Berdamai dengan Hati; Membiasakan Hal-Hal Baru dalam Hidup
Aku memang tidak akan melahirkan tulisan apapun dari ruang hampa sejarah. Apapun itu. Aku menulis tugas kuliah karena deadline sudah dekat, aku menulis surat kepada seseorang karena aku ingin membayangkan bagaimana ekspresinya saat membaca tulisanku dan bagaimana kemudian dia membalas suraku. Aku menulis apapun yang aku inginkan kerap hanya karena ingin mendokumentasikan waktu yang tidak akan pernah kembali. Aku menulis karena aku ingin berteriak tapi suaraku parau, aku ingin memekik tapi tak ada yang mau dengarkanku, dan aku menulis karena aku ingin luapkan apapun yang ada di pikiran, otak, hati, dan perasaanku. Dan kali ini, aku menulis, memang terinspirasi oleh sebuah kejadian..yang membawakanku beberapa keadaan..
Aku adalah tipe orang yang tidak terlalu suka perubahan. Meskipun sadar bahwa perubahan adalah keniscayaan yang disediakan waktu, sebisa mungkin aku mencoba mengurangi perubahan-perubahan tersebut. Contoh paling konkret, aku dak suka pindah kos, bagaimanapun keadaan kos yang aku diami. Aku sulit beradaptasi, dengan orang baru, dengan lingkungan baru, dengan dinding-dinding kamar dan langit-langit ruangan yang baru, cat baru, dan segala suasana yang baru. Aku lebih suka berdiam di tempatku berpijak…dengan melakukan apapun yang bisa membuat aku kerasan di dalamnya. Sehingga, aku harus menunggu sebuah alasan yang maha kuat untuk kemudian memutuskan bahwa aku akan berubah dan berpindah dari tempatku semula, menunju tempat lain yang barangkali lebih baik (konversi dwonk, kalo gitu…)
Keadaan ini cukup mendominasi semua babak dalam kehidupanku, sekalipun jiwa advonturisku masih kental. Aku memang suka hal-hal baru, namun aku hanya gemar mencarinya sebagai sebuah wawasan ajah. Aku tidak terlalu suka berdiam dalam tempat dan keadaan baru. Aku lebih suka kemapanan kalo gitu..Meski aku juga adalah orang yang mood-moodan dan cenderung cepet bosan. Hm…Jadi LB penulisan tulisan ini adalah karena aku merasa tengah sulit berdamai dengan keadaan…Keadaan yang sama sekali baru dan tidak aku harapkan. Salah satu alasanku menulis terkadang adalah karena aku ingin diriku memverbalisasi apa yang aku tulis, aku ingin diriku melakukan apa yang aku tulis, aku ingin bersikap tegas setelah aku menyelesaikan sebuah tulisan tentang ketegasan. Aku butuh konfirmasi dari luar, meskipun itu bersumber dari diriku sendiri. Barangkali, setelah menyelesaikan tulisan ini, aku bisa lebih cooling down dan tidak sekacau saat tulisan ini belum aku mulai.
Memang sulit, menghadapi keadaan dan situasi yang sama sekali berbeda dengan keadaan kita kemarin…Dua keadaan yang dipisahkan oleh jarak waktu yang tidak sama sekali lama dan dengan sebab yang belum sepenuhnya kumengerti. Aku masih belum faham mengapa aku sudah harus memijakkan kaki di babak ini, sedangkan aku masih ingin melakukan banyak hal pada babak kehidupan sebelumnya…Babak kehidupan yang secara tak kusadari ternyata cukup membuat aku kecanduan.
Sialnya, babak yang sudah terlewat itu –bisa dikatakan—mendominasi 24 jam dalam sehariku. Hampir semua waktu yang aku lewatkan bersinggungan dengan salah satu ritual dalam babak lama itu…sehingga, aku merasa kewalahan untuk merelakan bahwa babak itu sudah berlalu dan kini digantikan dengan babak baru. Sulit, sama sekali tidak semudah yang kubayangkan. Barangkali aktor dalam babak itu memang berpengaruh besar buat aku, atau justeru karena aku terlanjur menganggapnya sebagai setiap detik dalam dua pulu empat jam sehariku, meski aku tidak sama sekali menyadarinya sebelum babak itu benar-benar pergi?
Aku mati-matian menceramahi diri bahwa pergantian babak dalam kehidupan seseorang adalah sebuah keniscayaan, dan akupun sangat sering mengalami hal yang demikian. Lalu mengapa baru sekarang aku merasakan luka yang teramat perih? Mengapa baru pada momen ini aku merasa benar-benar telah kehilangan babak itu seutuhnya? Apakah sang aktor terlalu berpengaruh, atau aku yang terlalu lemah dan bergantung pada kehadirannya? Jika jawabannya yang pertama, aku bisa dengan mudah mengatasinya…Sebab aktor itu sudah dibawa pergi oleh babak yang menyajikan dirinya di hadapnku, namun jika jawabannya adalah opsi yang kedua, ini baru gawat. Ada seseorang yang menguasaiku selain aku sendiri, ada jiwa yang menghegemoni pikirku dan itu bukan jiwaku..
So, what should I do? Apakah harus tetap dengan keterdiamanku dan membiarkan semua keadaan itu merenggut apa yang seharusnya masih harus di sisiku? Dalam kasus ini, aku agaknya lebih banyak diam, untuk mengalah. Aku sadari kesalahan yang sudah kuperbuat, meski tidak sepenuhnya faham mengapa kesalahan demikian bisa membawakanku mimpi buruk sekelam ini…Aku belum ingin mereka-reka kejujuran yang disembunyikan keadaan..Aku belumlah mau mengumpulkan serakan-serakan hatiku yang kerasa uda kececer di mana-mana, untuk kemudian tau apa yang sebenarnya terjadi. Atau aku harus membiarkannya menjadi misteri yang menggumpal dan menyumbat laju kehidupanku?
Aku tidak tahu bagaimana, masih belum bisa memastikan hal seabstrak perasaan..Yang meski terkatakan oleh perbuatan, akan tetapi tidak hal-hal konkret tidak bisa sepenuhnya mewakili apa yang ingin terkatakan oleh hati. Yang jelas, aku sudah mulai sebuah proses untuk terbiasa dengan babak baru ini, aku sudah menyusun tekad untuk mengihlaskan babak lalu itu pergi dan cukup menyimpannya dalam laci terdalam hatiku..; Untuk suatu saat aku buka..
Sampai di sini aku mungkin berpikir bahwa aku memang menginginkan babak itu kembali, namun aku tidak suka berharap terlalu banyak. Sebab kalaupun harapan itu akan terjawab, bahagianya tidak setara dengan perih yang akan terasa manakala harapan itu hanya mendiami alam angan-angan. Bagaimana aku tidak berpikir demikian, ia hadir di sampingku dengan wujud dan peran yang berbeda. Ia ada di dekatku namun tak mengenalku, ia ada di hadapanku namun tidak mengingatku…Tapi biarlah, kupasrahkan saja pada waktu..Aku akan melakukan apapun yang bisa kulakukan sekarang. Aku boleh terpuruk dan mengalami kekacauan hebat dalam masa transisi itu, namun bukan AKU namanya jika aku larut dan semakin menceburkan diri dalam kekalutan itu…
Kembali ingin kutanyakan, seberapa berartikah sang aktor dalam hidupku, hingga ia sukses meninggalkan luka yang bahkan tidak terbayangkan bagaimana perihnya? Tak ada yang istimewa dalam dirinya, selain karena ia telah berhasil melakukan shifting paradigm besar-besaran dalam arus pikirku, dalam waktu yang tidak sebentar. Itu saja. Dia berarti bagiku, itu betul. Aku menyayanginya, itu sama sekali tidak salah. Aku tidak memungkirinya. Namun jika karena dia aku harus terlempar dalam stagnansi hidup sementara waktu tidak mau menungguku bangkit, itu masalah besar. Dan itu tidak boleh terjadi, seberapa berartinya dia dalam hidupku, seberapa aku sayang sama dia, AKU TETAP HARUS BANGKIT TANPA BERPEGANG PADA SIAPAPUN!! Sebab selain diri sendiri, tidak ada teman yang akan setia menemani dan mendukung kita.
Banyak hal yang sebenarnya aku sesalkan dalam masa-masa transisi ini..Namun kutau sesal itu akan berubah menjadi alasanku untuk bersyukur, sebab Tuhan pernah mengirimkannya padaku, meski ia harus kembali terenggut oleh keadaan. Dia adalah salah satu orang luar biasa dengan sikapnya yang terkesan tidak sama sekali instimewa. (Uh, STOP!! Stop talking about him!!) Terlebih aku yakin, suatu saat, aku akan berterimakasih habis-habisan pada Tuhan karena telah memberi pelajaran (dalam ujian) yang cukup berat. Dan aku harus lulus dalam ujian ini. (Barangkali tidak seperti UASku yang terpaksa harus berantakan mengikuti ritme otakku…Hm..)
Pada akhirnya, aku memang harus berdamai dengan hati..Meredam keinginan-keinginan gilaku untuk menyempurnakan egoismeku dengan meminta keadaan kembalikan babak itu, untuk membujuk waktu agar mau memflashback momen0-momen yang tidak akan kembali lagi itu. Dan untuk benar-benar berdamai, aku harus bisa melakukan banyak hal. Meredam marahku saat ia hadir di sini namun tidak untukku lagi, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa agar hatikupun menduga bahwa aku baik-baik saja, dan…membakar secarik kertas yang menuliskan peta menuju rumahnya. Semuanya memang kulakukan dengan penuh kesadaran setelah mati-matian menyatukan sukmaku yang tercecer di mana-mana. Syukurlah, kini aku merasa beban itu tidak lagi sebusuk dulu..Meski ia masih terasa berat. Barangkali aku hanya butuh sedikit proses lagi untuk kemudian terbiasa dan menikmati momen-momen dalam babak baru ini.
Dan yang pasti, ia tidak pernah benar-benar pergi..Sebab ia sudah mendiami hati, kenangan, doa, dan terkadang mimpiku. Biarlah aku menyapanya dengan bahasa rindu. Barangkali hal demikian akan lebih aman dan menentramkan…Buat aku dan buat dia. Sayang memang, aku tak sempat membekalinya pesan agar suatu saat ia mau kembali bertandang ke hadapku dengan perannya yang dulu dan mengabarkanku jika suatu saat harapannya (yang kemudian juga menjadi harapanku) sudah terjawab oleh Tuhan. Tapi biarlah, aku yakin dia masihlah bijak seperti kemarin, dan faham betapa dia berarti buat aku.
Last but not least, untuk sang aktor..Be fine there…Aku akan kangenin kamu dan momen-momen itu..Maafin aku ya..(Meski aku hakkul yakin kau tak akan membaca oretan ini…)
Mendung hatiku, pojok kamar gelap.
0 comMentz:
Posting Komentar