengan cara yang tidak tepat, sebab mereka bersuka ria dalam hal kema’siatan. Penekanan kata ghair al-haq menekankan bahwa bersenang-senang di dunia bukanlah merupakan suatu hal yang seratus persen salah. Hanya saja, ada rambu-rambu yang harus dipatuhi agar bersenang-senang dapat diarahkan ke pada hal-hal yang positif dan dengan cara yang tepat.
.
o Hal yang tidak sia-sia (penuh arti)

أولم يتفكروا في أنفسهم ما خلق الله السماوات والأرض وما بينهما إلا بالحق وأجل مسمى وإن كثيرا من الناس بلقاء ربهم لكافرون

Artinya: Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.(Ar-Rum 8)

Ragam makna haq dengan arti tidak adanya kesia-siaan dalam ayat ini akan semakin tampak jika dibandingkan dengan antonim kata haq, yakni bathil dalam ayat rabbana ma khalaqta hadza bathila yang berarti bahwa Allah tidak menciptakan semua yang ada di dunia ini tanpa alasan dan tanpa tujuan. Dengan demikian, jika bathil diartikan sia-sia (meaningless), maka dalam konteks tertentu—seperti dalam ayat ini—haq bisa diartikan sebagai sesuatu yang meaningfull.

o Menyatakan taukid atau prosedur yang tepat.

وما قدروا الله حق قدره والأرض جميعا قبضته يوم القيامة والسماوات مطويات بيمينه سبحانه وتعالى عما يشركون

Artinya: Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.(Az Zumar 67)

Ragam makna haq dalam ayat ini serupa dengan makna haq dalam ayat ittaqi Allah haqqa tuqatihi. Kedua ayat ini sama-sama menyajikan lafadz haq dengan dimudhafkan pada isim sesudahnya yang ingin ditekankan. Penyajian kata haq dalam bentuk yang demikian menunjukkan optimalisasi dari hal yang ingin ditekankan. Optimalisasi juga berarti upaya maksimalisasi yang semestinya dan tepat sasaran terhadap hal yang menjadi tekanan setelah kata haq, yakni pengagungan dan ketaatan.

o Hayat
Hayat merupakan mashdar yang bermakna kehidupan. Ibnu Mandzur mengartikan kata sebagai lawan dari kematian. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, kata ini sebagian besar disandingkan dengan kata dunya (menjadi hayat ad-dunya) dan disandingkan dengan lawan katanya, yakni kata maut dengan menggunakan konjungsi dan. Secara umum, penulis melihat bahwa makna hayat dalam beberapa ayat Al-Qur’an lebih banyak menunjuk kepada kehidupan material dalam artian hidup secara jasmaniah, misalnya terkait dengan kehidupan mahluk hidup, siklus kehidupan, dan lain sebagainya. Meski begitu, dalam beberapa ayat yang jumlahnya lebih sedikit, hayat dalam Al-Qur’an dimaksudkan untuk menunjukkan makna hidup secara batiniah.

Sebuah sumber mengatakan bahwa kata hayat di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak seratus tujuh puluh tujuh kali. Akan tetapi setelah melakukan kroscek kecil, penulis mendapatkan bahwa jumlah sertatus tujuh puluh tujuh puluh kali tersebut mencakup keseluruhan sighat dari hayat, tidak hanya isim mashdar-nya saja. Sumber lain menyebutkan bahwa kata hayat mengalami perulangan sebanyak 145 kali, jumlah yang seimbang dengan penyebutan lawan katanya, yakni kata maut. Perbedaan bilangan ini, dalam pandangan penulis bukan merupakan suatu perbedaan yang signifikan, sebab perbedaan bilangan umumnya disebabkan oleh perbedaan batasan sighat.

