RSS

Selasa, 19 Januari 2010

Nighmare Saturday...(episode I)

Sebelumnya aku dak nyangka kalo weekend kali ini akan aku lalui dengan beberapa trip yang cukup mengasyikkan. Ga ada rencana sama sekali, aku baru dikabari hari Sabtu tentang adanya dua acara makrab ma anak korp dan anak kelas. Awalnya aku berpikir kalo weekend kali ini tidak akan banyak berbeda dengan weekend-weekend sebelumnya. Paling banter aku akan ke SunMor, tiduran di kos sepanjang hari sekaligus kencan sama biibii yang super duper luar biasa ngertiin aku, meski kadang dia ngeyel juga. Jadi saat mau berangkat menghadiri dua makrab tu, aku dak punya persiapan sama sekali…Bawa aja seadanya. Bawa diri jangan lupa, juga hati. Hehehehe.

Oya, tentang Trisik..Aku baru pertama kali denger nama pantai itu pas Syauqi mengkonfirmasi waktu dan tempat makrab ke aku lewat sebuah sms. Hm? Trisik Kulon Progo? Aku uda tertarik abis-abisan, minimal makrab ma anak korp bukan hanya ke Paris dan ke Depok lah…Males bin bosen. Jadi sore itu, bersepuluh dengan lima motor, kami menyusuri jalanan Jogja merengsek ke arah barat…Di jalan aku ngeroso banyaak banget halangan dan rintangan. Yang pertama, kami kekurangan stock helm.. Muter-muter ke mana-mana (ke kos Matroni hingga ke mesjidnya Hafidz dan kosnya Buyus), akhirnya helm berhasil dipinjam dari Gowok. Entah dari mana. Sukarep yang ngurus. Wis, masih bersembilan, kami berangkat. Sampai di Japar entah KM keberapa, kami ketemu Afif yang malam itu juga akan ikut makrab.

Masih di Bantul, kami kudu nogkrong agak lama di pinggir jalan karena bannya Havidz bocor. Kasian banget sebenere, hafidz menghandle urusan itu semua sendirian. Kami lebih sibuk makan-makan dan bincang-bincang santai di sisi jalan yang lain. Hhh…Di mana solidaritas dan soliditas kalo uda kayak gene? (Wah..wah..wahhh..). Nelongso banget waktu itu, aku hanya bisa menelan ludah saat temen-temen pada makan rambutan. Untungnya kemudian aku dapet rejeki satu gorengan yang sudah kedinginan…Afif yang beli dan dibagikan ke anggota rombongan, seadanya. Cukup enak untuk ngganjal perut. Setelah konfirmasi ke Imam via sms, hafidz kemudian datang dengan wajah yang sangaaaaaaaaat banget tampak kelelahan…

Kami berangkat lagi. Baru masuk KulonProgo, hujan mengguyur…Kami berteduh di sebuah tempat yang sebenernya kurang representatif. Pas itu buyus bilang, kalo perjalanan kami tidak diridhoi oleh Tuhan. Aku tidak membenarkan, meski tidak berani menyalahkan. Dak lama akhirnya hujan itu reda juga. Kami bahagia karena bisa segera meneruskan perjalanan. Oya lupa, tadi kami (wabilkhusus aku dan Chule) sempet ngisi bensin di SPBU Semaki. Jalan cukup lama, tiba-tiba ada isyarat untuk kembali berhenti. Bannya hafidz bocor lagi. Kami berhenti, meski hafidz uda minta kami berangkat duluan. Ya kasian lah…Kalo ditinggal sendirian..

Penantian kedua cukup melelahkan dan time consuming. Aku mulai kesemutan dan dak enak ngapa-ngapain. Untung hayat mau berbaik hati meminjamkan hpnya untuk fb-an. Sukarep juga mau joinan headset dengerin lagu dari hapeny. Aku dikit terhibur juga, meski pikiranku uda mulai terkacaukan dengan pertanyaan, “Besok ikut ndak ya, ke Magelang?” aku mikir macem2, mulai dari budget, kesehatan, transportasi, kamera, dll dll. Tapi akhirnya, aku enjoy juga menikmati jalan..Saat motor Jupiter yang kunaiki uda mulai merengsek menuju tempat2 yang dak pernah kukunjungi sebelumnya. Di atas motor aku lebih banyak diam dan sibuk bermonolog, hanya sesekali bersenandung dan Chule di depanku ikut menyambung..Tapi itu dak berlangsung lama…

Kami uda mulai masuk area Pantai Trisik..Medannya sich ga seterjal ke waterfall, tapi sepinya bikin bulu kuduk merinding. Aku sibuk menenangkan hati dengan suasana yang amat banget nakutin itu. Berkali-kali aku instruksi Chule agar ambil posisi jangan di paling depan atau di paling belakang…Dibilang hutan sich ndak juga, karena sebenere masih dekat dengan jalan raya…Tapi kalo dak dibilang hutan juga dak enak…Di kanan kiri sawah dengan pohon setinggi pohon jagung dan dak ada penerangan dari rumah warga..Hanya lampu lima motor yang jalannya pun terseok-seok (karena aspalnya dak gitu enak) dengan lampu-lampu merkuri yang belum merata distribusinya. Tapi ya terlepas dari rasa takut itu, ada enjoynya juga dikit-dikit. Aku bersykur pas itu malem Minggu. Kalo malem Jumat, uda dak bisa bayangin gimana takutnya aku.

