RSS
Tampilkan postingan dengan label adventure of me... Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label adventure of me... Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 November 2010

PPNdB (Pengalaman Pertama Nonton di Bioskop) 

Pekan ini adalah examination week. Meski hanya dua MK yang tergolong tidak begitu berat, namun perasaan was-was serta phobia menghadapi episode itu cukup dominan. Apalagi, otakku telah cukup lama dibekukan dari pernak-pernik dunia akademik selama jangka waktu kurang lebih dua pekan. So abis melewati dua ujian MK itu, aku serasa bisa bernafas sejenak. Meski ntar pekan depan harus terengah-engah lagi. But whataver lah, yang penting enjoyin ajah dulu. Dan idealnya, weekend pekan ini harus menjadi momen yang supportif untuk kondisi belajar yang mengenakkan pekan depan.
Dan karena ujian MK kedua uda kelar pas hari Kamis (kemarin), it means bahwa akhir pekanku dimajukan beberapa hari. Hehehe. Jadwal sudah terscejul untuk akhir pekan ini..heng ot di tempat Unyil plus beberapa kegiatan yang mungkin unplanned. Paling mentok yang ngurusi cucian, setrikaan, nyelesein bacaan buku, dan yang terakhir dan paling mbikin males adalah BELAJAR untuk UJIAN PEKAN DEPAN!! Wohohohoho…Sudah terbayang suasana pojok kamar yang -tidak mengenakkan, konsentrasi yang buyar dan aku pugar lagi, nyamuk-nyamuk nakal, dinding-dinding kamar, alunan lagu, dan diktat serta bahan kuliah.
Berenang-renang dahulu aja. Kamis sore (25/11) aku masih harus mengurusi beberapa hal—yang hingga saat ini belum semuanya rampung—sebelum pada akhirnya bisa berangkat ke tempat Unyil. Pas di bangjo sebelah kampus, hape di saku celanaku bergetar. Aga lama, berarti panggilan bukan sms. Konsentrasiku riding mulai buyar, antara melihat layar hape atau tetep diem menunggu lampu hijau. DECIDE NOW OR NEVER, pikirku. Keputusannya adalah tetep diem dengan dua tangan di stang tanpa ada yang merogoh hape ke saku celana. Tak lama lampu hijau menyala. Kali ini keputusanku tepat. Hampir tak ada suspense di sepanjang jalan. As like usual. Satu-satunya pemandangan yang menarik pikiranku malam itu hanyalah karena ada obral baju bekas artis di depan easy dining Jl. ADisucipto yang dikerumuni oleh banyak orang. Lucu kupikir. Otak analisis nakalku bekerja. Mempertanyakan banyak hal yang sama sekali lucu dan kedengerannya tak penting. Tapi percaya atau tidak, hal itu adalah aktivitas yang paling sering kulakukan saat tengah seorang diri mengendara. Menikmati jalan, membaca semua tulisan sebisa mataku, dan menggelar monolog-monolog pribadi. Ujung-ujungnya satu, AKU KETAWA DALAM HATI. Hahahah
Sampai di rumah Unyil, Mb Dhian (mba’e Unyil yang pertama) membukakan pintu. Selaen kos Mb Rom, rumah Unyil ini adalah tempat escape dari kos yang paling sering aku kunjungi. Hehehe. Ada lah, alasan dan keperluan untuk bertandang ke tempat ini. Mulai dari urusan akademik, akomodasi, logistik, hingga urusan lain-lain. Di rumah itu, Unyil tinggal bareng kedua mbaknya yang masih sama-sama kuliah. So, moment yang paling sering memaksaku untuk nginep di tempat ini adalah ketika Unyil sendirian saat mbak-mbaknya sedang bepergian atau tourin ke manaaa gitu. Dan untuk malam itu, alasanku nginep tempat itu adalaaah..karena di kos banyak amat nyamuk nakal, ada janji ma Mb Dhie, sekaligus mau week-end-an. Entah apa agenda spesifiknya. Yang jelas judul besarnya demikian. Selanjutnya ya let it flow. Hehehehe.
Tak seperti Unyil dan Mb Intan (mb kedua Unyil), Mb Dhian terlihat sudah ready alias siap dengan performa dan busana orang yang akan keluar rumah. Aku tak tau akan ke mana. Namun beberapa detik kemudian, Mb Dhian memberiku sebuah tawaran yang cukup dilematis. Hehehehe. What’s that? NONTON HARRY POTTER DI AMPLAS,. Angel dan Demon pun beraksi. Hehehe. Aku ga bisa menentukan mana yang Angel dan mana yang Demon (iki kontaminasi karena aku lagi mati-matian memenej rasa penasaran dan rasa tak ingin beranjak dari novel Dan Brown). Intine, aku punya alasan untuk menerima dan aku juga punya alasan untuk menolak. Aku berpikir sejenak, sementara virus yang ingin mengkontaminasi di sekelilingku bertebaran tanpa filter. Yang ada di pikiranku adalah beberapa variabel-variabel besar berikut;financial, Harry Potter mania, taste a new flavor (mencicipi pengalaman baru maksudnyaaaaa..), weekend, refreshing, dan setelah dikalkulasi, total sumnya adalah..APOLOGI LEBIH BESAR DIBANDING ANOMALI. Lagi-lagi aku dak bisa menentukan mana yang apologi dan mana yang anomali. Intine, berbekal beberapa perhitungan, akhire I DECIDE!! Oke, aku meluuuuuuuuuuuuw,,,
Tak perlu banyak waktu untuk bersiap-siap. Beberapa menit setelah mengiyakan ajakan itu, aku sudah duduk manis di motor dengan driver mb Intan. Di depanku, Unyil bonceng ma Mb Dhian. Sebagai dua orang termuda di antara rombongan itu, aku dan Unyil bersikeras tak mau jadi driver. Hehehe. Ada enak dan enaknya juga menjadi pembonceng. Namun dalam hal ini, aku biasanya hanya meng-list orang-orang yang good at driving dan bisa membuatku nyaman berada di belakangnya. Heheheh. Males mau berteori lebih serius dalam hal ini.
And to be known and to be remained, exactly by me myself, malam itu adalah malam pertama aku akan menonton film di bioskop. Hohohohohoho. Selama ini aku pikir, nonton film di bioskop dan di laptop tak jauh berbeda. Sensasinya tetap dapet, dan tentunya—ini yang selalu menjadi alasan terkuatku—nonton di kos akan jauh lebih mendukung gerakan irit bulanan yang selalu aku lakukan. Hehehehe. Tapi dasar aku lagi tergoda dan ingin mencicipi pengalaman baru, akhire malam itu, keputusan untuk ikut nonton aku ratifikasi. I JUST WANNA KNOW. Itu alasanku. Bisa jadi ini adalah moment pertama dan terakhir. But surely, biarkan akhir cerita tulisan ini yang akan menjawabnya.
Selama ini, keengananku untuk mencoba hal-hal baru yang belum pernah aku lakukan sebelumnya lebih banyak disebabkan karena AKU DAK MAU OON-OON SENDIRI, apalagi bersama dengan orang yang juga tidak memiliki pengalaman an-sich seperti aku, dalam suatu hal tertentu. Sebab itulah, untuk berani masuk ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya, aku kerap kali baru mau mengangguk jika bersama dengan orang yang uda pernah mengunjungi tempat tersebut. Terdengar klise memang dan cukup menggugurkan karakterku sebagai orang yang menyukai tantangan. Namun itulah apa adanya. Jadi, ketika ada ajakan Unyil and sisters, implus untuk ngangguk jauh lebih kuat dibanding implus untuk menggeleng. Minimal, bisa tau dikit tentang banyak hal.
Ok, next venue adalah di loket pemesanan karcis nonton. Seperti yang pernah aku bayangkan sebelumnya, loket itu terdesain mirip dengan pemesanan tiket-tiket lain. Suasana pun tak jauh beda. Ada negosiasi, transaksi, lalu basa-basi. Mb Dhian sebagai ketua rombongan dan orang tertua—terdewasa—di antara kami segera menghandle urusan itu. Aku memerhatikannya meski tak seksama. Berharap jika suatu saat ada yang mengajakku ke loket macam itu, aku sudah bisa tau apa yang harus aku lakukan. Hehehe. Antisipatif buanget sich. Mb Dhian sibuk berbicara dengan si petugas dan akhirnya vonis pertama malam itu yang aku terima adalah..KAMI BEREMPAT MASIH BISA NONTON JAM SETENGAH SEPULUH DENGAN MENDAPATKAN KURSI VVIP. And you know what, kursi VVIP itu adalah kursi paling depan. Kursi di deretan belakang dan tengah sudah pada diboking dan sebagai pendatang terakhir di loket itu, kami berempat mendapat tempat duduk VIP. Aku no koment ajah dan belum bisa membayangkan, seberapa dekat ataupun seberapa jauh jarak antar aku dan layar. Yang ada di pikiranku adalah, malam itu aku akan mencicipi pengalaman baru. Dewas enough..
Kami berangkat dari rumah Unyil sebelum Isya’ so kami masih harus menghabiskan waktu beberapa lama di Plaza tergede se-Jogja itu sebelum bisa masuk ke bioskop. Dan satu hal lagi yang belum terlakoni. MAKAN MALAM. Perutku keroncongan bahkan lebih berisik daripada suasana di plaza itu. Dan hal teraman yang bisa aku lakukan adalah diam dan tak banyak komentar. Lebih fokus pada kelaparanku dan rundown-rundown di mana dan kapan aku bisa makan. Kami berempat pun menyisir beberapa penjuru Amplas hendak keluar mencari makan outdoor—di luar Amplas dan di luar pajak yang guede banget—dengan segera menemukan pintu keluar samping jalan gede.
Namun rundown ya tinggal rundown. Di luar, paku-paku air hujan tampak masih lebat menyerang aspal, bumi, pepohonan, atap-atap rumah dan kendaraan, serta semua isi bumi. Tak terasa deras bagi orang yang berteduh di bawah atap namun akan terasa amat banget lebat bagi mereka yang terpaksa menghadapi hujan dengan hanya mengandalkan atap bernama langit. Apalagi sambil berjalan dan atau mengemudi. Nuansa terasa lebih sense touching dan lebih menggigit. Duduk-duduk di tangga depan Amplas menunggu hujan mau reda hanya menambah suasana kelaparan dan kerinduan pada makanan. Aku mencoba mencairkan keadaan dengan ngutek-ngutek hapeku. Smsan dan fb-an yang sebenarnya tidak terlalu penting dan hanya diniatkan untuk mengisi waktu. Namun hujan belum juga reda, persis eperti rasa laparku (dan mungkin ketiga orang disampingku). Akhirnya, tak ada pilihan lain keculai menyisir penjuru Amplas degan satu tujuan; mencari makanan dengan harga minimalis.
Mencari makanan yang bisa mengenyangkan—minimal hingga besok pagi—di bawah harga sepuluh ribu agaknya merupakan suatu kesalahan sejarah. Ga mungkin nemu. Kalo di angkringan dan di burjo mungkin uda full tank, lha iki nang Amplas. Pilihan pertama adalah KFC, sebab referensi menunjukkan bahwa tak ada stand McD di Amplas. Mengapa pilihan jatuh ke perusahaan makanan milik Amerika itu, aku pikir kami berempat lebih memilih makanan yang uda pasti harga, kualitas, dan spesifikasinya. Jadi tak perlu khawatir akan terjadi kesalahan dalam menentukan pilihan setelah makanan tersaji di meja atau ketika akan membayar di kasir. Namun setelah masuk dalam in line alias antrian dan memelototi harga-harga yang tertera, kami akhirnya sepakat untuk mencari tempat lain yang barangkali lebih representatif (bisa diartikan, makanan lebih bergizi, lebih murah, dan tempat juga lebih enak. Hehehe. Ngeles). Okelah, akhirnya kembali walking-walking looking-looking.
Well, setelah celingak-celinguk sok kul, akhirnya dengan kesepakatan emosional dan kultural kami menetapkan pilihan dengan setengah hati ketika melihat sebuah stand tempat maka yang berbrand..mmm..aku lupa. Intine ada kata-kata Jakarta gitu. Seperti biasa, konsumen duduk di tempat yang disediakan lalu tugas selanjutnya adalah, menentukan pilihan yang akan disantap. Aku tak bisa memastikan apa yang ada di pikiran tiga saudara yang ada di sebelahku. Hanya, dalam hal ini, aku mulai merasa bahwa nafsu makanku beranjak berkurang ketika melihat daftar harga di lembaran menu itu. Whahahah..Tidak terlalu mahal jane, namun ada pikiran lain yang membuat nyaliku cukup menciut. Aku kawatir makanan yang aku beli dengan harga melambung itu tersaji dalam kualitas dan kuantitas yang tidak sepadan. Maksudnya tidak bercitarasa dan tidak bisa mengenyangkan. Hehehe. Dalam beberapa hal, manusia memang kepastian. Termasuk dalam moment malam itu. Mb Intan pas itu sudah menentukan pilihan pada semangkuk mie ayam. Namun akhirnya, setelah lama memelototi list menu dan tak juga mendapatkan pilihan yang representatif, pilihan teraman dan terkonyol pun mulai terpikir…CANCEL dan menuju PINTU EXUT!!
Ternyata tidak hanya aku yang merasakan keraguan epistemologi kala itu. Hehehe, ga nyambung. Barangkali memang benar kata pepatah, jika nuranimu tak merestui, urungkanlah langkah. Aku juga membacanya dari tiga wajah di sampingku, meskipun toh Mb Intan uda menetapkan pilihan. Akhirnya, setelah menimbang, mengingat, kami pun memutuskan untuk meng-cancel makan di tempat itu. Pola komunikasi yang dipilih pun sangat jentel, jujur namun disampaikan dengan cara yang halus dan tidak menyakitkan. Untungnya pas itu aku tidak kebagian duty untuk menghampiri si pelayan dan menyampaikan maksud untuk meng-cancel, Mb Dhian lah yang melakukan misi itu. Dan akhirnya berhasil. Kami berempat keluar dari tempat itu dengan perasaan suka cita tanpa ada yang tersakiti. Ya nda ya? Au ah..
Yang namanya pilihan yang uda ditetepkan Tuhan, bagaimanapun dia lepas, akhirnya pasti akan dihampiri lagi. Teori ini biasanya digunakan dalam terminologi jodoh, namun malam itu aku juga melihatnya dari alur cerita selanjutnya. Kami akhirnya duduk dan makan malam di KFC, di tempat yang sebelumnya kami tinggalkan. Mungkin hujan memang menjadi penghalang untuk tidak mencari makanan outdoor, namun pada saat yang sama, hujan juga menjadi alasan untuk akhirnya nangkring di tempat yang pernah ditampik sebelumnya tersebut. Jika digeneralisasi, maka teori ini bisa banyak ditemukan dalam alur kehidupan manusia. Suatu hal yang dianggap hambatan atao gangguan dan kerap bikin gerah tak jarang sekaligus bisa menjadi alasan untuk kelahiran suatu hal yang lebih indah. Ya, karena skenario Tuhan emang gabisa dihack.
Ok, back to the story. Di KFC, suasana berjalan seperti biasa. Aku hanya sempat berpikir sedikit hal. Bangsaku terjajah di negaranya sendiri. Penduduk pribumi—termasuk aku, tentunya—lebih bangga dan suka mengonsumsi apapun yang bisa meningkatkan gengsi mereka, hal-hal yang ternyata didominasi oleh produk dan atau perusahaan asing. Jane, hal yang menyebabkan keadaan tesebut terjadi ku karena produk dalam negeri emang kurang berkualitas—dibanding produk manca—atau memang karena penduduknya lebih merasa nyaman dan gaya jika mengonsumsi produk dari luar? Wallahu a’lam lah, aku juga tak tau harus memberi jawaban bagaimana. Agaknya aku belum menemukan jawaban yang representatif. Aku seharusnya tak sempat berpikir banyak di tengah rasa lapar yang uda akut itu. Namun, karena aku terjebak dalam antrian yang cukup panjang, mau tak mau ada wacana yang muncul di otakku dan aku hanya mengutak-atiknya dikit. I NEED TO EAT SOON…Hehehehe
Sampai di meja, Unyil dan Mb Dhian yang sudah lama menunggu tampak sudah tak sabar. Kami segera mengambil posisi ternyaman dan segera menghajar mangsa yang tersaji. Makan bersama memang selalu menambah kedekatan emosional yang juga berpengaruh dalam menambah citarasa makanan. Makanan kurang enakpun akan terasa semakin enak jika dimakan bersama, lha ini makanan yang uda enak, masih anget pula. Dimakan bareng dalam keadaan laperrr. Rasanya delicious very quietly dah. Sayang memang, untuk styleku, porsi yang menyuguhkanku lebih banyak lauk dibanding volume nasi adalah porsi yang tidak pas. Namun, rupanya hal terebut uda terlebih dahulu diantisipasi oleh pengusaha fasr-food. Langkah jitunya yakni menyuguhkan minuman bersoda. Jadi, walaupun kerasa dikit dan tidak mengenyangkan, akan tetapi soda cukup berandil dalam memberikan efek kenyang—yang mungkin sesaat—bagi orang yang mengonsumsinya. Ini intrik ekonomi. Hehehe. Pas ngantri tadi, mb intan sempat ngomong kalo sebuah penelitian mengatakan bahwa soda bisa memperlambat loading otak. What?? Bagaimana dengan otakku yang sudah selalu problem loading page? Namun dalam keadaan yang mengharuskanku mengambil satu-satunya pilihan yang ada, aku memang tak bisa berbuat banyak selain menyeruput segelas pepsi yang merupakan jatahku.
Salah satu ritual yang selalu muncul pada saat makan bersama adalah ngobrol. Sejak kecil aku didoktrin bahwa bicara saat makan akan mengundang setan yang akan ngampung makanan yang dikonsumsi. Sehingga, subjek akan merasakan sensasi rasa kenyang yang kurang full. Heheh. Aku tak tau hal tersebut benar adanya, memiliki landasan (bukan landasan pacu), atau hanya mitos yang dikukuhkan dari generasi ke generasi (bukan slogan biskuit Roma). Namun aku sendiri memang melihat ritual itu sebagai hal yang sangat sulit untuk dipisahkan dalam momen makan bersama. Justeru kadang, ritual makan bisa jadi taktik jitu dalam pola komunikasi. Entah, kalopun itu tidak etis, semoga tidak kebangetan. Sebab aku—bisa dipastikan—tidak bisa autis ketika makan.
Dan seperti juga momen-momen makan bersama sebelumnya, di meja kecil dengan empat kursi itu, kami mulai ngobrol-ngobrol ringan hingga akhirnya sebuah insiden terjadi. Mb Dhian pas itu berekspresi dengan gerakan tangannya—saat bercerita sesuatu yang off the record dan tidak etis diceritakan di forum ini—yang dua detik kemudian menyenggol orange juice di depannya hingga alirannya membasahi gamis serta tas mb Dhian. Mb Dhian panik namun masih sempat ketawa-ketiwi sambil mengeluhkan bahwa persediaan tissue di tasnya uda habis. Namun Mb Dhian tak kekurangan akal. Dia melakukan pertolongan pertama dengan cara jitu serta singkat untuk mengeringkan bagian tengah gamisnya yang terkena tumpahan. Dengan bantuan Mb Intan, tujuh menit kemudian, Mb Dhian kembali dengan senyum mengembang dan gamis yang sudah bersih tanpa satupun indikasi bahwa gamis tersebut sebelumnya sempat membentuk peta pulau tak bernama dari tumpahan orange juice.
Tak berapa lama setelah Mb Dhian kembali, kami berempat sudah bergegas meninggalkan meja makan dan segera menemui final destination yang malam itu dibela-belain ampe mati-matian. Kami akhirnya benar-benar menuju final destination setelah meminta tolong seorang pelayan untuk membungkuskan sisa ayam yang masih layak konsumsi. Lagi-lagi untuk hal ini, Mb Dhian sebagai ketua rombongan yang ternyata memiliki pedemeter paling tinggi di antara kami berempatlah yang menghandle urusan ini. Cukup dengan sedikit senyum dan perkataan yang lugas dan sopan, si pelayan langsung membalas dengan perlakuan yang tak kalah ramah. Sip lah. Aku semakin yakin, malam itu, bahwa dari siapapun yang kita kenal, apalagi hingga menjadi teman, ada banyak pelajaran yang bisa dieksplotasi (baca: diambil). Siapapun dia.
Abis gitu, kami berempat masih harus menunggu beberapa saat di area bioskop sebelum pintu venue 4 terbuka dan kami bisa langsung masuk, mendaratkan pantat di seat berharga lima belas ribu dalam durasi kurang dari tiga jam. Namun ternyata penantian menuju jam setengah sepuluh (dari jam9) masih mengharuskan kami berempat menggunaan stock kesabaran sudah menipis. Alhamdulillah dalam keadaan itu, kami masih dapat tempat duduk yang enak, meski tidak berkoloni empat orang. Aku ma Mb Ient dan Unyil ma Mb Dhia. Dengan Mb Ient, aku membincangkan apapun yang bisa diobrolkan. Bincang-bincang santai lah, istilahnya. Sambil sesekali memelototin hape dewe atau hape masing-masing. Aku tak tau apa yang dibincangkan Unyil dengan Mb Dhian. Namun aku tau saat itu, Unyil tengah memikirkan sesuatu yang lagi-lagi off the record. Dalam masa penungguan itu, salah satu temenku menelpon dan aku hanya bisa menemaninya ngobrol tidak berapa lama. Yayaya, sebab some minutes later, aku akan masuk ke ruang pemutaran pilem. UNTUK YANG PERTAMA KALINYA. Hehehehe.
Saat waktu itu akhirnya tiba, aku mengikuti ritme di sekelilingku ajah. Yang ada di bayanganku adalah tiga sosok laki-laki bernama Arai, Ikal, dan Jimbron yang berhasil membobol security di bioskop kampung mereka namun akhirnya ketauan. Dua petugas di depan pintu masuk yang mengecek tiket para penonton sudah tampak lelah dan suntuk. Barangkali jam ini adalah shift terakhir mereka. Entah. Yang pasti aku mulai berpikir seberapa akurat kemanan dalam sistem ruang bioskop, adakah kemungkinan untuk dibobol, dan lain sebagainya. Namun yang paling mendominasi pikiranku saat itu adalah…Kursi empuk seharga lima belas ribu yang tengah menungguku…
And that seems like a dream. Emosiku bener-bener hanyut dan akupun bisa sepenuhnya lepas dari rasa kantuk, lelah, males, dan hal-hal laen yang berpotensi untuk mengurangi asyiknya nuansa malam itu. Aku mulai faham mengapa orang-orang banyak merelakan duitnya untuk nonton ke bioskop. Selain demi alasan gengsi dan uptodate, suasana dan nuansa yang begitu kental di ruang bioskop juga akan meninggalkan kesan mendalam bagi para penonton. Meskipun banyak aturan, bioskop juga memberi ruang kebebasan penonton untuk berekspresi. Ketawa sekeras mungkin, tereak seekspresif mungkin, tegang dengan tensi setinggi mungkin, dan luapan emosi lainnya. Ckckckckc. Aku impresif banget di pengalaman pertama ini. Sedikit banyak juga dipengaruhi oleh film yang ditonton siiiiiiiiiiyyy..Harry Potter yang aku ikuti riwayat hidupnya sejak dia belum dilahirkan. Hahahaha. Lebaaaaaaay..
Nonton Harry Potter, banyak lah, catatan di dalamnya. Dalam setiap edisi, Harry Potter tak pernah lepas dari ketegangan, suspensi, konflik yang tak diduga, alur yang mendadak, penokohan yang kuat, animasi yang keren, serta ending yang kadang..mmm…menggantung. Belum lagi dengan mantera-mantera, nama-nama tokoh, aliran, nama-nama tempat, istilah-istilah baru, dan lain sebagainya. Intine buat mereka yang tak mengikuti HP sedari awal dan atau baru melihat HP di edisi 7 (1)ini, yang ada di kepalanya pastilah kata JAKA SEMBUNG (dengan tensi yang berbeda-beda). Yayaya, salah satunya adalah orang yang duduk di sebalah kiriku..(namanya tak usah disebutkan. Khawatir dia tersungging. Hehehehe. Piiiiiiiiiiiisss..Piiiiiiiiiisss). Dan seperti pada HP 5, kisah asmara dan adegan syur (baca:ciuman) juga menjadi bumbu dalam HP 7 ini. Padahal di kursi sebelahku, sempat kuliat ada adik-adik seumuran adik keduaku yang matanya tampak bahagia akan segera menonton HP 7. Ya embuhlah. Malam ini seharusnya dia obob lelap karena besok harus sekolah. Bukannya nonton HP lagi in the hoy ma Ginny Weasley. Ih, normatif ah. Hahaha.
Duduk di kursi paling depan deket pintu exit, aku cukup mampu melupakan segala hal yang selama ini membeku dan mengendap dalam pikiranku. Ujian, skripsi, masa depan, orang-orang terkasihku, skandal keci hingga skandal besar, termasuk status terbaru yang aku update di hatiku. Hehehe. Wis, I almost forget that at all. Yang ada di mataku mendominasi semua alam pikiran dan perasaanku. Really sense touching lah. Dan seperti biasa, ketika menjalani aktivitas yang disukai, tak ada yang mau peduli pada waktu hingga ketika waktu menunjukkan dirinya dalam wujud yang lain (baca: menunjukkan waktu menonton sudah habis), barulah semuanya tersadar bahwa mereka telah melewatkan waktu yang cukup lama dengan perasaan yang menyenangkan hingga waktu terasa sangat singkat. Yayaya, relativitas tentang itu memang uda aku sadari. Hehehe.
Ketika nama penerjemah teks terjemah Indonesia muncul di layar, itu artinya waktu penonton sudah habis yang juga berarti instruksi untuk segera keluar. Kami berempat, dengan emosi yang uda terkuras, masih menyempatkan ke hammam untuk merepair anything. Jalan keluar cukup melelahkan, karena sempat bingang-bingung milih lantai yang akan jadi destination abis kami turun dari lift lantai tiga, ketika eskalator sudah dinonaktifkan bahkan di-satpam line dengan rantai aga gede. Aku tak banyak komen karena Amplas memang bukan daerah kekuasannku. Heheh, maksude aku jarang banget ngluyur ke tempat ini. Terlalu lux ajah menurutku dan aku pun memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan dengan manajemen parkir di plaza ini. Alhamdulillah setelah berputar-putar (baca: naik-turun lift dan celingak-celinguk), kami akhirnya bisa pulang dengan lelah, kantuk, plus juga suka cita. Uda lewat tengah malam saat itu. Namun dengan rombongan beranggotakan empat orang, sepi menjadi kurang begitu bertaring…
Setelah malam itu, aku merasa ada satu pengetahuan taktis yang aku baru ketahui. Pengetahuan taktis bagaimana dan apa saja prsedur seorang (calon) penonton bisa menikmati sebuah film yang sudah dipilihnya. Namun sesuai teori lama, I know more, I don’t know more. Satu pengetahuan menuntut pada pengetahuan lain. Jika malam itu aku tau cara dan prosedurnya, aku malah penasaran lagi dengan banyak hal. Apa ae lah, mulai dari manajemen bioskop, gaji bulanan karyawan, pola rekrutmen, dan..banyak lain lah, yang intine berdasar satu kaidah. I JUST WANNA KNOW. Belum lagi tentang esensi dari film yang sukses bikin aku sprot jantung dan shocking soda itu. Hmmmmm..Di mana-mana, sisi perasaan yang dieksploitasi oleh produser film atau sinetron adalah RASA PENASARAN. Aku dewe uda tak sabar dan tak kuasa membayangkan, bagaimana Harry dkk akan melanjutkan perjalanan mereka mendapatkan next Horcurx.
Semogaaa…mind refreshing malam itu bisa mendongkrak staminaku menghadapi ujian pekan depan. Puji Tuhan..
*) Untuk Yyh; Jangan mutung karena aku nonton duluan yaaaaaaaaa…Piss, piss…tar bagian 7(2)nya kita nonton bareng dech. Hehehe. Be happy there. Miss yu full tank.

Rabu, 10 November 2010

Senioritas

Senior sering kufahami sebagai orang yang lebih lama mencecap asam garam kehidupan dalam sebuah komunitas tertentu. Sebagai misal, pas misalnya tengah duduk di bangku kelas I Aliyah, aku bisa menyebut teman-teman yang duduk di kelas II Aliyah sebagai seniorku. Yang pertama, orang tersebut sudah lebih lama mencecap bangku Aliyah dibanding diriku, dan yang kedua, orang yang kumaksud berada dalam satu naungan denganku, yakni, katakanlah dalam hal ini berada dalam sekolah yang sama. Mudahnya, senior adalah kakak angkatan. Ketika masih duduk di bangku sekolah, aku belum begitu akrab dengan kata tersebut dan lebih sering menggunakan bahasa “kakak kelas” untuk merepresentasikan temen yang kelasnya lebih tinggi daripada kelasku.

Sangat mungkin, aku mulai akrab dengan kata tersebut ketika aku mulai masuk dalam dunia kuliah. Ketika bertemu dengan seorang yang belum pernah kutemui sebelumnya, dan katanya pernah sepondok denganku dulu, seorang teman mengatakan padaku bahwa orang tersebut adalah seniorku. Dari momen itu aku mulai menambah satu karakteristik dalam definisi senior, yakni ciri bahwa senioritas tidak harus terlalu terikat dengan kelas formal. Semisal jika ada orang yang pernah sepondok denganku namun ia tak selembaga formal denganku, maka ia juga bisa disebut seniorku, sebab kami pernah minum dari pancuran yang sama. Well, sesudah pertemuan di rektorat baru itu, aku mulai terbiasa dengan istilah senior di telingaku.

Antitesis atau mungkin lebih enak dibahasakan dengan padanan senior adalah junior. Dalam pikiran kecilku dahulu, junior adalah kata untuk merepesentasikan anak kecil. Kesimpulan itu aku dapatkan dari merk sikat gigiku, yakni pepsodent junior. Lama-lama, di lain kesempatan, ketika kakek (ayah ibuku) wafat, ada sebuah celetukan yang membuat aku kembali berpikir. Saat itu, adik tiri ibuku mengatakan bahwa adik cowoku adalah mbah kakung junior, karena face-nya yang aga sama. Dari dua momen itu, aku mulai membangun pemahaman bahwa senior-junior adalah dua padanan kata yang saling melengkapi. Seseorang bisa dikatakan senior jika dia memiliki junior. Ya…begitulah adanya.

Meski begitu, setelah beberapa saat menjalani hari-hari sebagai mahasiswa, aku merasa ada ketidaksetaraan antara intensitas pengucapan senior dan junior, minimal di lingkunganku sendiri. Senior sangat sering diucapkan, oleh orang semua kalangan bahkan. Namun tidak begitu dengan kata junior. Aku kurang terbiasa mendengar kata junior digunakan dalam percakapan di sekelilingku. Temen-temen biasanya menggunakan kata “adik kelas”, “adik angkatan”, atau bahkan “kader” untuk menggambarkan junior.

Aku sendiri, cukup sering menggunakan bahasa senior dalam percakapan sehari-hari. Namun, ini hanya selera pribadi, aku biasanya cukup hati-hati dan selektif untuk mengakui diri sebagai junior seorang senior. Semisal, aku bisa dipastikan tidak akan mengakui seorang senior yang bertingkah kurang enak atau apalah, yang sekilas kurang mengenakkan. Namun, jangan ditanya jika tengah membincangkan seniorku yang berprestasi, yang keren, yang pinter, dan hal-hal baik lain, maka aku bisa saja kebablasan mengakui seorang kakak kelas sebagai seniorku. Heheheh. Curang emang, namun itulah faktanya. Aku bahkan sampai kelewat batas, yakni dengan kebiasaan terlalu membanggakan dan melebay-lebaykan senior yang hebat dan bisa tidak mengakui diri sebagai junior seorang senior yang ga ngenakin dan ga bisa dibanggakan. Hehehe.

Berangkat dari kebiasaan itu, aku juga kemudian melakukan pembatasan-pembatasan definisi dalam mengartikan senior. Misalnya dalam pergerakan. Aku akan merasa benar-benar menjadi seorang junior jika si senior pernah memberikan hal yang berarti bagiku, dari level yang paling kecil hingga level yang paling besar. Paling tidaklah, aku pernah berbincang dengannya, pernah membaca tulisannya, pernah mendengar orasinya, menyimak presentasinya, atau minimal pernah mendengar trackrecordnya. Dari situ aku belajar. Bagaimanapun, ‘keberadaan’ seorang senior, buat aku adalah sebuh keniscayaan, sebab aku dan si senior sedikit banyak menghadapi medan yang sama. Jadi, sangat tidak sia-sia jika aku belajar dari masa lalu dan sejarah, meski bukan sejarahku sendiri.

Ngomong2 soal senior, aku juga secara tanpa sengaja membuat distingsi yang cukup berbeda jauh antara senior organisasi dengan senior angkatan atau jurusan. Dipiki2 ulang, ternyata aku sering menggunakan bahasa senior dalam terminologi organisasi, sedangkan untuk menyebut senior angkatan atau jurusan, aku biasanya menggunakan bahasa kakak kelas. Distingsi ini tak ada hubungannya dengan masalah kebanggaan atau kemauan untuk mengadakan pengakuan. Hehehe. Aku terikut arus kebiasaan sepertinya, sebab di kelas, bisa dibilang jarang ada bahasa ‘senior’ untuk menunjukkan referen kakak kelas. Tidak begitu halnya dengan dunia organisasi. Di organisasi, aku lebih diakrabkan dengan bahasa senior.

Inisiatif untuk menulis catatan ini sebenarnya diawali oleh kegelisahan eksistensialis yang menderaku. Hahahahah, bahasanyaaaaaaaaaa..Jadi, sebagai mahasiswa yang uda sangat lama hidup di kampus, secara otomatis aku memiliki lebih banyak junior dibanding senior (dalam kacamatan intensitas bertemu dab berinteraksi, dll). Dari sini aku mulai merasa gerah juga. Gerah karena idealisme dan paradigmaku sendiri. Dalam pikirku, seorang senior, betapapun dengan semua keterbatasannya, harus mempertanggungjawabkan titel seniornya di depan para kader yang ia punya. Dahulu, saat masih duduk di semester bungsu, aku selalu mengidealkan sosok senior yang demikian. Makanya aku mudah banget understimate terhadap senior yang terkesan kurang mampu mempertanggungjawabkan jarak masa yang telah dilaluinya. Pikirku sederhana saja, dia uda satu tahun lebih lama mengenyam bangku kuliah dibanding aku, lha masa iya kemampuan dan wawasannya ga jauh beda ma aku?

Celakanya, paradigma itu tak banyak berubah ketika aku harus menerima gelar sebagai seorang senior. Aku merasa, aku belum dan mungkin tak akan pernah siap untuk menjadi seorang senior jika terlalu saklek melihat paragima itu. Aku bukan menafikan pandangan bahwa setiap orang memiliki sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak sama sekali. Aku hanya berpikir bahwa, dalam sebuah komunitas yang meski menghargai heterogenitas namun tetap mengidealkan standar yang homogen, siapapun dituntut untuk bisa memnuhi kualifikasi tertentu, yang kurang lebih sama. Dan dengan hal ini, mau tidak mau siapapun harus berusaha untuk memenuhi kualifikasi itu, seberapa berbeda bagaimanapun karakter dan kehidupannya dengan orang-orang lain.

Mudahnya, jika di kelas formal, maka standar yang harus dipenuhi adalah penguasaan materi yang memadai, presentasi yang bisa dimengerti, dan dialog yang bisa membuka dan mengeksplorasi wacana baru, dan satu lagi yang tidak termasuk dalam ranah kognitif. YAKNI MENGAYOMI ADIK KELAS. Di ranah organisasi juga begeto, tidak jauh berbeda lah..Hanya saja mungkin skill dan materi kognitif yang harus dikuasai cukup berbeda tipis. Jadi selaen bisa mengayomi, PR lain yang diemban seorang senior adalah bagaimana memberikan best performa dan best attitude plus best example bagi juniornya. Hal ini, setidaknya dapat kusimpulkan dari ilustrasi berikut,,,

Suatu hari, seorang temen korp (angkatan di organisasi) menyuruh seorang junior 2009 (berarti terpaut dua tahun dengan aku) untuk menjemput salah seorang temen sekorpku agar segera mendatangi lokasi sebuah acara. Temen yang memberikan instruksi itu—namanya Sulaiman—faham betul bahwa temen yang hendak dijemput—namanya Imam—tengah tidur selelap bayi. Jadi, hanya beban dan tanggungjawab menjadi seniorlah yang bisa membangunkannya. Tak berapa lama, junior/kader—yang bernama Iam—tampak datang dengan membawa si Imam yang masih dengan jelas mengilustrasikan kantuk yang masih menghinggapinya. Sulaiman merasa misinya sukses dan dia pun segera menghampiri Imam, menceritakan skenarionya yang sukses. Dengan gayanya yang khas, Imam berujar, “jika bukan anak 2009, aku tak akan bangun secepat ini. Coba ajah kamu nyuruh anak 2008, aku mungkin belum bangun”

Dari cerita itu, aku juga memetik sebuah pelajaran dari tabiat kehdupan manusia. Yakni bahwa, manusia, dengan keterbatasan dan keburukan seperti apapun, pasti menginginkan generasi mendatang yang lebih baik dari dirinya. Filosofi ini juga bisa aku liat dari pengabdian orangtua untuk masa depan anak-anaknya. Mulya memang, dan siapapun pasti sama-sama pernah merasakan bagaimana posisi menjadi senior dan menjadi junior. Kalo mau parno-parnoan, aku awalnya sering berpikir bahwa senior tu identik dengan sifat maunya sendiri, enaknya sendiri, nyuruh-nyuruh, sok-sokan, dan menindas junior. Meski tidak sepenuhnya salah, namun keadaan dan posisi ketika menjadi senior membuatku berpikir untuk mengubah pandangan itu. Aku tau bahwa sebejat-bejatnya senior, dia tetap menginginkan adanya kaderisasi yang bisa melahirkan kader yang jauh lebih baik dari dirinya. Hanya memang, kaderisasi dilakukan dengan cara-cara yang seniorsentris dan diterapkan pada junior yang barangkali masih asing dengan surface-surface yang sudah biasa didiami si senior.

Ya begetolah hiduuuuuuuuuup..adalah sebuah perubahan dan perkembangan yang tak akan pernah selesai. Hehehehe. Oya, kemarin, saat harus menjadi fasilitator Opak dan PKD, aku kembali dilanda ketakutan yang maha dashyat kalau-kalau aku tidak bisa mempertanggungajawabkan titelku sebagai seorang senior. Awalnya, ketika dinamika kelompok Opak, aku masih bisa mengandalkan banyak hal yang ada di otakku, seputar dunia kampus. Ngomonglah seadanya, tanpa perlu banyak konsep, tanpa perlu banyak draft, semuanya toh akan mengalir juga. Bertemu dengan orang baru, kenalan, tuker-tuker cerita dan pengalaman, dan…yaaaaa..gampanglah, bisa dikondisikan. Aku ajakin ajah mereka ngomong santae dan enaaaaak…

Namun suasanya amat sangat jauh berbeda dengan keadaan ketika PKD. Aku kelabakan saat harus mengenakan co-card sebagai fasilitator sedang tak ada sama sekali materi PKD yang aku kuasai. Untungnya, aku masih diselamatkan keadaan. Banyak temen-temenku yang bernasib sama, meski mungkin otak mereka tidak se-blank diriku. Kami pun mulai kembali belajar, menekuri modul, sharing pengetahuan dan wawasan, serta seekali bercanda. Ikon besarnya satu; BELAJAR!!!!!! Hhh,,,ya beginilah, sesal memang tak ada pernah ada di awal meski bisa diprediksikan keberadaan maupun tensinya sejak awal. Aku dan temen-temen sampai-sampai harus kembali mengikuti materi Ansos karena kurang memahami materi.

Hal yang ditakutkan sebenarnya cuma dan hanya satu. KHAWATIR ADA WACANA ATAU PERTANYAAN YANG TIDAK TERHANDLE KARENA BELUM DIPREPARE. Dan garis besarnya ya nyatanya sama, tidak mau malu di depan kader serta tidak mau memberikan contoh yang tidak baik (berupa sikap oon) terhadap kader. Yaaaaaaaaaaaaa…aku rasa itu normal adanya. Tapi ya…menjadi senior memang tak semudah yang dibayangkan, tak sesimpel yang ada di pikiran saat masih menjadi junior. Kini aku mulai belajar dan berpikir banyak untuk mendekonstruksi teori-teori kecil yang dulu aku konsep dan aku kembangkan sendiri. Hehehe. Ya, perubahan adalah suatu keniscayaan.

Dan sebagai orang yang sudah pernah mencecapi rasanya menjadi junior dan senior, aku merasa bahwa dalam keadaan bagaimanapun, manusia selalu menjadi mahluk whose middle position. Secara bersamaan, ia memiliki senior dan memiliki junior. Senior mengayominya, dan ia pun mengayomi junior. Senior memberinya contoh yang baik, ia pun harus memberi contoh yang lebih baik pada juniornya. Begitu seterusnya, salah satu siklus kehidupan manusia. Dan untuk menjadi senior ataupun junior yang baik, teorinya tidak berbeda. DO BEST AE. Dewas enough more.

Dan satu lagi, sebagai akhir tulisan ini, aku ingin mencuplik senior yang diartikan dan dianggap sebagai kependekan dari senang isteri orang oleh kalangan tertentu. Aku sendiri mendengar istilah ini pertama kali dari seorang yang…mmm..ingiiiiiiin banget aku telepon pas aku lagi bingung untuk mahami materi Ansos. Epilognya mungkin ga asik, tapi, aku sedang ingin menuli sesuatu tentang orang itu,,,jadi dipaksain dech. heheheheheh

M.E.R.A.P.I

Ketika masih di Jakarta untuk suatu keperluan beberapa pekan yang lalu, aku mendengar kabar dari televisi maupun situs-situs di internet bahwa Merapi meletus. Tak berada di Jogja seperti biasanya, aku kurang begitu merasakan suasana letusan itu. Selain karena kosku cukup jauh dengan pusat bencana, aku belum pernah mengalami bencana yang bisa dibilang real disaster. Selama ini, paling mentog, aku hanya merasakan nyaliku berdetak satu-satu saat ada gempa kecil yang sekadar lewat atau sesekali pernah bertemu dengan putting beliung. Selain itu, buat aku, Jogja masihlah kota hunian yang menjanjikan. Meski banyak yang mengatakan bahwa Jogja hari ini tak seramah dulu, aku jauh lebih menyukai Jogja dibanding Surabaya, Semarang, apalagi Jakarta. Buat aku, Jogja adalah kota kecil yang masih lekat dengan nunansa ke’desa’annya.

Sebab itulah saat pertama kali mendengar bencana letusan Merapi di Jogja, aku serasa percaya tak percaya. Miris rasanya harus membayangkan kotaku akan dirundung duka. Tapi itulah yang aku liat di layar tivi maupun di situs-situs internet. Nama ‘CANGKRINGAN’ pun disebut-sebut sebagai kecamatan yang mengalami kerusakan cukup parah. Aku segera teringat bahwa beberapa hari sebelumnya, aku sempat mampir ke Cangkringan bersama temen-temen GM dalam rangka menghadiri acara PKD salah satu fakultas. Meski belum terlalu dekat dengan Merapi, tapi aku cukup merasa bahwa tempat yang saat itu aku pijaki saat ini tengah berada dalam zona bahaya.

Dan, satu hal pun berkelebart di pikirku. Beberapa hari lagi (aku lupa tanggal pastinya), aku dan teman-teman akan menghelat acara tahunan di wilayah Turi yang otomatis juga dekat—bahkan jauh lebih dekat dibanding Cangkringan—dengan Merapi. Aku tak tau bagaimana nasib dan keberlanjutan acara tersebut. Yang pasti sebelumnya, aku sudah menunggu-nunggu kapan momen itu akan tiba. Suasan Turi dan segala kekhasannya membuatku melempar ingatan pada Novemvber 2008 saat acara yang sama. Aku ingin mengulang suasana itu meski di tempat dan orang-orang yang berbeda, namun ternyata keinginan itu belum sejalan dengan kehendak Tuhan.

Lewat chating di salah satu situs jejaring sosial, seorang teman memberitahuku bahwa acara itu akan dipindah mendadak ke bagian selatan Jogja, yakni wilayah Bantul. Ya kecewa juga, pasalnya aku uda excited banged dan udah sedari dulu mengatur jadwal aku bisa stand-by di lokasi meski tidak 24 jam dalam sehari. Namun langkah memindahkan lokasi acara memang satu-satunya pilihan yang ada. Aku mungkin hanya kecewa, perasaan yang jauh amat sangat ringan dibanding temen-temen panitia dan fasilitator yang mungkin harus banyak memforsir pikiran, tenaga, serta uang. Well, setelah mendapat berita itu serta berita-berita lain di televisi, aku sadar bahwa Jogja bener-bener tengah mengkhawatirkan.

Sore, 26 Oktober, kalo ga salah, Merapi memuntahkan letusan yang cukup besar dan memakan korban jiwa maupun material. Salah satu korban jiwa yang nyawanya tidak dapat diselamatkan adalah Mbah Marijan, juru kunci atau sahibul bait Merapi. Sosok Mbah Marijan mulai dikenal sejak peristiwa letusan Merapi yang ga gitu besar pas 2006 kemarin, ketika aku belum di Jogja. Aku belum pernah bertemu dengan Mbah Marijan dan aku hanya mengenalnya melalui cerita dan catatan-catatan tentangnya. Sebab itulah aku tak banyak tau tentang sosok yang bersahaja ini.. Sebatas yang aku liat, Mbah Marijan adalah representasi dari generasi tua yang berpikir sederhana dan fokus. Fokus pada tugasnya dan filosofi hidupnya untuk’ menjaga’ Merapi dan menjadi dirinya sendiri. Simpel dan ga terlalu muluk plus ga kebanyakan request ma Tuhan. Hal itulah yang barangkali terlihat dari momen-momen ia menjemput maut di rumahnya—yang diberitakan meninggal dalam keadaan sujud ketika tengah shalat—ashar.

Terlepas dari benar-tidaknya serta besar-kecilnya kemungkinan adanya rekayasa dalam pembritaan tadi, aku menilai Mbah Marijan sebagai salah satu dari segelintir orang yang spirit hidupnya perlu dilestarikan. Simpel, sederhana, namun fokus pada apa yang menjadi spirit hidupnya. Sayang memang, sepanjang pengetahuanku, Mbah belum sempat melakukan kaderisasi pada calon penggantinya yang akan menjaga Merapi. Tapi dari itu semua, seperti kata pepatah arab, lisanul hal afshah min lisan al maqal. Perilaku dan tindak-tanduk Mbah Marijan sejauh ini—sepantasnya dan sebenere—menjadi teknik kaderisasi yang cukup baik. Masalane kemudian, bagaimana dengan kader-kader yang akan melanjutkan tugas mulia tersebut. Semoga, spirit Mbah Marijan masih akan hidup di tengah-tengah anak cucunya yang akan menjaga Jogja dan Merapi.

Selama tiga tahunan lebih di Jogja, aku sedkit banyak mengerti geografis Jogja. Jogja adalah Daerah Istimewa yang cukup mungil namun apik dengan empat kabupaten, yakni Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunung Kidul. Ada tiga hal yang mungkin menjadi ikon yang cukup identik dengan Jogja, yakni Parang Tritis (Laut Selatan tempat Bunda Nyai Roro Kidul), gunung Merapi, dan tugu. Dosenku pernah bilang bahwa ada paradigma mistis yang mengatakan, jika bisa ditarik garis lurus, maka ada garis linear antara tugu Jogja, gunung Merapi, dan Parang Tritis. So, Jogja ada di antara dua kutub, yakni kutub Selatan, Parang Tritis di Bantul, dan kutub utara yakni Merapi di Sleman. Kemarin, saat gempa Jogja, daerah Selatan mengalami kerusakan cukup parah. Dan hari ini, saat Merapi meletus, daerah Utara Jogja serta kabupaten lain yang berbatasan dengan Jogja (seperti Magelang dan Boyolali) harus sejenak menjadi kota mati.

Jadi, dari perhitungan sederhana semacam itu, malam itu, ketika hujan Pasir sampai di tempatku, aku berinisiatif untuk mencari suaka dan perlindungan (baca: pengunsian) ke arah selatan, Bantul atau Wonosari. Saat aku menghubungi seorang temen via telepon, dia mengatakan bahwa Wonosari menjadi final destination dari masyarakat yang harus dievakuasi. Saat itu, uda lewat tengah malam, aku sudah sampai di Jalan Wonosari, namun aku mengurungkan niat untuk terus naik karena medan yang cukup berat tidak akan mau berkompromi dengan mataku yang cukup mengantuk dan aku yang kelelahan, meski sehabis bangun tidur. Malam—atau dini hari dan pagi itu—menjadi momoen yang cukup menegangkan buat aku, barangkali karena momen pertama.

5 November waktu itu. Aku inget banget, tidurku lelap banget dan banget lelap, sebab seharian aku kecapean mempersiapkan makalah yang harus aku presentasikan besok di kelas Filsafat Bahasa. Ga tau jam berapa pastinya, temen kamarku membangunkanku dan langsung berucap banyak hal. Di luar, suasana sudah ramai. Temen-temen kos pada bangun dan semuanya merengsek ke depan televisi untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Aku masih males beranjak dari tempat tidur dan segera mencari hape yang biasanya jadi barang terakhir yang aku liat sebelum aku memutuskan untuk terlelap. Ada banyak panggilan dan beberapa sms yang intinya sama, menyuruhku untuk bangun dan mengabari bahwa kotaku tengah dilanda hujan pasir, setelah Merapi kembali meletus. Aku bener-bener panik dan kantuk lelahku hilang seketika.

Aku langsung menghubungi beberapa nomor di hapeku. Ksatria, Bapak dan Umik, Mbk Rom, serta Unyil. Minimal, orang-orang itulah yang barangkali paling banyak menyita waktu dan tempatku belakangan ini. So, aku langsung mengabari dan mengontak mereka. Dial pertama, ksatria. Dia sudah terjaga dan menyadari bahwa hujan pasir juga tengah mengguyur genting-genting kamar kecilnya. Mbak Rom, Bapakku, dan Unyil masih terlelap. Panggilan teleponku lah yang membangunkan mereka. Aku bicara seperlunya dan tetap berusaha mengkondisikan diri setenang mungkin di keadaan yang cukup genting itu. (Saat itu aku masih sempat berpikir bahwa ada satu nomor yang seharusnya juga aku dial, sekadar memberitau suara di sana bahwa aku tengah berada dalam keadaan aga genting. Tapi, aku memang wajib mengurungkan niat itu dan menganggap pikiran itu tidak pernah muncul. Bukan waktu yang tepat untuk bermain dengan perasaan)

Setelah mengumpulkan sukma dan kesadaran, aku bergegas ke depan tivi untuk bergabung dengan temen-temen kos. Di sana, sudah cukup banyak teman yang tampak terjaga sedari tadi. Pemberitaan di televisi, selain informatif, ternyata juga mengandung unsur lebay. Entah, apakah unsur ini memang harus ada dalam sebuah pemberitaan demi alasan pasar, yang pasti aku merasa pemberitaan dini hari itu cukup berlebihan. Apalgi jika konsumen berita itu adlah orang tua yang anaknya kuliah/skolah di Jogja. Bisa dibayangkan bagamana panik dan hebohnya.

Terkait dengan sisi lebay media itu, aku punya berbagai cerita dari penuturan temen-temenku. Yang pertama, dari salah satu temen yang menuturkan bahwa orangtuanya rela mengeluarkan kocek setengah juta lebih untuk membayar taksi yang membawa ketiga anaknya pulang dari Jogja menuju Banjarnegara. Yang kedua, seorang temenku yang lain memutuskan untuk mudik setelah ada pengumuman libur dari kampus. Ketika nyampai rumah, sang ibu menyambut temenku dengan penuh perasaan dan keharuan, hingga temenku tersebut membahasakan dengan “seperti menjemput orang dateng berhaji dari Mekkah” plus pake acara memeluk sambil menangis. Dan yang ketiga, cerita lain, seorang ibu yang tiga anaknya sama-sama belajar di Jogjakarta, dijauhkan dari televisi dan siara berita agar tidak berlebihan mengkhawatirkan keberadaan anaknya.

Semua ekspresi itu, memang murni berangkat dari rasa sayang dan kekahawatiran orang tua (terutama orang tua perempuan) terhadap anak-anaknya. Tapi yaaaa..mereka yang tidak tinggal di Jogja dan melihat pemberitaan yang tampak demikian heboh dan darurat, bisa dipasatikan akan berekspresi demikian. Wajarlah, adanya. Dalam menghadapi situasi yang cukup dilematis ini, langkah teraman yang aku ambil adalah dengan meyakinkan orang tuaku (bapak dan terutama umik) bahwa keadaanku di sini tidaklah segaswat seperti keadaan yang diberitakan di televisi. Aku juga berkali-kali mengatakan bahwaaa…tempat aku kos maupun tempat aku kuliah berada adalam radius yang amat banget jauh dengan lokaso bencana. Banyak lah, yang aku ucapkan berkali-kali kepada orangtuaku untuk meminimalisir kekhawatiran beliau-beliau. Well, above all, aku sudah cukup tua dan tanggap bencana untuk menyelamatkan diri sebisa mungkin. So, beliau tidak perlu mengkahawatirkanku terlalu berlebihan.

Selain orang tuaku, beberapa keluarga dan teman dekat juga selalu mengupdate suasana di Jogja, khususnya keadaanku sendiri. Meski kadang males mengangkat telepon dan membalas sms yang cukup banyak itu, aku merasa senang juga diperhatikan orang-orang yang aku sayangi dan pernah seruang dan sewaktu denganku, dahulu, di berbagai tempat dan berbagai alasan. Hehehehe. Karena paradigma ini pulalah, aku kadang protes pada temen dekat yang tidak menanyakan kabarku dengan sms yang sok manja banget, “Kau tak mengkhawatirkanku?” Heheheh..Pede banget emang, tapi aku hanya ingin mencari suasana lain di balik kondisi gempa yang cukup meresahkan dan melelahkan ini. Setidaknya, dari suasana ini juga, aku bisa tau mana temen-temenku yang memiliki rasa sayang dan peduli dengan ekspresi kekhawatiran, sindrom yang barangkali juga menjangkitiku. Hehehe. Jadi, setelah menemukan temen sealiran, aku lebih mudah mengenali gejala ini. Ga nyambung ah. Hahahaha

Selaen hujan pasir, aku juga pernah merasakan hujan air..hehehe..maksudnya hujan abu. Hujan abu ma hujan pasir sebenernya ga jauh beda. Sama-sama mengharuskan warga Jogja untuk mengenakan masker. Hujan abu..pertama kali mengguyur daerah kosku di suatu pagi, sehari setelah aku mendarat di Jogja. Bedane, hujan pasir sedikit lebih menyeramkan dibanding hujan abu. Jika ketika abu, genting kos tak berdecit dan tak menimbulkan suara apa-apa, maka saat hujan pasir datang, serasa ada irama tak beraturan yang menghinggapi atap-atap kos dan membuat penghuninya dua kali lebih resah dan lebih cemas dibanding ketika hujan abu tengah mengguyur. Semoga, hanya hujan abu dan hujan pasir yang sudi menghinggapi kota dan kosku, tidak sampai hujan kerikil apalag nomaden goat (wedhus gembel).

Untuk merapi, meski tak terprediksi, semoga bisa mengerti. Amien.

Rabu, 13 Oktober 2010

Kosmateku solid-kosmateku narsis

Sebenere judule dipaksaian bangeeeeeeettt..Hehehehe, enaknya sich, eksis-narsis. Tapi koq jadi pengaburan identitas yaaaaaa..jika terlalu keikut ma trend. Lagian, titik tekan yang ingin aku ulas dalam tulisanku ini memang berkait erat dengan masalah KEKOMPAKAN alias SOLIDITAS. Jadi, judul di atas memang bukan tanpa alasana. Hehehe..Meski kesannya maksa banget. Jadi begini, cerita dimulai ketika dalam forum bincang-bincang santai—di depan tivi atau di depan kamar mandi pas lagi nyuci dan ngantri—ada selentingan aspirasi untuk mengadakan makrab kos. Sebab memang tidak mungkin mengadakan ospek atau opak kos. Aspirasi tersebut setidaknya terpengaruh dari dua hal. Pertama, kosku tersayang baru saja mendemisioner pengurus angkatan lama dan melantik pengurus baru. So, masih fresh, biasane masih semangat-semangatnya melaksanakan program kerja. Jadi kalopun program kerjanya ga pernah dimusyawarhin di raker dan ga pernah ada proker rigid, keinginan untuk mengadakan makrab muncul juga. Yang kedua adalah iklim kampus yang baru saja melewati masa-masa pendaftaran-opak-makrab-sospem. Jadi keroso kena imbasnya juga….mpe penghuni kos pada ingin dan semangat berapi-api untuk ngadain makrab.

Makrab sebenere adalah kependekan dari ‘malam keakraban’. Setauku, ritual ini terbatas dan tidak universal. Di kota laen, kampus-kampus bahkan ga kenal dengan istilah makrab. Mungkin terminologi khas Jogja atau bahkan UIN. Entah, aku ga tau juga. Namun aku pernah berkali-kali tanya ke temenku yang kuliah di luar Jogja dan respon mereka sama persis plus simetris, GA TAU DAN GA PERNAH DENGAR, APA ITU MAKRAB. Well, uda jelas tujuan ritual ini adalah menjalin keakraban dengan kawan satu komunitas. Menjalin keakraban jane ya ga harus dengan seruang dan sewaktu kayak ritual makrab yang biasanya diisi dengan acara jalan-jalan dan touring ke mana-mana, cuma rasanya lebih ngetase ajah jika bisa melewatkan waktu bersama dalam suasana yang juga menyenangkan. Dan satu catatan terakhir tentang makrab, meski kepanjangannya adalah malam keakraban, akan tetpai ritual ini tidak harus dan tidak selalu dilakukan pada malam hari. (aku harus segera menutup paragraf ini sebab makrab dalam arti yang universal sudah berkali-kali menjadi skejulku, so akan sangat amat panjang jika dituturkan semuanya di sini)

Well, kali ini cerita bersetting pada hari Ahad, 10 Oktober 2010. Pagi itu, amat jauh dari kebiasaan, aku mandi pagi dengan penuh semangat dan dengan tekad untuk memerangi kedinginan. Mumpung lagi ada KM nganggur, aku tak perlu berpikir banyak untuk langsung nyolonong. Apalagi diprediksikan, pagi itu, KM akan sepenuh dan semacet jalan di jalan protokol pada jam kerja pas semuane pada mau berangkat. Jadi, setelah mandi dan melakukan persiapan seadanya, aku segera mengecek kelengkapan makrab. Jane aku tidak memegang posisi sentral dalam eo ini, sebab semua sudah terlimpahkan pada pengurus kos yang rata-rata masih duduk di semester lima dan semester tiga. Semester tujuh lebih enak dengan posisinya sebagai steering commite. Itu teorinya, namun di wilayah taktis, semuanya nyampur aduk tumpek blek. Ga peduli semester berapa.

Seksi akomodasi dan transportasi diatur sepenuhnya oleh bendahara kos, si Dety. Sedangkan masalah konsumsi sudah dihandle oleh Vero yang pagi itu sudah berdarah-darah memasak nutrijel coklat untuk bekal kami kemping. Wis heboh bangeeeeeeet…Lima hari sebelumnya, aku sudah menarik angket yang aku sebar ke seluruh penjuru kos, untuk mengetahui aspirasi mereka. Namun, sayang seribu sayang, tidak semua penghuni kos bisa ikut. Yayayaya, mereka memang memiliki kesibukan dan skejul sendiri-sendiri. Tapi memang, kebersamaan ga bisa dicari hingga pojok terujung Bringharjo. Sulit banget. Jadi karena mengidealkan seluruh kuota bisa terisi adalah suatu hal yang amat banget mustahil, maka kami pun berangkat meski tidak dengan anggota kos yang utuh. Ada lima belas orang yang turut serta dan aktif berpartisipasi untuk menyukseskan acara ini. Sayang seribu sayang yang kedua, di antara lima belas orang tersebut, tidak ada satupun penghuni baru yang turut serta. OMJJJJJJJ..But that’s a reaaaaaaaaaallll…Empat penghuni baru kos, pagi itu pada lagi mau ada acara lain dan halangan. So, memang tak ada boleh ada pemaksaan, termasuk dalam hal-hal yang sifatnya having fun kayak makrab. Idealnya, makrab dilaksanakan untuk merekatkan emosi antara mahasiswa lama dan mahasiswa baru, dan dalam hal ini antara penghuni baru dan penguni lama. Namun idealisme tinggal idealismeeeeee….

Lima belas orang yang pagi itu mengenakan baju terbaik dan menampilkan dandanan terimutnya masing-masing terbai dalam dua kloter. Kolter pertama adalah mereka yang memanfaatkan jasa alat transportasi paling mewah se-Jogja, yakni Trans Jogja. Total ada sepuluh orang. Sedangkan lima yang lainnya adalah seksi pembantu umum (yang bisa disulap menjadi seksi apapun dalam keadaan bagaimanapun) yang mengendarai sepeda motor. Aku berada dalam kloter kedua. Kami berlima dengan tiga motor. Aku dan Anggun, Jenghol dan Erma, dan DP sendirian. Sebenere, aku lebih memilih untuk rame2 di TransJogja. Namun, karena alasan budget juga plus menyediakan motor sebagai instrumen cadangan jika ntar terjadi apa-apa, akhirnya aku mutusin untuk make motor ajaaaaaaahhh…Masing-masing kloter sudah dilengkapi sebuah kamera, jadi tidak alasan untuk tidak narsis di momen-momen kebersamaan itu. Kloter pertama dengan kamera Rida, dan kloter kedua dengan kameraku. Sedangkan logistik berupa lauk, cemilan, dan air, dibawa sepenuhnya oleh kloter kedua. Bener-bener mesa’ke, tapi inilah konsekuensi. Wissssssssss,,,dua kloter itu berpisah setelah sempat jepret-jepret di depan MP.

Kloter kedua sampai di Altar ketika kloter pertama masih duduk manis di halte Wanita Tama alias belum dapet bus. Mesa’ke bangeeeeeet…Namun kloter kedua juga uda mulai kelabakan untuk mulai berteduh dan mencari tempat yang rindang…Mulai dari di depan kantor BI, berpindah ke sisi barat altar, lalu sisi utara altar, hingga akhirnya di tengah-tengah altar. Pas itu kerosone awan sedang tak ingin menaungi kami berlima. Hehehehe..Jadi, setelah kembali dan lagi-lagi berpose dengan tensi pede yang tinggi, suatu masalah baru kembali muncul. Dan semuanya belum sama sekali diprediksikan dan diperhitungkan saat semalem mengadakan konsolidasi di depan tv sambil nonton IMB. Andong yang dianggarkan akan mengantar anggota kloter pertama ke Taman Sari dari shelter TJ paling selatan di Malioboro mematok harga yang amat banget mahal. 30 REBU bagi turis lokal seperti aku dan temen-temen tenti merupakan nominal yang cukup menguras kantong. Setelah konsolidasi viahape, akhirnya muncul keputusan bahwa anggota kloter satu akan diangsur dengan menggunakan tiga motor yang dibawa kloter kedua. Tuuuuuuuuuuuuuucccccchhh,,,untung bawa motor. Jika ndak, dak sama sekali kebayang kalo harus ada ritual nyeker dalam acara seneng-seneng ini. Jadi, dari sepuluh orang yang masuk anggota kloter I, dua di antaranya memilih untuk menggunakan jasa becak. Mereka adalah ketua kos, ddk Soby dan menteri keartisan, Bak Njes yang mengaku bernama belakang Chandrawinata. Sedang delapan orang yang tersisa kemudian diangsur satu-persatu (dan kadang double) agar bisa segera sampai di TKP.

Dan untuk urusan yang satu ini, aku emoh jadi driver, sebab di antara anggota kloter kedua (yang ternyata semuanya sudah punya SIM-C), akulah driver yang paling amatir. So, aku lebih baik ngalah pada driver yang sudah mahir untuk menjemput dan mengangsur anggota kloter satu dari lampu merah perempatan Malbor mpe taman sari. Bukan apa-apa, kenyamanan berkendaraku jadi serasa berkurang saat aku harus mbonceng seseorang, sebab aku kurang bebas berekspresi dan merasa tengah memegang tanggungjawab yang demikian besar, menyelamatkan anak manusia yang ada di belakangku untuk sampai ke tujuan. Hehehehe. Lebay banget memang, tapi itulah ada dan nyatanya. Aku merasa gerogi plus serba salah jika harus mbonceng orang, apalagi yang mbonceng adalah Ibu muda kaya Ayu. Hoahoahoaohoahoaho…

Setelah menentukan division of labour dan job discription, akhirnya, di antara berlima, aku dan Ermalah yang akhirnya diputuskan untuk tidak jadi driver dan menunggu di Taman Sari. Sedang tiga yang lainnya, Anggun, Jenghol, dan DP, bertugas mengangsur temen-temen dengan tiga motor yang ada. Aku uda masrahin kunci motorku ke Anggun so,, aktivitas selanjutnya adalah W.A.I.T.I.N.G. Awalnya aku cuma berdua ma Erma, lalu disusul Riska dan Rida (yang dianter DP), dan kemudian temen-temen yang laen. Di tengah-tengah ritual angsuran ini, muncul lagi satu masalah baru. BANKU HARUS DITAMBAL KARENA ADA PAKU KECIL YANG KELINDES DAN NANCEP DI BAN DEPANKU. Kontan aku kelabakan, Seumur-umur aku ga pernah menghadapi masalah teknis yang demikian tanpa ada seorang laki-laki di sisiku, semisal bapak, elton, ksatria, atau temen-temen korpku. Bukan pengalaman pertama siy, cuma ini pertama kalinya aku harus menghandle urusan itu by me myself. Untungnya, aku masih diselamatkan oleh keadaan. Ada DP (D Prita) yang mau menemaniku mencari tempat tambal ban. Dan dari kacamataku, aku liat DP tau lebih dibanding aku dalam masalah tambal ban. Sebab itulah, aku tak sungkan bertanya padanya, apapun yang ada di kepalaku, semisal “Yang kena ban dalam pa ban depan?”, trus “Yang harus diganti ban depan po ban belakangnya???”, dan lain sebagainya. Aku hanya ingin menetralkan rasa panikku.

Dengan berjuta harap dan lelah yang uda mulai muncul, aku menyusuri jalanan sekitar Altar dan Taman sari kemudian menemukan sebuah tambal ban di kanan jalan, pas di jalan yang selalu aku lewati setiap kali akan ke Altar. Alhamdulillah, keadaan lagi-lagi menyelamatkanku. Ban motorku langsung dipermak abis ma si bapak dan aku ma DP hanya duduk-duduk memerhatikan betapa bapak itu cekatan merepair semuanya. DP lalu mengatakan bahwa pekerjaan ini tak akan menyita terlalu banyak waktu, maksimal 30 menit. Aku tau dia amat sangat bisa membaca kekahawtiranku. Ia bahkan menyarankanku untuk minta kompensasi uang tambal ban ke bendahara kos. Tapi yaaaaaaaa….Yang ada di pikiranku saat itu adalah bagaimana motorku bisa kembali sehat seperti sedia kalaaa…Hmmm…Aku mengamati proses penambalan ban motorku dari awal hingga akhir. DP juga sangat apresiatif dengan pertanyaan-pertanyaanku. Tak terasa aku merasa senang, siang itu, banyak pelajaran yang aku terima. Pelajaran kehidupan maupun pelajaran fisika. Heheheheheh…

Setelah membayar biaya tambal ban, aku dan DP segera cabut ke Taman Sari. Di sana, temen-temen uda pada nungguin kami. Mungkin uda aga lama, I did my apologize, tapi aku emang wanti2 agar aku ditunggu so ga perlu ada cerita someone’s missing di episode makrab ini. Saat aku datang, ternyata masih ada dua orang yang belum ngumpul, yakni ketua kos dan menteri keartisan. Mereka masih menghandle masalah kelaparan di sebuah angkringan pojok depan pintu masuk taman sari. Setelah didesak berbagai fraksi, akhirnya tu dua orang muncul…Dann..Next, kami akan masuk. Tiket sudah dibeli, jumlah pas. 15 lembar. Satu tiket berharga 3000. Dalam hati aku menyayangkan, mengapa aku tak menggunakan naluri preman untuk ‘curang’ dalam jumlah tiket ini. Kecurangan2 itu uda berulang kali aku lakukan, bersama temen-temen dan di tempat yang berbeda. Namun kali ini aku ga bisa melaksanakan trik itu. Bukan apa-apan, tiket sudah terlanjur dibeli dan aku tidak mau memberikan contoh yang tidak baik pada adik angkatan. Heheehehehe. Meski asa keuangan yang maha esa akan dianut siapapun, namun dalam beberapa keadaan, asas tersebut harus dikompromikan dengan asas-asas lain yang mungkin lebih penting, seperti memberikan teladan yang baik pada adik angkatannn..Heheheheh.

Okelah, kami berlimabelas masuk dengan lima belas tiket yang aku serahkan pada penjaga pintu masuk. Hadooooooohhh..nyesel banget rasanya ketika tau bahwa tu tiket sebandel ga diitung apalagi diliat asli ndaknya, tapi hanya diberi tanda bolong dua buah dengan alat yang biasa dipake untuk bolongin kertas…Tapi tak apalah, tak mengganggu manisnya kenangan pagi yang uda agak panas itu. Acara selanjutnya uda bisa dipastikan, FOTO-FOTO NARSIS MPE MATI GAYA. Aku pribadi uda mulai merasakan sindrom kebosanan untuk selalu berpose di depan kamera, apalagi sejak aku mengantongi kameraku awal tahun lalu. Namun dalam urusan foto bersama, aku memang merupakan salah satu orang yang tidak mau ketinggalan. Alasan paling utama, kebersamaan itu mahall…Dan legitnya juga masih akan terasa ketika suatu saat di jauh, kita mengenangnya. Makanya, aku bela-belain testing speaking ma salah satu turis bule untuk memotret kami berlima belas. Hehehe. Eh, tu turist malah juga mau ikut foto setelah motretin kami. Heheheheh. Lucu ah, oon juga. Plus malu-maluin karena kami tu rameeeeeeeeeee banget. Ada yang minta fotoin, ada yang sibuk ngatur self timer, ada yang mengeluh cape dan kelaparan, dan lain sebagainya.

Well, show must go on. Aku lebih banyak bertindak sebagai fotografer saat itu. Setelah menyusuri area taman tempat pemandian (yang dibagi dua untuk membedakan tempat mandi isteri resmi dan selir raja yang tak resmi) dan berlebay-lebay di sana, kami mulai tak kuasa menahan rasa lapar. So, diputuskan, untuk acara selanjutnya, KAMI MAKAN. MEMBUKA BEKAL YANG DIBAWA DARI KOS. Sebelumnya, kami uda urunan beras yang kemudian dimasak bareng untuk meminimalisasi anggaran. Untuk lauk sekaligus sambel, kami uda mesen di ketring Yu Semi. Selain itu, ada persediaan air, nutrijell, cemilan, dan kerupuk yang biasa dibikin teman makan nasi. Whahahahahah….soswiiiiiit banget acara makan siang itu. Aku uda amat banget kelaperan, ditambah eventnya rame-rame, jadi kerosone enak bangeeeeeeet,, meski sebenarnya biasa ajahhhh…

Saat makan, Rida yang siang itu ga mau makan—karena uda makan tadi pagi di kos—sempet ngerekam aktivitas kami. Video itu ternyata lucu bin ajaib, bikin cekikikan dan bikin dunia serasa sangat amat menyenangkan. Hehehe. Well, seabis makan, kami melanjutkan rute perjalanan ke tempat-tempat tua kaya terowongan dan kembali acaranya sama, FOTO-FOTO. Aku tak tau banyak tentang sejarah tempat ini. Yang pasti arsitekturnya keren gile, serasa kayak di pilm-pilm gitu. Sayang memang, ada banyak sisi di taman sari yang kurang terawat, sehingga uda beranjak sepuh dan membungkuk gitu. Kalo bangunan sejarah emang kadang bikin bingung, direparasi ntar bisa mengurangi nilai kesejarahan, dibiarin ntar malah ga kerawat. Gitulaaaaaahhh…di bangunan yang mirip terowongan itu, kami sempat kembali minta bantuan seorang pengunjung untuk memotret kami pas genap berlima belas. Meski fotonya kemudian ga apik karena pengaturan cahayanya ga beres, akan tetapi tu foto tetep oke punya laaaaaahhhh…

Dari terowongan itu, Anggun, sebagai salah satu penghuni yang pernah mengunjungi Taman Sari sebelum hari itu, mengajak kami ke sebuah bangunan tua yang lagi-lagi aku ga tau harus dibahasakan apa. Intinya, bangunan tu keren banget, meski sudah ga beraturan di mana-mana. Di tempat itu, tenaga kami uda hampir off. Temen-temen uda banyak yang mengeluh dan sudah tidak nafsu untuk berfoto-foto. Namun sebagian masih asyik berpose-pose sakarepe dewe. Aku bahkan masuk dalam list terakhir orang yang datang ke tempat parkiran untuk selanjutnya pulang. Pas itu, bertiga ma Jenghol dan bak Njes, aku masih berpose-pose seakan tiada lelah yang menghinggapi kami. Hehehe…

Abis itu, di tempat parkiran, kami menghabiskan logistik yang masih ada dan kemudian bersiap untuk pulang. Ternyata uang parkir dan uang bensin juga termasuk salah satu biaya yang ditanggung oleh pihak akomodasi dan atau transportasi. Yayayaya…senang lahhhh,,,hehehehe. Dan dalam urusan angsuran temen-temen, kami tetep mengandalkan driver yang tadi pagi bolak-balek. So itu artine, aku bisa beristirahat di masjid deket Taman Sari untuk sekalian shalat dzuhur. Sesudah semua anggota berkumpul dan telah melaksanakah ibadah shalat dzuhur (pada perjalanan pulang, kloter kedua nambah kuota satu orang, yakni Rida), kami mulai bingung mau ke mana abis ini. Mumpung ada motor, mumpung ada uang bensin, dan mumpung masih bareng-bareng. Tapi cuaca panaaaaaaaaaaaaaaaas banget waktu itu. Jadi sebelum tancap gas, kami putusin untuk langsung pulang ke kos.

Eh, gatau gimana dan kenapa, di lampu merah perempatan Gondomana, Jenghol menginstruksikan kami untuk banting setir ke Gembira Loka. Aku manut ajah, sebab tempat itu belum pernah aku kunjungi sama sekali. Rasa cape dan kantukku tiba-tiba hilang terbang entah ke mana. Dan ternyata, sampai di lokasi, udarane adem dan sejuk. Cukup tepat menjadi bargaining position bagi panas yang pagi itu amat sangat membakar..hohohho…Dan di tempat itu, aktivitas kami tetap tak berubah. FOTO-FOTO dengan tensi pedemeter yang melebihi tensi rasa lelah dan capek yang sedari tadi muncul. Pas itu, hanya satu hal yang bikin kami berhenti berpose,,yakni ketika..BATRE KAMERA HABISSS!!!!!!!! Hahahahahahahaha..Parah..parahh..

Well, anyway, epilog dari tulisan ini adalah, semoga, makrab kos masih akan menemukan seri-nya. Dan satu lagi, sajak yang sedari dulu muncul di kepalaku namun belum sempat tak tuang dalam tulisan. Sajaknya begene,,,
Jika aku masih tetap pada hatimu/dan tidak sedikitpun berkeinginan untuk pergi/hal itu sama sekali bukan tak ada yang lebih baik dan menarik dari engkau*/namun semata-mata/karena hatiku telah terambat padamu, pelabuhan terakhirku…MOKSO BANGEEEEEEEEEEEEETTTTTTT..TAPI ITULAH ADA DAN NYATANYA. I LUV MY KOZ (and my kozmate) SO MUCH VERY TOOOOOOOOOO….

*) Bangunan kos lebih bagus dan harga kos lebih murah…

Weekend on Weekendddddd

Buat aku dulu, weekend atau akhir pekan yang amat sangat ditunggu adalah hari Kamis dan Jumat. Pada dua hari itu, kegiatan di pondok biasanya tidak akan semembosankan hari-hari biasa. Ga da sekolah, ga ada jam belajar, ga ada jadwal kursus dan les, ga ada pengajian, dan semuanya free-free. Bebas mau ngapain ajaaaaaaaaaahhh…Ya, meski memang, di akhir pekan itu, aku biasane sulit untuk bisa bebas dari apa yang bernama piketan. Hmmmmm….Ya karena memang begitulah porsinya.

Naaaaaaaaaaahhh, sejak kuliah, ada shifting paradigm di sini. Hehehe. Maksudnya adalah pergantian atau pergeseran jadwal weekend. Hari yang kutunggu-tunggu semenjak menjadi mahasiswa adalah hari Sabtu dan Ahad, tidak lagi hari Kamis dan Jumat. Sabtu-Ahad kuliah libur, jadi aku bisa sesuka hatiku membuat skejul dan berselancar ke mana-mana tanpa harus berkompromi dengan jadwal kuliah. Dan lagi-lagi hal yang sama terulang, weekend kerap banyak kuhabiskan dengan aktivitas nyuci-nyetrika-bersih-bersih; tugas yang sering terbengkalai karena padatnya jadwal perkuliahan.

Namun kali ini ada yang beda. Weekend pertama di bulan Oktober ini benar-benar bikin hepi..Sabtu-Ahad aku aktif di jalan alias jalan-jalan dan tidak mendekam di kos, seperti yang biasa kulakukan. Pas hari Sabtu, aku ikutan temenku (namnya Unyil) dan mbak-mbaknya untuk attending international seminat at Muhammadiyah university of Yogyakarta. Hohohohoo..Maksude untuk ikutan seminar internasional di UMY. Cerita berawal ketika pas hari Kamis, di siang yang terik, aku lagi kebagian shift untuk jemput Unyil di rumahnya, sebab jam setengah 1 pas itu kami berdua ada kuliah. Setelah menghubungi dosen yang bersagkutan dan beliau bilang tengah berada di Jakarta, kami berdua pun kegirangan dan menghabiskan spare time itu dengan rujak party; bertiga ma mba’e Unyi, mba Intan. Dari forum itu, Unyil ngajak aku untuk ikutan acara yang akan digelar hari Sabtu itu. Aku belum berani mengiyakan, cuma emang pas denger kata ‘internasional’, aku sudah tertarik.

Mengapa begitu? Alasan yang paling utama dan terdepan adalah karena aku belum pernah mengikuti seminar internasional. Jadi, penasaran ajah kayak apa format acarane. Samakah dengan seminar-seminar yang biasa aku ikuti di teat perpus? Atau ada yang berbeda? Kalo ada, terus bedanya apa? Hmmmmm….Trus, ini lagiiiii…alasan pragmatis. Dapet sertifikat. Beeeeeh..Akan sangat ok tu, namaku terpampang di sertifikat seminar internasional. Event pertama pulaaaaaaaa…Transport gratis pula…Hehehehehe…

Ok, berangkat dari beberapa alasan itu dan keadaan yang tengah berbaik hati padaku, siang yang cerah itu, Unyil datang menjemputku ke kos setelah aku makan dan mandi seadanya. Hehehehe. Sempat keburu-buru juga, tapi ternyata sampae tempate Unyil, aku masih bisa berleha-leha melewatkan waktu dengan bersantai. Mba’e Unyil yang pertama, Mb Dhian, pas itu lagi sibuk ngubungi beberapa nomor di hapenya untuk menangani masalah akomodasi alias penjemputan bernama kendaraan taksi. Namun, hambatan pertama hari itu, tak ada taksi yang bisa menjemput penumpang di daerah Banguntapan barat (daerah rumane Unyil) dalam waktu tidak lebih dari 1 X 30 menit. Pas itu uda jam setengah sepuluan, dan acara mau dimulai jam sepuluh. Aku bisa baca pas itu Mba Dhian cukup panik, biasalah dikejar waktu. Tapi akhirnya dia tersenyum dan segera mengistruksikan aku, unyil, dan bk intan untuk segera bersiap berangkat. TAPI PAKE MOTOR, MASIH BUKAN TAKSI…

Seperti biasa aku bonceng Unyil. Di perjalanan itulah aku baru faham mengapa kami berempat masih terlebih dahulu harus make motor, mau ke mana kami, dan hal-hal lain yang lima menit sebelumnya masih membingungkanku. Namun sayangnya, tak sempat aku berpikir banyak hal dan menikmati jalan di Sabtu yang indah itu, hujan datang ga pake permisi ga paket peluit petir, SAMA SEKALI. Langsung deras mengguyur. Mau ndak mau kami berempat dan beberapa pengguna sepeda motor masih harus berteduh di pinggir jalan. Ada yang mau mengenakan jas hujan terlebih dahulu dan kemudian melanjutkan perjalanan atau sekadar menunggu hujan reda karena emang ga bawa jas hujan. Sayangnya, aku tak bawa jas hujan. Jadiiiii,,,di tengah kesialan itu, aku masih berlindung pada aji kemujuran minimalis. Mengenakan setelah celanan jas ujan unyil yang berwarna kuning ngejreeeeeeeeeng dan difitkan dengan dua lenganku. Minimal, tak basah terlalu komplit laaaaaaaaaahhh..Mb dhian dan mb Intan juga tidak jauh berbeda. Mereka berdua hanya menggunakan satu jas ujan yang dibuat berdua…Kami berangkat kembali…

Di jalan, ujan masih turun dikit-dikit meski tak sederas pas pertama tadi. Tapi ya tetep ajah, kami semua basah kuyup. But show must go on, kaidah ini terutama berlaku pada bk Dhian yang jadi sahibul bait acara yang akan kami hadiri itu. Proctive belt-nya adalah…KAMI HARUS MENGGANTI KOSTUM YANG UDA BASAH DENGAN KOSTUM YANG MASIH KERING. Andai aja aku ga bareng sama mereka, aku pasti ga akan susah-susah ganti kostum. Toh ntar juga nae mobil dan akan digaringkan oleh waktu dan angin. Tapi keadaannya berbeda. Karena pas itu aku berada dalam sebuah rombongan yang semua anggotanya pada mau ganti kostum, akhirnya aku manut juga. Tapi, kostumnya siapa????

Aku juga ga habis pikir dan ga pernah bisa membayangkan, kalo aku akan meminjam pakaian orang yang bener-bener fresh know alias BARU PERTAMA KENAL, dalam keadaan yang super duper darurat lagi. Tapi memang, kenyataan tidak bisa disimetriskan dengan bayangkan. Setingnya di tempat kose Unyil yang dulu, yang juga bersebelahan dengan kediaman si nara sumber seminat. Dan saat itu, aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi dan bersungkan-sungkan. Mantan kosmate Unyil yang juga akan ikut di acara itu dengan sigap dan tanpa ragu mengeluarkan seperangkat pakaiannya dari dalam lemari bajunya dan menyuruh kami berempat untuk segera memilih kostum baru. Bener-bener tak da waktu untuk berbasa-basi. Wis tumpek blek, semuanya pada ganti pakaian, dandan, pake jilbab, dan akhirnyaa…semua beres. Tinggal berangkat. Taksi yang sedari tadi menunggu di luar pager juga mungkin uda kesemutan nungguin kami kelamaan, bahkan sebelum aku dkk dateng. Aku bahkan tak sempat bercermin dan menertawai diri sendiri, betapa oonnya aku saat itu, dengan kostum itu, dengan kelelahan itu, dan dengan semua yang berujung pada tajuk, HARI YANG ANEH.

Wis, lunga. Di depan, si sopir bersanding dengan si narasumber mantan tetangga kose Unyil yang bernama M.A.B.E.L , bule asal Amerika Latin. Aku merasa sulit untuk mengingat nama bule ini. MABEL, MABEL, entah tulisannya bener apa ngga. Yang jelas, aku menggunakan kata FABEL (cerita binatang) untuk mengingat nama bule ini. Fabel lebih akrab di telingaku, sehingga kemungkinan besar aku akan lebih mudah mengingat nama ni bule dengan wasilah fabel. Tapi dasar akunya yang lola, di akhir acara seminar, saat aku kembali mengingat-ingat nama bule ini, yang keluar dari otak dan mulutku malah BAWEL. Hahahaha. Bk Intan cekikian sambil memberitauku nama si bule yang bener. MABEL, bukan BAWEL. Abis ampir sama seiiiiiiiii…(Nyambung lagi ke yang di atas), dan di belakang, tumpek blek, aku, unyil, mb ient, mb dhie, dan si mantan kosmate unyil yang ternyata bernama mb ncet.

Dan di acara, semua berlangsung seperti biasa. Meski sempat berkecil hati karena ga dapat gud seat (baca: ga kebagian kursi karena terlambat), akhirnyaaaaaaaaa…I got a good seat. Yauda, dengerin ajah..sambil sesekali ketawa dan mengerutkan alis. Jadi tema seminar pagi itu adalah perbandingan kultur Mesir dan Columbia. Abis presentasi, forum langsung ditutup tanpa ada sesi dialog. Mungkin formatnya memang begitu, atauuuuu..karena diburu waktu. Entahlah, yang jelas dan pasti kebenarannya, aku dapat privelege tiket free dengan hanya menggunakan password, “adknya mb Dhian”. Hohohoho..So swiiiiiiiiiiiiit…Tak perlu identifikasi sidik jari. Cukup dengan kalimat singkat yang bertuah..

Ya, itulah cerita singkat tentang seminar internasional pertama yang aku ikuti, plus juga tentang kunjungan pertama ke UMY. Hehehehe. Jane aku sering muter2 di wilayah Gamping ne, tapi baru ini ada takdir untuk masuk ke PT yang—kata Mada—adalah PT dengan biaya termahal se-Jogja. Wallahu a’lam laaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh…Kesannya gado-gado lah, tapi aku banyak mendapatkan pengalaman dan input baru laaahh..meski tak harus aku tulis di sini. Dari dua pembicara, aku lebih ngeh terhadap pembicara pertama, karena dia adalah native Mesir yang bukan Englishmen asli. Dalam arti, bahasa Inggrisnya masih amat banget bisa dimenegerti. Cukup berbeda dengan si Mabel yang logat Spanyolnya masih amat banget kental. Aku berulang kali cekikian saat mendengar Mabel mengucapakan A LOT [Inggris, banyak] (dengan bacaan Indonesia, sehingga kedengeren seperti dia bilang alot). Waaaaaaahhh..aku malah uda lupa ma nama si pembicara pertama. Intine dia tu orang Mesir yang idungnya mancung plus merasa sangat bangga sekali karena bisa berbahasa Jawa kromo injil. Hohohoho, seperti itu pula juga mungkin, rasanya, saat aku bisa ngomong ma bule dengan bahasa mereka. Hehehehe. Tapi yaaaaa…gradasinya beda. English khan international languange, kalo Pall Mall, another international languangeeeeee…Eh, jaka sembuuuuuuunggg

Dari kejadian ganti kostum dadakan yang serba spontanitas itu, aku belajar satu hal. Bahwa dalam keadaan apapun dan situasi bagaimanapun, satu-satunya hal yang bisa menjadi senjata manusia adalah KEBESARAN HATI; kebesaran hati untuk berkompromi dengan keadan yang tidak diinginkan, untuk menerima hal yang tidak diharapkan, untuk mencoba suatu hal yang belum sama sekali terpikirkan, dan untuk menghadapi jalan di depan, seberapapun sulit dan menyeramkannya. Hehehe. Sok iyes.

Buat Mb Dhie, Mb Ient, Unyil, Mb Ncet, Mabel, Supir taksi (Pak Rudi), dan semua kejadian plus pelajaran hari itu, thanks a lot…

Rabu, 06 Oktober 2010

Semester 7 u (juh) a (What it looks like???)

Hmmmmmmm…Selama ne aku masih belum terlalu akrab dengan angka 7. Dalam dunia akademik, aku hanya pernah akrab dengan dunia angka dan mentog di angka 6. Kelas 6, ketika SD, MI, atau ketika di madrasah diniyah pondok. Kalopun seharusnya aku sudah akrab dengan kata-kata “kelas 7” saat duduk di kelas I Tsanawaiyah duluuuuuuuuuuu…Hal demikian tidaklah terjadi. Kelas satu Tsnawiyah ya, tetep ajah kelas I. Lingkunganku dulu—barangkali—terlambat mengenalkan aku dengan frase “kelas 7”. Namun kali ini, aku tak lagi ngomong tentang kelas, tapi semester. Bedane kelas ma semester apa ya? Yang pertama, kelas bisa tidak naik dan tinggal kelas karena sang siswa males belajar dan dak disiplin ato apalah sebabnya, sedangkan istilah tinggal semester tidak pernah ada dalam kamus akademik mahasiswa. Hehehehehe. Ini nech, yang bikin enak meski di satu sisi juga ga ngenakin.

Bedanya yang kedua, semester menggambarkan interval masa kuliah 6 bulan, sedangkan sebuah tingkatan kelas memiliki interval waktu 12 bulan, 1 tahun, atau dua kali semester. Selain perbedaan yang gamblang tersebut, yang jelas kelas diperuntukkan bagi siswa dari PAUD-SMA, sedangkan semester biasa dipake untuk mahasiswa. Ooopss, tapi kayaknya padanan yang paling pas dijadikan bahan perbandingan dengan kelas dalam terminologi anak sekolahan tu adalah “tahun ajaran” dech, dalam dunia mahasiswa. Tapi ya embuhlaaaaah…Nek taun pelajaran yang semuanya sama-sama punya. Intine, gradasi dalam dunia sekolah menggunakan “kelas”, sedangkan dalam dunia kampus uda berubah menjadi agak keren dikit, “semester”.

Oklah, sampai di sini ajah pembahasan tentang leksikal-semiotik ato apalah namanya. Sejak kemarin melakukan daftar ulang dan beberapa prosedur lainnya, akhirnya, aku benar-benar menjadi mahasiswa semester tujuh. Aku sendiri melihatnya dengan satu kesan besar; NAKUTIN dan PENUH KERJAAN, utamanya yang ada hubungannya dengan segala hal yang berbau skripsi, munaqasyah, dan lain sebagainya. Aku sendiri belum begitu bisa yakin dengan penuh bahwa aku sudah setua ini, uda duduk di semester tujuh. Uda punya tiga adik angkatan, 2008, 2009, dan yang terbaru adalah adik2 angkatan 2010. Miris rasanya saat di forum brainstorming Opak kemarin, aku harus menyebutkan bilangan semester atau tahun masukku. Bukan karena aku tidak Pede atau tidak siap dianggap sebagai mahasiswa tua, tapi lebih karena aku SANGAT WAS-WAS dan sama sekali tak yakin bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah selama ini aku dapatkan, selama menjadi mahasiswa tentunya.

Dalam hal ini, aku memang tidak memungkiri bahwa idealismeku terkadang berlebihan, utamanya dalam mematok standar maksimal dan minimal buat diriku sendiri. Aku kadang merasa terbunuh oleh idealisme dan standard itu. Cumaaaaa…Aku pikir, hal demikian tidak bisa seharusnya dihilangkan dari alam pikirku. Dalam kasus ini misalnya, minimal aku harus nunjukin apa bedanya anak semester tujuh dengan fasiliator 2008 atau panitia 2009. Banyak hal yang membuatku kurang bebas menjadi diri sendiri. Cuma di balik itu aku tau, menjadi diri sendiri memang suatu hal yang mutlak, tapi aku tidak boleh kemudian sepenuhnya melupakan beberapa idealisme dan standard itu. Yaaaaaaaa..Aku mencoba sebisa mungkin untuk bisa berdamai dengan keadaan. Hadohhh…terlalu rumit jika dijelaskan di sini.

Sebelum di Opak, aku belum sama sekali merasakan bangku kuliah di semester tujuh ini. Ada beberapa MK yang terpaksa harus aku bolongin karena miskomunikasi atau karena aku pas lagi di perjalanan dari Madura menuju Jogjakarta. Dan ketika masuk kelas, kelas pertama, kesempatan pertama, MK pertama, dan dosen pertama, aku bukan main merasakan betapa sudah sepuhnya diriku. Hal demikian muncul saat aku harus sekelas dengan adik angkatan. Sialnya lagi, di MK siang yang terik itu, dosenku meminta mahasiswa untuk menghafalkan definisi suatu hal dengan bahasa Arab dalam waktu yang sebentar banget. Aku ciut duluan, sebab aku sudah lama mengenal diriku dan gaya belajarku yang jauh banget ama si Ramalingam di 3 idiots. AKU TIDAK TERBIASA DAN TIDAK SUKA MENGHAFAL. Itu intinya. Dan sialnya lagi, dosen itu spontan menyebut namaku dan memintaku mengulang definisi itu. Hhhh…Sugestiku emang uda amat banget jelek jika harus berhubungan dengan apa yang namanya hafalan. Alhasil ketika aku sudah angkat bicara, dosen itu tersenyum-senyum, antara lucu, kasian, dan entah apalah namanya.

Pada hari-hari dan MK-MK selanjutnya, aku kembali pada kebiasaan lama ketika semester 5 untuk bersama-sama ke mana-mana dengan Unyil dan Ayu. Sebenarnya tidak se-ansich demikian, hanya saja kami bertiga terlanjur memiliki kesamaan nasib ketika semester 7; yakni mengambil MK yang tidak diambil sebagian besar temen sekelas. Jadi dech, kami harus kembali bertiga senasib seperjuangan ketika semester 7. Unyil dan Ayu adalah dua sahabar terbaikku di bangu kuliah. Senenglah bareng mereka. Meski banyak neko2, mereka baik dan bisa diandalkan. Ga rugi laaaaaaaaaahhh…Aku kenal mereka. Meski tidak sembilan puluh persen sama, aku merasa karakterku matching dengan dua orang ne. Hehehehe. (Semoga dua orang itu ga GR saat membaca tulisan ini. Bisa turun garansi nech aku)

Dan selanjutnya, ritual dengan adik angkatan (plus juga kakak angkatan) kembali terulang, bahkan mungkin dalam semua MK, sebab masih ada 2 MK yang belum sama sekali aku tau 5 W 1 Hnya. Dan pikiran untuk menjadi “lebih” dan bisa “ngayomi” itu tetep bercokol di kepalaku. Setidaknya, pikiran itulah yang ada di pikiranku ketika membincangkan sosok seorang “kakak”. Kakakku sendiri, dalam banyak hal, aku liat amat sangat jauh lebih baik dari aku. Sebab itulah dia punya sangat banyak cara jitu untuk ngayomi aku. Akupun kemudian berpikir, sosok seorang kakak yang kutemukan dalam dirinya juga harus bisa aku tunjukkan pada adik-adik kandungku, juga, dalam konteks ini, adik-adik angkatanku. Hehehehehe. Minimal, alasannya simpel ajah, seperti kata Pak Faiz, “lebih lama kuliah berarti khan lebih pintar…”Gubraaaaaaaaaaaaaaaakkk…Dan semester tujuh yang menandakan bahwa kau sudah menjalani masa akademik tiga tahun di bangku perkuliahan ini memang menuntutku untuk bisa melakukan dan menguasai banyak hal. Alamaaaaaaaaaaaaaakkk…

Kemarin, saat sempat bertemu PA-ku dalam suatu kesempatan yang cukup terburu-buru, aku juga menjawab beberapa pertanyaan beliau dengan sok-sok lugas dan tegas, meski dalam hati sebenarnya aku mulai gelisah. Biasalah, ketemu PA pastinya ditanyain skripsi, masa kuliah teori abis KKN, jumlah SKS yang diambil semester ini, jumlah IPK, dan lain sebagainya yang hampir semuanya berhubungan dengan dunia akdemik. Aku mencoba tersenyum meski sebenarnya aku amat banget takut dan males menjalaniiiiii….proses ini. Entahlah, semoga waktu tidak perlu menungguku terlalu lama…

Yang bikin aku juga merasa bahwa kuliah semester ini benar-benar memaksaku untuk segera bangkit dari kejumudan berpikir dan keterlenaan setelah KKN liburan adala karena aku merasa kutukan di urutan absen pertamaku juga berbicara, di AWAL SEMESTER ini. Hohohohoho…Aku belum bisa tidur nyenyak jika membayangkan tugas setumpuk yang akan melelahkan itu. Oklah, sebenarnya itu hanya masalah urutan dan kesempatan. Kapanpun itu, di awal ato di akhir, aku ya pasti tetep bagian. Tapi ya begetolah adanya. Terkadang aku butuh waktu cukup lama dan keadaan yang ckup mendukung untuk memanaskan otakku. Hehehehehe. Abisnya aku dak rutin manasin otak serutin aku manasin motor. Palagi menurut aku, beda banget caranya manasin otak dengan dunia akademik yang formal seperti perkuliahan. Not too easy, but not impossible.

Dan aku pun tau, pikiran dan perasaan ini kembali akan mendobrak-dobrak diriku sendiri besok, akhir Oktober di lereng merapi, yakni pas ritual PKD. Bagaimanapun, aku seharusnya memang menikmati gradasi-gradasi proses ini. Dan aku mulai merasa bisa menikmatinya bersama-sama temen-temen GM, adik2 PW, plus juga adik2 PB. Tapi, jika harus berkutat kembali dengan modul PKD yang tak pernah aku seriusi itu, nyaliku ndak hanya ciut lagiiii..Tapi kerasa sama sekali ga ada. Jadilah aku inferior duluan sebelum masuk ke medan perang. Aku rasa ya inferior itu memang harus ada. Agar aku mau menggantinya dengan superioritas setelah benar-benar kembali membuka modul dan materi PKD ittuuuu….(Ngomong ini, mau tak mau aku jadi melow. Teringat seseorang. Halaaaaaahhhhh)

Well, yang berlalu biarlah berlalu. Cukup menjadi kenangan yang disimpan dalam berangkas masa lalu, untuk sekali-kali disambangi. Aku haris menempatkan 1st priority terhadap hal-hal yang ada di depan mataku. Pelulusan KKN, tugas-tugas kuliah, fiksasi judul, PKD, kerjaan, dan banyak haaaaaaaaalll…Dan sebenarnya, di manapun, kapanpun, dalam kedaaan apapun, dan bersama siapapun, satu-satunya hal yang bisa menyelamatkanku untuk bisa berdamai dengan keadaan adalah satu hal; yakni BERJIWA BESAR. Tak mudah memang, cuma aku punya banya kesempatan untuk berproses, merenung, berlatih, dan terus menempa jiwaku. Semoga semuanya akan menjadi lebih baik. Bismillaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh….

Kamis, 30 September 2010

AND MY REASON IS JUST ONE…(Antara Aku dan Sepatu-Sepatuku)

Ada beberapa alasan yang membuat seseorang selalu mengenakan sepatu ke mana-mana. Pertama, tampil modis. Katagori pertama berlaku bagi mereka yang memiliki sensitivitas dengan level tinggi terhadap mode, fashion, atau apalah namanya yang berbau gaya-gaya. Warna sepatu biasanya disesuaikan dengan warna baju, jilbab, aksesoris, atau bahkan celana dan rok. Mereka yang termasuk golongan ini bahkan bukan tidak mungkin memiliki berbagai macam sepatu dari semua warna. Yayayaya, alasannya cuma satu, yakni tuntutan profesi sebagai penikmat dan budak mode. Hehehe. Sinis banget ngomongnyaaa…Mentang 2 aku ga termasuk golongan yang pertama ini.

Yang kedua adalah bagi mereka yang sportif. Tuntutan aktivitas maupun tuntutan profesi. Misalane seorang mania futsal, maka sangat mungkin ia akan memiliki sepatu futsal. Seperti halnya juga dengan ibu guru, siswa, mahasiswa, orang kantoran, dan lain sebagainya. Intine, bagi orang-orang yang masuk dalam katagori kedua ini, sepatu merupakan salah satu simbol yang bisa mengukuhkan status mereka maupun memperlancar aktivitas harian maupun profesi mereka. Aku? Bisa dikatakan termasuk dalam katagori kedua ini. Soale semenjak duduk di bangku TK hingga bangku kuliah, aku memiliki kewajiban untuk mengenakan sepatu di area pendidikan formal. So, Im used to wear shoes…Bahkan ketika SMP/SMA, aku selalu maksain diri untuk mengenakan sepatu, meskipun kala itu tempat aku sekolah kurang begitu mewajibkan setiap siswa untuk mengenakan sepatu. Aku berdalih ajah, bahwa orang sekolah iku kerasa kurang nge-taste jika ga bersepatu. Seperti maem nasi dan lauk tanpa sayur. Akan membuat letoy dan tak bertenaga. Hahahaha. Uda mulai lebay neeeeeeeeeeee…

Dan alasan yang ketiga adalah, karena orang yang bersangkutan tidak dan atau belum memiliki sandal yang representatif dan membuantnya nyaman. Dan taukah Anda, saudara, bahwa saya masuk dalam katagori ketiga ini? Hehehehe..Awale ingin menyelesaikan tulisan ini sekadar sharing bahwa hobiku mengenakan sepatu ke mana ajah (selain area yang mengharuskanku kontak dengan air) berdasarkan alasan sakral yang sangat amat bisa dibenarkan. Jadi, semenjak sandalku patah arang di lokasi KKN, dan hingga hari ini, aku belum mendapatkan sandal yang representatif dan bisa membuatku nyaman. Aku uda pernah membeli sandal jepit santai di jalan Malbor, tapi sandal itu agaknya belum memiliki kesatuan dan kepaduan chemistry denganku. Jadi, aku kurang begitu respek pada sandal warna-warni itu.

Well, sebagai pelariannya, aku kemudian mengalihkan sebagian peran sandal itu kepada sepatu putihku yang alamaaaaaaaaaakkk..manja banget, minta cuci saban pekan (maklum warnanya putih). Kebetulan dengan sepatu putih itu, aku menemukan ada kecocokan chemistryku dengannya. Awale aku milihnya murni karena kebutuhan (karena sepatu lawasku sudah mengecil—untuk tidak mengatakan kakiku yang semakin membesar dan atau melebar—hehehe). Sedangkan alasan mengapa pilihanku kemudian jatuh pada sepatu putih itu adalah karena stylenya santai (so aku pikir bisa dipake kuliah, maen, dan jalan2) plus warnanya putih (sebagai stimulus agar aku bisa memangkas kemalasanku untuk mencuci sepatu.)

Jadilah, sepatu itu sudah aku bawa ke mana-mana dan selalu bertengger manis di kakiku dalam semua keadaan. Wis pernah sampe ke mana-mana lah, sepatu itu. Ke Solo, ke Paris, ke Madura, ke Baron, ke Kwaru, ke Kaliadem, weeeeeeeeeeehhh…Pokoe temen setiaku banget laaaaaaaaaah…Ya namanya ajah uda melekat ke kaki, jadi otomatis ne sepatu adalah atribut tak terpisahkan dalam diriku. Dan seingatku, ini adalah sepatu pertama yang berwarna putih. Sebelumne, warna sepatuku dominane item dan warna-warna gelap. Alasan ibuku ya hanya satu, cari warna yang tidak lekas kotor agar beliau ga perlu nyuci terlalu sering dan akan terlalu nggoyo. But now, ceritane, aku khan sudah bertugas dan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap segala perawatan propertiku, maka ibuku tak lagi berkewenangan untuk memilihkan warna sepatuku.

Aku sendiri melihat sepatu bukan sebagai kebutuhan bulanan atau bahkan dwibulanan yang harus dibeli setiap kali gajian. Aku sebabe ngeliat sebagian temen2ku memiliki kewajiban membeli sepatu dalam periode tertentu. Heran ajah aku, sempet2nya gitu. Yaaaa…aku bisa heran karena aku menggunakan paradigma bahwa sepatu adalah perlengkapan yang harus aku beli SETELAH sepatuku yang lawas sudah tidak memenuhi uji kelayakan. Heran bin lucu banget, jika sepatu harus menjadi kebutuhan primer. Jaka sembung banget maka paradigma hard coreku. Hehehehehe.

Satu lagi catatan tentang sepatu. Mmmmmmmmmmmm…Ibuku dulu pernah membelikan aku sepatu cewe pas awal-awal aku SMP. Ya bisa ditebaklah, gimana reaksiku. Aku emoh make dan minta ibuku untuk beliin aku sepatu baru yang beda haluan dengan sepatu cewe berwarna item itu. Gatau mengapa di usia segitu aku uda punya naluri pemberontak. Hehehe. Padahal pas aku TK, aku inget kalo aku kerap mengenakan sepatu kaca dan berbagai macam sepatu cewe ke sekul. Cuma emang sejak SD, aku banting setir ke sepatu cowo. Temen-temen dan famili seumuranku banyakan cowo sehingga aku banyak terkontaminasi oleh gaya hidup dan perlengkapan mereka. Hehehehe. Jadi ya gitu dech, hingga saat ini aku masih ngeri membayangkan kalo aku harus mengenakan sepatu cewe. Yayayayaya, memang, untuk alasan dan moment yang tak bisa dinego, terpaksa gayaku yang harus dinego. Embuhlaaa

Senin, 13 September 2010

GARA-GARA KKN

Tulisan dengan tajuk itu jane uda dulu banget ingin aku kerjakan. Tapi aku selalu merasa belum menemukan waktu yang tepat. Khawatir ada yang masih tercecer dan akhirnya ga terkover hingga kemudian menjadi GA ASYIK. Hehehehehehehe. Tapi, kalo terlalu disemedikan, aku juga kuatir bakal ada lebih banyak terkover. Jadi..Cari jalan aman saja. TULIS sekarang atau tidak sama sekali. Kalimat bernada ancaman semacam itu kerap cukup sukses membuat aku tidak lagi duduk dengan kemalasan dan apologiku yang kadang berlebihan.
Well, tulisan ini jane ingin aku khususkan untuk menuliskan perkembangan dan perubahan—dengan titik signifikansinya sendiri-sendiri—yang kurasakan setelah mlewati masa-masa KKN yang bener-bener gado. Semuanya ada di sana. Seneng, sebel, males, ketawa, jalan-jalan, marah-marahan, dapet cerita baru, dapet temen baru, dapet apalah banyak. Meskipun sebelumnya aku pernah memberikan statamen (whaaaaaaa…Gatau di mana, mungkin di pikiranku sendiri) bahwa KKN tak banyak mengubah aku yang BEFORE dan AFTER, namun ada banyak hal yang berubah dan perubahan itu terjadi dalam momen KKN.
Apa saja? Lets cekidot…
Yang pertama dan utama, aku punya banyak temen baru dengan karakter dan latar belakang yang berbeda. Temen-temen yang awalnya ga sama sekali aku kenal tiba-tiba harus menjadi orang-orang yang mewarnai hariku selama dua bulanan. Meski tidak semuanya akrab dan deket, akan tetapi sebagian besar di antara temen-temen baru itu ternyata asyik dan nyenengin, sehingga mereka tak lagi menjadi temen biasa, namun sudah lebih dari itu..Ya, bisa dikatakan SAHABAT dan atau SAUDARA (meski kakakku hanya akan tetep satu). Intensitas pertemanan ini khususnya terjadi antara aku, Dyan, Pita, Wanda, Bunda, Jojo, Huda, dan Robie. Sama yang laen bukan ga deket, cuma kalo mau dibikin perbandingan superlatif, jadinya ya gitu.
Masing-masing temen baru itu menorehkan kenangan tersendiri buat aku. Kenapa Dyan yang kusebut pertama adalah karenaaa..(hm, semoga dia tidak GR), Dyan adalah temen akrab yang asyik plus tidak sombong dan selalu mengobarkan jiwa patriotnya. (Apa pula nech, bahasa)..Aku banyak belajar dari Dyan. Dari sikapnya yang jauh dari kesan eksklusif apalagi sok-sokan, dari cerita keluarganya yang menterperangahkan, dari kesetiakawanannya yang patut diacungi jempol, wis pokoe aku ga pernah rugi kenal ma anak ini. Meski bukan berarti tidak pernah nyebelin, tapi buat aku, Dyan adalah temen untuk gila-gilaan, untuk serius juga, untuk menangis, untuk berbagi, dan untuk semuanya. Dyan bae banget dan banget bae.
Yang kedua adalah Pita. Anak Solo ini jane memiliki intensitas kedekatan paling tinggi ma aku. Jadi entah bagaimana, aku merasakan ada kecocokan dengan anak ini, selain karena kami sama-sama anak Sapen dan suka males bawa motor tiap hari. Setelah makan malam di suatu tempat—tempat capcaynya Pak Itik-Itik—di situlah episode pertemananku dengan Pita dimulai. Hampir tiap ari aku selalu berangkat dan pulang bersamanya..Overall, Pita adalah orang yang asyik, karakternya tidak jauh berbeda denganku. Jadi kami cukup mudah untuk berteman. Aku pernah nginep di kos dan kontrakan Pita dan Pita pun berkali-kali nginep di tempatku. Dari situ aku mulai dan semakin deket dengan anak ini.
Satu hal yang barangkali menjadi ciri khas Pita adalah bahwa anak ini selalu berusaha untuk mengerti aku. Sebab itulah aku merasa, aku juga harus mengerti keadaannya, seberapa aku juga ingin dimengerti akan keadaanku. Aku pernah melewatkan momen2 berdua dengan Pita. Ya ke tempat belanja, tempat makan, jalan-jalan, dan lain sebagainya di atas dua motor kami yang dibawa selang-seling tiap ari. Karena alasan teknis inilah, aku ma Pita tak ubahnya kembar siam yang ke mana-mana hampir selalu bareng. Tertawa, bercerita, bahkan takut-takut pun berdua, lagi-lagi juga di atas motor (Aku bahkan inget, di suatu pagi, kami nyerobot lampu merah karena terlalu asyik ngobrol. Dooooooooooar). Jika pada akhir KKN aku ma Pita tidak begitu intens bersama, hal tersebut lebih disebabkan alasan teknis, dan bukan alasan konflik. Meski ada potensi konflik, alhamdulillah tamengnya lebih kuat. Hohohohoho…
Wanda adalah sosok yang paling pendiem di antara para cewe. Tapi tipikal-tipikal demikian biasane akan bisa ngomong banyak jika diomongin duluan. Makanya di awal-awal pertemanan, aku selalu sok cerewet di hadapan Wanda. Dan ternyata bener juga, Wanda dikit demi dikit mulai mengurangi sikapnya yang pendiem. Aku bahkan dak nyangka kalo di akhir kebersamaan KKN, Wanda akan curhat banyak tentang kehidupannya, seperti juga yang laen. Wanda sebenare bukan tipe pendiam, ia hanya lebih suka memberi respon atas perkataan orang lain dan tidak berbicara jika tidak terlalu penting. Satu kalimat Wanda yang luar biasa bikin aku terharu adalah demikian, “Ta, kalo butuh apa-apa, jemputan atau bantuan apa gitu, jangan sungkan-sungkan kasih tau aku yaaaaaa”, suer pas itu aku terenyuh banget. Orang sependiam Wanda bisa bikin aku ngilu gile. Hahahaha.
Untuk urusan antar dan nebeng, aku memang pernah merepotkan banyak orang. Orang yang paling kurepotkan adalah..DYAN, lalu PITA, dan WANDA. Tapi satu hal yang mesti diketahui, yakni walaupun Wanda sudah memberi peluang sebesar-besarnya padaku, aku tidak ingin terlalu merepotkan dia. Mengapa begitu? Ya, sebab rumah Wanda dan kostku berlawanan arah, juga dengan lokasi KKN. Jadi, jika aku terlalu merepotkan anak ini, aku yang tidak berperikemanusiaan. Terlebih aku tau, selain KKN dan kuliah, Wanda punya banyak kesibukan laen, yakni di radio dan bantu-bantu ortu (maklum, anak rumahan). Kenangan bersama Wanda yang paling memorable barangkali adalah kenangan di Malbor saat kami ngomong ama tourist.
Yang laeeeeeeeeeeeen, pokoe berkesan juga dech…Hehehehehe. Sama-sama memberikan pelajaran dan perenungan hidup…
Perubahan yang kedua adalah, bahwa setelah KKN, pola pikirku dalam beberapa hal mengalami perubahan. Yang pertama, dalam menilai orang. Aku bener-bener telah berulang kali ditipu oleh pandangan dan kesan pertama. Dan pada momen ini juga begitu. Banyak hal yang tertopengi saat perkenalan dan kesan pertama. Yang kedua adala teori bahwa Kisah Kasih Nyata di KKN tidaklah hanya sekadar wacana. Witing trisne jalaran suko kulino bener-bener bukan teori yang mengawang-awang dan mengada-ngada. Dan kesimpulan ini aku miliki tidak hanya dari satu-dua sampel, akan tetapi dengan sampel yang sudah representatif. Hehehehehehe.
Perubahan ketiga, dan ini yang merupakan perubahan cukup membahagiakan, adalah bahwa, sejak KKN, aku tidak lagi hanya dan selalu mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan urusan-urusanku. Tak ada yang akan selalu setia dan ada untukku selain AKU SENDIRI. Jadinya ya begeto. Aku tidak bisa selalu minta anter/jemput/nebeng orla. Momen ini mengajarkan aku untuk mengandalkan diri sendiri, khususnya dalam berkendara dan menancap gas. Awalnya aku memang tidak sama sekali memiliki modal keberanian, tapi keadaan jualah yang memaksaku. Temen-temenku dan suasana yang melingkupiku juga banyak memberikan dukungan untuk itu. Lagian kasian jika motorku selalu saja hanya diam di kos, seperti barang tak bertuan. Hehehe. Dan dia pun pasti bahagia jika aku selalu membawanya ke mana-mana.
Perubahan keempat, dan ini juga masih menyenangkan, adalah karena selama KKN, aku telah menunaikan hajat dan keinginanku utuk mengunjungi salah satu air terjun yang amat banget indah di Solo. Hehehehehe. Selama ini, Tawangmangu memang menjadi destination trip yang amat kudamabakan, selain Borbud dan Baturaden. Dengan kunjunan ke Tawangmangu kemarin, berarti listku sudah bersisa satu. Hehehehe. Untuk urusan jalan dan dolan, aku memang tergolong orang yang PHORIA banget…
Perubahan kelima, aku banyak menemukan hal baru yang selama ini jarang kutemukan di dunia akademik. Yang pertama mungkin adalah bergaul dengan anak-anak SD dalam forum bimbel dan TPA. Rutinitas ini banyak mengingatkanku pada masa-masa kecil dan ujung-ujungnya aku akan berpikir banyak hal tentang babakan idup, proses, orang-orang yang berjasa, dan lain sebagainya. Yang kedua adalah interaksi dengan masyarakat yang cukup heterogen. Baru dari momen ini aku mengetahui dan mengalami langsung aplikais dari teori kerukunan antarumat beragama yang sudah sejak dahulu kupelajari di bangku sekolah. Dan ternyata, kerukunan itu memang bukan sekadar wacana.
Perubahan keenam, aku baru menyadari bahwa kakak TH ternyata ada juga yang bae dan ngayomi adek kelasnya. Hehehehe, point ini spesial for Mas Sabil (Smga dia tidak GR). Sebelum KKN, aku terbilng orang yang paling kuper ma kakak kelas di kampus. Meski banyak terlibat dalam mata kuliah yang sama, tapi sikapku yang moody dan kadang terlalu jaim untuk berakrab-akrab ma kakak angkatan cukup menjadi alasan kenapa aku tidak punya banyak link ke kakak angkatan. Sehingga, dalam bayanganku, kakak kakak TH tu dak ok dan dak ngayomi adek angkata. Hehehe, alhamdulillah, setelah KKN, pikiran itu sedikit banyak akan kurenungkan ulang. Ya, overall, Mas Sabil terbilang baik padaku, sebagai adek kelasnya. Hehehe. Aku inget pernah beberapa kali nebeng Mas Sabil, pinjem motornya, dan kebaikannya yan lain—termasuk sebungkus roti bakar—hohohoho…
Perubahan ketujuh, dan ini khusus tentang Bunda adalah, aku kerap diingatkan bahwa masa-masa yang dilewati Bunda saat ini juga akan aku lalui pada saatnya entah kapan. Aku melihat Bunda selalu bisa tersenyum dan berdamai dengan keadaan, seberapa rumit keadaan yang tengah dihadapinya. Aku juga lihat Bunda selalu menseriusi KKNnya, meski ia juga memiliki hal lain yang juga harus diseriusi…Dari situ aku berpikir banyak hal, bahwa kehidupanku tidak berhenti sampai di sini dan masih banyak hal yang harus aku hadapi esok. Dan paling tidak, saat melihat senyum Bunda dan terkadang mendengar tutur ceritanya, aku banyak tercerahkan. Betapa mengasyikkannya keadaan jika kita mau mensyukurinya.
Yang selanjutnya, dari Robie. Robie banyak memberikan pelajaran dari sikapnya untuk menseriusi KKN. Bagi Robie, aku lihat, hidup itu sederhana. Tinggal dijalani apa yang ada di depannya dan maksimalin. Itu aja. Aku tak bisa bayangkan jika aku berada di posisi Robie. Menunggui posko dua puluh empat jam, kerja bakti saat yang laen masih santae2 di kos masing-masing, nimbo berkali-kali sedangkan yang laen tinggal menikmati aer yang diambilnya, dan lain sebagainya yang senyatanya bisa dikatagorikan ketimpangan sosial. Tapi Robie terlihat menikmati hidupnya, meski kerap ia juga menunjukkan emosinya yang udah ga bisa ditahan.
The next, perubahan kecil yang sebenarnya tidak bisa diremehkan dan diskip begitu aja adalah bahwa semenjak KKN, aku banyak keluyuran ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Dalam momen dan suasana yang berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Dan hal demikian membuatku merasa, ada banyak file baru yang masuk dalam folder di otakku mengenai tema ke-Jogja-an. Ya tempat kuliner baru lah, jalan-jalan dan rute baru, tempat maen baru, tempat tongkrong baru, tempat belanja baru, dan lain sebagainya.
KKN juga banyak memperkenalkanku dengan orang-orang baru yang membuatku merenung banyak hal. Mbah Hadi yang baik hati dan penyayang, Pak Sugeng yang sabar dan ikhlas, Pak Agus yang luar biasa dermawan, Bu Sudarmadji yang ternyata impressed di akhir cerita, Bu Is Daryono yang supportif, dan semuanya yang mungkin akan membingkai cerita dan kenangan tersendiri. What a beautiful the moment is…Aku cukup surprised dan dak nyangka bahwa momen dua bulan yang kujalani bisa menciptakan ikatan yang demikian erat.
Hmmmm…Satu lagi dan mungkin ini yang terakhir, semenjak KKN, aku banyak tidur sendirian di kamar. Sesuatu yang amat banget aku suka, sebab aku bebas menjadi diri sendiri dan berkespresi sekehendak hati. Hehehehehehe. Well, semuanya berkesan dan membekas…Dan meski tidak semuanya, sebagian besar dari cerita KKN memang menyenangkan!! 