Adapun klasifikasi ragam makna hayat yang termuat dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut.

o Hayat dalam arti kehidupan (umumnya diidentikkan dan disandangkan dengan kata dunia, sehingga menjadi kehidupan dunia). Arti yang demikian misalnya dapat dilihat dalam ayat berikut;

إنما الحياة الدنيا لعب ولهو وإن تؤمنوا وتتقوا يؤتكم أجوركم ولا يسألكم أموالكم
Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.(QS Muhammad 36)

Adanya beberapa ayat Al-Qur’an yang dalam jumlah besar selalu menyandingkan kata kehidupan dengan dunia secara umum menekankan perbedaan antar kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Ada kalanya, perbedaan maupun perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan di akhirat disebutkan secara langsung dan lugas dalam sebuah ayat dengan langsung menyertakan lafadz kehidupan akhirat. Akan tetapi dalam beberapa ayat lain, perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat hanya dijelaskan secara tersirat. Seperti dalam QS Muhammad 36 yang mengatakan bahwa kehidupan dunia hanyalah fatamorgana, maka penulis melihat bahwa ada semangat untuk menunjukkan bahwa kehidupan akhiratlah yang merupakan kehidupan nyata.

o Kata kehidupan yang memiliki referen kehidupan ahirat.

يقول يا ليتني قدمت لحياتي

Artinya: Dia mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shaleh) untuk hidupku (di akhirat) ini."(QS Al Fajr 24)

Dalam ayat-ayat ini, tidak dijelaskan secara gamblang bahwa kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan akhirat. Akan tetapi, konteks dan makna ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah kehidupan dunia, melainkan kehidupan akhirat. Satu sampel ayat ini setidaknya sudah menunjukkan bahwa fase kehidupan manusia di akhirat juga “disamakan—secara bahasa—“dengan fase kehidupan manusia di dunia.

o Hayat dalam arti tumbuh dan berkembangnya kehidupan bagi bagi (tumbuh-tumbuhan). Salah satu ayat yang menyiratkan arti pertumbuhan dan perkembangan bagi bumi (tumbuh-tumbuhan) ini adalah:

ومن آياته يريكم البرق خوفا وطمعا وينزل من السماء ماء فيحيي به الأرض بعد موتها إن في ذلك لآيات لقوم يعقلون

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.

Makna menghidupkan bumi (tumbuh-tumbuhan) yang berasal dari sighat lain kata hayat seperti yang tercantum dalam ayat ini menunjukkan bahwa anugerah berupa kehidupan tidak hanya terbatas pada lingkup nyawa (manusia), akan tetapi juga mencakup makna yang lebih luas, sepeti menghidupkan bumi yang juga berati menghidupkan mahluk hidup selain manusia.

o Hayat dalam arti menghidupan sesuatu yang mati. Makna yang demikian biasanya berkait erat dengan fase hidup manusia yang mengalami dua kali kematian dan dua kali kehidupan. Aktivitas menghidupkan atau memberikan nyawa dalam ayat-ayat ini biasanya menyiratkan peristiwa ketika Allah memberikan nyawa pada manusia di saat manusia terlahir ke dunia maupun di saat manusia akan kembali hidup dan memasuki kehidupan akhirat setelah mengalami mati yang kedua.

Adapun salah satu contoh ayat yang mengemukakan hal tersebut adalah;
كيف تكفرون بالله وكنتم أمواتا فأحياكم ثم يميتكم ثم يحييكم ثم إليه ترجعون

Artinya: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?(Al Baqarah,28)

o Makna hayat dalam arti filosofis, sepeerti fungsi atau hakikat kehidupan. Adapun makna filosofis tersebut tercantum dalam ayat berikut;

ولكم في القصاص حياة يا أولي الألباب لعلكم تتقون

Artinya: Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.(QS Al Baqarah 179)

Berbeda dari makna-makna sebelumnya yang relatif bisa difahami dengan pembacaan tersurat, makna filosofis yang terkandung di balik kata hayat (semisal dalam ayat ini) tidak bisa diterka tanpa terlebih dahulu melakukan eksplorasi terhadap ayat dan konteks ayat yang bersangkutan. Ibnu Mandzur misalnya, mengartikan lafadz hayat dalam ayat ini sebagai manfaat yang merupakan esensi dari kehidupan. Dengan demikian, makna yang terakhir ini memberikan nuansa lain di antara makna-makna yang dimiliki oleh lafadz hayat.

o Makna kehidupan batiniah

ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون

Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.(Ali Imran 169)

Di antara ragam makna lain, ragam makna terakhir inilah yang menunjukkan referen bahwa ‘hidup’ yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an tidak hanya berdimensi kehidupan material dan kehidupan jasmani. Ayat ini menunjukkan bahwa poros ‘kehidupan’ manusia tidak berarti stagnan ketika nyawa seseorang telah dicabut oleh Allah. Ragam makna yang ditunjukkan dalam ayat ini agaknya sepadan dengan peribahasa biar hancur badan di tanah, budi baik dikenang jua.

o Hisab
Secara etimologis, kata hisab berarti perhitungan atau perkiraan. Di antara lafadz-lafadz yang lain, kata hisab memiliki cukup banyak derivasi makna dalam bentuk (sighat) yang bermacam-macam, semisal hasiibaan, hasbu, haasibaan, husbanan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam arti makna yang kontekstual dengan beberapa ayat yang memuat kata ini, kata hisab umumnya direferenkan pada perhitungan amal di akhirat, perhitungan rizki manusia di dunia, prediksi atau perkiraan manusia mengenai rizki yang akan didapatkannya, dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara umum, kata hisab yang merupakan mashdar dari hasiba-yahsabu memiliki arti menghitung, menduga, dan memprediksikan.

Adapun klasifikasi yang lebih rigid mengenai arti lafadz ini adalah sebagai berikut:

o Perhitungan tanggal yang berkaitan dengan penetapan awal maupun akhir bulan, seperti dalam ayat:

هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون

Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.(QS Yunus 5)

Ragam makna yang pertama ini erat kaitannya dengan ilmu astrologi yang biasanya banyak menggunakan kata ‘hisab’ sebagai instrumen untuk menentukan awal maupun akhir bulan. Dengan demikian, hisab dalam ragam makna yang pertama dalam ayat ini lebih berarti hisab dalam dunia manusia yang ada hubungannya dengan disiplin ilmu astrologi.

o Prediksi atau dugaan manusia, utamanya dalam hal-hal yang berkenaan dengan urusan keduniaan.

تولج الليل في النهار وتولج النهار في الليل وتخرج الحي من الميت وتخرج الميت من الحي وترزق من تشاء بغير حساب

Artinya: Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas, perkiraan)."(QS. Ali Imran 27)

أم حسبت أن أصحاب الكهف والرقيم كانوا من آياتنا عجبا

Artinya: Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?(Al-Kahfi 9)

Dua ayat ini menyajikan kata h-s-b dalam dua sighat yang berbeda, yakni dalam bentuk isim mashdar dan fiil madhi. Namun begitu, dua ayat ini sama-sama menunjukkan bahwa kata h-s-b dalam Al-Qur’an salah satunya juga digunakan untuk menggambarkan daya pikir dan daya prediksi manusia dalam membaca fenomena keseharian. Dalam ayat pertama, kata h-s-b digunakan untuk menunjukkan prediksi estimatis manusia mengenai masalah rizki. Sedangkan ayat kedua menggambarkan penggunaan kata h-s-b dalam hal melihat fenomena mengenai suatu hal yang lebih besar dan lebih kompleks. Dengan demikian, dua ayat ini setidaknya menunjukkan bahwa h-s-b¬ juga digunakan untuk menggambarkan (keterbatasan) daya nalar manusia.

o Perhitungan amal perbuatan manusia di akhirat atau menonjolkan bahwa Tuhanlah yang akan meminta pertanggungjawaban atas semua perbuatan manusia.

وقالوا ربنا عجل لنا قطنا قبل يوم الحساب

Artinya: Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, cepatkanlah untuk kami adzab yang diperuntukkan bagi kami sebelum hari berhisab"(Shaad, 16)

والذين يصلون ما أمر الله به أن يوصل ويخشون ربهم ويخافون سوء الحساب

Artinya: Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.(Ar-Ra’d, 21)

إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب

Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.(Ali Imran, 19)

Jika ragam makna sebelumnya masih bernuansa perhitungan mengenai hal-hal yang bersifat duniwi, maka ragam makna yang satu ini membidik hal-hal yang bernuansa eskatologis. Perhitungan (hisab) dalam ayat ini menunjukkan setting dan gambaran keadaan perhitungan seluruh amal manusia selama di dunia yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada hari akhirat. Tiga ayat ini juga mengukuhkan keberadaan Tuhan sebagai satu-satunya dzat yang mengetahui segala laku tindak perbuatan manusia sekaligus dzat yang akan meminta manusia mempertanggungjawabkan seluruh amalnya.

o Pertanggungjawaban
هذا عطاؤنا فامنن أو أمسك بغير حساب

Artinya: Inilah anugerah Kami, maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab (QS. Shad, 39)
Ayat ini menceritakan kisah Nabi Sulaiman yang ‘bangkit’ setelah mendapat cobaan dan terguran dari Allah berupa kesenangannya yang teramat sangat pada binatang kuda. Setelah kejadian tersebut, Nabi Sulaiman memohon agar kerajaannya yang sebelumnya runtuh untuk kembali dibangkitkan. Permintaan itu pun dikabulkan oleh Allah dan digambarkan dalam ayat ini.

o Hubb
Hubb yang berasal dari fiil (kata kerja) habba yuhibbu bisa diartikan al wadaad dan al mahabba yang memiliki perbedaan makna dengan habbatin dan hibbun. Ibnu Mandzur mengatakan bahwa lawan kata dari hubb (cinta) adalah bughdh (kebencian). Di dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa derivasi sighat dari hubb ini, baik dalam bentuk fill (mujarrad dan mazid). Dalam penggunaannya, fill dari hubb ini kerap digunakan untuk menunjukkan kecintaan Allah pada manusia yang beriman serta ketidaksukaan Allah pada hambanya yang fasik, cinta antara sesama manusia, ataupun cinta manusia terhadap benda mati (semisal harta).

Dalam Al-Qur’an, derivasi makna dari kata hubb juga banyak ditemukan, semisal dalam bentuk mahabbah, yuhibbu, yastahibbu, dan lain sebagainya. Selain itu, kata h-b banyak ditemukan, akan tetapi tidak semuanya bermakna rasa cinta sebagaimana arti dari hubb. Dalam kata habbatin misalnya, yang juga banyak terdapat dalam Al-Qur’an tidak lagi bermakna cinta dan kasih sayang, akan tetapi bermakna tumbuhan yang biasanya dihubungkan dengan tetumbuhan.

Secara global, berikut ragam makna hubb yang tercantum dalam berbagai ayat-ayat Al-Qur’an.

o Kecintaan Allah kepada hambanya maupun ketidaksukaan Allah

وكأين من نبي قاتل معه ربيون كثير فما وهنوا لما أصابهم في سبيل الله وما ضعفوا وما
استكانوا والله يحب الصابرين

Artinya: Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.(Ali Imran 46)
ليجزي الذين آمنوا وعملوا الصالحات من فضله إنه لا يحب الكافرين

Artinya: agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang ingkar.(QS. Ar Rum 45)

Dua ayat ini menunjukkan bahwa kata hubb digunakan untuk menunjukkan kecintaan dan ketidaksukkan Allah terhadap hamba-hambanya yang memiliki kecenderungan berbeda-beda.

o Kecintaan manusia pada hal-hal duniawi

وتحبون المال حبا جما

Artinya: Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.(QS. Al Fajr 20)

زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام والحرث ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن المآب

Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(Ali Imran 14)

Selain digunakan untuk subjek Allah, kata hubb dalam sighatnya yang berbeda-beda juga digunakan untuk menunjukkan rasa cinta/suka.kecondongan yang dimiliki manusia. Sebagian ayat yang menunjukkan rasa cinta yang dimiliki manusia biasanya diarahkan pada hal-hal atau objek duniawi.

o Merasa senang, menginginkan, mengharapkan

ولا يأتل أولوا الفضل منكم والسعة أن يؤتوا أولي القربى والمساكين والمهاجرين في سبيل الله وليعفوا وليصفحوا ألا تحبون أن يغفر الله لكم والله غفور رحيم

Artinya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An-Nur 22)

لا تحسبن الذين يفرحون بما أتوا ويحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب ولهم عذاب أليم

Artinya:Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.(QS. Ali Imran 188)

Ayat pertama menggambarkan adanya rasa pengharapan ataupun rasa senang jika sesuatu yang diinginkan benar-benar terjadi, dalam hal ampunan dari Allah. Dengan demikian, kata yuhibbu tidak hanya bisa diartikan senang atau menyukai, akan tetapi juga bisa diperluas dengan arti akan merasa senang yang secara otomatis juga berarti pengharapan. Sedangkan ayat kedua dalam ragam makna ini menunjukkan kesenangan yang sudah menjadi kebiasaan, terlepas dari kesenangan tersebut berkonotasi positif atau negatif.

o Mencintai dalam arti komparatif (menunjukkan lebih, sebagai pilihan dan prirotas)