Kami pun sampai di pantai yang konon katanya bernama Trisik. Gile, ne pantai belum sama sekali terjamah manusia agaknya. Sejauh yang kami lihat, tak ada hal-hal yang nunjukin bahwa pantai ini sering dikunjungi orang. Cuma ada satu warung yang kemudian kami jadikan tempet markir motor dan duduk mengistirahkan lelah. Selain itu tak ada, hanya gelap, karena pas itu lagi ga purnama dan bulan agaknya sukses terkalahkan oleh awan. Aku mulai gelisah sebab anginnya pun terlalu amat kencang. Kami hanya beberapa meter di sebelah pantai. Aku kebanyakan diem dan melakukan apapun yang bisa tenangkanku. Untung sinyal masih enak, jadi aku masih bisa sms-an dengan beberapa orang untuk meredam ketegangan itu…Hm….

Aku dak bisa gambarin gimana nyampur aduknya perasaanku, tapi intine aku ngerasa bahwa malam Minggu ini dak akan semenyenangkan yang aku bayangkan. Kami kemudian berunding dan memutuskan bahwa kami akan menuju mercusuar demi mencari penerangan. Aku manut aja sebab aku sama sekali dak tau medan. Kalo acara makrab kayak gene gak ada surveynya sich, jadi..untung-untungan juga berangkatnya. Belakangan aku baru tau kalo di antara kami bersepuluh, belum ada yang pernah menjejakkan kaki ke pantai ini. Oalah…Kami kembali menyusuri gelap yang kerasa semakin pekat dengan kesunyian..Menuju arah barat..(Kalo dak salah)…

Lumayan ada beberapa lampu dari rumah penduduk, tapi tetep aja pemandangannya nakutin. Mercusuar yang kami tuju dak tampak-tampak, kami pun menyadari bahwa kami berada dalam satu di antara dua keadaan; yang pertama, mercusuar itu tak pernah ada (emang siapa yang awalnya bilang kalo pantai ini punya mercusuar ya??? Hf…), yang kedua, kami uda kesasar. Get lost!! Rumah penduduk yang kami lewati tampak sepi dan hanya diterangi dengan listrik seadanya…Aku bahkan dak liat ada satupun toko di lima-enam rumah yang kami lewati. Malam merangkak larut, aku masih ngerasa macam-macam, yang lebih dominan adalah takut..Terutama saat Sukarep memutuskan untuk bertanya pada orla saat kami tiba di sisi jalan yang masyaAllah gelap banget.

Sebenere hal itu merupakan satu2nya hal yang bisa kami lakukan dalam keadaan super membingungkan itu..Tapi…aku ngerasa takut karena membayangkan bahwa rumah yang disamperi Sukarep adalah rumah hantu atau apalah namanya, semisal house of wax ato cerita2 laen yang sering aku liat di filem2 barat. Aku mulai membayangkan di antara bersepuluh, siapa yang akan menjadi korban dan siapa yang akan selamat. Aku juga khawatir, takut aku pulang ke Jogja dan ke Madura dengan namanya thok. Hehehe…terlalu lebay memang, tapi itulah yang bener2 kurasakan. Tapi mujurnya emang, karena aku masih bisa berdamai dengan ketakutanku sambil smsan ma beberapa nomor di hpku. Sukarep datang dan dia mengatakan bahwa jalan yang kami tapaki adalah jalan menuju Glagah, nama pantai laen. Kami bisa menyusuri jalan itu lurrrrrrrrrrrrrrrrruuuuuuus..lalu katanya akan nyampe di Glagah.

