SEBERAPA BERBEDANYA AKU?
Im different surely..Namun seberapa berbeda? Aku sendiri merasa bahwa aku berada di antara dua kutub, kutub pertama adalah sisi yang mengandaikan aku memiliki ciri khas sendiri yang bisa menjadi simbol—yang hanya dimilikiku—dan kutub lain yang kadang menuntutku untuk..mmm…bahasa kasarnya adalah cultural shock dan bahasa halusnya adalah mengikuti perkembangan zaman. Namun so far, aku merasa bahwa kecenderungan pertama jauh lebih mendominasi. Dalam berbagai keadaan, aku lebih banyak bertahan dengan selera dan pandanganku sendiri meski dunia di sekelilingku berbeda denganku.
Contoh kecilnya, dalam hal selera nonton tivi. Meski aku mengakui bahwa aku kecanduan menonton tivi karena meniru orang lain—hehehehehe—namun dalam sebagian besar keadaan, aku tidak akan ikut-ikutan menyukai suatu hal atau kegiatan yang banyak disenangi orang lain. Aku kira hal itu jauh dari kesan keren. Awalnya keren, namun karena kebanyakan yang suka, jadi males. Aku termasuk tipikal orang yang kadang-kadang tidak ingin disamakan dengan orang lain, meski pada sisi lain dan pada momen-momen tertentu, aku malah demen cari persamaan dengan orang lain.
Well, di kosku, hampir semua penghuni menyukai dua acara yang sama sekali tidak bisa matching di otakku. Yang pertama adalah OVJ alias Opera Van Java dan yang kedua adalah film Korea. Hampir semua penghuni kos yang demen di depen tivi getol dan ngefans banget ma dua acara ini. Tapi tidak bagiku. Selain karena aku tidak mau terlalu sama dengan orang lain, meskipun dalam hal yang luar biasa remeh, aku merasa sama sekali tidak punya chemsitry terhadap dua acara itu. Banyak lah, apologiku. Terlalu lebay lah, ga etis lah, ga cinta produk dalam negeri, dan lain sebagainya. Sebab itulah, aku bisa dibilang kebal dalam segala hal yang berhubungan dengan dua acara tersebut. Whoaaa..Bandingkan dengan temen kosku yang sampai mengatur jadwal reguler untuk bisa nonton dua acara itu. Buat aku buang-buang waktu banget.
Aku malah memiliki selera minoritas yang bahkan hanya aku yang punya. Yang pertama dan yang paling dominan adalah SSTI alias Suami-Suami Takut Isteri. Meski banyak kekurangannya, namun aku merasa benar-benar terhibur saat melototin mata di depan tivi pas acara ini. Buat aku semuanya meaningfull banget… Kontan dan bisa dipastikan, temen-temen kos banyak yang memprotesku denga halus dan tidak langsung mengapa aku harus doyan nonton SSTI.
Dari contoh kecil ini, aku berpikir kembali, melihat diriku sendiri dari kacamata paling moderat yang bisa aku pakai. Dan hasilnyaaaaaaa..Hmm..Sebenere aku hanya menunggu tiga hal untuk bisa menyukai sesuatu, seseorang, keadaan, alur, atau apapun itu namanya. Yang pertama adalah mood dan yang kedua adalah moment dan yang ketiga adalah alasan. Hahahaha. Teoretis banget iki dadine. Namun, kira-kira begitulah gambaran besarnya. Hehehehe. Saat heboh-hebohnya Cinta Fitri, aku tak sama sekali menyukai film tersebut, apalagi harus meluangkan jam khusus untuk tidak absen menonton acara sinetron ne. Namun aku juga lupa kapan, bersama siapa, dan bagaimana, dimulailah episode jatuh cintaku pada sinetron ini…Natural dan apa adanya. Hehehehe
Dari situ aku kemudian berpikir bahwa, alasan berupa apologi akan selalu ada bagi orang atau sesuatu yang disukai. Sebaliknya, alasan berupa anomali akan selalu tersedia untuk hal yang tidak disukai. Teori ini, awalnya mampir di otakku di kelas Orientalisme ketika Halim tengah presentasi. Dan meski sudah menyadarinya sejak lama, dan terendap cukup lama pula, baru sore ini, di tengah irama-irama tuts ini, aku menyusun bahasaku sendiri untuk teori itu. Memang begitu, ada banyak hal terendap yang akan muncul jika kita mau berpikir, sesederhana dan serumit apapun itu.
Selain dalam tahap hal-hal yang ga serius, semisal hiburan di atas, karakter yang demikian juga kerap menjangkitiku dalam hal-hal yang cukup serius, semisal dunia akademik, dunia wawasan, dunia pengetahuan umum, dan lain sebagainya. Dalam level serius yang paling kecil, aku cukup kebal untuk tidak menonton film yang tengah booming jika aku belum punya dan belum punya mood, ataupun belum menemukan moment. Hehehe. Tak pelak, film yang belum ditontonpun bejubel memenuhi hardisk laptopku yang hampir penuh. Namun ketika sudah jatuh cinta pada sebuah film, aku bisa berulang kali menonton dan menontonnya lagi..Hehehehe
Dalam dunia akademik pun, selain dipengaruhi oleh dominasi malasku yang cukup besar, aku kadang bersikap apatis terhadap segala hal yang terjadi di sekitarku. Temen-temenku uda pada ngurus skripsi, bimbingan, seminar, ato paling minimal ngurus judul, aku masih belum memulai langkah terawal sekalipun. Oh noooo..Kadang moodyku emang berlebihan, hingga menyerempet ke hal-hal yang tidak seharusnya dan tidak selayaknya. Anyway however, aku tetep mensyukuri dan menikmati semua yang ada pada diriku.
Omong-omong soal ambisi yang meluap meruah untuk bisa menjadi diri sendiri yang tidak ada duplikatnya, minimal dalam radius 100 km—hehehehehe lebaaaay—aku kadang bersikap kurang enak, semisal nyamperin orang yang bersangkutan dan memintanya sedikit menjaga jarak kesamaan dengan diriku. Namun sebelum itu, aku sudah menyiapkan segenap hal, semisal dalam hal nama, karena cukup banyak orang yang memiliki nama akrab ITA, maka aku mensiasatinya dengan tulisan yang unik dan hanya aku yang punya, yakni EETA. Banyak orang yang agak terganggu dengan idealismeku yang kerasa ga penting ne. Namun lama-lama aku cukup berhasil mensosialisasikan empat huruf itu sebagai nama yang melekat dalam diriku..
Meski banyak penyimpangan, so far so good. Temen-temen deketku yang memiliki derajat ketelitian yang mengagumkan mulai terbiasa dengan empat huruf itu. Sebutlah misalnya Uqi dan Fitri. Lain lagi dengan Mumtaz yang suka menulis namaku dengan EATHA. Entah dia memahami maghza di balik simbol itu atau memang dia salah mencerna, aku sendiri merasa nyaman dengan panggilan itu. hehehe. Jadi kerasa banget nek itu aku, dan bukan yang lain.
Dalam panggilan ma orang lain pun, entah mengapa aku masih kerap menggunakan idealisme ini, semisal memodifikasi panggilan atau nama khusus (untuk orang-orang terdekat, semisal Faid, yayah, bunda—cicik dan mehonk—adoel untuk Hyaat, boznea untuk Lyla, Oon untuk Unyil, cck untuk R.I.P, dan lain sebagainya. Dari situ, aku bisa dipastikan akan kebakaran jenggot manakala ada orang lain yang meniru panggilanku, baik terhadp orang yang sama maupun pada orang yang berbeda. Tentunya, kadarnya bisa berbeda-beda, sesuai sikond juga. Hohoho. Sulit lah, kalo harus diteorikan…
Di sisi lain, aku malah memiliki kesukaan yang berbanding terbalik dengan idealismeku yang gajelas itu. Hehehe. Aku suka mencari kesamaan alamiah antaraku dengan orang-orang tertentu. Semisal dengan orang yang dikabarkan memiliki wajah yang hampir sama denganku. Aku sampai kurang kerjaan meng-list orang-orang yang katanya agak sama denganku. Dan hasil akhirnya adalah, aku kikik-kikik ajah…Hehehe. Malu-malu mau dan malu-malu heran. Heheheh..Praktik lain dalam mencari kesamaan adalah dengan orang-orang sekomunitas yang memiliki kedekatab kultural dan emosional. Hehehe…Dalam hal ini, aku biasanya hanya melu2 alias gajadi praktisi, semisal bikin kaus kelas, bikin kaus kos, dan lain sebagainya yang bernuansa something memorable..
Well, smpai di sini dulu tulisan kali ini. Meski sulit dan rada males, semoga aku bisa semakin mengerti diriku sendiri, mengenali tiap detailnya, mengevaluasinya, meningkatkan apa yang perlu diteruskan, dan memangkas apa yang sekiranya harus dikurangi. Hehehehe…