ذلك بأنهم استحبوا الحياة الدنيا على الآخرة وأن الله لا يهدي القوم الكافرين

Artinya: Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.(An-Nahl 107)

Dalam sighat-sighat dan bab-bab tertentu, derivasi makna dari kata hubb juga digunakan untuk menunjukkan adanya gradasi atau prioritas dalam memberikan pengabdian (baca:rasa cinta). Dalam contoh ini misalnya, digambarkan bahwa kecondongan atau rasa cinta terhadap dunia menempati prioritas pertama dan mengalahkan kecondongan terhadap kehidupan akhirat.

o Huda
Huda secara bahasa diartikan sebagai aktivitas mengeluarkan sesuatu dari sebuah keadaan. Aktivitas ini lebih berkonotasi positif dan mengarah pada hal-hal yang menunjukkan perbaikan. Antonim dari kata ini adalah al-dhalal (kesesatan). Dengan demikian, Ibnu Mundzar menyamakan lafad hudan dengan kata al-rasyad. Seperti halnya beberapa lafadz lain, penyebutan huda dalam sebagian besar ayat Al-Qur’an disandingkan dengan antonimnya, yakni lafadz al-dhalal.

Dalam catatan lain, disebutkan bahwa ada 47 ayat yang menyiratkan penamaan Al-Qur’an dengan huda.Catatan tersebut juga menyatakan bahwa dalam arti yang paling umum, huda bisa diartikan sebagai penjelas, pembeda, dan penolong. Selain itu, tidak jauh berbeda dengan lafadz haqq, referen yang dimaksudkan oleh lafad hudan bisa bermagam menurut konteks yang ingin disampaikan. Dalam satu ayat, hudan bisa diartikan dengan Al-Qur’an, petunjuk yang sebenarnya, petunjuk sebagai lawan dari kata kesesatan, dan lain sebagainya. Sebab itulah, beberapa makna lafadz hudan bisa diklasifikasi menjadi beberapa pembagian berikut ini.

o Al-Qur’an

قل من كان عدوا لجبريل فإنه نزله على قلبك بإذن الله مصدقا لما بين يديه وهدى وبشرى للمؤمنين

Artinya: Katakanlah: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.Al Baqarah 97

Salah satu nama Al-Qur’an yang dikenal luas adalah huda, selain al-tanzil dan al-kitab misalnya. Hal ini erat kaitannya dengan posisi fungsional Al-Qur’an sendiri sebagai petunjuk sekaligus kitab pamungkas yang memberikan sikap terhadap hukum-hukum yang disampaikan oleh para Nabi sebelum Muhammad. Sebab itulah, referen Al-Qur’an yang berada di balik kata hudan cukup mendominasi ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat kata tersebut. Dalam penyebutannya, hudan kerap disandingkan dengan nama-nama lain yang dimiliki Al-Qur’an, semisal pembawa berita baik dan pembawa peringatan.

o Disandingkan dengan kesesatan untuk menunjukkan bahwa huda dan dhalal adalah dua hal yang jelas bertentangan.

أولئك الذين اشتروا الضلالة بالهدى فما ربحت تجارتهم وما كانوا مهتدين

Artinya: Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.(QS. Al Baqarah 16)

Ayat ini menceritakan orang munafik yang bermuka dua dan menjadi musuh dalam selimut di tubuh umat Islam. Penyandingan hudan dengan dhalalah ini, selain menekankan adanya pertentangan, juga menunjukkan bahwa referen hudan dalam ayat ini adalah sesuatu yang sepintas terlihat sebagai hal yang merugikan, sebab bergabung bersama orang muslim akan mengancam kehidupan ekonomi orang munafik yang diceritakan di ayat ini.

Sebab itulah kemudian, mereka lebih memilih untuk bermuka dua yang meski terlihat sebagai hal yang membuat mereka berada dalam posisi aman, akan tetapi hanyalah sebuah fatamorgana. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah menukar kebahagiaan sesaat (yang sebenarnya berupa dhalalah) dengan hudan (yang dalam pandangan mereka akan menyengsarakan)

o Diartikan secara harfiah, yakni petunjuk dari kesesatan dan kegelapan

وأما ثمود فهديناهم فاستحبوا العمى على الهدى فأخذتهم صاعقة العذاب الهون بما كانوا يكسبون

Artinya: Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir adzab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.(QS. Fussilat, 17)

Meski ragam makna yang terakhir ini juga berarti petunjuk dari kegelapan dan kesesatan, seperti halnya ragam makna yang kedua, akan tetapi disajikan dalam bentuk analogi fisik untuk memudahkan pemahaman.
c. Penutup

Mengetahui makna lain dari term-term kunci dalam Al-Qur’an mengahadirkan ‘dunia’ baru di luar pemahaman yang selama ini dimiliki penulis. Hadirnya makna-makna dan referen lain di balik lafadz dalam Al-Qur’an semakin meneguhkan kesatuan isi Al-Qur’an yang satu sama lain saling menguatkan serta menjadi bekal untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Selain itu, beragamanya makna yang dimiliki oleh sebuah lafadz kurang lebih menunjukkan bahwa seorang penggiat Al-Qur’an tidak bisa terburu-buru memberi makna atau referen sebuah lafadz dala Al-Qur’an sebelum memerhatikan konteks sebuah ayat.

Ada banyak hal yang tidak terkover dalam eksplorasi-eksplorasi singkat yang disajikan dalam makalah ini. Selain keterbatasan bahan dan banyaknya materi kajian, hal demikian juga disebabkan oleh kelalaian penulis sendiri. Akan tetapi, beberapa eksplorasi yang sudah dipaparkan mengenai lima sampel kata kunci dalam Al-Qur’an yang tersaji di makalah ini cukup menjadi langkah awal untuk melakukan kajian maanil qur’an yang lebih sempurna dan lebih sistematis. Saran dan kritik untuk penulisan yang akan datang akan menjadi sumbangan yang konstruktif bagi penulis. Allah Knows Best

Rabu, 06 Oktober 2010

Semester 7 u (juh) a (What it looks like???)

Hmmmmmmm…Selama ne aku masih belum terlalu akrab dengan angka 7. Dalam dunia akademik, aku hanya pernah akrab dengan dunia angka dan mentog di angka 6. Kelas 6, ketika SD, MI, atau ketika di madrasah diniyah pondok. Kalopun seharusnya aku sudah akrab dengan kata-kata “kelas 7” saat duduk di kelas I Tsanawaiyah duluuuuuuuuuuu…Hal demikian tidaklah terjadi. Kelas satu Tsnawiyah ya, tetep ajah kelas I. Lingkunganku dulu—barangkali—terlambat mengenalkan aku dengan frase “kelas 7”. Namun kali ini, aku tak lagi ngomong tentang kelas, tapi semester. Bedane kelas ma semester apa ya? Yang pertama, kelas bisa tidak naik dan tinggal kelas karena sang siswa males belajar dan dak disiplin ato apalah sebabnya, sedangkan istilah tinggal semester tidak pernah ada dalam kamus akademik mahasiswa. Hehehehehe. Ini nech, yang bikin enak meski di satu sisi juga ga ngenakin.

Bedanya yang kedua, semester menggambarkan interval masa kuliah 6 bulan, sedangkan sebuah tingkatan kelas memiliki interval waktu 12 bulan, 1 tahun, atau dua kali semester. Selain perbedaan yang gamblang tersebut, yang jelas kelas diperuntukkan bagi siswa dari PAUD-SMA, sedangkan semester biasa dipake untuk mahasiswa. Ooopss, tapi kayaknya padanan yang paling pas dijadikan bahan perbandingan dengan kelas dalam terminologi anak sekolahan tu adalah “tahun ajaran” dech, dalam dunia mahasiswa. Tapi ya embuhlaaaaah…Nek taun pelajaran yang semuanya sama-sama punya. Intine, gradasi dalam dunia sekolah menggunakan “kelas”, sedangkan dalam dunia kampus uda berubah menjadi agak keren dikit, “semester”.

Oklah, sampai di sini ajah pembahasan tentang leksikal-semiotik ato apalah namanya. Sejak kemarin melakukan daftar ulang dan beberapa prosedur lainnya, akhirnya, aku benar-benar menjadi mahasiswa semester tujuh. Aku sendiri melihatnya dengan satu kesan besar; NAKUTIN dan PENUH KERJAAN, utamanya yang ada hubungannya dengan segala hal yang berbau skripsi, munaqasyah, dan lain sebagainya. Aku sendiri belum begitu bisa yakin dengan penuh bahwa aku sudah setua ini, uda duduk di semester tujuh. Uda punya tiga adik angkatan, 2008, 2009, dan yang terbaru adalah adik2 angkatan 2010. Miris rasanya saat di forum brainstorming Opak kemarin, aku harus menyebutkan bilangan semester atau tahun masukku. Bukan karena aku tidak Pede atau tidak siap dianggap sebagai mahasiswa tua, tapi lebih karena aku SANGAT WAS-WAS dan sama sekali tak yakin bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah selama ini aku dapatkan, selama menjadi mahasiswa tentunya.

Dalam hal ini, aku memang tidak memungkiri bahwa idealismeku terkadang berlebihan, utamanya dalam mematok standar maksimal dan minimal buat diriku sendiri. Aku kadang merasa terbunuh oleh idealisme dan standard itu. Cumaaaaa…Aku pikir, hal demikian tidak bisa seharusnya dihilangkan dari alam pikirku. Dalam kasus ini misalnya, minimal aku harus nunjukin apa bedanya anak semester tujuh dengan fasiliator 2008 atau panitia 2009. Banyak hal yang membuatku kurang bebas menjadi diri sendiri. Cuma di balik itu aku tau, menjadi diri sendiri memang suatu hal yang mutlak, tapi aku tidak boleh kemudian sepenuhnya melupakan beberapa idealisme dan standard itu. Yaaaaaaaa..Aku mencoba sebisa mungkin untuk bisa berdamai dengan keadaan. Hadohhh…terlalu rumit jika dijelaskan di sini.

Sebelum di Opak, aku belum sama sekali merasakan bangku kuliah di semester tujuh ini. Ada beberapa MK yang terpaksa harus aku bolongin karena miskomunikasi atau karena aku pas lagi di perjalanan dari Madura menuju Jogjakarta. Dan ketika masuk kelas, kelas pertama, kesempatan pertama, MK pertama, dan dosen pertama, aku bukan main merasakan betapa sudah sepuhnya diriku. Hal demikian muncul saat aku harus sekelas dengan adik angkatan. Sialnya lagi, di MK siang yang terik itu, dosenku meminta mahasiswa untuk menghafalkan definisi suatu hal dengan bahasa Arab dalam waktu yang sebentar banget. Aku ciut duluan, sebab aku sudah lama mengenal diriku dan gaya belajarku yang jauh banget ama si Ramalingam di 3 idiots. AKU TIDAK TERBIASA DAN TIDAK SUKA MENGHAFAL. Itu intinya. Dan sialnya lagi, dosen itu spontan menyebut namaku dan memintaku mengulang definisi itu. Hhhh…Sugestiku emang uda amat banget jelek jika harus berhubungan dengan apa yang namanya hafalan. Alhasil ketika aku sudah angkat bicara, dosen itu tersenyum-senyum, antara lucu, kasian, dan entah apalah namanya.

Pada hari-hari dan MK-MK selanjutnya, aku kembali pada kebiasaan lama ketika semester 5 untuk bersama-sama ke mana-mana dengan Unyil dan Ayu. Sebenarnya tidak se-ansich demikian, hanya saja kami bertiga terlanjur memiliki kesamaan nasib ketika semester 7; yakni mengambil MK yang tidak diambil sebagian besar temen sekelas. Jadi dech, kami harus kembali bertiga senasib seperjuangan ketika semester 7. Unyil dan Ayu adalah dua sahabar terbaikku di bangu kuliah. Senenglah bareng mereka. Meski banyak neko2, mereka baik dan bisa diandalkan. Ga rugi laaaaaaaaaahhh…Aku kenal mereka. Meski tidak sembilan puluh persen sama, aku merasa karakterku matching dengan dua orang ne. Hehehehe. (Semoga dua orang itu ga GR saat membaca tulisan ini. Bisa turun garansi nech aku)