Ok, rombongan berangkat lagi..aku dak tau apa yang dirasakan temen-temen, tapi aku sendiri mulai membangun optimisme sedikit demi sedikit…Tapi lama2, kami ngerasa jengah juga..Jalannya berbatu, gelap, dan sepi. Masih ada berapa puluh kilometer lagi yang harus dilalui sedangkan bensin di motor masing-masing sudah mulai mengkahawatirkan? Gak keroso aku nangis saking paniknya dan saking dak tau harus berbuat apa-apa. Satu tetes air mata sich..Tapi cukup bikin aku bertanya pada diri sendiri, “kenapa mpe segitunya, Ta?” Aku tetep berkeyakinan bahwa akan datang sebuah cahaya yang menerangi perjalanan kami malam itu…

Dak lama, gayung pun bersambut. Dari sebuah arah (kalo dak dari timur, berarti dari utara), ada sebuah cahaya yang tampak jelas meski jalannya lama banget. Kami mulai menaruh harapan, meski masih lebih dominan cemasnya. Takut lebih tepatnya, masalahnya tu cahaya kayak merangkak menghampiri kami. Moga aja tu bener-bener lampu sepeda motor dan bukan malah lampu kereta api hantu. Huh, hantu lagi yanga ada di pikiranku. Sebelumnya temen2 juga sempet nakut-nakutin aku, mungkin karena aku terlalu lebay juga pake acara takut-takutan hantu di keadaan segenting itu. Ternyata lampu motor, Alhamdulillah banget..Apalagi pas dua orang yang mengendarai motor itu berbaik hati mengantarkan kami ke jalan raya. Entah tujuan mereka sama ato ndak, aku dak gitu ngurus. Yang jelas, pas ada pertigaan, kami langsung nganan dan kemudian…meski aga lama dan aga jauh, kami kembali bertemu dengan suasana jalan raya yang tampak sedikir riuh…

Sesudah berterimakasih pada dua orang tersebut, kami kemudian melanjutkan perjalanan dengan ritme yang uda biasa..dengan speed tinggi, salip-salipan, ngisi bensin, bayar retribusi, dan segera menemukan tempat yang enak untuk menyelenggarakan acara makrab. Glagah nama pantainya. Ne pertama kalinya juga aku ke pantai ini, meski kalo denger nama Glagah uda dari dulu banget. Hm…Lumayan berperadaban sich…Apalagi dibanding pantai Trisik. Kami mulai membangun peradaban dengan mengandalkan bekal yang sedari tadi dibawa dari kos masing-masing. Nasi, lauk, serta jagung dan ketela yang akan dibakar. Hafidz sibuk mencari kayu atau apapun yang bisa bikin api akan terus nyala..Yang laen sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tak lama kami bantingan untuk beli aer dan konsumsi malam itu…Aku yang ngurus dan menganton 70ribuan. Membengkak banget setelah salah seorang pejabat mengeluarkan uang 50ribuan dari dompetnya dengan malu-malu.

Aku kembali membelah malam dengan Sukarep…bertujuan mencari kuah untuk dimakan ma nasi, aer, serta beberapa cemilan untuk menghabiskan malam. Dengan speed setinggi itu, Sukarep kayaknya dak sama sekali faham betapa aku takut berada di tengah pohon dan tumbuhan yang juga ndak jelas gimana rimbun dan menakutkannya. Kami akhirnya pulang kembali ke pantai dengan mengantongi berbagai barang belanjaan..Rencana belia air mineral gelasan dak bisa karena uda banyak toko yang nutup, kami akhirnya beli empat botol besar air mineral d tempat beli mie ayam. (Mie ayamnya juga beli empat), abis gitu beli cemilan yang masyaAllah harganya mahaaaaaaaaaaaaaaaal banget. Tapi maklum dah, dak popo…Tu toko juga lumayan menyelematkan kami karena masih buka di jam selarut itu…

Di warung tempat kami beli mie ayam, Sukarep sibuk telepon orangtuanya. Aku mengamati nada bicara dan bahasa yang digunakanny. Di antara ana korp, Sukarep merupakan salah satu temen yang dak bisa ngomong Bahasa Madura, sehingga komunikasiku dengan dia harus pake Bahasa nasional. Hehehe. Sukarep bercerita tentang petualangannya dengan motor ke beberapa tempat. Ia juga jelasin tempat2 wisata yang ada di daerahnya ma aku. Hm…Lumayan lama nunggu di warung itu…Tapi akhirnya selese juga dan kami segera pulang setelah beli cemilan di sebuah toko abis ngiri. Di pintu retribusi, Sukarep hanya mengeluarkan sedikit jurus agar kami tidak perlu kembali membayar uang retribusi. Tadi kami bersepuluh juga dibayarin entah ma siapa di pintu masuk ini…

Sampe lokasi, acara bakar-bakaran ternyata uda selese. Aku mengais sisa-sisa jagung bakar dengan sisa kekuatanku. Uda dari tadi aku kelaparan, tapi kali ini perutku agaknya mau berkompomi dan dak terlalu banyak ngomel, soale aku juga ga gitu ngegubris dan sibuk menghalau rasa takut..Kami kemudian candle light dinner dengan sebuah sinter yang dijadikan pusat cahaya. Aku emam sepiring berdua ma Bunda Mehong..Kami dak bisa ngabisin karena porsinya yang banyak dan menu yang kurang enak di lidah…sayang juga, ga ada cabenya. Komplit. Tapi, yang namanya orang lapar, apapun –asal halal—pasti dihajar. Hm…

0 comMentz: