Aksi tu apaan siy? Hmhm…Aksi itu ternyata demonstrasi..Atau yang biasa disingkat dengan demo. Sebelum kuliah, aku biasane pake bahasa ‘demo’ untuk menggambarkan ada mahasiswa yang turun ke jalan, berarak, bawa spanduk, mikrofon, dan keliput di tivi atau di media laen…Soale sebelum kuliah, aku sama sekali dak pernah melihat dengan mata kepala sendiri, kayak mana yang namanya demo. Eh, belakangan kutau, ternyata demo itu ndak sesimple yang aku bayangin..Misalane dalam penggunaan ‘demo memasak’..Nah lho, kalo kaya gitu, berarti demo itu apa dwonk?
Demo khan sebenere kependekan ato singkatan dari demonstrasi..Maka kalo demonstrate, tu berari mempertontonkan, memperagakan, dan memperlihatkan. Oh, jadi gitu..Berati? Then? Kalo demo-demo mahasiswa itu berarti mempertontonkan apa? Wong bukan teatrikal? Mm..mungkin lebih enaknya menyuarakan aspirasi mereka kali ye..aspirasi yang mungkin bisa berupa sikap atau tuntutan ato apalah, yang berhubungan dengan hajat orang banyak…Mm…Dan biasanya praktik ini dilaksanakan dengan aksi teatrikal, pawai, bahkan anarkshis. Masih inget khan, peristiwa 98 yang menewaskan beberapa mahasiswa yang tengah berdemo?
Nah…pas aku duduk di bangku kuliah, aku masih sering menggunakan kata ini untuk menggambarkan aksi serupa. Tapi belakangan malah ikut-ikutan temen-temen ganti pake bahasa AKSI. Biasane nek pake demo ya untuk menggambarkan kalo di tipi ada liputan tentang demo, pas ke UGM da demo di bunderan, di kampus ada demo gajebo..Gitu thok. Nah..Kenapa dalam bahasa PG-nya jadi aksi ya? Aku ndak tau juga..Mungkin ada latar belakang stigma, diksi yang berpengaruh terhadap konotasi, ato apalah, aku dak faham juga..
Ok, stop talking about it’s textuality..Sekarang aku mau cerita ajah. Jadi…Kemarin, tggal 29 Maret, hari Senin yang cerah, untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, AKU IKUTAN DEMO. Hehehe, untuk urusan yang satu ini, aku sebenere cukup emoh…Bukan duniaku tu, tereak-tereak berjalan kaki sejauh mungkin, palagi aku tergolong orang yang males berpanas-panas, apalagi harus terancam berdekatan dengan aksi anarkhisme..(masih tergambar jelas di ingatanku pas tragedi PKD kemaren..)
Lalu, kenapa aku maksain ikut aksi kali ini? Hm..Jawabannya satu ajah, dan cukup simpel..Karena tuntutannya nyata, konkret, dan aku sendiri sangat berkepentingan. Hohohoho..Apakah itu? Ne terkait dengan masa depanku. Meski masa depan tidak sepenuhnya ditentukan oleh yang namanya titel ato gelar, tapi tu juga yang akan melekat sampe kita mati. Bahkan ntar di akhirat, kabarnya juga akan dimintai presentasi ma Tuhan..Hehehehe…Jadi aku rasa penting, untuk menindaklanjuti masalah titel di t4ku kuliah yang tengah terancam mendapatkan porsi yang kurang menguntungkan.
Aku mungkin dak akan ngebahas materi dan tuntutan aksi di tulisan ini secara panjang lebar. Cuma…Intine, aksi pagi itu merupakan reaksi dari keputusan Menteri Agama no. 39 tahun 2009 tentang penyematan gelar baru untuk sarjana-sarjana di PTA. Aku sich, ngerosone koq ngasep banget ya. Masa tu keputusan diratifikasi November, tapi reaksinya masih Maret! Akhir pula…Huhuhu..Dak ok! Tapi usut punya usut, kabarnya ne keputusan juga sempat mampet di entah drainase yang mana hingga akirny terlambat sampai di meja rektor, dekan, dan telinga mahasiswa…Yang juga disayangkan sebenere, karena birokrat kampus tidak diikutsertakan dalam perumusan keputusan tu. Aku sih mikirnya sederhana aja. Kementrian agama khan dak hanya ngurusi PTA ajah…Jadi pandangannya juga dak akan semendetail pihak birokrat kampus. Masalane banyak yang diurusin..Selaen hanya masalah gelar untk sarjana PTA.
Jadi kupikir, hal ini emang sangat disayangkan sekali…Birokrat kampus khan sedikit banyak lebih tau, gelar ne cocok ndak, untuk sarjanan ne, bisa marketable nda, bisa representaif terhadap kajian yang ditekuni ndak, dll. Nah..Cuma keputusan ne bukan tanpa alasan sich..Aku pikir cukup beralasan..Cuma kemudian malah jadi miopis dan chaunvinistik. Apaaaa pula, artine dua istilah ne? Hehehe..Intine ada yang diuntungkan dan dirugikan gitu ajah lah…Sayangnya aku berada dalam golongan yang dirugikan…Khan nelonGsowwwwwww….
Isu ini sebenere uda pernah disampaikan kajurku pas aku ambil kuliahnya di MPH, Rabu menjelang siang yang cukup menegangkan…Waktu itu respon temen2 bisa diprediksi. TERKEJUT DENGAN GUAYA YANG LEBBBBBAAAAAAAAAAAAAYYYYYYYY!!! Cuma ya, hanya sekadar terkejut ajah…Nah, jadi, agar ga cuma bisa terkejut, sekaranglah saatnya untuk TURUN KE JALAN!!
Aku semangat 45 pokoe, di event ini. Bukan apa-apa ato ada siapa, cuma aku ngeroso, ini kesempatan yang bagus untuk menambah input pengalaman..Sebab aku yakin suatu saat, pengetahuan dan pengalaman di jalan ne pasti bisa menyelematkan aku dari suatu keadaan yang barangkali belum siap kuhadapi. Karena aku tetep menggunakan kaidah, ingin tahu sedikit tentang banyak hal, maka aku bela-belain ikut rapat persiapan aksi ini tiga kali. Empat kali sebenere, cuma rapat terakhir aku absen dengan alasan..JALAN-JALAN!
Dan benerean, aku tau banyak hal baru..tau apa ajah perlengkapannya, tau pihak-pihak terkait, tau bagaimana teknis lapangannya, tau job discription sekaligus division of labor, dan lain-lain. Dan mendapatkan hal baru, buat aku selalu mengasyikkan…Jadi perlengkapannya tu macem2, dari kaen warna putih yang paling murah, cat, spidol, tali rafia, bambu, press release, kamera, konsumsi, dan mungkin masih ada lagi tapi aku lupa. Aku juga baru tau kalo aksi tu dak sembarangan aksi..Harus ada lobi, koneksi, dan konsolidasi dengan beberapa pihak. Ya media, satpam, dll dll. Beh, teryata keren..Dak sesimpel yang aku bayangkan. Aku pikir aksi tu langsung turun ke jalan ga jelas gitu..Tapi mungkin ngga juga sich, masalane aksi pagi itu khan aksi damai..Jadi ga ada ceritanay tuch, ada persediaan ban, senjata tajam, apalagi gas aer mata dan kerikil yang akan dijadikan sarana untuk melempar. Aku hanya menggantungkan hidupku siang itu dengan SLEYER item yang biasa kubawa ke mana-mana. Untuk ngindari dari polusi dan asap rokok ajah sich, sebenere…
Terus, di situ aku cuma ikut-ikutan dwonk? Hm..Ndak juga, karena aku jadi PJ dokumentasi. Ya, setidaknya ada dua alasan..Aku punya kamera dan aku narsis. He, apa hobongannya ya? Ah, koq jadi ndak indah gini bahasanya. Yaudah gini ajah..Aku punya filosofi hidup mendokumentasikan waktu. Oalah..Ngelindur uda omongannya. Ga tau tekan pundi.
Tulisan ini masih akan dilanjutkan insyA, dalam seri berikutnya..Untuk sementara ini dulu, sekdar mencairkan otakku yang barangkali akan semakin beku jika dibiarkan. Hm, satu lagi input baru dari kejadian itu!! Koordinator umum jadi KORDUM, kenapa koordinator lapangan tetep KORLAP? Bukan KORDLAP? Tanya kenapa…(Ya, dalam ilmu I’lal—suatu kata yang mengingatkanku pada guru diniyahku bernama Pak Rasyid—disebabkan karena pengucapan KORDLAP sangat sukses membuat pengucapan jadi sulit dan ribet. Sehingga, jika diteruskan, maka hal ini bertentangan dengan sisi ESTETIKA bahasa…Oalahhhhhhhh)
Rabu, 31 Maret 2010
Kamis, 25 Maret 2010
Sok-sokan edc
Alowha...Uda cukup lama agaknya aku dak brainstorming ngeblog. Ngeblog pun biasanya cuma mosting sesuatu yang berasal dari bangku kuliahku, ndak update status ya gandaan tugas. Hmhm, jadi sok-sokan sibuk karena kena skorsing dan ngebut proyek..Sebenere banyak banget waktu yang cukup kebuang sia-sia...Hm, apologizenya mungkin sampai di sini ajah..Tiga keadaanku saat ini adalah, UTS di depan mata, aku lagi kere banget, dan aku uda berhasil beli hape baru pas dapet rejeki dak dinyana kemaren..he
Sekarang...What will i write?
Aku jadi ikut2an kebingungan dan kesulitan nentuin judul tulisan..Masalane aku maunya yang gaya-gaya dan tidk terlalu normatif. Sok-sokan niru ksatria sebenre, lagian aku juga lebih suka baca essai ketimbang artikel ilmiah yang kadang 2ton-an itu. Alhasil aku selalu bikin judul yang gaya-gaya sok ngesai gitu pas bikin tulisan untuk kepentingan akademik. Dari situ juga aku malah kikuk untuk bikin judul yang normatif..Hmhm, yakni di SKRIPSIku!! Ow, em ji..bagaimanakah yang terjadi? Hehehe..Yaudahlah, hari ini aku ingin menulis tentang...
Mmm...Cinta, egoisme, dan Kebesaran Hati *)
Aku tiba-tiba inget dengan perkataan guruku pas aku masih di NJ dulu. Guru itu adalah orang seetnisku yang ambil jurusan psikologi..Namun jangan kira dia bukan kitabiyah. Dia itu genuine orang yang bahasa Arab, Nahwu, dan Sharrafnya bisa diandalkan. Bapak ne kueren banget..Dan cara ngajarnya juga lumayan enak..Meski kalo spoilednya kumat, dia bisa manyun-manyun long term pake acara ga masuk kelas..(Loh, koq malah ngomongin guru di sini? He...Sekadar mengingat beliau dech, lagian aku ndak nyebutin namanya..jadi kalo bukan anak WaliSongo, agaknya gak akan mudeng..)
Ok, dia pernah bilang..Bahwa sebenere egoismu itu kerap dibahasakan dengan cinta..Is it right? Ya pas itu aku tolak asumsinya mentah2 dan gajebo2. Apalagi pas beliau bilang gini, kita sering merasa takut kehilangan orang lain..dengan dalih bahwa kita mencintai orang tersebut. Sebenernya tidak demikian. Kita takut orang –yang katanya kita cintai itu pergi—karena kita membayangkan, alangkah sepi dan berbedanya kehidupan kita jika orang tersebut tidak lagi di sini. Alangkah ga enaknya hidup kita tanpa orang itu..Alangkah sepinya..Alangkah ga berwarnya..Dan semua hal yang ga ngenakin..
Well, aku kemudian berpikir, sering banget aku nulis..I am afraid of missing him..Ato pernah juga aku sampaikan ma orang yang bersangkutan viasms, i am afraid of missing you...Namun sebenere, mengapa aku harus takut kehilangan dia? Mengapa aku seakan dak rela jika orang itu pergi? Benerkah itu karena aku menyanyanginya? Ato, seperti yang disampaikan guruku, hanya simbol sekaligus perwujudan dari egoismeku? Hm, sampai di sini aku mulai menaruh curiga pada diriku sendiri..Jangan-jangan aku sok-sokan bilang gitu karena emang aku egois dan dak mau beranjak dari babak kehidupan yang buat aku kerasa mengasyikkan?
Lama aku berpikir, menghubungkan beberapa kejadian yang kualami dengan praduga itu...Diam-diam aku membenarkannya..Kadang aku hanya menjadikan orang yang kusayangi sebagai simbol dari egoismeku..Lalu seberapa besar? Dan benarkah mutlak begitu? Apa tidak ada anomali? Hm..Aku juga belum tau dan belum berani memprediski..Intine aku baru pada tahap menyadari, bahwa term cinta itu mungkin dan barangkali benar adalah term yang serrrrrrrrring banget dijadikan legalitas sekaligus justifikasi untuk (melakukan) hal apapun, bahkan hal yang pada esensinya bertolakbelakang dengan cinta itu sendiri..Seperti halnya juga egoisme pribadi..
Aku bilang, aku sayang sama seseorang dan aku mau dia tetap di sini dan dak ke mana-mana. Kalopun sebenere perasaan itu ada, tapi seberapa jauh aku bisa mereduksi perasaan –yang katanya tulus—itu dari egoisme diri? Lha misalnya, kalo dia pergi dan dak lagi di sini, apa urusanku? Bukankah dia memiliki dunianya sendiri? Dan aku hanya bagian dari kehidupannya? Bukankah pada akhirnya manusia akan benar-benar sendiri dan mengandalkan dirinya sendiri?
Tidakkah sebenernya yang paling bercokol di pikiranku adalah...Mmm..Kalo dia pergi, ga ada lagi orang yang akan selalu ada untuk aku, ga akan ada lagi ritual-ritual unplanned tapi juga addicted itu, dan ga akan ada lagi hal-hal yang sudah biasa aku lewati pada momen-momen sebelumnya. Jika begitu, sebenere aku lebih mengkhawatirkan keadaanku sendiri setelah orang itu pergi tow? Bukan karena aku lebih menghawatirkan keadaan orang yang aku sayangi itu? Aku lebih membayangkan bagaimana diriku akan sendiri jika tak ada dia lagi. Bukan begitu??
Lalu, lebih jahat siapa dwonk, orang yang meninggalkan dan yang ditinggalkan? Embuh ah, yang jelas buat aku sekarang, sesakit apapun alur yang diciptakan Tuhan, nyeri dan pedih itu akan menelan dan ditelan waktu..Asal manusianya aja mau selalu terus mencari langit yang lebih biru..Membesarkan hatinya sendiri, mengkondisikan diri agar semuanya segera baik-baik saja, dan juga meyakini bahwa Tuhan dak pernah sembarangan ngatur alur bagi hamba-Nya..He will always give the best...Ya, sebab dalam teoriku, seberapapun seseorang itu mendapatkan kesialan, pasti masih ada celah-celah yang bisa membuat dia bersyukur. Misalnya dengan membandingkan kejadian yang lebih ga ngenakin. Pada akhirnya dia akan bilang gini, ‘Untung masih ndak gini gini..., walaupun aku uda gitu gitu..’
Wewlwh, kenapa bisa selancar ini nulisnya meski mungkin terlalu berapi-api dan akhirnya kalimatku malah acak-adut? Hm..Aku sebenere ga tengah merasa kehilangan seseorang hingga aku merasa ada tarik menarik antara perasaan cinta dan egoisme diri. Cuma emang ada beberapa kejadian—yang dialami orang lain dan secara dak sengaja aku ketahui—dan kemudian mengilhamiku untuk menulis selancar itu. He, nyaris tanpa rem...Ide-ide seakan berhamburan menghujani otak dan jari-jariku...
Nah trus...Aku kemudian berpikir, hal teraman dan ternyaman apakah yang bisa dilakukan manusia yang mengaku mencintai seseorang dalam mereduksi egoisme pribadinya?! Hehehe..Ne aku siapin cadangan untuk diriku sendiri aja sebenere...Meski semuanya hanya teori, tapi aku pikir mending dech, dibanding ga ada sama sekali teori. Heheeeee. Mmm..Alternatifnya menurut aku adalah, berbesar hati ajah...Dengan mengambil kaidah ‘aku bahagia bila kamu bahagia’..
Hehehe..jadi melanko. Nda gitu amat sech..Aku sebenere cuma berpikir bahwa cara teraman dan ternyaman itu adalah membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri...dalam artian kalo pun seseorang itu harus pergi (karena pada akhirnya semua manusia akan melewati alur kehidupannya seorang diri), kita harus bisa make sure kalo dia baik-baik saja. Dan jika dia sudah berada dalam keadaan yang lebih enak dari sebelumnya, kita bisa tersenyum mengingat segala hal tentang dia. No tear anymore. No regret anymore...dan biarkan alur hidup mengalir dengan sendirinya...
Emang urgen banget tu, untuk sejak dini membangun apa yang namanya ketegaran, kebesaran hati, dan silabi-silabi lain kurikulum kehidupan. Ya, sebab Tuhan pasti ngasih yang terbaik untuk hambaNya...Dan juga yang tidak kalah penting adalah bahwa...Mmm..Aku harus segera belajar mengurangi ketergantungan pada orang lain..Dalam segala hal apapun. Sebab memang pada akhirnya, manusia akan benar-benar sendiri. Lalu sampai kapan kita akan mengandalkan orang lain? Tidakkah kita punya sangat banyak potensi untuk bertahan dan mengandalkan diri sendiri??
*) Untuk beberapa kejadian
Yang mengilhami lahirnya tulisan ini..
Sekarang...What will i write?
Aku jadi ikut2an kebingungan dan kesulitan nentuin judul tulisan..Masalane aku maunya yang gaya-gaya dan tidk terlalu normatif. Sok-sokan niru ksatria sebenre, lagian aku juga lebih suka baca essai ketimbang artikel ilmiah yang kadang 2ton-an itu. Alhasil aku selalu bikin judul yang gaya-gaya sok ngesai gitu pas bikin tulisan untuk kepentingan akademik. Dari situ juga aku malah kikuk untuk bikin judul yang normatif..Hmhm, yakni di SKRIPSIku!! Ow, em ji..bagaimanakah yang terjadi? Hehehe..Yaudahlah, hari ini aku ingin menulis tentang...
Mmm...Cinta, egoisme, dan Kebesaran Hati *)
Aku tiba-tiba inget dengan perkataan guruku pas aku masih di NJ dulu. Guru itu adalah orang seetnisku yang ambil jurusan psikologi..Namun jangan kira dia bukan kitabiyah. Dia itu genuine orang yang bahasa Arab, Nahwu, dan Sharrafnya bisa diandalkan. Bapak ne kueren banget..Dan cara ngajarnya juga lumayan enak..Meski kalo spoilednya kumat, dia bisa manyun-manyun long term pake acara ga masuk kelas..(Loh, koq malah ngomongin guru di sini? He...Sekadar mengingat beliau dech, lagian aku ndak nyebutin namanya..jadi kalo bukan anak WaliSongo, agaknya gak akan mudeng..)
Ok, dia pernah bilang..Bahwa sebenere egoismu itu kerap dibahasakan dengan cinta..Is it right? Ya pas itu aku tolak asumsinya mentah2 dan gajebo2. Apalagi pas beliau bilang gini, kita sering merasa takut kehilangan orang lain..dengan dalih bahwa kita mencintai orang tersebut. Sebenernya tidak demikian. Kita takut orang –yang katanya kita cintai itu pergi—karena kita membayangkan, alangkah sepi dan berbedanya kehidupan kita jika orang tersebut tidak lagi di sini. Alangkah ga enaknya hidup kita tanpa orang itu..Alangkah sepinya..Alangkah ga berwarnya..Dan semua hal yang ga ngenakin..
Well, aku kemudian berpikir, sering banget aku nulis..I am afraid of missing him..Ato pernah juga aku sampaikan ma orang yang bersangkutan viasms, i am afraid of missing you...Namun sebenere, mengapa aku harus takut kehilangan dia? Mengapa aku seakan dak rela jika orang itu pergi? Benerkah itu karena aku menyanyanginya? Ato, seperti yang disampaikan guruku, hanya simbol sekaligus perwujudan dari egoismeku? Hm, sampai di sini aku mulai menaruh curiga pada diriku sendiri..Jangan-jangan aku sok-sokan bilang gitu karena emang aku egois dan dak mau beranjak dari babak kehidupan yang buat aku kerasa mengasyikkan?
Lama aku berpikir, menghubungkan beberapa kejadian yang kualami dengan praduga itu...Diam-diam aku membenarkannya..Kadang aku hanya menjadikan orang yang kusayangi sebagai simbol dari egoismeku..Lalu seberapa besar? Dan benarkah mutlak begitu? Apa tidak ada anomali? Hm..Aku juga belum tau dan belum berani memprediski..Intine aku baru pada tahap menyadari, bahwa term cinta itu mungkin dan barangkali benar adalah term yang serrrrrrrrring banget dijadikan legalitas sekaligus justifikasi untuk (melakukan) hal apapun, bahkan hal yang pada esensinya bertolakbelakang dengan cinta itu sendiri..Seperti halnya juga egoisme pribadi..
Aku bilang, aku sayang sama seseorang dan aku mau dia tetap di sini dan dak ke mana-mana. Kalopun sebenere perasaan itu ada, tapi seberapa jauh aku bisa mereduksi perasaan –yang katanya tulus—itu dari egoisme diri? Lha misalnya, kalo dia pergi dan dak lagi di sini, apa urusanku? Bukankah dia memiliki dunianya sendiri? Dan aku hanya bagian dari kehidupannya? Bukankah pada akhirnya manusia akan benar-benar sendiri dan mengandalkan dirinya sendiri?
Tidakkah sebenernya yang paling bercokol di pikiranku adalah...Mmm..Kalo dia pergi, ga ada lagi orang yang akan selalu ada untuk aku, ga akan ada lagi ritual-ritual unplanned tapi juga addicted itu, dan ga akan ada lagi hal-hal yang sudah biasa aku lewati pada momen-momen sebelumnya. Jika begitu, sebenere aku lebih mengkhawatirkan keadaanku sendiri setelah orang itu pergi tow? Bukan karena aku lebih menghawatirkan keadaan orang yang aku sayangi itu? Aku lebih membayangkan bagaimana diriku akan sendiri jika tak ada dia lagi. Bukan begitu??
Lalu, lebih jahat siapa dwonk, orang yang meninggalkan dan yang ditinggalkan? Embuh ah, yang jelas buat aku sekarang, sesakit apapun alur yang diciptakan Tuhan, nyeri dan pedih itu akan menelan dan ditelan waktu..Asal manusianya aja mau selalu terus mencari langit yang lebih biru..Membesarkan hatinya sendiri, mengkondisikan diri agar semuanya segera baik-baik saja, dan juga meyakini bahwa Tuhan dak pernah sembarangan ngatur alur bagi hamba-Nya..He will always give the best...Ya, sebab dalam teoriku, seberapapun seseorang itu mendapatkan kesialan, pasti masih ada celah-celah yang bisa membuat dia bersyukur. Misalnya dengan membandingkan kejadian yang lebih ga ngenakin. Pada akhirnya dia akan bilang gini, ‘Untung masih ndak gini gini..., walaupun aku uda gitu gitu..’
Wewlwh, kenapa bisa selancar ini nulisnya meski mungkin terlalu berapi-api dan akhirnya kalimatku malah acak-adut? Hm..Aku sebenere ga tengah merasa kehilangan seseorang hingga aku merasa ada tarik menarik antara perasaan cinta dan egoisme diri. Cuma emang ada beberapa kejadian—yang dialami orang lain dan secara dak sengaja aku ketahui—dan kemudian mengilhamiku untuk menulis selancar itu. He, nyaris tanpa rem...Ide-ide seakan berhamburan menghujani otak dan jari-jariku...
Nah trus...Aku kemudian berpikir, hal teraman dan ternyaman apakah yang bisa dilakukan manusia yang mengaku mencintai seseorang dalam mereduksi egoisme pribadinya?! Hehehe..Ne aku siapin cadangan untuk diriku sendiri aja sebenere...Meski semuanya hanya teori, tapi aku pikir mending dech, dibanding ga ada sama sekali teori. Heheeeee. Mmm..Alternatifnya menurut aku adalah, berbesar hati ajah...Dengan mengambil kaidah ‘aku bahagia bila kamu bahagia’..
Hehehe..jadi melanko. Nda gitu amat sech..Aku sebenere cuma berpikir bahwa cara teraman dan ternyaman itu adalah membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri...dalam artian kalo pun seseorang itu harus pergi (karena pada akhirnya semua manusia akan melewati alur kehidupannya seorang diri), kita harus bisa make sure kalo dia baik-baik saja. Dan jika dia sudah berada dalam keadaan yang lebih enak dari sebelumnya, kita bisa tersenyum mengingat segala hal tentang dia. No tear anymore. No regret anymore...dan biarkan alur hidup mengalir dengan sendirinya...
Emang urgen banget tu, untuk sejak dini membangun apa yang namanya ketegaran, kebesaran hati, dan silabi-silabi lain kurikulum kehidupan. Ya, sebab Tuhan pasti ngasih yang terbaik untuk hambaNya...Dan juga yang tidak kalah penting adalah bahwa...Mmm..Aku harus segera belajar mengurangi ketergantungan pada orang lain..Dalam segala hal apapun. Sebab memang pada akhirnya, manusia akan benar-benar sendiri. Lalu sampai kapan kita akan mengandalkan orang lain? Tidakkah kita punya sangat banyak potensi untuk bertahan dan mengandalkan diri sendiri??
*) Untuk beberapa kejadian
Yang mengilhami lahirnya tulisan ini..
Hmhm...
G3 (Gu` gang gu`)
Sabtu, 20 Maret 2010
Smoga smua akan baik2 saja..
3 Pertanyaan dan Jawaban tentang
Tafsir Al Bayani Karya Bint Syathi’
Oleh Ita, Farhan, Abrori
Mukaddimah
Ada dua alasan dasar mengapa Bintu Syathi’ maupun tafsirnya bisa memiliki daya tarik untuk dibahas. Alasan yang pertama adalah karena Bintu Syathi’ merupakan murid langsung (sekaligus isteri) seorang cendekiawan yang disebut-sebut turut ikut andil dalam melahirkan ‘madzhab’ revolusioner tafsir sayap adabi ijtimai, yakni Amin Al Khuli. Kelahiran tafsir adabi ijtimai yang merupakan ‘tawaran alternatif’ dari penafsiran klasik (maupun sayap tafsir ilmi) tentu merupakan angin segar bagi dunia penafsiran Al-Qur’an. Semangat untuk memberikan tawaran baru yang lebih representatif dalam dunia tafsir memang patut diapresiasi. Semangat tersebut agaknya masih bisa sangat dirasakan dengan membaca tafsir Bintu Syathi’ ini.
Alasan kedua adalah adanya pertanyaan besar dalam benak penulis, mengenai arah tafsir adabi-ijtimai maupun madzhab tafsir tematik yang disebut-sebut merupakan dua hal yang melekat pada tafsir ini. Jika memang tafsir bintu Syathi’ merupakan tafsir tematik, mengapa tidak ada tema besar yang diusungnya (seperti halnya Sayyid Quthb yang mengusung tema riba)? Bintu Syathi’ justeru menafsirkan empat belas surat pendek yang berada dalam bagian akhir mushaf Ustmani. Asumsi bahwa keempat belas surat tersebut membahas satu tema besar yang sama agaknya tidak bisa dipertahankan meski hanya dengan sekilas melihat ayat-ayat tersebut. Lalu bagaimanakah menggabungkan nuansa tafsir sastra-sosial dengan tafsir tematik dalam sebuah karya? Beberapa pertanyaan itulah yang menjadi starting point penulisan makalah ini.
Siapakah Bintu Syathi’?
Seperti kebanyakan para cendekiawan lain, Bintu Syathi’ termasuk orang yang beruntung sebab sedari kecil beliau memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan suportif bagi perkembangan akademiknya. Sebelum usia sepuluh tahun, Bintu Syathi’ kecil sudah dikirim ke sebuah lembaga pendidikan untuk belajar membaca dan menghafalkan Al-Qur’an. Kakek Bintu Syathi’ sendiri adalah seorang ulama’ besar Azhar, sehingga tidaklah mengherankan jika pada usia sedini itu, Bintu Syathi’ telah dikondisikan untuk bisa akrab dengan iklim akademik.
Mufassir yang pada awal karier akademiknya ini menggeluti kajian bahasa dan sastra Arab bernama asli Aisha Bintu Abdurrahman. Konon ia menggunakan nama pena Bintu Syathi’ untuk menyembunyikan identitas dari sang ayah. Penamaan Bintu Syathi’ sendiri dilatarbelakangi oleh setting geografis tempat Aisha dilahirkan dan dibesarkan, yakni di tepi sungai nil. Tiga jenjang pendidikan tinggi yang dilaluinya tidak begitu banyak menghadapi rintangan berkat kejeniusan dan ketekunannya.
Dalam tiga jenjang pendidikan tinggi tersebut (sarjana, magister, dan doktoral), Bintu Syathi’ menekuni satu konsentrasi, yakni bahasa dan sastra Arab. Namun begitu, Bintu Syathi’ bukanlah seorang mahasiswi akademisi an-sich yang hanya berkutat dengan diktat-diktat kuliah. Di luar kesibukannya di kampus, Bintu Syathi’ juga memiliki karier yang cukup cemerlang di dunia jurnalistik. Tulisannya banyak muncul di mana-mana dan momen inilah yang kemudian menjadi setting historis dicetuskannya nama pena Bintu Syathi’.
Meski sedari kecil Bintu Syathi’ sudah memiliki intensitas yang cukup tinggi dengan segala hal tentang Al-Qur’an, akan tetapi minatnya ke arah tafsir baru muncul manakala ia berkenalan dengan dosen yang keudian menjadi suaminya, Prof. Amin Al Khuli. Dari sinilah, muncul keinginan Bintu Syathi’ untuk menggunakan keahliannya (dalam bidang bahasa dan sastra Arab) sebagai andalan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Meski begitu, Bintu Syathi’ tidaklah hanya berhasil menulis kitab tafsir ini, ada banyak karya-karyanya yang lain dan telah terpublikasi secara luas, meski tidak sepopuler tafsir Al Bayaninya.
Pada awal Desember 1998, cendekiawan yang juga produktif ini menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 85 tahun. Meskipun tafsir Al Bayani yang ditulisnya tidak membedah semua ayat dan surat dalam Al-Qur’an, akan tetapi metode yang digunakan Bintu Syathi’ dalam tafsirnya ini banyak berpengaruh terhadap produk-produk tafsir sesudahnya. 1
Sekilas Pandang (Metodologi) Tafsir Al Bayani
Tafsir Al Bayani lil Quranil Karim ini adalah sebuah tafsir yang ditulis oleh Bintu Syathi’ dengan membedah empat belas surat pendek yang ada dalam Al-Qur’an. Keempat belas surat itu adalah; Surat Al-duha, Al-syarh, Al-zalzalah, Al-adiyat, Al-nazi’at, Al-balad, Al-takatsur (juz I), Al-alaq, Al-qalam, Al-ashr, Al-lail, Al-fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un (juz II). Sejauh ini penulis belum menemukan referensi yang menyebutkan alasan mengapa Bintu Syathi’ lebih memilih keempat belas surat ini dibanding surat-surat lain yang ada dalam Al-Qur’an.
Alsan paling konkret dalam pemilihan keempat belas surat itu adalah karena surat-surat tersebut tersusun berurutan dalam standar mushaf Usmani. Kendati hanya membedah empat belas surat ini secara mendetail, hal ini tidak berarti bahwa ayat-ayat dalam surat lain tidak tercover dalam penjelasan-penjelasan yang dipaparkan Bintu Syathi’. Sebab dalam tafsirnya ini, Bintu Syathi’ sangat jelas menggunakan metode munasabah antarayat, khususnya untuk mengetahui akar kata dan ragam penggunaan suatu lafadz dengan mengkomparasikan beberapa ayat lain yang tidak masuk dalam pembahasan inti.
Kendati Bintu Syathi’ dianggap sebagai mufassir era kontemporer, perempuan satu ini agaknya belum bisa tercerabut dan melepaskan diri dari kaidah yang dipakai mufassir sebelumnya, yakni bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhum ba’dha.
Ada rentang waktu lima tahun antara penerbitan tafsir Al Bayani jilid pertama dan jilid kedua. Menurut pengakuan Bintu Syathi’ sendiri, hal ini dilatarbelakangi oleh kesibukannya yang bejibun dan banyaknya perangkat yang harus dikantonginya untuk benar-benar menseriusi karya masterpiece-nya ini2. Penulis membayangkan sendainya Allah masih memberikan umur yang lebih panjang pada Bintu Syathi’, barangkali Srikandi ini akan menulis jilid ketiga tafsirnya atau bahkan menulis tafsir ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.
Sebagai tafsir yang muncul pada era kontemporer, tidaklah mengherankan jika kemudian tafsir Al Bayani ini sarat dengan semangat-semangat pembaharuan tafsir yang dicetuskan oleh satu generasi sebelumnya. Meski tidak bisa sepenuhnya terlepas dari kaidah-kaidah yang dipakai mufassir era klasik ataupun mufassir sayap ilmi, akan tetapi tafsir kontemporer adabi ijtimai, yang salah satunya direpresentasikan oleh tafsir Al Bayani ini sudah mampu memberikan tawaran yang cukup berasalan dan argumentatif; dengan tidak hanya mendekonstruksi, namun juga merekonstruksi.
Salah satu ciri yang –barangkali—begitu ingin diminimalisir dari produk tafsir klasik adalah pembahasan yang masih atomistis dan miopis. Hal ini diwujudkan Bintu Syathi’ dengan penjelasan yang cukup memadai mengenai suatu term tertentu. Jika dalam sebuah ayat terdapat term kunci, maka Bintu Syathi’ akan memberikan pemaparan mengenai beberapa penggunaan lafad (kata kunci tersebut) dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an yang juga memuat lafadz yang sama, meski terkadang dalam bentuk (sighat) yang berbeda.
Dengan langkah ini, Bintu Syathi’ agaknya mengharapkan pembacanya untuk bisa memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai sebuah term kunci dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, pemahaman terhadap sebuah term tidak hanya didasarkan pada penggunaan term tersebut dalam sebuah ayat, namun juga dibandingkan dengan ayat lain yang memuat term yang sama. Hal ini tentu berbeda dengan mufassir klasik yang cenderung menafikan aspek munasabah dalam konteks yang satu ini dan hanya menjelaskan sebuah term dalam suatu ayat tanpa membandingkannya dengan ayat-ayat yang lain.
Untuk menulis tafsirnya ini, Bintu Syathi’ menggunakan empat metodologi mayor yang menjadi acuannya dalam menulis keseluruhan bagian dalam tafsir ini. Keempat metodologi ini sebenarnya merupakan kolaborasi antara gagasan Al Khuli dengan Bintu Syathi’. Al Khuli yang juga dianggap sebagai pelopor dan atau pendukung garda depan tafsir adabi ijtima’i ini tidak sempat mengaplikasikan teori yang dicetuskannnya dalam bentuk tafsir. Faktor inilah yang barangkali juga mendorong Bintu Syathi’ untuk mengembangkan teori yang digagas suaminya dan menuliskannya dalam bentuk tafsir.
Produk pemikiran Bintu Syathi’ yang tidak terkover dalam empat point tersebut di atas ternyata juga banyak memberikan pencerahan dalam dunia tafsir. Terlebih, teori yang dicetuskan Bintu Syathi’ diperkuat dengan bebeapa bukti yang sangat menguatkan. Sebagai contoh, saat Bintu Syathi’ menggagas bahwa tidak ada sinonimitas dalam Al-Qur’an, beliau juga sudah siap dengan data-data lengkap yang bisa mengukuhkan teorinya tersebut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan spesifikasi jurusan yang ditekuni Bintu Syathi’, yakni kajian bahasa dan sastra Arab.
3 Pertanyaan dan Jawaban tentang Tafsir Al Bayani
Seberapa besar Bintu Syathi’ terpengaruh oleh Amin Al Khuli?
Kontaminasi Al Khuli dalam metodologi dan produk tafsir Bintu Syathi’ setidaknya tercermin dari dua gagasan Al Khuli yang belakangan dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dalam empat metodologi tafsirnya. Al Khuli menggagas bahwa ada dua konsep metode penafsiran kesusateraan, yakni studi tekstual Al-Qur’an dan studi kontekstual Al-Qur’an. 3
Point pertama kemudian dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dengan mengatakan bahwa pilar pertama penafsiran kesusateraan adalah dengan memperlakukan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diinginkan Al-Qur’an secara objektif. Hal ini berkaitan erat dengan aspek tekstualitas Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an yang memakai Bahasa Arab tentunya mewakili apa yang ingin disampaikan Tuhan pada manusia. Karena bahasa adalah sebuah alat komunikasi yang sifatanya konvensi dan fleksibel (misalnya dalam penggunaan), maka langkah yang kemudian diambil oleh Bintu Syathi’ adalah dengan mengumpulkan ayat-ayat yang memuat lafadz yang sama untuk kemudian dibandingkan dan ditentukan makna manakah yang paling representatif.
Pilar pertama ini berkutat pada aspek bahasa dan sastra, seperti apakah akar kata term kunci dalam sebuah ayat, bagaimanakah evolusi penggunaannya, dan apa saja pengertian yag dikandung oleh sebuah term. Permasalahan bahasa juga dikupas dalam point ketiga dan keempat yang mengatakan bahwa untuk memahami dilalah alfadz yang disampaikan Al Qur’an, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistik asli dan dalam memahami pernyataan-pernyataan yang sulit dalam sebuah ayat, maka ayat tersebut harus dipelajari dan diperhitungkan semua kemungkinan maksudnya dengan juga mengkomparasikan dengan pendapat para ulama.
Sedangkan studi kontekstual yang digagas Al Khuli kemudian dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dengan mencetukan pilar kedua dari empat metodologinya, yakni bahwa untuk memahami konteks pewahyuan, maka ayat-ayat di sekitar gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul). Namun begitu, sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat mutlak pewahyuan, sebab “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi la bikhususi sabab”.
Dengan demikian, penulis sementara berkesimpulan bahwa metodologi yang dicetuskan Bintu Syathi’ merupakan follow-up dan atau pengembangan dari dua kriteria yang sebelumnya digagas oleh Al-Khuli. Jika kemudian metodologi yang dijadikan acuan oleh Bintu Syathi’ lebih mendetail dan aplikatif, maka hal yang demikin –barangkali—dilatarbelakangi karena Bintu Syathi’ sudah masuk dalam ranah praktik atau aplikasi metodologi penafsiran, tidak seperti Al Khuli yang tidak sempat menerapkan metodologinya dalam bentuk sebuah karya tafsir.
Bagaimana Aplikasi Metodologi Bintu Syathi’ dalam Produk tafsir yang Dihasilkan?
Ada empat pilar metodologi yang dipakai Bintu Syathi’ dalam menghasilkan produk tafsirnya, yakni: 4
Memperlakukan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diinginkan Al-Qur’an secara objektif
Untuk memahami konteks pewahyuan, maka ayat-ayat di sekitar gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul).Namun begitu, sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat mutlak pewahyuan, sebab “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi la bikhususi sabab”.
Untuk memahami dilalah alfadz yang disampaikan Al Qur’an, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistik asli
Dalam memahami pernyataan-pernyataan yang sulit dalam sebuah ayat, maka ayat tersebut harus dipelajari dan diperhitungkan semua kemungkinan maksudnya dengan juga mengkomparasikan dengan pendapat para ulama.
Adapun aplikasi dalam keempat metode ini dalam produk tafsirnya, yakni Tafsir Al Bayani adalah sebagai berikut;
Ketika menafsirkan asbabun nuzul surat Al-Duha, Bintu Syati’ memaparkan beberapa pendapat ulama’ mengenai asbabun nuzul ayat ini. Pendapat beberapa ulama’ tersebut berbeda-beda antarsatu dengan yang lain. Bintu Syath’ kemudian menutup penjelasannya tersebut dengan menegaskan bahwa asbabun nuzul tidak lebih dari sekadar qarinah-qarinah (konteks) di seputar nash.
Jadi andaikan asbabun nuzul dalam ayat ini (yang menurut sebagian ahli adalah pada saat Nabi Muhammad terlambat menerima wahyu) tidak terjadi, maka ayat ini tetap akan turun. Asbabun nuzul bagi Bintu Syathi’ bukan merupakan sebuah keniscayaan apalagi syarat mutlak turunnya ayat, akan tetapi hanyalah sekadar konteks yang melatarbelakangi (dan kebetulan berbarengan dengan) turunnya suatu ayat.
Asumsi Bintu Syathi’ yang demikian ini bukannya tanpa alasan. Ia beranggapan demikian setidak-tidaknya karena tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbabun nuzul dan rwayat mengenai asbabun nuzul masih memiliki sangat banyak wahm. Inilah aplikasi dari pilar metodologi kedua yang digagas oleh Bintu Syathi’. 5
Sedangkan aplikasi metodologi penafsiran dari sisi tekstual yang oleh Bintu Sytathi’ kemudian dikembangkan menjaid tiga pilar metodologinya dapat dilihat dalam penjelasan berikut berikut:
Pada pilar metodologi pertama, Bintu Syathi’ menegaskan bahwa Al-Qur’an harus diperlakukan secara objektif. Hal ini dilakukan dengan pengumpulan semua ayat yang memuat term yang ingin dibedah. Sebagai contoh, saat Bintu Syathi’ membahas term kunci duha, maka beliau tidak hanya mengupas ayat pertama surat Al-Duha, namun juga memaparkan term-term duha yang terdapat dalam ayat lain, semisal ayat 46, 29 surat Al-Nazi’at, ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat 59 surat Thaha.
Setelah mengumpulkan beberapa ayat yang memuat term kunci duha (aplikasi dari pilar pertama metodologi Bintus-Syathi), maka Bintu Syathi’ kemudian menerapkan pilar ketiga metodologinya, yakni mencari arti linguistik dari term duha. Pemaparan beliau kemudian dikemas dengan penyebutan beberapa bentuk (sighat) dan penggunaan yang akar katanya adalah duha, semisal al-dahiyah (unta yang minum pada waktu duha), dahha (mengorbankan kambing pada waktu duha), yaum adhha (hari berkumpulnya kambing yang akan disembelih pada hari raya qurban—waktu duha—) dahiyah (langit yang terkena sinar matahari), dan bebeapa term lain serta penyebutan maknanya.
Bintu Syathi’ juga mengemukakan bahwa bahwa Al-Qur’an menjadikan lafadz duha sebagai antonim dari lafadz ‘asyiyyah (senja hari) pada ayat 29 dan 46 surat Al-Nazi’at, ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat 59 surat Thaha. Ia kemudian juga membeberkan beberapa pandangan ulama’ mengenai arti kata maupun penggunaan term duha ini, sebelum pada akhirnya menyatakan di mana posisinya dalam memandang term duha. 6 Beberapa hal inilah yang menjadi aplikasi dari pilar ketiga metodologi penafsiran Bintu Syathi’. Dari point ini kita juga bisa melihat bahwa Bintu Syathi’ sangatlah apresiatif terhadap hasil pemikiran dan atau penafsiran ulama terdahulu, meski ia selalu menegaskan posisinya, baik mendukung atau menentang pendapat terdahulu tersebut.
Adapun aplikasi dari pilar keempat metodologi penafsiran Bintu Syathi’ senyatanya masih berkaitan erat dengan contoh yang baru saja dipaparkan. Dengan demikian setelah mengumpulkan beberapa ayat yang memuat sebuah term kunci, membandingkan ragam makna dalam berbagai penggunaannya dan mengutip (dengan mendukung atau menolak) pemikiran mufassir sebelumnya, Bintu Syathi’ berusaha memperhitungkan semua kemungkinan makna yang dimiliki sebuah lafadz. Dan untuk melakukan hal ini, Bintu Syathi’ menggunakan analisis tekstual dan kontekstual dari tiga pilar metodologi yang sudah disebutkan sebelumnya. Ia memperhitungkan dan membahas semua kemungkinan ma’na yang bisa dimiliki oleh sebuah ayat, namun dalam point ini juga, ia menjauhkan ‘intervensi’ israiliyat, paham sektarian, dan takwil yang berbau bid’ah untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sebuah term dan atau ayat.
Bagaimana implikasi dari ‘semangat tematik’ yang diinginkan Bintu Syathi’?
Jika tafsir ini dikatakan sebagai tafsir tematik, maka tafsir ini berbeda dengan kebanyakan tafsir tematik lain yang mengumpulkan beberapa ayat yang membahas sebuah tema. Sebut saja misalnya tafsir Sayyid Quthb, Tafsir Ayat Riba yang membahas masalah riba. Ia memilih semua ayat (dari beberapa surat Al-Qur’an) yang membahas permasalahan riba untuk kemudian memiliki pemahaman yang utuh mengenai term tersebut. Bintu Syathi’ tidaklah demikian. Aroma tematik yang terdapat dalam produk tafsirnya lebih kepada tafsir tematik sastra.
Dalam artian, ketika menafsiri sebuah ayat, ia memfokuskan pembahasan pada satu atau bebeapa term kunci yang ada dalam ayat tersebut. Dalam ayat pertama surat Ad-Duha misalnya, ia memfokuskan pembahasan pada term duha. Bintu Syathi’ akan membahas lafadz-lafadz duha yang tersebar dalam surat-surat yang berbeda. Dengan demikian, tematik di sini tidak pada aspek bahasan secara umum, namun lebih kepada pembahasan sebuah kata (term) menurut beberapa sighat, penggunaan, dan maknanya.
Pemahaman yang utuh mengenai sebuah term kata kunci ini kemudian akan menjadi bekal untuk bisa menentukan kemungkinan makna manakah yang paling representatif untuk sebuah ayat.
Khatimah
Sebuah tafsir adalah jembatan akademik yang menghubungkan periode sebelum dan sesudah kelahirannya. Kehadiran sebuah tafsir kurang lebih merupakan kritik dan alternatif dari produk-produk tafsir sebelumnya, meski ia tidak bisa lepas dari metodologi maupun produk penafsiran sebelumnya. Jika tafsir Al Bayani merupakan sebuah karya tafsir yang berupaya menawarkan gagasan alternatif setelah dunia tafsir lama dikuasai oleh hegemoni penafsiran klasik yang atomitis dan penafsiran ilmi yang apologetik, maka tafsir ini juga mengilhami lahirnya beberapa karya sesudahnya.
Hemat penulis, tafsir ini lebih menonjolkan sisi adabi-nya, hal ini misalnya dapat diketahui dengan aksentuasi pembahasan yang sangat terfokus pada aspek kebahasaan, sastera, dan linguistik. Sehingga dalam banyak kesempatan, Bintu Syathi kerap hanya terfokus pada pembahasan sastera dan melupakan aspek aplikasi tafsirnya dalam hidup keseharian muslim (sisi ijtima’i). Padahal dalam hemat penulis, idealnya, sebuah tafsir adalah karya yang berupaya membuat Al-Quran lebih mudah difahami dan down to earth bagi muslimin. Meski begitu, karya ini merupakan sumbangan yang patut diapresiasi tinggi. Allah Knows Best
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Aisha. 1977. Tafsir Al Bayani li Al-Qur’ani Al-Karim juz II, cet. 5, Kairo: Dar Al- Ma’arif
Abdurrahman, Aisha. 1996. Tafsir Bintu Syathi’ terj. Mudzakir Abdussalam, Banding: Mizan.
Farhan, Ali. 2010. Amin Al Khuli (1895-1966), makalah, tidak dipublikasikan.
www.islamwomenstudies.com
Tafsir Al Bayani Karya Bint Syathi’
Oleh Ita, Farhan, Abrori
Mukaddimah
Ada dua alasan dasar mengapa Bintu Syathi’ maupun tafsirnya bisa memiliki daya tarik untuk dibahas. Alasan yang pertama adalah karena Bintu Syathi’ merupakan murid langsung (sekaligus isteri) seorang cendekiawan yang disebut-sebut turut ikut andil dalam melahirkan ‘madzhab’ revolusioner tafsir sayap adabi ijtimai, yakni Amin Al Khuli. Kelahiran tafsir adabi ijtimai yang merupakan ‘tawaran alternatif’ dari penafsiran klasik (maupun sayap tafsir ilmi) tentu merupakan angin segar bagi dunia penafsiran Al-Qur’an. Semangat untuk memberikan tawaran baru yang lebih representatif dalam dunia tafsir memang patut diapresiasi. Semangat tersebut agaknya masih bisa sangat dirasakan dengan membaca tafsir Bintu Syathi’ ini.
Alasan kedua adalah adanya pertanyaan besar dalam benak penulis, mengenai arah tafsir adabi-ijtimai maupun madzhab tafsir tematik yang disebut-sebut merupakan dua hal yang melekat pada tafsir ini. Jika memang tafsir bintu Syathi’ merupakan tafsir tematik, mengapa tidak ada tema besar yang diusungnya (seperti halnya Sayyid Quthb yang mengusung tema riba)? Bintu Syathi’ justeru menafsirkan empat belas surat pendek yang berada dalam bagian akhir mushaf Ustmani. Asumsi bahwa keempat belas surat tersebut membahas satu tema besar yang sama agaknya tidak bisa dipertahankan meski hanya dengan sekilas melihat ayat-ayat tersebut. Lalu bagaimanakah menggabungkan nuansa tafsir sastra-sosial dengan tafsir tematik dalam sebuah karya? Beberapa pertanyaan itulah yang menjadi starting point penulisan makalah ini.
Siapakah Bintu Syathi’?
Seperti kebanyakan para cendekiawan lain, Bintu Syathi’ termasuk orang yang beruntung sebab sedari kecil beliau memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan suportif bagi perkembangan akademiknya. Sebelum usia sepuluh tahun, Bintu Syathi’ kecil sudah dikirim ke sebuah lembaga pendidikan untuk belajar membaca dan menghafalkan Al-Qur’an. Kakek Bintu Syathi’ sendiri adalah seorang ulama’ besar Azhar, sehingga tidaklah mengherankan jika pada usia sedini itu, Bintu Syathi’ telah dikondisikan untuk bisa akrab dengan iklim akademik.
Mufassir yang pada awal karier akademiknya ini menggeluti kajian bahasa dan sastra Arab bernama asli Aisha Bintu Abdurrahman. Konon ia menggunakan nama pena Bintu Syathi’ untuk menyembunyikan identitas dari sang ayah. Penamaan Bintu Syathi’ sendiri dilatarbelakangi oleh setting geografis tempat Aisha dilahirkan dan dibesarkan, yakni di tepi sungai nil. Tiga jenjang pendidikan tinggi yang dilaluinya tidak begitu banyak menghadapi rintangan berkat kejeniusan dan ketekunannya.
Dalam tiga jenjang pendidikan tinggi tersebut (sarjana, magister, dan doktoral), Bintu Syathi’ menekuni satu konsentrasi, yakni bahasa dan sastra Arab. Namun begitu, Bintu Syathi’ bukanlah seorang mahasiswi akademisi an-sich yang hanya berkutat dengan diktat-diktat kuliah. Di luar kesibukannya di kampus, Bintu Syathi’ juga memiliki karier yang cukup cemerlang di dunia jurnalistik. Tulisannya banyak muncul di mana-mana dan momen inilah yang kemudian menjadi setting historis dicetuskannya nama pena Bintu Syathi’.
Meski sedari kecil Bintu Syathi’ sudah memiliki intensitas yang cukup tinggi dengan segala hal tentang Al-Qur’an, akan tetapi minatnya ke arah tafsir baru muncul manakala ia berkenalan dengan dosen yang keudian menjadi suaminya, Prof. Amin Al Khuli. Dari sinilah, muncul keinginan Bintu Syathi’ untuk menggunakan keahliannya (dalam bidang bahasa dan sastra Arab) sebagai andalan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Meski begitu, Bintu Syathi’ tidaklah hanya berhasil menulis kitab tafsir ini, ada banyak karya-karyanya yang lain dan telah terpublikasi secara luas, meski tidak sepopuler tafsir Al Bayaninya.
Pada awal Desember 1998, cendekiawan yang juga produktif ini menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 85 tahun. Meskipun tafsir Al Bayani yang ditulisnya tidak membedah semua ayat dan surat dalam Al-Qur’an, akan tetapi metode yang digunakan Bintu Syathi’ dalam tafsirnya ini banyak berpengaruh terhadap produk-produk tafsir sesudahnya. 1
Sekilas Pandang (Metodologi) Tafsir Al Bayani
Tafsir Al Bayani lil Quranil Karim ini adalah sebuah tafsir yang ditulis oleh Bintu Syathi’ dengan membedah empat belas surat pendek yang ada dalam Al-Qur’an. Keempat belas surat itu adalah; Surat Al-duha, Al-syarh, Al-zalzalah, Al-adiyat, Al-nazi’at, Al-balad, Al-takatsur (juz I), Al-alaq, Al-qalam, Al-ashr, Al-lail, Al-fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un (juz II). Sejauh ini penulis belum menemukan referensi yang menyebutkan alasan mengapa Bintu Syathi’ lebih memilih keempat belas surat ini dibanding surat-surat lain yang ada dalam Al-Qur’an.
Alsan paling konkret dalam pemilihan keempat belas surat itu adalah karena surat-surat tersebut tersusun berurutan dalam standar mushaf Usmani. Kendati hanya membedah empat belas surat ini secara mendetail, hal ini tidak berarti bahwa ayat-ayat dalam surat lain tidak tercover dalam penjelasan-penjelasan yang dipaparkan Bintu Syathi’. Sebab dalam tafsirnya ini, Bintu Syathi’ sangat jelas menggunakan metode munasabah antarayat, khususnya untuk mengetahui akar kata dan ragam penggunaan suatu lafadz dengan mengkomparasikan beberapa ayat lain yang tidak masuk dalam pembahasan inti.
Kendati Bintu Syathi’ dianggap sebagai mufassir era kontemporer, perempuan satu ini agaknya belum bisa tercerabut dan melepaskan diri dari kaidah yang dipakai mufassir sebelumnya, yakni bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhum ba’dha.
Ada rentang waktu lima tahun antara penerbitan tafsir Al Bayani jilid pertama dan jilid kedua. Menurut pengakuan Bintu Syathi’ sendiri, hal ini dilatarbelakangi oleh kesibukannya yang bejibun dan banyaknya perangkat yang harus dikantonginya untuk benar-benar menseriusi karya masterpiece-nya ini2. Penulis membayangkan sendainya Allah masih memberikan umur yang lebih panjang pada Bintu Syathi’, barangkali Srikandi ini akan menulis jilid ketiga tafsirnya atau bahkan menulis tafsir ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.
Sebagai tafsir yang muncul pada era kontemporer, tidaklah mengherankan jika kemudian tafsir Al Bayani ini sarat dengan semangat-semangat pembaharuan tafsir yang dicetuskan oleh satu generasi sebelumnya. Meski tidak bisa sepenuhnya terlepas dari kaidah-kaidah yang dipakai mufassir era klasik ataupun mufassir sayap ilmi, akan tetapi tafsir kontemporer adabi ijtimai, yang salah satunya direpresentasikan oleh tafsir Al Bayani ini sudah mampu memberikan tawaran yang cukup berasalan dan argumentatif; dengan tidak hanya mendekonstruksi, namun juga merekonstruksi.
Salah satu ciri yang –barangkali—begitu ingin diminimalisir dari produk tafsir klasik adalah pembahasan yang masih atomistis dan miopis. Hal ini diwujudkan Bintu Syathi’ dengan penjelasan yang cukup memadai mengenai suatu term tertentu. Jika dalam sebuah ayat terdapat term kunci, maka Bintu Syathi’ akan memberikan pemaparan mengenai beberapa penggunaan lafad (kata kunci tersebut) dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an yang juga memuat lafadz yang sama, meski terkadang dalam bentuk (sighat) yang berbeda.
Dengan langkah ini, Bintu Syathi’ agaknya mengharapkan pembacanya untuk bisa memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai sebuah term kunci dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, pemahaman terhadap sebuah term tidak hanya didasarkan pada penggunaan term tersebut dalam sebuah ayat, namun juga dibandingkan dengan ayat lain yang memuat term yang sama. Hal ini tentu berbeda dengan mufassir klasik yang cenderung menafikan aspek munasabah dalam konteks yang satu ini dan hanya menjelaskan sebuah term dalam suatu ayat tanpa membandingkannya dengan ayat-ayat yang lain.
Untuk menulis tafsirnya ini, Bintu Syathi’ menggunakan empat metodologi mayor yang menjadi acuannya dalam menulis keseluruhan bagian dalam tafsir ini. Keempat metodologi ini sebenarnya merupakan kolaborasi antara gagasan Al Khuli dengan Bintu Syathi’. Al Khuli yang juga dianggap sebagai pelopor dan atau pendukung garda depan tafsir adabi ijtima’i ini tidak sempat mengaplikasikan teori yang dicetuskannnya dalam bentuk tafsir. Faktor inilah yang barangkali juga mendorong Bintu Syathi’ untuk mengembangkan teori yang digagas suaminya dan menuliskannya dalam bentuk tafsir.
Produk pemikiran Bintu Syathi’ yang tidak terkover dalam empat point tersebut di atas ternyata juga banyak memberikan pencerahan dalam dunia tafsir. Terlebih, teori yang dicetuskan Bintu Syathi’ diperkuat dengan bebeapa bukti yang sangat menguatkan. Sebagai contoh, saat Bintu Syathi’ menggagas bahwa tidak ada sinonimitas dalam Al-Qur’an, beliau juga sudah siap dengan data-data lengkap yang bisa mengukuhkan teorinya tersebut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan spesifikasi jurusan yang ditekuni Bintu Syathi’, yakni kajian bahasa dan sastra Arab.
3 Pertanyaan dan Jawaban tentang Tafsir Al Bayani
Seberapa besar Bintu Syathi’ terpengaruh oleh Amin Al Khuli?
Kontaminasi Al Khuli dalam metodologi dan produk tafsir Bintu Syathi’ setidaknya tercermin dari dua gagasan Al Khuli yang belakangan dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dalam empat metodologi tafsirnya. Al Khuli menggagas bahwa ada dua konsep metode penafsiran kesusateraan, yakni studi tekstual Al-Qur’an dan studi kontekstual Al-Qur’an. 3
Point pertama kemudian dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dengan mengatakan bahwa pilar pertama penafsiran kesusateraan adalah dengan memperlakukan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diinginkan Al-Qur’an secara objektif. Hal ini berkaitan erat dengan aspek tekstualitas Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an yang memakai Bahasa Arab tentunya mewakili apa yang ingin disampaikan Tuhan pada manusia. Karena bahasa adalah sebuah alat komunikasi yang sifatanya konvensi dan fleksibel (misalnya dalam penggunaan), maka langkah yang kemudian diambil oleh Bintu Syathi’ adalah dengan mengumpulkan ayat-ayat yang memuat lafadz yang sama untuk kemudian dibandingkan dan ditentukan makna manakah yang paling representatif.
Pilar pertama ini berkutat pada aspek bahasa dan sastra, seperti apakah akar kata term kunci dalam sebuah ayat, bagaimanakah evolusi penggunaannya, dan apa saja pengertian yag dikandung oleh sebuah term. Permasalahan bahasa juga dikupas dalam point ketiga dan keempat yang mengatakan bahwa untuk memahami dilalah alfadz yang disampaikan Al Qur’an, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistik asli dan dalam memahami pernyataan-pernyataan yang sulit dalam sebuah ayat, maka ayat tersebut harus dipelajari dan diperhitungkan semua kemungkinan maksudnya dengan juga mengkomparasikan dengan pendapat para ulama.
Sedangkan studi kontekstual yang digagas Al Khuli kemudian dikembangkan oleh Bintu Syathi’ dengan mencetukan pilar kedua dari empat metodologinya, yakni bahwa untuk memahami konteks pewahyuan, maka ayat-ayat di sekitar gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul). Namun begitu, sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat mutlak pewahyuan, sebab “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi la bikhususi sabab”.
Dengan demikian, penulis sementara berkesimpulan bahwa metodologi yang dicetuskan Bintu Syathi’ merupakan follow-up dan atau pengembangan dari dua kriteria yang sebelumnya digagas oleh Al-Khuli. Jika kemudian metodologi yang dijadikan acuan oleh Bintu Syathi’ lebih mendetail dan aplikatif, maka hal yang demikin –barangkali—dilatarbelakangi karena Bintu Syathi’ sudah masuk dalam ranah praktik atau aplikasi metodologi penafsiran, tidak seperti Al Khuli yang tidak sempat menerapkan metodologinya dalam bentuk sebuah karya tafsir.
Bagaimana Aplikasi Metodologi Bintu Syathi’ dalam Produk tafsir yang Dihasilkan?
Ada empat pilar metodologi yang dipakai Bintu Syathi’ dalam menghasilkan produk tafsirnya, yakni: 4
Memperlakukan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diinginkan Al-Qur’an secara objektif
Untuk memahami konteks pewahyuan, maka ayat-ayat di sekitar gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kronologi pewahyuan (asbab nuzul).Namun begitu, sebab-sebab peristiwa tersebut bukanlah merupakan syarat mutlak pewahyuan, sebab “inna ‘ibrah bi umûmil lafdzi la bikhususi sabab”.
Untuk memahami dilalah alfadz yang disampaikan Al Qur’an, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab dengan mencari arti linguistik asli
Dalam memahami pernyataan-pernyataan yang sulit dalam sebuah ayat, maka ayat tersebut harus dipelajari dan diperhitungkan semua kemungkinan maksudnya dengan juga mengkomparasikan dengan pendapat para ulama.
Adapun aplikasi dalam keempat metode ini dalam produk tafsirnya, yakni Tafsir Al Bayani adalah sebagai berikut;
Ketika menafsirkan asbabun nuzul surat Al-Duha, Bintu Syati’ memaparkan beberapa pendapat ulama’ mengenai asbabun nuzul ayat ini. Pendapat beberapa ulama’ tersebut berbeda-beda antarsatu dengan yang lain. Bintu Syath’ kemudian menutup penjelasannya tersebut dengan menegaskan bahwa asbabun nuzul tidak lebih dari sekadar qarinah-qarinah (konteks) di seputar nash.
Jadi andaikan asbabun nuzul dalam ayat ini (yang menurut sebagian ahli adalah pada saat Nabi Muhammad terlambat menerima wahyu) tidak terjadi, maka ayat ini tetap akan turun. Asbabun nuzul bagi Bintu Syathi’ bukan merupakan sebuah keniscayaan apalagi syarat mutlak turunnya ayat, akan tetapi hanyalah sekadar konteks yang melatarbelakangi (dan kebetulan berbarengan dengan) turunnya suatu ayat.
Asumsi Bintu Syathi’ yang demikian ini bukannya tanpa alasan. Ia beranggapan demikian setidak-tidaknya karena tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbabun nuzul dan rwayat mengenai asbabun nuzul masih memiliki sangat banyak wahm. Inilah aplikasi dari pilar metodologi kedua yang digagas oleh Bintu Syathi’. 5
Sedangkan aplikasi metodologi penafsiran dari sisi tekstual yang oleh Bintu Sytathi’ kemudian dikembangkan menjaid tiga pilar metodologinya dapat dilihat dalam penjelasan berikut berikut:
Pada pilar metodologi pertama, Bintu Syathi’ menegaskan bahwa Al-Qur’an harus diperlakukan secara objektif. Hal ini dilakukan dengan pengumpulan semua ayat yang memuat term yang ingin dibedah. Sebagai contoh, saat Bintu Syathi’ membahas term kunci duha, maka beliau tidak hanya mengupas ayat pertama surat Al-Duha, namun juga memaparkan term-term duha yang terdapat dalam ayat lain, semisal ayat 46, 29 surat Al-Nazi’at, ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat 59 surat Thaha.
Setelah mengumpulkan beberapa ayat yang memuat term kunci duha (aplikasi dari pilar pertama metodologi Bintus-Syathi), maka Bintu Syathi’ kemudian menerapkan pilar ketiga metodologinya, yakni mencari arti linguistik dari term duha. Pemaparan beliau kemudian dikemas dengan penyebutan beberapa bentuk (sighat) dan penggunaan yang akar katanya adalah duha, semisal al-dahiyah (unta yang minum pada waktu duha), dahha (mengorbankan kambing pada waktu duha), yaum adhha (hari berkumpulnya kambing yang akan disembelih pada hari raya qurban—waktu duha—) dahiyah (langit yang terkena sinar matahari), dan bebeapa term lain serta penyebutan maknanya.
Bintu Syathi’ juga mengemukakan bahwa bahwa Al-Qur’an menjadikan lafadz duha sebagai antonim dari lafadz ‘asyiyyah (senja hari) pada ayat 29 dan 46 surat Al-Nazi’at, ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat 59 surat Thaha. Ia kemudian juga membeberkan beberapa pandangan ulama’ mengenai arti kata maupun penggunaan term duha ini, sebelum pada akhirnya menyatakan di mana posisinya dalam memandang term duha. 6 Beberapa hal inilah yang menjadi aplikasi dari pilar ketiga metodologi penafsiran Bintu Syathi’. Dari point ini kita juga bisa melihat bahwa Bintu Syathi’ sangatlah apresiatif terhadap hasil pemikiran dan atau penafsiran ulama terdahulu, meski ia selalu menegaskan posisinya, baik mendukung atau menentang pendapat terdahulu tersebut.
Adapun aplikasi dari pilar keempat metodologi penafsiran Bintu Syathi’ senyatanya masih berkaitan erat dengan contoh yang baru saja dipaparkan. Dengan demikian setelah mengumpulkan beberapa ayat yang memuat sebuah term kunci, membandingkan ragam makna dalam berbagai penggunaannya dan mengutip (dengan mendukung atau menolak) pemikiran mufassir sebelumnya, Bintu Syathi’ berusaha memperhitungkan semua kemungkinan makna yang dimiliki sebuah lafadz. Dan untuk melakukan hal ini, Bintu Syathi’ menggunakan analisis tekstual dan kontekstual dari tiga pilar metodologi yang sudah disebutkan sebelumnya. Ia memperhitungkan dan membahas semua kemungkinan ma’na yang bisa dimiliki oleh sebuah ayat, namun dalam point ini juga, ia menjauhkan ‘intervensi’ israiliyat, paham sektarian, dan takwil yang berbau bid’ah untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sebuah term dan atau ayat.
Bagaimana implikasi dari ‘semangat tematik’ yang diinginkan Bintu Syathi’?
Jika tafsir ini dikatakan sebagai tafsir tematik, maka tafsir ini berbeda dengan kebanyakan tafsir tematik lain yang mengumpulkan beberapa ayat yang membahas sebuah tema. Sebut saja misalnya tafsir Sayyid Quthb, Tafsir Ayat Riba yang membahas masalah riba. Ia memilih semua ayat (dari beberapa surat Al-Qur’an) yang membahas permasalahan riba untuk kemudian memiliki pemahaman yang utuh mengenai term tersebut. Bintu Syathi’ tidaklah demikian. Aroma tematik yang terdapat dalam produk tafsirnya lebih kepada tafsir tematik sastra.
Dalam artian, ketika menafsiri sebuah ayat, ia memfokuskan pembahasan pada satu atau bebeapa term kunci yang ada dalam ayat tersebut. Dalam ayat pertama surat Ad-Duha misalnya, ia memfokuskan pembahasan pada term duha. Bintu Syathi’ akan membahas lafadz-lafadz duha yang tersebar dalam surat-surat yang berbeda. Dengan demikian, tematik di sini tidak pada aspek bahasan secara umum, namun lebih kepada pembahasan sebuah kata (term) menurut beberapa sighat, penggunaan, dan maknanya.
Pemahaman yang utuh mengenai sebuah term kata kunci ini kemudian akan menjadi bekal untuk bisa menentukan kemungkinan makna manakah yang paling representatif untuk sebuah ayat.
Khatimah
Sebuah tafsir adalah jembatan akademik yang menghubungkan periode sebelum dan sesudah kelahirannya. Kehadiran sebuah tafsir kurang lebih merupakan kritik dan alternatif dari produk-produk tafsir sebelumnya, meski ia tidak bisa lepas dari metodologi maupun produk penafsiran sebelumnya. Jika tafsir Al Bayani merupakan sebuah karya tafsir yang berupaya menawarkan gagasan alternatif setelah dunia tafsir lama dikuasai oleh hegemoni penafsiran klasik yang atomitis dan penafsiran ilmi yang apologetik, maka tafsir ini juga mengilhami lahirnya beberapa karya sesudahnya.
Hemat penulis, tafsir ini lebih menonjolkan sisi adabi-nya, hal ini misalnya dapat diketahui dengan aksentuasi pembahasan yang sangat terfokus pada aspek kebahasaan, sastera, dan linguistik. Sehingga dalam banyak kesempatan, Bintu Syathi kerap hanya terfokus pada pembahasan sastera dan melupakan aspek aplikasi tafsirnya dalam hidup keseharian muslim (sisi ijtima’i). Padahal dalam hemat penulis, idealnya, sebuah tafsir adalah karya yang berupaya membuat Al-Quran lebih mudah difahami dan down to earth bagi muslimin. Meski begitu, karya ini merupakan sumbangan yang patut diapresiasi tinggi. Allah Knows Best
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Aisha. 1977. Tafsir Al Bayani li Al-Qur’ani Al-Karim juz II, cet. 5, Kairo: Dar Al- Ma’arif
Abdurrahman, Aisha. 1996. Tafsir Bintu Syathi’ terj. Mudzakir Abdussalam, Banding: Mizan.
Farhan, Ali. 2010. Amin Al Khuli (1895-1966), makalah, tidak dipublikasikan.
www.islamwomenstudies.com
Hmhm...
TugaZ dari doZhen