Dan selanjutnya, ritual dengan adik angkatan (plus juga kakak angkatan) kembali terulang, bahkan mungkin dalam semua MK, sebab masih ada 2 MK yang belum sama sekali aku tau 5 W 1 Hnya. Dan pikiran untuk menjadi “lebih” dan bisa “ngayomi” itu tetep bercokol di kepalaku. Setidaknya, pikiran itulah yang ada di pikiranku ketika membincangkan sosok seorang “kakak”. Kakakku sendiri, dalam banyak hal, aku liat amat sangat jauh lebih baik dari aku. Sebab itulah dia punya sangat banyak cara jitu untuk ngayomi aku. Akupun kemudian berpikir, sosok seorang kakak yang kutemukan dalam dirinya juga harus bisa aku tunjukkan pada adik-adik kandungku, juga, dalam konteks ini, adik-adik angkatanku. Hehehehehe. Minimal, alasannya simpel ajah, seperti kata Pak Faiz, “lebih lama kuliah berarti khan lebih pintar…”Gubraaaaaaaaaaaaaaaakkk…Dan semester tujuh yang menandakan bahwa kau sudah menjalani masa akademik tiga tahun di bangku perkuliahan ini memang menuntutku untuk bisa melakukan dan menguasai banyak hal. Alamaaaaaaaaaaaaaakkk…

Kemarin, saat sempat bertemu PA-ku dalam suatu kesempatan yang cukup terburu-buru, aku juga menjawab beberapa pertanyaan beliau dengan sok-sok lugas dan tegas, meski dalam hati sebenarnya aku mulai gelisah. Biasalah, ketemu PA pastinya ditanyain skripsi, masa kuliah teori abis KKN, jumlah SKS yang diambil semester ini, jumlah IPK, dan lain sebagainya yang hampir semuanya berhubungan dengan dunia akdemik. Aku mencoba tersenyum meski sebenarnya aku amat banget takut dan males menjalaniiiiii….proses ini. Entahlah, semoga waktu tidak perlu menungguku terlalu lama…

Yang bikin aku juga merasa bahwa kuliah semester ini benar-benar memaksaku untuk segera bangkit dari kejumudan berpikir dan keterlenaan setelah KKN liburan adala karena aku merasa kutukan di urutan absen pertamaku juga berbicara, di AWAL SEMESTER ini. Hohohohoho…Aku belum bisa tidur nyenyak jika membayangkan tugas setumpuk yang akan melelahkan itu. Oklah, sebenarnya itu hanya masalah urutan dan kesempatan. Kapanpun itu, di awal ato di akhir, aku ya pasti tetep bagian. Tapi ya begetolah adanya. Terkadang aku butuh waktu cukup lama dan keadaan yang ckup mendukung untuk memanaskan otakku. Hehehehehe. Abisnya aku dak rutin manasin otak serutin aku manasin motor. Palagi menurut aku, beda banget caranya manasin otak dengan dunia akademik yang formal seperti perkuliahan. Not too easy, but not impossible.

Dan aku pun tau, pikiran dan perasaan ini kembali akan mendobrak-dobrak diriku sendiri besok, akhir Oktober di lereng merapi, yakni pas ritual PKD. Bagaimanapun, aku seharusnya memang menikmati gradasi-gradasi proses ini. Dan aku mulai merasa bisa menikmatinya bersama-sama temen-temen GM, adik2 PW, plus juga adik2 PB. Tapi, jika harus berkutat kembali dengan modul PKD yang tak pernah aku seriusi itu, nyaliku ndak hanya ciut lagiiii..Tapi kerasa sama sekali ga ada. Jadilah aku inferior duluan sebelum masuk ke medan perang. Aku rasa ya inferior itu memang harus ada. Agar aku mau menggantinya dengan superioritas setelah benar-benar kembali membuka modul dan materi PKD ittuuuu….(Ngomong ini, mau tak mau aku jadi melow. Teringat seseorang. Halaaaaaahhhhh)

Well, yang berlalu biarlah berlalu. Cukup menjadi kenangan yang disimpan dalam berangkas masa lalu, untuk sekali-kali disambangi. Aku haris menempatkan 1st priority terhadap hal-hal yang ada di depan mataku. Pelulusan KKN, tugas-tugas kuliah, fiksasi judul, PKD, kerjaan, dan banyak haaaaaaaaalll…Dan sebenarnya, di manapun, kapanpun, dalam kedaaan apapun, dan bersama siapapun, satu-satunya hal yang bisa menyelamatkanku untuk bisa berdamai dengan keadaan adalah satu hal; yakni BERJIWA BESAR. Tak mudah memang, cuma aku punya banya kesempatan untuk berproses, merenung, berlatih, dan terus menempa jiwaku. Semoga semuanya akan menjadi lebih baik. Bismillaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh….