TAUHID-PLURALISTIK ALA FARID ESACK
(APLIKASI HERMENEUTIKA RESEPSI)
Mukaddimah
Di antara beberapa hermenet, Farid Esack adalah hermenet Al-Qur’an yang rancangan hermeneutiknya sangat berhubungan dengan—untuk tidak mengatakan mencerminkan—keadaan sosial-politik di negara yang didiaminya. Afrika Selatan adalah sebuah negara yang pernah berada dalam hegemoni rezim apartheid selama beberapa tahun sebelum pada akhirnya berhasil ditumbangkan oleh Nelson Mandala dkk.
Esack berpandangan optimis bahwa kemerdekaan di negaranya tidak hanya akan menjadi mimpi yang mengawang-awang. Meskipun dirasa sulit, ia masih berkeyakinan bahwa kesuksesan Iran dalam menumbangkan rezin Syaikh Pahlevi bisa kembali terjadi di negaranya. Nestapa yang sudah akrab dengannya semenjak ia kecil kembali ia rasakan di tempat ia belajar, yakni di negara Pakistan yang saat itu tengah terjadi penindasan besar-besaran terhadap kaum Kristiani dan penganut agama Hindu.
Hal yang membedakan Esack dari sebagian besar hermenet lain adalah karena ia terinspirasi dari konteks sosial-politik negaranya yang kemudian ia giring dalam cakrawala teks melalui pendekatan sosiologis. Orientasi utama yang ingin dicapai Farid Esack dengan seperangkat teori hermeneutikanya adalah deabsolutisme kebenaran, relativitas pemahaman, dan toleransi antarumat beragama. Dalam artian, Esack ingin mendobrak produk tafsir konservatif yang melahirkan eksklusivisme antar pemeluk agama yang ia maksudkan untuk mewujudkan toleransi dan kerjasama dari seluruh umat beragama untuk menunmbangkan rezim Apartheid.
Tulisan ini secara singkat akan memaparkan horizon (latar belakang intelektual dan sosial-politik secara umum) yang dimiliki Esack, beberapa perangkat (teori) yang digunakan dalam kerja hermeneutikanya, produk (kunci) penafsiran hermeneutis, serta tujuan besar yang diinginkan Esack dari seluruh upaya yang dilakukannya.
Biografi Singkat; Sosio-Politik Afrika Selatan
Biografi seorang Farid Esack tidak hanya akan menggambarkan betapa dunia akademik yang dilaluinya sangat berpengaruh terhadap prinsip atau produk pemikiran yang dihasilkannya. Lebih dari itu, mengetahui sejarah singkat Esack dapat memberikan pemahaman bahwa Esack tidaklah tidaklah main-main dalam merumuskan teori-teori hermeneutikanya. Catatan mengenai pengalaman-pengalaman hidup yang mengesankan bagi Esack terangkum dalam sebuah buku yang berjudul On Being A Muslim
Tidak sama dengan karya-karya lainnya yang lebih banyak membicarakan tentang teori-teori hermeneutika dan pandangan-pandangannya, buku tersebut berisi kegelisahan-kegelisahan eksistensial Esack ataupun pengalaman hidup yang sedikit banyak berpengaruh terhadap teori yang dilahirkannya. Dengan membaca buku tersebut, sedikit banyak kita akan memiliki pandangan mengapa Esack menggagas teori-teori heremenutikanya. Esack adalah salah satu dari segelintir rakyat Afrika Selatan yang mencoba mencari penyelesaian dari kemelut berkepanjangan yang diderita negaranya.
Esack mengalami masa kecil yang kurang membahagiakan layaknya anak kecil lain yang hidup di daerah perang. Selain permasalahan ekonomi, Esack kecil adalah anak yang hidup dengan seorang ibu yang menjadi single parent dengan saudaranya yang berjumlah lima orang. Selain menghadapi masalah ekonomi, Ibnuda Esack juga sangat tertinda dengan rezim Apartheid yang mengandaikan hirarki rasialis serta nuansa patriarki. Esack tinggal di sebuah wilayah permukiman yang kumuh dan saat itu, ia memiliki seorang tetangga beragama Kristen. Tetangganya tersebut kerap membantu Esack dalam segala halnya. Intesitas pergaulan inilah yang menjadi awal timbulnya gagasan Esack tentang perlunya kacamata baru dalam melihat pluralisme antarumat beragama.
Secara umum, Esack adalah seorang pengembara sejati yang cukup inklusif dan selalu open-minded terhadap hal-hal baru. Selain berperan sebagai teoritisi, dosen, dan kontributor aktif di berbagai media, Esack adalah seorang yang memiliki jiwa patriot yang cukup tinggi. Ia kerap turun langsung dalam perjuangan bersenjata untuk menumbangkan rezim Apartheid. Esack bukanlah tipe ilmuan menara gading yang hanya lantang berteriak dengan pemikirannya, namun ia juga bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan negaranya.
Bukti lain dari sosok Esack yang selalu heuristik adalah perpindahan haluan ideologinya. Semasa kecil, Esack sudah akrab dengan komunitas jamaah tabligh yang merupakan sebuah komunitas berideologi tradisional-fundamentalis. Namun ketika beranjak dewasa, Esack mulai memberanikan diri mengubah haluan ideologinya dengan mendirikan organisasi bernama Call of Islam yang lebih liberal dan modernis.
Kegelisahan Esack sebenarnya diawali karena masyarakat Afrika Selatan kerap menyamakan kesalehan dengan keilmuan. Dalam artian, seorang yang dianggap sebagai orang saleh secara otomatis juga dianggap memiliki otoritas sebagai orang yang mumpuni di bidang ilmu. Akibatnya, pemikiran orang saleh pun disakralkan sebagai gagasan yang tidak bisa diganggu gugat. Kebenaran pun hanya dimiliki oleh mereka yang dianggap saleh. Otoritas kebenaran menjadi terbatas pada tangan orang-orang ini.
Begitu juga dalam bidang tafsir Al-Qur’an, ulama Afsel-lah yang dianggap memiliki otoritas dan wewenang untuk menyeragamkan pandangan masyarakat Afsel tentang kandungan di balik sebuah ayat tertentu. Sehingga, tafsir yang dihasilkan oleh ulama Afsel-pun terlanggengkan sendirinya dengan taklid buta tersebut, kendatipun produk tafsir yang dihasilkan kerap tidak lagi kontesktual dan tidak aplikatif.
Salah satu produk penafsiran yang bagi Esack sangatlah mengganggu adalah penafsiran tetang self (diri sendiri) dan the other (orang lain) dalam sekat-sekat religius. Ayat Al-Qur’an yang secara tekstual banyak membedakan antara mu’min dan kafir, misalnya, kemudian dijadikan legitimasti untuk membatasi pegaulan dengan umat agama lain yang dianggap sebagai orang kafir.
Esack beranggapan bahwa produk penafsiran yang dihasilkan oleh beberapa orang saleh tersebut tidak lagi kontekstual, khususnya jika akan diaplikasikan dalam konteks Afrika Selatan yang saat itu tengah bergolak. Saat itu, masyarakat Afrika Selatan berada di bawah kekuasasan rezim apartheid yang menindas, diskrimintaif, rasialis, dan juga seksis. Dengan pandangan bahwa mu’min berbeda dengan kafir, maka produk penafsiran Afrika Selatan kala itu juga melarang adanya kerjasama antarpemeluk agama yang berbeda, meski untuk tujuan mulya, seperti memerdekakan suatu bangsa dari rezim yang otoriter.
Dari sinilah Esack kemudian berupaya melakukan beberapa terobosan, baik dalam bentuk pergerakan maupun pemikiran untuk bisa mengatasi situasi tersebut. Ia mencoba memberikan tawaran baru produk tafsir yang lebih kontekstual dan tidak hanya berpegangan pada tafsir yang telah terbaku dan tebekukan oleh otoritas orang yang dianggap saleh.
Asumsi Dasar dan Metode Hermeneutika Esack
Dalam menegakkan kerja hermeneutiknya, Esack berasumsi bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang progresif. Al-Qur’an memiliki kepedulian terhadap realitas dan karenanya Al-Qur’an bukanlah pedoman yang tidak bisa dinego. Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang selalu hadir dan menyapa umatnya dalam konteks partikular, baik dalam hal linguistik, geografis, situasional, maupun kontekstual.
Hal yang bisa menguatkan asumsi ini misalnya adalah konsep turunnya ayat Al-Qur’an secara gradual, konsep asbabunnuzul, makki-madani, maupun konsep nasikh-mansukh. Secara tegas Esack mengatakan bahwa yang menjadi pedoman adalah Al-Qur’an, bukan tafsir Al-Qur’an yang lahir dengan membawa bahasa dan sejarah yang berbeda-beda dari penulisnya masing-masing. Dari tesis ini, Esack tampak ingin menyampaikan bahwa jika Al-Qur’an saja fleksibel—misalnya dengan konsep nasikh-mansukh—mengapa tafsir senantiasa ingin dilanggengkan oleh otoritas-otoritas tertentu?
Sedangkan metode yang dipilih Esack dalam kerja hermeneutiknya adalah metode resepsi atau penerimaan. Hermeneutika yang demikian secara singkat menyebutkan bahwa Al-Qur’an yang diterima oleh masyarakat Arab empat belas abad yang lalu bisa jadi diterima dengan wajah yang berbeda oleh masyarakat Afrika Selatan tahun 1960-an kala itu. Kemungkinan ini umumnya disebabkan karena kultur dan keadaan di Mekkah-Madinah pada empat belas abad yang lalu sedikit banyak berbeda dengan keadaan di Afrika Selatan pada tahun 1960-an saat itu.
Dalam hermeneutika resepsi, suatu teks menjadi bebas tafsir. Pembaca bisa menafsirkan teks dengan pemahaman apapun yang dimilikinya, dengan catatan pemahaman tersebut beralasan dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga jika kemudian sebuah teks dimaknai berbeda oleh pembaca dengan maksud yang ingin disampaikan penulis, maka hal tersebut sudah menjadi konskuensi dari status teks yang sudah dianggap bebas-tafsir.
Hermenutika resepi mengandaikan adanya dialektika antara teks dengan kehidupan. Melanggengkan produk tafsir atas otorias tertentu, jika demikian tidak ada bedanya dengan memutus keterikatan antara teks dengan realitas kekinian yang memiliki tuntutan dan permasalahan tersendiri. Pemaksaan yang demikian kemudian juga bisa diandaikan dengan memaksakan diri kita untuk kembali hidup pada masa sebelumnya yang notabene memiliki situasi, permasalahan, dan tuntutan yang jauh berbeda.
Pilihan Esack terhadap hermeneutika resepsi ini agaknya cukup beralasan, mengingat hermeneutika ini berkait erat dengan fungsionalisme teks. Fungsionalisme teks memandang teks dari dimensi fungsional dan pragmatis, yakni seberapa jauh suatu teks dapat menjawab permasalahan.
Dan seperti pemikir lain, teori Esack ini juga banya dipengaruhi oleh tokoh yang mendahuluinya. Dalam hal ini, Esack tampak cukup terpengaruh dengan double movement-nya Rahman ketika mengandaikan adanya transformasi pemahaman dari masa lalu ke masa kini dan masa kini ke masa lalu. Bagi Esack, transformasi yang demikian merupakan sebuah kenisacayaan sebab Al-Qur’an selalu menghadapi ruang dan waktu yang berbeda. Al-Qur’an adalah kitab tuntunan hidup yang sudah final (korpus tertutup, dalam Bahasa Arkoun) namun tetap menjawab perosialan umat yang berevolusi sedimikian cepat dari hari ke hari. Dan hal itu hanya mungkin terjadi jika Al-Qur’an dikondisikan untuk lebih sensitif dan solutif terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan.
Secara khusus kuatnya pengaruh Rahman dalam pemikiran Esack tercermin dalam asumsinya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang progresif. Asumsi ini kemudian juga menggiring pada pemahaman bahwa Esack mengandaikan adanya regresi-progresi dalam memahami apa yang ingin disampaikan Al-Qur’an. Dalam pandangannya, regresi tidak hanya berarti kembali dan melihat masa lalu untuk memperhitungkan kebutuhan kekinian atas teks, namun juga untuk mengungkao historisitas dan faktor yang memproduksi teks. Sedangkan progresi berarti menghidupkan makna baru yang konteksnya berbeda dengan makna yang lahir pada ruang dan waktu yang berbeda.
Hermeneutical Keys; Aplikasi Hermeneutika Esack
Meski secara tersirat, Esack sangat gamblang mengatakan bahwa seperangkat metode hermeneutikanya dimaksudkan utuk bisa mengatasi permasalahan yang terjadi di negeri yang didiaminya. Setelah melihat bahwa kesenjangan antara muslim dan Kristen disebabkan adanya penafsiran yang sama-sama esktrim dari kedua belah pihak—yang hanya mau bekerjasama dengan orang yang memiliki keyakinan sama—Esack pun tertarik untuk mempelajari metodologi penafsiran Al-Qur’an maupun Bible.
Berangkat dari fenomena eksklusivitas yang dimiliki dua pemeluk agama yang berbeda inilah, Esack kemudian memusatkan upaya hermeneutiknya terhadap penafsiran kata kunci dalam Al-Qur’an yang dianggapnya sangat berpengaruh dalam melahirkan—dan mendobrak—tafsir yang eksklusif yang dijadikan panutan hidup muslimin secara luas. Esack kemudian memilih beberapa term kunci semisal Tuhan, tauhid, manusia, mu’min, kafir, musyrik, ahli kitab, orang-orang yang tertindas, kedilan, dan jihad.
Ketika menafsirkan iman-mu’min, misalnya, Esack tidak membatasi makna lafadz ini dengan sekat-sekat agama yang sudah terlembaga, Islam dan Kristen misalnya. Baginya, siapapun yang percaya pada keberadaan dan kekuasaan Tuhan, maka orang tersebut adalah orang yang beriman, tidak peduli apapun agamanya (konsep satu Tuhan banyak agama). Jika demikian, maka seruan pada orang-orang beriman yang kerap didapatkan dalam beberapa bagian Al-Qur’an tidak hanya tertuju pada pemeluk agama Islam, namun semua pemeluk agama yang meyakini keberadaan Tuhan.
Penafsiran inilah yang dianggap terlalu kebablasan oleh sebagian pemerhati, khususnya ulama fundamentalis-tradisional. Ulama ini beralasan bahwa pluralitas di Afrika Selatan merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari, namun pluralisme yang digagas Esack cenderung cukup euforistik dan berlebiah. Argumen ini muncul sebab Esack tidak hanya mengandaikan adanya ko-eksistensi antarpemeluk agama untuk mencapai sebuah tujuan, namun sudah sampai pada taraf pembenaran semua agama.
Hal yang sama juga terjadi manakala Esack menafsirkan kata Islam-muslim. Islam baginya bukanlah sebuah agama partikular yang terlembagakan dengan kitab suci dan Nabi sebagaimana yang banyak difahami. Baginya Islam lebih berarti ketundukan, kepasarahan (sebagaimana arti etimologi) atau pengamalan dari apa saja yang diperintahkan Tuhan sebagai konskuensi dari status keberagamaannya (keimanan, kepercayaan pada Tuhan). Dengan demikian, dalam pandangan Esack, muslim bukanlah hanya orang yang memeluk agama Islam, namun semua orang—dari latar belakang agama apapun—yang tunduk dan menjalankan perintah Tuhannya dengan baik. Siapapun Tuhannya.
Sudah bisa dipastikan, produk tafsirnya ini mendapat banyak kecaman dari kaum fundamentalis-tradisionalis. Esack memberikan sebuah hasil kerja hermenutik yang terlampau berani dan sangat riskan menimbulkan kontroversi. Namun jika mengingat bahwa tujuan akhir Esack adalah untuk menggalang persatuan antara muslimin dan umat Kristiani Afrika Selatan dan menghilangkan eksklusivisme yang terlanjur menjadi ikon kehidupan umat beragama, maka gagasan tersebut agaknya cukup beralasan—bukan berarti menerima.
Selain menggagas suatu terobosan untuk menggalang kesatuan internal, Esack juga menyediakan porsi penafsiran yang bisa digiring pada ranah eksternal, dalam hal ini rezim Apartheid yang berkuasa. Hal ini terjadi manakala Esack menafsirkan konsep tauhid. Baginya, tauhid yang sesungguhnya adalah menempatkan Tuhan pada posisi di atas manusia. Manusia berada di bawah posisi Tuhan, dengan posisi yang setara, tidak ada manusia yang lebih tinggi maupu lebih rendah. Hirarki dari konsep tauhid ini digunakan Esack untuk mendobrak kesadaran kaum tertindas di Afrika Selatan bahwa tidak ada manusia yang berhak untuk menindak sesama manusia. Jika ada manusia yang menindas manusia lainnya, maka tindakannya tersebut adalah suatu kesalahan. Begitu juga, membiarkan diri tertindas oleh orang lain juga merupakan suatu kesalahan.
Khatimah
Satu pertanyaan yang muncul di benak saya setelah membahas sedikit hal mengenai Esack adalah, apakah produk tafsirnya relevan jika dibawa ke Indonesia yang barangkali cukup berbeda dengan keadaan mikro Afrika Selatan yang saat itu tengah bergolak?
Indonesia sebenarnya memiliki Esack-Esack lain yang tidak kalah hebat—dan kontroversial—dengan pandangan tentang pluralitas-pluralisme. Esack sendiri menyatakan bahwa ia sangat terkagum-kagum pada Gus Dur maupun Cak Nur yang cukup lantang menerikkan semangat-semangat pluralisme di negara multiheterogen seperti Indonesia.
Pluralisme senyatanya merupakan sebuah keniscayaan di daerah yang plural atau heterogen. Namun, kenisacayaannya adalah bahwa masing-masing orang memiliki pandangan dan batasan masing-masing dalam mengartikan dan membatasai pluralisme. Ada yang sepakat dengan gagasan pluralisme dan ada juga yang sama sekali menolak konsep pluralisme.
Orang yang mendukung konsep pluralisme bisa jadi memiliki pandangan yang berbeda. Kelompok moderat bisanya mengartikan pluralisme sebagai prinsip kemanusiaan yang mengandaikan kehidupan yang harmonik antarpemeluk agama yang berbeda. Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk bermusuhan dengan umat agama lain dan karenanya perintah agama tersebut bisa diakomodir dengan konsep pluralisme. Sedangkan orang-orang yang cukup ekstrim dan militan menganggap pluralisme tidak hanya tercermin dalam kehidupan sosial, namun juga sudah sampai pada ranah teologis.
Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sepak terjang maupun produk pemikiran Esack. Esack adalah sosok pribadi yang mau ‘berlaga’ di ‘medan’ manapun. Ia aktif di dunia akademik, jurnalistik, pemikiran, maupun pergerakan. Sedangkan upaya Esack untuk memberikan tafsir yang membumi dan kontekstual juga patut diapresiasi dan diteladani. Ia juga menggabungkan beberapa teori untuk menghasilkan kerja hermeneutiknya.
Namun begitu, ada baiknya Esack tidak terlalu ekstrim dan bersemangat untuk menggalang persatuan masyarakat Afrika Selatan. Konsep pluralisme yang diusungnya bagi saya cukup berlebihan, sebab Esack sudah melampaui konsep kerjasama maupun prinsip untuk hidup berasama dengan rukun, namun pluralisme Esack sudah sampai pada tahap teologis. Bagi saya, solusi yang ditawarkan Esack untuk menyeleisaikan sebuah persoalan sangat rentan menimbulkan persoalan baru. Kalupun konsep satu tuhan beda agama yang digagas Esack bisa efektif dalam situasi masyarakat Afrika Selatan kala itu, apakah gagasan tersebut bisa tetap dipakai oleh masyarakat Afsel setelah Apartheid berhasil ditumbangkan?
Pertanyaannya kemudian, apakah hanya dengan pluralisme teologiskah masyarakat yang memiliki religisitas heterogen bisa disatukan? Allah Knows Best
DAFTAR PUSTAKA
Baihaki, Uni ---------------Skripsi Fakultas Ushuluddin, (Uy 1928)
Esack, Farid. 2002. On Being A Muslim, Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj: Dadi Darmadii dan Jajang Jahroni, Erlangga: Jakarta
Esack, Farid. 2005. The Qur’an; A User’s Guide One World: Oxford
Faizi, Fuad. 2004. Kajian Kritis Tafsir Resepsi Farid Esack, skripsi fakultas Ushuluddin.
Yudistira, Hadiansyah. Hermeneutika Al-Qur’an tentag Pluralisme Agama (Telaah Kritis atas Hermeneutika Farid Esack dalam Qur’an: Liberation and Pluralism; An Islamic Perspective of Intereligious Solidarity Against Oppression), Skripsi Fakultas Ushuulddin, (Uy 1286)
http://gazali.wordpress.com/2008/01/02/farid-esackhermeneutika-al-qur%E2%80%99an- demi-liberalisme-dan-pluralisme/
Kamis, 13 Mei 2010
Rabu, 12 Mei 2010
Ter(SELESAI)kan dengan lembur...
Makalah Maanil Hadist (sistem kebut semalam...)
Kajian tentang ‘Kebebasan’ Perempuan Bepergian
(Studi Ma’anil Hadist)
1. Pendahuluan (Pengantar Wacana)
Selain sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an, hal lain yang menjadikan hadist menempati posisi yang sangat penting adalah karena hadist menggambarkan berbagai hal dalam kehidupan Rasulullah. Banyaknya aspek yang dibahas dalam hadist kemudian menjadikan hadist sebagai referensi kehidupan yang menarik untuk dikaji. Selain temanya yang beragam dan otomatis lebih luas dibanding tema yang ada dalam Al-Qur’an, transmisi hadist yang tidak semuanya mutawatir juga semakin membuka peluang dan ruang untuk meneliti hadist.
Di antara permasalahan kontemporer yang secara kasat mata tampak bertolakbelakang dengan teks beberapa hadist adalah perihal bepergiannya seorang perempuan tanpa didampingi mahrom. Hadist yang secara gamblang menunjukkan larangan tersebut bahkan bersumber dari magnum opus dua pentolan hadist (Bukhari-Muslim). Sehingga asumsi awalnya, hadist tersebut adalah hadist yang benar-benar berasal dari Nabi dan memenuhi semua kualifikasi hadist shahih. Apalagi, hadist yang demikian tidak hanya terdapat dalam satu-dua kitab mu’tabar, namun hampir termuat dalam semua kitab mu’tabar. Sehingga, kualitas hadist yang berisi larangan ini seakan sudah tidak perlu diragukan lagi.
Namun demikian, situasi kekinian agaknya tidaklah sama dengan apa yang tersampaikan dalam hadist tersebut. Di kehidupan terdekat kita, banyak ditemui perempuan yang meninggalkan rumah atau merantau dan bepergian (dengan beberapa tujuan, semisal bekerja, studi, dan lain sebagainya) tanpa didampingi seorang mahrom. Fenomena ini bahkan sudah menjadi suatu hal yang lumrah dan bisa ditemukan di mana-mana.
Lebih mengherankannya lagi, hadist tentang larangan untuk bepergian tanpa kehadiran seorang mahrom ini ternyata muncul dalam konteks ibadah haji. Jika untuk ibadah haji saja perempuan diwajibkan untuk didampingi mahrom, apalagi untuk urusan-urusan lain yang barangkali tidak memiliki porsi kewajiban yang besar seperti halnya ibadah haji? Distingsi antara hadist tentang larangan bepergian tanpa mahrom dengan menjamurnya fenomena ‘bebas’nya perempuan untuk bepergian ke mana-mana ini kemudian menjadikan tema ini menarik untuk dibedah lebih dalam.
2. Hadist-Hadist Terkait
Hadist yang menerangkan larangan bagi wanita untuk melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi mahrom terdapat dalam beberapa kitab hadist mu’tabar maupun kitab non-mu’tabar. Sebagian besar di antara hadist tersebut berisi kalimat konfirmatif yang memberi arti larangan namun ada juga sebuah hadist yang merupakan respon Rasulullah atas pertanyaan para sahabat. Adapun hadist-hadist yang dimaksud adalah sebagai berikut;
Shahih Muslim 2382 (bab haji); Subjek Penelitian
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Shahih Muslim 2386 (bab haji)
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Shahih Muslim 2387 (bab haji)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا
Shahih Muslim 2388 (bab haji)
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
Shahih Bukhari 1026 (bab al-Jum’ah)
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ تَابَعَهُ يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ وَسُهَيْلٌ وَمَالِكٌ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Shahih Bukhari 1731(bab haji)
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ مَوْلَى زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ وَقَدْ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ أَرْبَعٌ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ يُحَدِّثُهُنَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي أَنْ لَا تُسَافِرَ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Shahih Bukhari 1858 (bab puasa)
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ قَزَعَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ سَمِعْتُ أَرْبَعًا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا
Sunan Tirmidzi 1089 (bab susuan)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ ابْنُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَرُوِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُسَافِرَ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَتْ مُوسِرَةً وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ هَلْ تَحُجُّ فَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَجِبُ عَلَيْهَا الْحَجُّ لِأَنَّ الْمَحْرَمَ مِنْ السَّبِيلِ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا فَقَالُوا إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ فَلَا تَسْتَطِيعُ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا فَإِنَّهَا تَخْرُجُ مَعَ النَّاسِ
فِي الْحَجِّ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ
Sunan Tirmidzi 1090 (bab susuan)
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan Abu Daud 1460 (bab manasik)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ وَالنُّفَيْلِيُّ عَنْ مَالِكٍ ح و حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ عَنْ أَبِيهِ ثُمَّ اتَّفَقُوا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَذَكَرَ مَعْنَاهُ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَمْ يَذْكُرْ الْقَعْنَبِيُّ وَالنُّفَيْلِيُّ عَنْ أَبِيهِ رَوَاهُ ابْنُ وَهْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ عَنْ مَالِكٍ كَمَا قَالَ الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى عَنْ جَرِيرٍ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ بَرِيدًا
Sunan Ibnu Majah 2890 (bab manasik)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَاحِدٍ لَيْسَ لَهَا ذُو حُرْمَةٍ
Sunan Ahmad 8208 (bab baqi)
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي رَحِمٍ
Sunan Ahmad 9363 (bab baqi)
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمٍ تَامٍّ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Sunan Ahmad 9998 (bab baqi)
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
Sunan Ahmad 10863 (bab baqi)
قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ قَالَ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعًا فَأَعْجَبْنَنِي وَأَيْنَقْنَنِي قَالَ عَفَّانُ وَآنَقْنَنِي نَهَى أَنْ تُسَافِرَ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ قَالَ عَفَّانُ أَوْ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
Sunan Ahmad 11253 (bab baqi)
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ أَنْبَأَنِي قَالَ سَأَلْتُ قَزَعَةَ مَوْلَى زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ أَرْبَعٌ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي قَالَ لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ أَوْ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
Muwaththa’ Malik 1550 (bab al-Jami`)
و حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ مِنْهَا
3. Takhrij
Hadist yang dijadikan sebagai subjek peneitian utama dalam mini-research ini adalah hadist yang berasal dari kitab shahih Muslim, bab haji nomor 2382. Hadist-hadist lain yang setema dan semakna dengan hadist nomor 2382 ini dijadikan sebagai data pendukung terhadap subjek penelitian utama. Alasan pemilihan hadist 2382 sebagai subjek penelitian utama adalah karena matan-nya yang singkat dan langsung mengena. Kitab yang memuat hadist ini pun juga adalah kitab yang berkualitas dan ditulis oleh seorang Imam yang cukup mutasyaddid dan diakui kredibilitasnya, yakni Imam Muslim. Imam Muslim pernah mengatakan bahwa tidak semua hadist yang diriwayatkan olehnya ia cantumkan dalam kitab kompilasi hadistnya, shahih Muslim. Ia hanyalah mencantumkan hadist-hadist yang telah disepakati.
Jika hadist ini memenuhi kualifikasi dan kriteria yang disyaratkan Muslim, maka hal tersebut cukup menjadi alasan untuk berhipotesis bahwa hadist ini adalah hadist yang berkualitas. Apalagi, kitab shahih tertinggi—yang bahkan disebut sebagai kitab suci kedua setelah Al-Qur’an yakni shahih Bukhari—juga memuat hadist yang setema. Namun karena hadist yang terdapat dalam Shahih Bukhari tidaklah langsung mengena dan masih berkait dengan persoalan lain, maka peneliti lebih memilih hadist yang terdapat dalam shahih muslim ini.
4. Tahqiq (Kualitas hadist)
Hadist ini berstatus hadist syarif dan marfu’. Definisi hadist syarif sendiri adalah hadist berkualitas sedangkan marfu’ adalah hadist yang benar-benar berasal dari Rasulullah. Tersebarnya hadist ini dalam beberapa kitab mu’tabar maupun kitab non-mu’tabar menunjukkan bahwa kualitas hadist ini, meskipun belum mencapai derajat mutawatir, akan tetapi cukup berkualitas dan bisa dijadikan hujjah.
5. Analisis Matan (Kajian Maanil Hadist)
Jika analisis sanad diorientasikan untuk mengetahui derajat keshahihan suatu hadist, maka analisis matan lebih ditujukan untuk mengetahui bagaimanakah sebuah hadist akan diaplikasikan. Namun begitu, dalam sebagian besar penelitian sanad-matan hadist, penelitian sanad-lah yang didahulukan. Alasan di balik hal ini, dalam hemat penulis sebenarnya sederhana saja. Jika sebuah hadist terlebih dahulu didekati dari matan-nya dan pada akhirnya diketahui bahwa sanad hadist tersebut tidak berkualitas, maka aplikasi matan hadist itu pun masih perlu dipertanyakan.
Sebab itulah, mini-research ini lebih mendahulukan analisis sanad dibanding analisis matan. Setelah dilakukan analisis sanad dengan merujuk pada kualitas yang disajikan di software mausuah dan diketahui bahwa hadist ini adalah hadist syarif yang benar-benar berasal dari rasulullah, barulah peneliti melakukan analisis matan.
Selain merujuk langsung pada kualitas hadist yang dipaparkan di software mausuah, analisis sanad yang dilakukan untuk mengetahui kualitas sebuah hadist juga dilakukan dengan mengecek jarh wa al-ta’dil masing-masing perawi serta memastikan adanya ketersambungan sanad.
Analisis matan dalam mini-research ini beracuan pada metodologi yang digagas oleh Musahadi HAM dalam karnyanya, meski teori ini awalnya merupakan teori Hasan Hanafi yang dikembangkan lebih jauh
• Kritik Historis
Setelah mengutip kualitas hadist yang dicantumkan dalam mausuah dan melakukan penelusuran kecil-kecilan untuk mengetahui kualitas hadist ini, maka peneliti berkesimpulan bahwa hadist ini termasuk hadist yang berkualitas dan benar-benar berasal dari Nabi. Sebab itulah, hadist ataupun tema yang mendasari tema ini pantas untuk diteliti kembali dalam analisis matan, agar bisa diaplikasikan dengan tepat dan benar. Aplikasi yang diandaikan adalah aplikasi hadist yang bisa menjawab tuntutan kekinian namun tidak terlalu tercerabut dari semangat yang tersirat di balik hadist yang bersangkutan.
• Kritik Eidetis
Kritik eidetis merupakan langkah kedua yang dilakukan setelah mengetahui kualitas suatu hadist dan memastikan otentisitasnya. Kritik ini berupaya mengungkap makna tekstual hadist dengan berpedoman pada sisi linguistik dan pemilihan diksi, perbandingan dengan hadist-hadist lain yang setema, serta perbandingan dengan ayat Al-Qur’an yang—meski bukan setema, namun—mengena terhadap persoalan yang dibahas. Tiga hal ini diharapkan dapat membantu peneliti untuk mengetahui tekstualitas hadist maupun signifikansi kontekstualnya terhadap keadaan masa lalu. Bekal inilah yang kemudian akan diandalkan peneliti dalam bagian generalisasi dan penentuan legal formal serta ideal moral.
Analisis Konten
Analisis konten yang dimaksud di sini adalah berupaya mengetahui internal dan eksternal teks. Mengetahui internal teks berarti mencari pemahaman tentang apa saja yang ‘tersampaikan’ secara eksplisit maupun implisit dari hadist yang dijadikan subjek penelitian. Sedangkan eksternal teks berarti teks-teks lain (baik Al-Qur’an maupun hadist) yang setema atau paling tidak berkenaan dengan tema hadist yang dibahas. Menelisik internal teks dan mengetahui apa saja eksternal teks ini akan menjadi bahan pertimbangan peneliti dalam membuat generalisasi dan menentukan ideal moral-legal formal dalam langkah generalisasi.
Linguistik
Hadist ini menggunakan la nafi (peniadaan, penegasian) yang disambung dengan fiil mudhari’ (verb) yahillu. Perpaduan dua kata ini menunjukkan tiadanya kehalalan bagi perkara yang disebutkan sesudah la nafi dan fiil ini. Artinya, pekerjaan yang disebutkan sesuah la nafi dan fiil (verb) yahillu adalah pekerjaan yang tidak halal atau biasa diistilahkan dengan haram. Dalam hal ini, pekerjaan tersebut adalah melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram. Larangan ini tertuju seorang perempuan yang beriman terhadap rasulullah dan hari akhir.
Dalam hadist lain, misalnya dalam hadist Bukhari nomor 1024, matan hadist menggunakan la nahi (larangan) yang kemudian disandingkan dengan fiil mudhari’ tusafir. Dalam hadist Bukhari ini, pola komunikasi yang ditampakkan lebih jelas, sebab langsung memberikan larangan dan penjelasan kepada siapakah larangan tersebut ditujukan. Meski berbeda dengan konfirmasi negasi dalam hadist Muslim (yang disampaikan melalui penggunaan la nafi), akan tetapi, esensi dua hadist ini sama saja. Pada intinya, dua hadist ini maupun hadist-hadist lain yang setema menunjukkan keharaman bagi wanita untuk melakukan safari tanpa didampingi mahramnya.
Sedangkan pemilihan isim nakirah dalam lafadz imraatan (perempuan) dan masiratan (perjalanan) yang terdapat dalam sahih Muslim menjelaskan bahwa perempuan, siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun, tetap dilarang melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahrom. Meski kemudian, cakupan yang umum ini dispesfikasi dengan kriteria perempan yang beriman kepada Allah dan hari kiamat.
Dan karena ‘perjalanan’ dalam hadist ini juga disampaikan dalam bentuk isim nakirah, maka hal ini juga berimplikasi terhadap makna. Perjalanan yang dimaksudkan dalam hadist ini—jika bertolak dari sisi linguistiknya—adalah perjalanan dalam arti umum. Meskipun memang, hadist ini banyak dimasukkan dalam bab-bab haji maupun bab mahram dan perjalanan yang tampak dalam hadist ini adalah perjalanan haji, namun keumuman lafadz dalam hadist ini bisa dijadikan alasan untuk memasukkan semua macam perjalanan.
Penggunaan huruf nafi (penegasian) dan ististna’ (pengecualian) dalam hadist ini menyiratkan makna HANYA SANYA. Ketika dikatakan bahwa TIDAK halal bagi seorang perempuan muslim untuk melakukan perjalanan selama tiga hari KECUALI didampingi mahramnya, maka hal ini berarti bahwa ‘sertifikasi’ halal seorang perempuan untuk melakukan perjalanan HANYA bisa ia dapatkan jika ia ditemani oleh seorang mahram. Ungkapan ini sama saja dengan hadist yang mengatakan la nikaha illa biwaliyyin. Nikah TIDAK akan sah KECUALI dihadiri oleh wali. Sehingga, HANYA dengan kehadiran wali-lah sebuah pernikahan bisa sah.
Tasafara adalah fiil khamasi (kata kerja yang terdiri dari lima huruf) dan berasal dari fill tsulatsi mujarrad s-f-r yang berarti bepergian. Ditambahnya dua huruf tambahan (ta’ dan alif) dalam fiil ini melahirkan makna proses atau berangsur-angsur, dalam kalimat ini berarti segala proses yang dialami dalam perjalanan. Masiratan adalah mashdar mim dari fiil tsulatsi mujarrad saa-ra yang berarti perjalanan. Kalimat saa-ra ini memiliki akar kata yang sama dengan Israil (nama sebuah bani), yakni sama-sama berasal dari akar kata s-r. Alasan mengapa diksi yang dipilih adalah masiiratan dan bukannya safaratan (mashdar dari tasafara yang jika digunakan akan menjadi maful muthlaq) adalah karena fiil s-r berkonotasi perjalanan yang dilakukan pada malam hari. Hal ini sangat sinkron dengan lafadz sesudahnya yang menyebutkan tiga malam. Konon, nama Israil juga disematkan pada sebuah bani yang suka melakukan perjalanan pada waktu malam.
Sedangkan term mahram yang menjadi kunci dalam hadist ini adalah bahasan fiqhi yang cukup panjang jika dibahas secara mendetail. Namun sekilas, definisi mahrom ini adalah orang yang memiliki hubungan darah dekat dan karenanya haram dinikahi. Etimologi mahrom sendiri ini juga berkait erat dengan kata rahim yang menunjukkan pertalian kekerabatan dan ikatan darah yang begitu dekat. Sehingga, seorang yang berstatus sebagai mahrom haram dinikahi. Dalam pengucapannya, term mahram ini kerap diucapkan dengan pelafalan yang salah, yakni dengan mengucapkan muhrim. Hal ini sudah lumrah terjadi, padahl istilah muhrim sendiri berarti orang yang sedang berihram.
Secara singkat, mahram ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni mahram karena memiliki ikatan darah (ayah, paman, anak laki-laki, saudara laki-laki, keponakan laki-laki), mahram karena persusuan (bapak persusuan, anak laki-laki ibu persusuan, saudara laki-laki sepersusuan, keponakan persusuan, dan paman persusuan), dan mahrom karena pernikahan (suami, ayah menantu, anak tiri, ayah tiri, dan menantu laki-laki). Dengan hadist ini, konsep mahram tidak hanya terbatas pada koridor-koridor yang mengatur bahwa mahram tidak boleh dinikahi, namun juga pada koridor perlindungan dan keamanan.
Sedangkan pemilihan bilangan tiga malam menurut sebagian ulama’ hanyalah sebuah metafor untuk menggambarkan perjalanan yang cukup lama. Bilangan tiga bukanlah batas minimal atau maksimal saklek yang ingin disampaikan dalam hadist ini. Meski memang, ada sebagian ulama yang menganggap bahwa makna yang diinginkan di baik kata ini adalah jarak tempuh, sekitar 20 farsakh atau 100 km.
DR. Yusuf al-Qardlawi pernah menyatakan bahwa hadis ini tidak secara eksplisit menyebut jarak tempuh. Artinya, larangan tersebut bisa didasarkan pada jarak tempuh tiga hari tiga malam, atau bisa juga bukan jarak, tetapi perjalanan yang memakan waktu tiga hari tiga malam. Hal yang ditekankan Qardhawi sebenarnya adalah aspek keamanan. Al-Qaradlawi sendiri pernah memfatwakan kebolehan perempuan yang melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, tanpa mahram, sekalipun jaraknya beratus-ratus atau bahkan ribuan kilometer.
Tematik-Komprehensif
Terdapat beberapa hadist lain yang membahas tema ini, meski dengan porsi dan format yang berbeda-beda. Hadist yang setema dengan pembahasan ini juga terdapat dalam Sunan Tirmidzi nomor 1089, namun disajikan dengan matan yang cukup mendetail. Pada hadist ini, diberikan tambahan ‘bilangan tiga dan kelipatannya’ serta perincian mahrom, yakni ayah, saudara laki-laki, suami, atau anak lelaki.
Membincang masalah bilangan, terdapat suatu hadist dalam Sunan Ibnu Majah, yakni hadist nomor 2890 yang tidak menyebutkan bilangan tiga, akan tetapi menggunakan bilangan satu. Hal yang sama juga terjadi dalam hadist yang terdapat dalam Sunan Ahmad nomor 9363 dan 9998, Bukhari 1026 serta dalam kitab Muwaththa’ Malik nomor 1550. Sedangkan bilangan dua hari/dua malam terdapat dalam Sunan Ahmad pada hadist nomor 10863 dan 11253, Shahih Bukhari nomor 1731 dan 1858.
Mengenai aksentuasi pembahasan, hadist-hadist yang disebutkan pada bagian sebelumnya didominasi oleh hadist yang memang mengkhususkan pembahasan pada larangan bagi wanita untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram. Akan tetapi, dalam Shahih Bukhari 1731 dan 1858, pelarangan ini berada dalam bab haji dan puasa. Pelarangan bepergian ini disampaikan dalam satu hadist bersamaan dengan pelarangan-pelarangan lain, seperti pelarangan berpuasa pada dua hari raya, pelarangan shalat setelah shalat ashar (hingga terbenamnya matahari) dan setelah shalat shubuh (hingga terbitnya matahari).
Hadist lain yang juga menyiratkan hal serupa namun dibubuhi sebuah percakapan (pertanyaan dari seorang sahabat yang kemudian direspon oleh Nabi) terdapat dalam Shahih Bukhari Sahabat tersebut langsung mengajukan pertanyaan setelah Nabi mengatakan keharaman wanita untuk bepergian tanpa didampingi mahrom. Ia mempertanyakan isterinya yang melakukan perjalanan haji tanpa didampingi siapapun dan bahwa dirinya tidak bisa mendampingi karena akan ikut berperang. Nabipun memerintahkan agar sahabat tersebut segera menyusul isterinya.
Selain itu, ada juga sebuah hadist yang secara tersirat mengungkapkan bahwa hadist ini bernuansa temporal dan sangat kondisional. Illat hadist ini sebenarnya adalah untuk menjamin keamanan dan memberi perlindungan bagi perempuan yang saat itu masih dianggap lemah, sehingga ketika illatnya hilang, maka hukum pun bisa direkonstruksi ulang. Hadist tersebut adalah, Akan datang suatu masa, di mana keamanan merambah seluruh negeri, sehingga seorang perempuan melakukan perjalanan dari Mekkah ke San'a (sebuah kota di Yaman) tanpa merasa takut kecuali kepada Allah". Hadist lain yang bisa dijadikan pembanding hadist Muslim nomor 2382 adalah hadist yang berasal dari Ibnu Abbas. Rasulullah mengatakan, Tidak diperbolehkan seorang wanita bepergian melainkan bersamanya seorang wanit.
Meskipun peneliti belum secara jelas mencari asal-muasal dua hadist pembanding ini, akan tetapi adanya hadist ini setidaknya menjadi pembanding di antara beberapa hadist lain yang terlihat saklek dan memberikan final answer terhadap masalah ini. Hasil ijtihad para ulama’ belakangan pun berusaha memberikan suatu pandangan yang lebih fleksibel dan kontekstual, semisal Sholih Al-Utsaimin yang mengatakan bahwa perempuan yang akan menempuh studi ke luar kota harus diantar oleh mahramnya dan dipastikan tinggal bersama wanita yang baik.
Ibnu Taimiyah bahkan mengatakan dalam Al-Ikhtiyriyyat halaman 171 bahwa semua wanita yang sudah dipastikan keamanannya boleh melakukan haji tanpa disertai mahram. Hal ini juga berlaku dalam semua perjalanan yang bukan merupakan ma’siat kepada Allah. Pendapat Ibnu Taimiyah ini banyak dikutip dan didukung oleh ulama lain, semisal oleh Al Bassam dalam kitab taudihul ahkam min bulughil maram 3/266-269.
Masih banyak ijtihad lain yang membolehkan seorang perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahram jika keamanan sudah terjamin. Akan tetapi, peneliti mencukupkan pemaparan data sampai di sini saja, sebab dalil pembanding hadist yang menjadi subjek penelitian sudah cukup representatif.
Konfirmasi Makna dari Al-Qur’an
Masalah larangan wanita untuk bepergian tanpa mahram secara khusus tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi dalam QS 16:97, Al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan, seperti halnya laki-laki memiliki hak yang sama untuk melakukan hal-hal yang positif (amal shalih) dalam rangka mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Meski tidak secara khusus menjadi pembanding dari hadist yang diteliti, akan tetapi ayat ini memberikan gambaran bahwa Islam tidaklah memberikan ruang kebebasan yang terlalu rigid dan sempit bagi kaum perempuan.
Sebab itulah, adanya ayat ini juga melahirkan celah untuk memahami makna hadist tentang larangan bepergian bagi wanita secara lebih kontekstual dan arif, dengan tidak hanya berpihak pada tekstualitas hadist maupun suasana ketika turunnya hadist, namun juga diparalelkan dengan keadaan masa kini yang memiliki permasalahan dan tuntutan berbeda.
Analisis Realitas-Historis
Sejauh ini, peneliti belum menemukan adanya asbabulwurud yang secara khusus melatarbalakangi turunnya hadist ini. Namun begitu, peneliti masih memperhitungkan qarinah-qarinah yang terdapat di sekitar kodikologi hadist. Hadist ini, dalam beberapa kitab mu’tabar termasuk dalam bab haji, susuan, puasa, manasik, dan bab baqi. Dominasi bab yang memuat hadist ini adalah bab haji. Dengan demikian, peneliti sementara berkesimpulan bahwa perjalanan yang dimaksudkan dalam hadist ini adalah perjalanan haji. Perjalanan haji tergolong perjalanan yang cukup riskan dan berat, sebab semua umat Islam dari segala penjuru dunia dalam waktu yang sama mendatangi tanah suci untuk melakukan haji. Sehingga, aspek keamanan dan perlindungan bagi perempuan pun kala itu mendapat perhatian tersendiri dari Nabi.
Selain itu, peneliti bisa membayangkan realitas makro yang terjadi pada saat hadist ini diturunkan. Terlepas dari setting wilayah di Mekkah dan Madinah, akan tetapi tahapan-tahapan dalam terangkatnya semangat egalitarian terhadap wanita dalam term hukum Islam menunjukkan bahwa sebelum kedatangan Islam, perempuan benar-benar menjadi warga kelas dua yang dipandang sebelah mata dan diremehkan.
Misalnya saja, syariat Islam yang memberikan porsi warist bagi perempuan. Walaupun porsi warist perempuan lebih rendah dibanding porsi bagi lelaki, akan tetapi berubahnya status perempuan dari golongan yang tidak berhak menerima wasiat atau bahkan golongan yang menjadi wasiat menjadi golongan yang bisa menerima warist adalah perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan.
Perubahan ini sedikit banyak menunjukkan bahwa empat belas abad yang lalu, perempuan masih dianggap sebagai mahluk kelas dua dengan segala atribut kelemahan dan kekurangannya. Asumsi yang demikian sebenarnya berangkat dari eksklusvisme pandangan yang berupaya melanggengkan image perempuan sebagai orang yang lemah secara emosi maupun fisik.
Sehingga tidak heran jika kemudian hadist ini secara tekstual masih menempatkan perempuan sebagai orang lemah yang harus dilindungi. Setidaknya ada dua alasan mengapa teks hadist ini masih cenderung partriarkis. Yang pertama adalah karena pada saat itu perempuan masih belum terbiasa terjun dalam dunia publik, termasuk juga melaksanakan ibadah haji tanpa ditemani orang yang sudah bepengalaman. Perempuan baru saja menikmati ‘kemerdekan’nya dan karena itulah perempuan masih belum begitu mengenal seluk beluk medan publik, sehingga ia masih membutuhkan teman yang bisa mengarahkan dan melindunginya.
Alasan yang kedua adalah karena Islam mengandaikan adanya perubahan yang menjanjikan, meski harus melewati serangkaian proses yang memang wajib dilalui satu persatu. Dalam artian, Islam tidak ingin secara membabi buta mendobrak tradisi dan pandangan masyarakat Arab kala itu dengan memberikan hukum baru yang terlalu ‘bertentangan’ dengan hukum klasik yang sudah terlanjur mengakar.
Dengan demikian, tekstualitas hadist ini masih sangat bias terhadap kondisi sosial masyarakat Arab kala itu. Pilihan Nabi untuk memberikan batasan yang cukup ketat bagi perempuan ini adalah pilihan yang tepat dan aman, mengingat perubahan tidak akan sukses dilakukan jika dengan proses dan jangka waktu yang sedemikian singkat.
Generalisasi
Langkah terakhir dari rangkaian kritiek eidetik adalah generalisasi yang berupaya melihat sebuah hadist dari berbagai hal yang suda dipaparkan sebelumnya. Dalam bagian ini, beberapa hal yang akan dipertimbangkan adalah tekstualitas dan kontekstualitas hadist pada masa ia diturunkan, eksternal teks, teks pembanding, serta kontekstualitas kekininan. Metodologi atau jalan pintas yang bisa diandalkan dalam bagian ini adalah konsep ideal moral dan legal formal yang digagas oleh Fazlur Rahman dengan teori double movement-nya.
Kontekstualitas hadist yang berkait erat dengan situasi sosio-historis masa-masa awal ‘kemerdekaan’ perempuan untuk terjun ke wilayah publik dan adanya teks-teks pembanding menyiratkan bahwa ideal moral atau semangat yang ingin dibangun dalam hadist ini bukanlah tekstualitas hadist an-sich. Dalam artian, larangan perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahram bukanlah sebuah jawaban final yang tidak bisa dinego. Illah dalam hadist ini adalah unsur keamanan dan perlindungan terhadap seorang perempuan. Sehingga, jika illah tersebut telah bisadiminimalisir, maka hukum yang dihasilkan dari illah ini pun terbuka untuk dire-check.
Dalam kasus ini, jika perlindungan dan kemanan terhadap warga negara—termasuk perempuan—sudah terjamin, misalnya dengan beridrinya lembaga keamanan dan banyaknya aparat penegak keamanan, maka keharaman perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahram bisa kembali dipertimbangkan. Hal ini tentu harus disesuaikan denan kondisi si perempuan sendiri dan keadaan makro negara yang didiami atau negara yang akan disinggahinya. Kendatipun tempat yang akan dituju adalah suatu tempat yang cukup aman namun si perempuan dimungkinkan masih belum bisa menjaga dirinya dengan baik jika harus seorang diri, maka kebolehan bepergian ini pun tidak lagi berlaku.
Dengan demikian, semangat yang ingin dibangun (ideal moral) dari hadist ini adalah keamanan dan perlindungan terhadap perempuan. Sedangkan legal formalnya adalah kejadian ketika perempuan baru merasakan kemerdekaan pada zaman Nabi. Meski dalam masalah ini segala halnya masih serba spekulatif (dalam kemampuan seorang perempuan menjaga dirinya sendiri), akan tetapi adanya lembaga keamana sedikit banyak bisa menjamin bahwa perempuan akan bisa menjaga dirinya walaupun melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram.
Hemat penulis, fleksbilitas hukum ini juga berlaku pada wilayah-wilayah tertentu. Semisal jika ada perempuan yang—secara personal—dianggap tidak bisa menjaga dirinya meski sudah banyak lembaga dan aparat keamanan, maka perempuan tersebut sebaiknya tetap didampingi mahramnya jika ingin bepergian. Inilah aplikasi lain dari ideal moral kasus ini yang berupa perlindungan dan keamanan bagi perempuan.
• Kritik Praksis (Proyeksi makna masa kini, kontekstualisasi)
Dewasa ini, sebagaimana diproyeksikan oleh Nabi Muhammad, keamanan tidak lagi menjadi tanggung jawab dan kewajiban personal, namun juga sudah terjamin oleh pemerintah. Meskipun kinerja keamanan secara umum belum maksimal, namun kondisi ini cukuplah legitimatif untuk membolehkan seorang perempuan melakukan perjalanan tanpa harus didampingi mahramnya. Terjaminnya keamanan ini meniscayakan adanya sebuah perubahan baru dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah merasa terjaga oleh sistem kemanan yang diterapkan dalam sebuah wilayah. Perempuan yang melakukan perjalanan tanpa didampingi mahramnya sudah bukan merupakan hal tabu dan banyak ditemukan di mana-mana.
Selain itu, canggihnya teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat dewasa ini juga memudahkan seorang perempuan untuk melindungi dirinya sendiri ataupun untuk berkomunikasi dengan mahramnya. Mahram perempuan tersebut (semisal ayah atau suami) bisa dengan mudah menghubungi dan mengontrol si perempuan yang tengah melakukan perjalanan.
Kehidupan yang semakin kompleks meniscayakan masing-masing orang untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Jika seorang perempuan masih bergantung pada mahramnya, akan sangat sulit baginya untuk bisa mandiri. Ia akan terus memiliki ketergantungan terhadap peran mahramnya. Semangat egalitarian yang berusaha dinyalakan oleh Islam, jika demikian akan dipadamkan secara sistematis dengan pembacaan teks yang buta terhadap konteks—dan tuntutan—kekinian. Islam senantiasa mengajarkan pemeluknya untuk bisa hidup mandiri baik secara finansial atau hal-hal lain yang mencerminkan seorang muslim yang lebih mengandalkan dirinya sendiri dibanding mengandalkan orang lain.
Sebuah peribahasa yang cukup terkenal mengatakan, bahwa (remaja) muslim yang sejati adalah mereka yang berani menepuk dada mengatakan, ‘inilah saya’, bukan mereka yang mengandalkan otoritas orang lain, seperti ayahnya sendiri. Namun begitu, fleksibilitas hukum ini senyatanya tidak kemudian menjadikan perempuan ‘kebablasan’ dan lupa daratan dengan menggunakan kebebasan ini tidak pada tempatnya. Allah Knows Best
Kajian tentang ‘Kebebasan’ Perempuan Bepergian
(Studi Ma’anil Hadist)
1. Pendahuluan (Pengantar Wacana)
Selain sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an, hal lain yang menjadikan hadist menempati posisi yang sangat penting adalah karena hadist menggambarkan berbagai hal dalam kehidupan Rasulullah. Banyaknya aspek yang dibahas dalam hadist kemudian menjadikan hadist sebagai referensi kehidupan yang menarik untuk dikaji. Selain temanya yang beragam dan otomatis lebih luas dibanding tema yang ada dalam Al-Qur’an, transmisi hadist yang tidak semuanya mutawatir juga semakin membuka peluang dan ruang untuk meneliti hadist.
Di antara permasalahan kontemporer yang secara kasat mata tampak bertolakbelakang dengan teks beberapa hadist adalah perihal bepergiannya seorang perempuan tanpa didampingi mahrom. Hadist yang secara gamblang menunjukkan larangan tersebut bahkan bersumber dari magnum opus dua pentolan hadist (Bukhari-Muslim). Sehingga asumsi awalnya, hadist tersebut adalah hadist yang benar-benar berasal dari Nabi dan memenuhi semua kualifikasi hadist shahih. Apalagi, hadist yang demikian tidak hanya terdapat dalam satu-dua kitab mu’tabar, namun hampir termuat dalam semua kitab mu’tabar. Sehingga, kualitas hadist yang berisi larangan ini seakan sudah tidak perlu diragukan lagi.
Namun demikian, situasi kekinian agaknya tidaklah sama dengan apa yang tersampaikan dalam hadist tersebut. Di kehidupan terdekat kita, banyak ditemui perempuan yang meninggalkan rumah atau merantau dan bepergian (dengan beberapa tujuan, semisal bekerja, studi, dan lain sebagainya) tanpa didampingi seorang mahrom. Fenomena ini bahkan sudah menjadi suatu hal yang lumrah dan bisa ditemukan di mana-mana.
Lebih mengherankannya lagi, hadist tentang larangan untuk bepergian tanpa kehadiran seorang mahrom ini ternyata muncul dalam konteks ibadah haji. Jika untuk ibadah haji saja perempuan diwajibkan untuk didampingi mahrom, apalagi untuk urusan-urusan lain yang barangkali tidak memiliki porsi kewajiban yang besar seperti halnya ibadah haji? Distingsi antara hadist tentang larangan bepergian tanpa mahrom dengan menjamurnya fenomena ‘bebas’nya perempuan untuk bepergian ke mana-mana ini kemudian menjadikan tema ini menarik untuk dibedah lebih dalam.
2. Hadist-Hadist Terkait
Hadist yang menerangkan larangan bagi wanita untuk melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi mahrom terdapat dalam beberapa kitab hadist mu’tabar maupun kitab non-mu’tabar. Sebagian besar di antara hadist tersebut berisi kalimat konfirmatif yang memberi arti larangan namun ada juga sebuah hadist yang merupakan respon Rasulullah atas pertanyaan para sahabat. Adapun hadist-hadist yang dimaksud adalah sebagai berikut;
Shahih Muslim 2382 (bab haji); Subjek Penelitian
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Shahih Muslim 2386 (bab haji)
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Shahih Muslim 2387 (bab haji)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا
Shahih Muslim 2388 (bab haji)
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
Shahih Bukhari 1026 (bab al-Jum’ah)
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ تَابَعَهُ يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ وَسُهَيْلٌ وَمَالِكٌ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Shahih Bukhari 1731(bab haji)
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ مَوْلَى زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ وَقَدْ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ أَرْبَعٌ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ يُحَدِّثُهُنَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي أَنْ لَا تُسَافِرَ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Shahih Bukhari 1858 (bab puasa)
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ قَزَعَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ سَمِعْتُ أَرْبَعًا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا
Sunan Tirmidzi 1089 (bab susuan)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ ابْنُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَرُوِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُسَافِرَ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَتْ مُوسِرَةً وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ هَلْ تَحُجُّ فَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَجِبُ عَلَيْهَا الْحَجُّ لِأَنَّ الْمَحْرَمَ مِنْ السَّبِيلِ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا فَقَالُوا إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ فَلَا تَسْتَطِيعُ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا فَإِنَّهَا تَخْرُجُ مَعَ النَّاسِ
فِي الْحَجِّ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ
Sunan Tirmidzi 1090 (bab susuan)
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan Abu Daud 1460 (bab manasik)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ وَالنُّفَيْلِيُّ عَنْ مَالِكٍ ح و حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ عَنْ أَبِيهِ ثُمَّ اتَّفَقُوا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَذَكَرَ مَعْنَاهُ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَمْ يَذْكُرْ الْقَعْنَبِيُّ وَالنُّفَيْلِيُّ عَنْ أَبِيهِ رَوَاهُ ابْنُ وَهْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ عَنْ مَالِكٍ كَمَا قَالَ الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى عَنْ جَرِيرٍ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ بَرِيدًا
Sunan Ibnu Majah 2890 (bab manasik)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَاحِدٍ لَيْسَ لَهَا ذُو حُرْمَةٍ
Sunan Ahmad 8208 (bab baqi)
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي رَحِمٍ
Sunan Ahmad 9363 (bab baqi)
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمٍ تَامٍّ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Sunan Ahmad 9998 (bab baqi)
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
Sunan Ahmad 10863 (bab baqi)
قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ قَالَ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعًا فَأَعْجَبْنَنِي وَأَيْنَقْنَنِي قَالَ عَفَّانُ وَآنَقْنَنِي نَهَى أَنْ تُسَافِرَ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ قَالَ عَفَّانُ أَوْ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
Sunan Ahmad 11253 (bab baqi)
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ أَنْبَأَنِي قَالَ سَأَلْتُ قَزَعَةَ مَوْلَى زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ أَرْبَعٌ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي قَالَ لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ أَوْ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
Muwaththa’ Malik 1550 (bab al-Jami`)
و حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ مِنْهَا
3. Takhrij
Hadist yang dijadikan sebagai subjek peneitian utama dalam mini-research ini adalah hadist yang berasal dari kitab shahih Muslim, bab haji nomor 2382. Hadist-hadist lain yang setema dan semakna dengan hadist nomor 2382 ini dijadikan sebagai data pendukung terhadap subjek penelitian utama. Alasan pemilihan hadist 2382 sebagai subjek penelitian utama adalah karena matan-nya yang singkat dan langsung mengena. Kitab yang memuat hadist ini pun juga adalah kitab yang berkualitas dan ditulis oleh seorang Imam yang cukup mutasyaddid dan diakui kredibilitasnya, yakni Imam Muslim. Imam Muslim pernah mengatakan bahwa tidak semua hadist yang diriwayatkan olehnya ia cantumkan dalam kitab kompilasi hadistnya, shahih Muslim. Ia hanyalah mencantumkan hadist-hadist yang telah disepakati.
Jika hadist ini memenuhi kualifikasi dan kriteria yang disyaratkan Muslim, maka hal tersebut cukup menjadi alasan untuk berhipotesis bahwa hadist ini adalah hadist yang berkualitas. Apalagi, kitab shahih tertinggi—yang bahkan disebut sebagai kitab suci kedua setelah Al-Qur’an yakni shahih Bukhari—juga memuat hadist yang setema. Namun karena hadist yang terdapat dalam Shahih Bukhari tidaklah langsung mengena dan masih berkait dengan persoalan lain, maka peneliti lebih memilih hadist yang terdapat dalam shahih muslim ini.
4. Tahqiq (Kualitas hadist)
Hadist ini berstatus hadist syarif dan marfu’. Definisi hadist syarif sendiri adalah hadist berkualitas sedangkan marfu’ adalah hadist yang benar-benar berasal dari Rasulullah. Tersebarnya hadist ini dalam beberapa kitab mu’tabar maupun kitab non-mu’tabar menunjukkan bahwa kualitas hadist ini, meskipun belum mencapai derajat mutawatir, akan tetapi cukup berkualitas dan bisa dijadikan hujjah.
5. Analisis Matan (Kajian Maanil Hadist)
Jika analisis sanad diorientasikan untuk mengetahui derajat keshahihan suatu hadist, maka analisis matan lebih ditujukan untuk mengetahui bagaimanakah sebuah hadist akan diaplikasikan. Namun begitu, dalam sebagian besar penelitian sanad-matan hadist, penelitian sanad-lah yang didahulukan. Alasan di balik hal ini, dalam hemat penulis sebenarnya sederhana saja. Jika sebuah hadist terlebih dahulu didekati dari matan-nya dan pada akhirnya diketahui bahwa sanad hadist tersebut tidak berkualitas, maka aplikasi matan hadist itu pun masih perlu dipertanyakan.
Sebab itulah, mini-research ini lebih mendahulukan analisis sanad dibanding analisis matan. Setelah dilakukan analisis sanad dengan merujuk pada kualitas yang disajikan di software mausuah dan diketahui bahwa hadist ini adalah hadist syarif yang benar-benar berasal dari rasulullah, barulah peneliti melakukan analisis matan.
Selain merujuk langsung pada kualitas hadist yang dipaparkan di software mausuah, analisis sanad yang dilakukan untuk mengetahui kualitas sebuah hadist juga dilakukan dengan mengecek jarh wa al-ta’dil masing-masing perawi serta memastikan adanya ketersambungan sanad.
Analisis matan dalam mini-research ini beracuan pada metodologi yang digagas oleh Musahadi HAM dalam karnyanya, meski teori ini awalnya merupakan teori Hasan Hanafi yang dikembangkan lebih jauh
• Kritik Historis
Setelah mengutip kualitas hadist yang dicantumkan dalam mausuah dan melakukan penelusuran kecil-kecilan untuk mengetahui kualitas hadist ini, maka peneliti berkesimpulan bahwa hadist ini termasuk hadist yang berkualitas dan benar-benar berasal dari Nabi. Sebab itulah, hadist ataupun tema yang mendasari tema ini pantas untuk diteliti kembali dalam analisis matan, agar bisa diaplikasikan dengan tepat dan benar. Aplikasi yang diandaikan adalah aplikasi hadist yang bisa menjawab tuntutan kekinian namun tidak terlalu tercerabut dari semangat yang tersirat di balik hadist yang bersangkutan.
• Kritik Eidetis
Kritik eidetis merupakan langkah kedua yang dilakukan setelah mengetahui kualitas suatu hadist dan memastikan otentisitasnya. Kritik ini berupaya mengungkap makna tekstual hadist dengan berpedoman pada sisi linguistik dan pemilihan diksi, perbandingan dengan hadist-hadist lain yang setema, serta perbandingan dengan ayat Al-Qur’an yang—meski bukan setema, namun—mengena terhadap persoalan yang dibahas. Tiga hal ini diharapkan dapat membantu peneliti untuk mengetahui tekstualitas hadist maupun signifikansi kontekstualnya terhadap keadaan masa lalu. Bekal inilah yang kemudian akan diandalkan peneliti dalam bagian generalisasi dan penentuan legal formal serta ideal moral.
Analisis Konten
Analisis konten yang dimaksud di sini adalah berupaya mengetahui internal dan eksternal teks. Mengetahui internal teks berarti mencari pemahaman tentang apa saja yang ‘tersampaikan’ secara eksplisit maupun implisit dari hadist yang dijadikan subjek penelitian. Sedangkan eksternal teks berarti teks-teks lain (baik Al-Qur’an maupun hadist) yang setema atau paling tidak berkenaan dengan tema hadist yang dibahas. Menelisik internal teks dan mengetahui apa saja eksternal teks ini akan menjadi bahan pertimbangan peneliti dalam membuat generalisasi dan menentukan ideal moral-legal formal dalam langkah generalisasi.
Linguistik
Hadist ini menggunakan la nafi (peniadaan, penegasian) yang disambung dengan fiil mudhari’ (verb) yahillu. Perpaduan dua kata ini menunjukkan tiadanya kehalalan bagi perkara yang disebutkan sesudah la nafi dan fiil ini. Artinya, pekerjaan yang disebutkan sesuah la nafi dan fiil (verb) yahillu adalah pekerjaan yang tidak halal atau biasa diistilahkan dengan haram. Dalam hal ini, pekerjaan tersebut adalah melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram. Larangan ini tertuju seorang perempuan yang beriman terhadap rasulullah dan hari akhir.
Dalam hadist lain, misalnya dalam hadist Bukhari nomor 1024, matan hadist menggunakan la nahi (larangan) yang kemudian disandingkan dengan fiil mudhari’ tusafir. Dalam hadist Bukhari ini, pola komunikasi yang ditampakkan lebih jelas, sebab langsung memberikan larangan dan penjelasan kepada siapakah larangan tersebut ditujukan. Meski berbeda dengan konfirmasi negasi dalam hadist Muslim (yang disampaikan melalui penggunaan la nafi), akan tetapi, esensi dua hadist ini sama saja. Pada intinya, dua hadist ini maupun hadist-hadist lain yang setema menunjukkan keharaman bagi wanita untuk melakukan safari tanpa didampingi mahramnya.
Sedangkan pemilihan isim nakirah dalam lafadz imraatan (perempuan) dan masiratan (perjalanan) yang terdapat dalam sahih Muslim menjelaskan bahwa perempuan, siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun, tetap dilarang melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahrom. Meski kemudian, cakupan yang umum ini dispesfikasi dengan kriteria perempan yang beriman kepada Allah dan hari kiamat.
Dan karena ‘perjalanan’ dalam hadist ini juga disampaikan dalam bentuk isim nakirah, maka hal ini juga berimplikasi terhadap makna. Perjalanan yang dimaksudkan dalam hadist ini—jika bertolak dari sisi linguistiknya—adalah perjalanan dalam arti umum. Meskipun memang, hadist ini banyak dimasukkan dalam bab-bab haji maupun bab mahram dan perjalanan yang tampak dalam hadist ini adalah perjalanan haji, namun keumuman lafadz dalam hadist ini bisa dijadikan alasan untuk memasukkan semua macam perjalanan.
Penggunaan huruf nafi (penegasian) dan ististna’ (pengecualian) dalam hadist ini menyiratkan makna HANYA SANYA. Ketika dikatakan bahwa TIDAK halal bagi seorang perempuan muslim untuk melakukan perjalanan selama tiga hari KECUALI didampingi mahramnya, maka hal ini berarti bahwa ‘sertifikasi’ halal seorang perempuan untuk melakukan perjalanan HANYA bisa ia dapatkan jika ia ditemani oleh seorang mahram. Ungkapan ini sama saja dengan hadist yang mengatakan la nikaha illa biwaliyyin. Nikah TIDAK akan sah KECUALI dihadiri oleh wali. Sehingga, HANYA dengan kehadiran wali-lah sebuah pernikahan bisa sah.
Tasafara adalah fiil khamasi (kata kerja yang terdiri dari lima huruf) dan berasal dari fill tsulatsi mujarrad s-f-r yang berarti bepergian. Ditambahnya dua huruf tambahan (ta’ dan alif) dalam fiil ini melahirkan makna proses atau berangsur-angsur, dalam kalimat ini berarti segala proses yang dialami dalam perjalanan. Masiratan adalah mashdar mim dari fiil tsulatsi mujarrad saa-ra yang berarti perjalanan. Kalimat saa-ra ini memiliki akar kata yang sama dengan Israil (nama sebuah bani), yakni sama-sama berasal dari akar kata s-r. Alasan mengapa diksi yang dipilih adalah masiiratan dan bukannya safaratan (mashdar dari tasafara yang jika digunakan akan menjadi maful muthlaq) adalah karena fiil s-r berkonotasi perjalanan yang dilakukan pada malam hari. Hal ini sangat sinkron dengan lafadz sesudahnya yang menyebutkan tiga malam. Konon, nama Israil juga disematkan pada sebuah bani yang suka melakukan perjalanan pada waktu malam.
Sedangkan term mahram yang menjadi kunci dalam hadist ini adalah bahasan fiqhi yang cukup panjang jika dibahas secara mendetail. Namun sekilas, definisi mahrom ini adalah orang yang memiliki hubungan darah dekat dan karenanya haram dinikahi. Etimologi mahrom sendiri ini juga berkait erat dengan kata rahim yang menunjukkan pertalian kekerabatan dan ikatan darah yang begitu dekat. Sehingga, seorang yang berstatus sebagai mahrom haram dinikahi. Dalam pengucapannya, term mahram ini kerap diucapkan dengan pelafalan yang salah, yakni dengan mengucapkan muhrim. Hal ini sudah lumrah terjadi, padahl istilah muhrim sendiri berarti orang yang sedang berihram.
Secara singkat, mahram ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni mahram karena memiliki ikatan darah (ayah, paman, anak laki-laki, saudara laki-laki, keponakan laki-laki), mahram karena persusuan (bapak persusuan, anak laki-laki ibu persusuan, saudara laki-laki sepersusuan, keponakan persusuan, dan paman persusuan), dan mahrom karena pernikahan (suami, ayah menantu, anak tiri, ayah tiri, dan menantu laki-laki). Dengan hadist ini, konsep mahram tidak hanya terbatas pada koridor-koridor yang mengatur bahwa mahram tidak boleh dinikahi, namun juga pada koridor perlindungan dan keamanan.
Sedangkan pemilihan bilangan tiga malam menurut sebagian ulama’ hanyalah sebuah metafor untuk menggambarkan perjalanan yang cukup lama. Bilangan tiga bukanlah batas minimal atau maksimal saklek yang ingin disampaikan dalam hadist ini. Meski memang, ada sebagian ulama yang menganggap bahwa makna yang diinginkan di baik kata ini adalah jarak tempuh, sekitar 20 farsakh atau 100 km.
DR. Yusuf al-Qardlawi pernah menyatakan bahwa hadis ini tidak secara eksplisit menyebut jarak tempuh. Artinya, larangan tersebut bisa didasarkan pada jarak tempuh tiga hari tiga malam, atau bisa juga bukan jarak, tetapi perjalanan yang memakan waktu tiga hari tiga malam. Hal yang ditekankan Qardhawi sebenarnya adalah aspek keamanan. Al-Qaradlawi sendiri pernah memfatwakan kebolehan perempuan yang melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, tanpa mahram, sekalipun jaraknya beratus-ratus atau bahkan ribuan kilometer.
Tematik-Komprehensif
Terdapat beberapa hadist lain yang membahas tema ini, meski dengan porsi dan format yang berbeda-beda. Hadist yang setema dengan pembahasan ini juga terdapat dalam Sunan Tirmidzi nomor 1089, namun disajikan dengan matan yang cukup mendetail. Pada hadist ini, diberikan tambahan ‘bilangan tiga dan kelipatannya’ serta perincian mahrom, yakni ayah, saudara laki-laki, suami, atau anak lelaki.
Membincang masalah bilangan, terdapat suatu hadist dalam Sunan Ibnu Majah, yakni hadist nomor 2890 yang tidak menyebutkan bilangan tiga, akan tetapi menggunakan bilangan satu. Hal yang sama juga terjadi dalam hadist yang terdapat dalam Sunan Ahmad nomor 9363 dan 9998, Bukhari 1026 serta dalam kitab Muwaththa’ Malik nomor 1550. Sedangkan bilangan dua hari/dua malam terdapat dalam Sunan Ahmad pada hadist nomor 10863 dan 11253, Shahih Bukhari nomor 1731 dan 1858.
Mengenai aksentuasi pembahasan, hadist-hadist yang disebutkan pada bagian sebelumnya didominasi oleh hadist yang memang mengkhususkan pembahasan pada larangan bagi wanita untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram. Akan tetapi, dalam Shahih Bukhari 1731 dan 1858, pelarangan ini berada dalam bab haji dan puasa. Pelarangan bepergian ini disampaikan dalam satu hadist bersamaan dengan pelarangan-pelarangan lain, seperti pelarangan berpuasa pada dua hari raya, pelarangan shalat setelah shalat ashar (hingga terbenamnya matahari) dan setelah shalat shubuh (hingga terbitnya matahari).
Hadist lain yang juga menyiratkan hal serupa namun dibubuhi sebuah percakapan (pertanyaan dari seorang sahabat yang kemudian direspon oleh Nabi) terdapat dalam Shahih Bukhari Sahabat tersebut langsung mengajukan pertanyaan setelah Nabi mengatakan keharaman wanita untuk bepergian tanpa didampingi mahrom. Ia mempertanyakan isterinya yang melakukan perjalanan haji tanpa didampingi siapapun dan bahwa dirinya tidak bisa mendampingi karena akan ikut berperang. Nabipun memerintahkan agar sahabat tersebut segera menyusul isterinya.
Selain itu, ada juga sebuah hadist yang secara tersirat mengungkapkan bahwa hadist ini bernuansa temporal dan sangat kondisional. Illat hadist ini sebenarnya adalah untuk menjamin keamanan dan memberi perlindungan bagi perempuan yang saat itu masih dianggap lemah, sehingga ketika illatnya hilang, maka hukum pun bisa direkonstruksi ulang. Hadist tersebut adalah, Akan datang suatu masa, di mana keamanan merambah seluruh negeri, sehingga seorang perempuan melakukan perjalanan dari Mekkah ke San'a (sebuah kota di Yaman) tanpa merasa takut kecuali kepada Allah". Hadist lain yang bisa dijadikan pembanding hadist Muslim nomor 2382 adalah hadist yang berasal dari Ibnu Abbas. Rasulullah mengatakan, Tidak diperbolehkan seorang wanita bepergian melainkan bersamanya seorang wanit.
Meskipun peneliti belum secara jelas mencari asal-muasal dua hadist pembanding ini, akan tetapi adanya hadist ini setidaknya menjadi pembanding di antara beberapa hadist lain yang terlihat saklek dan memberikan final answer terhadap masalah ini. Hasil ijtihad para ulama’ belakangan pun berusaha memberikan suatu pandangan yang lebih fleksibel dan kontekstual, semisal Sholih Al-Utsaimin yang mengatakan bahwa perempuan yang akan menempuh studi ke luar kota harus diantar oleh mahramnya dan dipastikan tinggal bersama wanita yang baik.
Ibnu Taimiyah bahkan mengatakan dalam Al-Ikhtiyriyyat halaman 171 bahwa semua wanita yang sudah dipastikan keamanannya boleh melakukan haji tanpa disertai mahram. Hal ini juga berlaku dalam semua perjalanan yang bukan merupakan ma’siat kepada Allah. Pendapat Ibnu Taimiyah ini banyak dikutip dan didukung oleh ulama lain, semisal oleh Al Bassam dalam kitab taudihul ahkam min bulughil maram 3/266-269.
Masih banyak ijtihad lain yang membolehkan seorang perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahram jika keamanan sudah terjamin. Akan tetapi, peneliti mencukupkan pemaparan data sampai di sini saja, sebab dalil pembanding hadist yang menjadi subjek penelitian sudah cukup representatif.
Konfirmasi Makna dari Al-Qur’an
Masalah larangan wanita untuk bepergian tanpa mahram secara khusus tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi dalam QS 16:97, Al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan, seperti halnya laki-laki memiliki hak yang sama untuk melakukan hal-hal yang positif (amal shalih) dalam rangka mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Meski tidak secara khusus menjadi pembanding dari hadist yang diteliti, akan tetapi ayat ini memberikan gambaran bahwa Islam tidaklah memberikan ruang kebebasan yang terlalu rigid dan sempit bagi kaum perempuan.
Sebab itulah, adanya ayat ini juga melahirkan celah untuk memahami makna hadist tentang larangan bepergian bagi wanita secara lebih kontekstual dan arif, dengan tidak hanya berpihak pada tekstualitas hadist maupun suasana ketika turunnya hadist, namun juga diparalelkan dengan keadaan masa kini yang memiliki permasalahan dan tuntutan berbeda.
Analisis Realitas-Historis
Sejauh ini, peneliti belum menemukan adanya asbabulwurud yang secara khusus melatarbalakangi turunnya hadist ini. Namun begitu, peneliti masih memperhitungkan qarinah-qarinah yang terdapat di sekitar kodikologi hadist. Hadist ini, dalam beberapa kitab mu’tabar termasuk dalam bab haji, susuan, puasa, manasik, dan bab baqi. Dominasi bab yang memuat hadist ini adalah bab haji. Dengan demikian, peneliti sementara berkesimpulan bahwa perjalanan yang dimaksudkan dalam hadist ini adalah perjalanan haji. Perjalanan haji tergolong perjalanan yang cukup riskan dan berat, sebab semua umat Islam dari segala penjuru dunia dalam waktu yang sama mendatangi tanah suci untuk melakukan haji. Sehingga, aspek keamanan dan perlindungan bagi perempuan pun kala itu mendapat perhatian tersendiri dari Nabi.
Selain itu, peneliti bisa membayangkan realitas makro yang terjadi pada saat hadist ini diturunkan. Terlepas dari setting wilayah di Mekkah dan Madinah, akan tetapi tahapan-tahapan dalam terangkatnya semangat egalitarian terhadap wanita dalam term hukum Islam menunjukkan bahwa sebelum kedatangan Islam, perempuan benar-benar menjadi warga kelas dua yang dipandang sebelah mata dan diremehkan.
Misalnya saja, syariat Islam yang memberikan porsi warist bagi perempuan. Walaupun porsi warist perempuan lebih rendah dibanding porsi bagi lelaki, akan tetapi berubahnya status perempuan dari golongan yang tidak berhak menerima wasiat atau bahkan golongan yang menjadi wasiat menjadi golongan yang bisa menerima warist adalah perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan.
Perubahan ini sedikit banyak menunjukkan bahwa empat belas abad yang lalu, perempuan masih dianggap sebagai mahluk kelas dua dengan segala atribut kelemahan dan kekurangannya. Asumsi yang demikian sebenarnya berangkat dari eksklusvisme pandangan yang berupaya melanggengkan image perempuan sebagai orang yang lemah secara emosi maupun fisik.
Sehingga tidak heran jika kemudian hadist ini secara tekstual masih menempatkan perempuan sebagai orang lemah yang harus dilindungi. Setidaknya ada dua alasan mengapa teks hadist ini masih cenderung partriarkis. Yang pertama adalah karena pada saat itu perempuan masih belum terbiasa terjun dalam dunia publik, termasuk juga melaksanakan ibadah haji tanpa ditemani orang yang sudah bepengalaman. Perempuan baru saja menikmati ‘kemerdekan’nya dan karena itulah perempuan masih belum begitu mengenal seluk beluk medan publik, sehingga ia masih membutuhkan teman yang bisa mengarahkan dan melindunginya.
Alasan yang kedua adalah karena Islam mengandaikan adanya perubahan yang menjanjikan, meski harus melewati serangkaian proses yang memang wajib dilalui satu persatu. Dalam artian, Islam tidak ingin secara membabi buta mendobrak tradisi dan pandangan masyarakat Arab kala itu dengan memberikan hukum baru yang terlalu ‘bertentangan’ dengan hukum klasik yang sudah terlanjur mengakar.
Dengan demikian, tekstualitas hadist ini masih sangat bias terhadap kondisi sosial masyarakat Arab kala itu. Pilihan Nabi untuk memberikan batasan yang cukup ketat bagi perempuan ini adalah pilihan yang tepat dan aman, mengingat perubahan tidak akan sukses dilakukan jika dengan proses dan jangka waktu yang sedemikian singkat.
Generalisasi
Langkah terakhir dari rangkaian kritiek eidetik adalah generalisasi yang berupaya melihat sebuah hadist dari berbagai hal yang suda dipaparkan sebelumnya. Dalam bagian ini, beberapa hal yang akan dipertimbangkan adalah tekstualitas dan kontekstualitas hadist pada masa ia diturunkan, eksternal teks, teks pembanding, serta kontekstualitas kekininan. Metodologi atau jalan pintas yang bisa diandalkan dalam bagian ini adalah konsep ideal moral dan legal formal yang digagas oleh Fazlur Rahman dengan teori double movement-nya.
Kontekstualitas hadist yang berkait erat dengan situasi sosio-historis masa-masa awal ‘kemerdekaan’ perempuan untuk terjun ke wilayah publik dan adanya teks-teks pembanding menyiratkan bahwa ideal moral atau semangat yang ingin dibangun dalam hadist ini bukanlah tekstualitas hadist an-sich. Dalam artian, larangan perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahram bukanlah sebuah jawaban final yang tidak bisa dinego. Illah dalam hadist ini adalah unsur keamanan dan perlindungan terhadap seorang perempuan. Sehingga, jika illah tersebut telah bisadiminimalisir, maka hukum yang dihasilkan dari illah ini pun terbuka untuk dire-check.
Dalam kasus ini, jika perlindungan dan kemanan terhadap warga negara—termasuk perempuan—sudah terjamin, misalnya dengan beridrinya lembaga keamanan dan banyaknya aparat penegak keamanan, maka keharaman perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi mahram bisa kembali dipertimbangkan. Hal ini tentu harus disesuaikan denan kondisi si perempuan sendiri dan keadaan makro negara yang didiami atau negara yang akan disinggahinya. Kendatipun tempat yang akan dituju adalah suatu tempat yang cukup aman namun si perempuan dimungkinkan masih belum bisa menjaga dirinya dengan baik jika harus seorang diri, maka kebolehan bepergian ini pun tidak lagi berlaku.
Dengan demikian, semangat yang ingin dibangun (ideal moral) dari hadist ini adalah keamanan dan perlindungan terhadap perempuan. Sedangkan legal formalnya adalah kejadian ketika perempuan baru merasakan kemerdekaan pada zaman Nabi. Meski dalam masalah ini segala halnya masih serba spekulatif (dalam kemampuan seorang perempuan menjaga dirinya sendiri), akan tetapi adanya lembaga keamana sedikit banyak bisa menjamin bahwa perempuan akan bisa menjaga dirinya walaupun melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram.
Hemat penulis, fleksbilitas hukum ini juga berlaku pada wilayah-wilayah tertentu. Semisal jika ada perempuan yang—secara personal—dianggap tidak bisa menjaga dirinya meski sudah banyak lembaga dan aparat keamanan, maka perempuan tersebut sebaiknya tetap didampingi mahramnya jika ingin bepergian. Inilah aplikasi lain dari ideal moral kasus ini yang berupa perlindungan dan keamanan bagi perempuan.
• Kritik Praksis (Proyeksi makna masa kini, kontekstualisasi)
Dewasa ini, sebagaimana diproyeksikan oleh Nabi Muhammad, keamanan tidak lagi menjadi tanggung jawab dan kewajiban personal, namun juga sudah terjamin oleh pemerintah. Meskipun kinerja keamanan secara umum belum maksimal, namun kondisi ini cukuplah legitimatif untuk membolehkan seorang perempuan melakukan perjalanan tanpa harus didampingi mahramnya. Terjaminnya keamanan ini meniscayakan adanya sebuah perubahan baru dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah merasa terjaga oleh sistem kemanan yang diterapkan dalam sebuah wilayah. Perempuan yang melakukan perjalanan tanpa didampingi mahramnya sudah bukan merupakan hal tabu dan banyak ditemukan di mana-mana.
Selain itu, canggihnya teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat dewasa ini juga memudahkan seorang perempuan untuk melindungi dirinya sendiri ataupun untuk berkomunikasi dengan mahramnya. Mahram perempuan tersebut (semisal ayah atau suami) bisa dengan mudah menghubungi dan mengontrol si perempuan yang tengah melakukan perjalanan.
Kehidupan yang semakin kompleks meniscayakan masing-masing orang untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Jika seorang perempuan masih bergantung pada mahramnya, akan sangat sulit baginya untuk bisa mandiri. Ia akan terus memiliki ketergantungan terhadap peran mahramnya. Semangat egalitarian yang berusaha dinyalakan oleh Islam, jika demikian akan dipadamkan secara sistematis dengan pembacaan teks yang buta terhadap konteks—dan tuntutan—kekinian. Islam senantiasa mengajarkan pemeluknya untuk bisa hidup mandiri baik secara finansial atau hal-hal lain yang mencerminkan seorang muslim yang lebih mengandalkan dirinya sendiri dibanding mengandalkan orang lain.
Sebuah peribahasa yang cukup terkenal mengatakan, bahwa (remaja) muslim yang sejati adalah mereka yang berani menepuk dada mengatakan, ‘inilah saya’, bukan mereka yang mengandalkan otoritas orang lain, seperti ayahnya sendiri. Namun begitu, fleksibilitas hukum ini senyatanya tidak kemudian menjadikan perempuan ‘kebablasan’ dan lupa daratan dengan menggunakan kebebasan ini tidak pada tempatnya. Allah Knows Best
Hmhm...
TugaZ dari doZhen
Kamis, 06 Mei 2010
Ensiklopedi Kehidupan dalam Sebuah Karya Kecil
Jika kau ditanya, apa saja hal yang paling identik dengan kehidupan? Minimal kehidupan yang kaujalani dan paling dekat dengan hari-harimu? Jawabannya tentu akan beragam…Tapi bukan berarti tidak bisa diprediksi. Bayanganku, jawabannya tidak jauh-jauh dari term yang bernama cita-cita, cinta, mimpi, pertemanan, pekerjaan, keluarga, studi, dinamika, susah-sedih, dan lain sebagainya. Meski tidak bisa mewakili keseluruhan jawaban, seenggaknya beberapa hal yang kuajukan tu representatif kupikir.
Lalu apa yang ada di bayanganmu jika kau bisa mendapat sesuatu—atau katakanlah informasi—mengenai beberpa hal tersebut dalam sebuah kemasan kecil? Menyenangkan tentu..Selain tercerahkan dan memperluas pandangan, merenungi hidup kerap memberikan nuansa 'entertainment' yang kadang menjadi 'pelarian' dari kejenuhan-kejenuhan yang mendera dalam mengarungi hidup…dan tentunya, be a cause to be a wiser one…
Ya, setidaknya itulah yang aku rasakan baru-baru ini. Berawal dari hobiku nonton dan komunitas kos yang juga mendukung, aku tak sengaja bertemu dengan sebuah film yang bagiku cukup mencerahkan, menterperangahkan, dan sekaligus menghibur..Judulnya three idiots. Tiga orang dungu jika diterjemahkan ke dalam bahasaku..Aku cukup impresif dengan film ini karena beberapa hal. Yang pertama, film ini cukup berhasil membawaku bernostalgia dengan masa-masa smp-smaku. Masa-masa yang bagaimana? He,,,masa-masa suka nonton pilem India karena lagi ikut trend. Nah, jadi pilem ini adalah pilem India…Yang kedua, seperti yang kusebut tadi, pilem ini menawarkan perenungan tentang banyak hal. Aku merasa tercerahkan ajah dan mendapatkan hal lain di balik rutinitasku yang itu-itu aja dan luar biasa membosankan…Yang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, mungkin sambil jalan ajah,,,heheheh.
Pile mini settingnya di India. Aku ga tau persisnya di mana. Buat aku, pilem ini adalah pilem India kedua yang aku tonton setelah aku jadi mahasiswi. Hehe, berat banget kedengerannya. Mahasiswi gitu loch..Jadi sebelumnya aku uda cukup impresif dengan pilem Slumdog Millionaire yang dapat Oscar itu. Sayang emang, aku masih menjadi penonton yang payah. Penonton yang setia menunggu dirilisnya pilem-pilem baru, berebut untuk bisa nonton paling awal, heboh sendiri, lalu udah…Tak ada tindak lanjut atau perenungan yang menarik untuk bisa dilanjutkan. Bukan tak banyak pilem yang menggugah decak kagumku. Cuma aku masih suka dan betah berhenti pda tahap 'nonton', lalu kemudian tiada. Sekadar menyebutkan di sini, aku pernah getol pwol abis dengan Harry Potter , Kingdom of Heaven, Knowing, Love, Tentang Cinta, Jamila dan Sang Presiden, Virgin 2, Putih Abu-Abu dan Sepatu Kets, Otomatis Romantis, Merantau, Troy, Pathfinder, Slumdog Millionaore, Pirates of Carribean, Transporter 1-2, Final Destination, dan lain-lain yang mungkin sudah aku lupa krena aku belum sempat merekamnya dalam bentuk tulisan…
Kalo sudah suka sama sebuah filem atau hanya sebuah adegannya, beh..aku bisa gila-gilaan menontonnya more and more. Bahkan kerap, aku mpe hafal ma dialog maupun ekspresi aktor/aktrisnya. Tapi lama-kelamaan, bosan juga. Akhirnya cari pilem lain yang tak kalah menarik dan juga inspiratif. Dialog yang pernah aku hafal—meski sekarang uda rada lupa—adalah saat Miss. Taylor mengajar di kelasnya (Knowing), cara Balyan memanggil Sybilla (Kingdom of Heaven), sambungan telefon terakhir antara Nadia dan Reymond (Virgin 2), dan beberapa mantera serta bagaimana hebohnya Hermiony saat mendukung Harry di Goblet of Fire kompetisi kedua..(Harry Potter).
Namun otw btw, walaupun aku hobi banget sama yang namanya nonton, ada beberapa genre film yang—justeru—dak aku gemari sama sekali, untuk tidak mengatakan phobia. Yang pertama adalah pilem horror. Adan cerita kurang mengenakkan kenapa aku bisa phobia ma pilem horor, sebesar apapun rasa keingintahuanku. Aku juga kadang merasa bahwa aku tidak bole ketinggalan jaman, dalam konteks ini harus sudah nonton pilem yang sedang booming atau tagi hot-hotnya ditonton, khususnya oleh anak kos maupun anak kelas. Kalo lagi heboh di bioskop, ya mana aku peduli. Nunggu ada hacker yang berhasil membobol file tu pilem di internet. Mahasiswa maunya emang yang gratis-gratis thok. Hehehe..Nah, katagori kedua, sejauh ini aku hanya mau menggandrungi filem berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Pilem-pilem Taiwan, China, dna Korea yang lagi bikin heboh anak sekos dak cukup jadi alasna aku untuk ikut-ikutan gandrung.
Alasan sakleknya kurang tau juga sich,,mungkin ya…Karena aku belum tertarik dan sama sekali dak tau bahasa yang digunakan. Jadi, abis nonton, aku cuma mungkin dapet pengetahuan ‘alur yang baru’, ‘aktor yang cakep’, ‘gaya hidup dan kebudayaan di t4 itu’, dll tanpa ada input bahasa..(hehehe..mentang-mentang cah bahasa aku ne..). Beda dengan pilem Bahasa Inggris. Aku bisa belajara banyak pronounciation maupun speaking umum dari pilem-pilem Inggris ne. Dan dak tau kenapa, aku ngeroso kreativitas di balik pilem-pilem Inggris ne kuuuuul banget. Kalo alasan napa aku suka pilem Indonesia ya..secara, aku lahir, besar, dan akan mati di negara ini, ya aku harus punya banyak wawasan lah..tentang segala halnya. Jangan sampai status ke-Indonesia-anku masih dipertanyakan. Kecelakaan sejarah terbesar itu…Bisa jadi aku dicap sebagai warga negara yang tidak menyadari kebernegaraannya…Payah..Jangan sampai terjadi..
Leh, malah kebanyakan bikin prolog…jadi sebagai bagian akhir basa-basi ini, aku ingin menutupnya dengan cerita bahwa di luar segala batasan bahasa, kultur, dan kebiasaan masyarakat, aku suka pilem aksi. Ya meski aku bukan seorang karateka ato orang yang menseriusi olahraga fisik, aku suka aja karena biasane imajinasi dan kreativitas pun sangat bermain dalam pilem-pilem aksi ini…Alurnya menakjubkan, apalagi jika tokoh utamanya adalah seorang cowo kece… That’s the reason I like it so much..
Ok, tentang 3 idiots sekarang..Sebenarnya film ini cukup mengingatkanku pada film Mohabatein. Ya, sebab dua film ini sama-sama mengisahkan tiga mahasiswa yang tengah menyelesaikan masa studi di sebuah perguruan tinggi. Bedanya, universitas yang dijadikan setting 3 idiots adalah Imperial College of Engineering, sedangkan Mohabbatein mengambil setting universitas yang namanya Gurukul. Bedanya juga, tiga orang dalam 3idiots hidup dan berevolusi dengan sendirinya, mereka tidak memiliki seorang inspirator dan motivator khusus selayaknya sosok Shahruk Khan (aku lupa nama perannya) di Mohabbatein. Yang bikin beda lagi, hal yang paling identik dengan Mohabbetein adalah pemisahan mahasiswa-mahasiswi. Kayak pondokan ajah..Nah kalo di ICE, iklim kompetisinya yang lebih kental. Konon universitas ini adalah universitas unggulan yang barometer keunggulannya—salah satunya—ditentukan oleh seberapa banyak calon mahasiswa yang DENIED alias tertolak saat akan masuk pada universitas ini.
Satu hal lagi yang menyamakan antara dua film ini adalah karena digambarkannya sosok seoang leader yang—ampuuuuuuuun—killer banget. Di Mohabetein, aku lupa namanya. Cuma diperankan oleh Amitab Bachan. Sedangkan di 3idiots, namanya Viru Shastrabuddhi. Dua rektor ini adalah orang yang sama-sama terlampau idealis dan bikin sengak mahasiswa. Kesamaan nasib pula, karena idealismenya yang terlalu membabi buta, dua rektor ini terpaksa harus kehilangan darah dagingnya yang ‘menolak’ idealismenya dengan cara merenngang nyawa,,Namun kehilangan anak kandungnya ini pun belum cukup membuat dua rektor ini untuk re-examining, seberapa efektifkah idealisme yang mereka miliki.
Mmm…three idiots menghadirkan tiga mahasiswa yang tidak sengaja menjalin pertemanan karena mereka tinggal sekamar, dalam sebuah asrama yang nampak sebagai asrama universitas. Mereka adalah, Ranchhoddas (Shamaldas) Chancad, Raju Rastogi, dan Farhan Qureshi. Aku malah ga tau nama lengkap tiga cowo yang diceritakan di Muhabbetein (taunya cuma Karan—Kiran—Shamir—Shanju—dan Fiki—Ishika). Tiga orang, tiga cita-cita, dan tiga karakter yang berbeda. Jika hal pertama yang paling identik dengan Raju adalah kepercayaannya terhadap dunia mistis yang terlalu pwol, maka Farhan adalah orang yang selalu ingin mendokumentasikan segala hal yang dilihatnya dalam kamera yang selalu ia bawa ke mana-mana. Beda dengan Rancho. Dia adalah orang yang unik dan selalu ingin mendobrak segala hal yang sudah mapan dan dirasa sudah perlu diubah. Sebab itulah Rancho kemudian menjadi inspirator kawan-kawannya yang lain.
Cerita ini sebenere pake alur maju-mundur. Dan jika mau digambarkan dengan satu dua kata, maka alur film ini adalah..kejadian super menjengkelkan yang kemudian membawa cerita paling membahagiakan…Gara-gara si Chatur Ramalingam yang kurang gawean bikin perjanjian-perjanjian ga jelas, akhirnya ketiga sahabat itu kembali bertemu.. Sulit juga jika harus menceritakan pilem ini sesuai dengan skenario alur maju-mundurnya…Tapi, tak coba urutkan paku alur maju ajah, biar mudah…
Jadi dahulu kalaaaaaaaaaaaaaaa…Seorang yang dipanggil Rancho di ICE adalah seorang anak tukang kebun yang biasa dipanggil Chotee. Ayah ibunya meninggal saat ia masih kecil, sehingga anak ini ‘diasuh’ oleh majikan ayah ibunya. Ya bukan diasuh sih..istilane, dia tinggal di situ dan bantu-bantu layaknya anak kecil lah…Mengerjakan apa yang bisa dikerjakannya. Jadi ya…cukup menguntungkan juga. Yang lebih penting, selama masa kecilnya ini, si Chotee suka banget belajar, sampe dia bisa ngerjain soal pelajaran kelas 10 saat dia kelas 6. Sialnya saat itu, si Chotee selalu mengatasnamakan dirinya dengan nama anak majikannya yang males belajar. Penyamaran ini akhirnya ketauan sehingga Chotee kecil harus menerima konsekuensi yang dibebankan oleh si majikan..Ia harus melanjutkan sekolah dengan mengatasnamakah anak majikannya, Rancho.
Ada enak dan ga enaknya buat aku, tapi so Chotee ini tetap menerima dan menjalani semua konsekuensi itu..Yang ada di pikirannya cuma satu, dia ingin belajar dan untuk belajar, ia bisa melakukannya di mana-mana. Termasuk dengan menggunakan nama orang lain. And finally, dia lulus masuk di ICE dan memiliki dua orang teman sekamar yang akhirnya menjadi sahabat sejatinya. Kamar C 24 yang mereka diami menjadi tempat bermulanya segala hal, bermulanya mereka menemukan diri yang sebenarnya.
Ada cerita lucu saat pekan orientasi ato..apalah istilane buat mereka. Yang jelas tu pekan penggemblengan di asrama (ato di universitas?) dan inilah kali pertamanya si Rancho menunjukkan bahwa dia bukanlah mahasiswa biasa. Keren banget pas dia ngerjain si senior yang –ampuuuuuuuuunn—sok-sokan banget di depan para mahasiswa baru. Lha masa dia sampe ngencingin kamar si Rancho karena Rancho dak mau nuruti perintahnya. Untungnya dalam waktu yang tidak lama itu, Rancho segera menemukan ide dan berhasil dengan kesuksesan penuh memberi pelajaran pada senior yang pwol sok-sokan itu..He, dia kesetrum dan penghantarnya adalah kencingnya sendiri..Rasain, moral storynya adalah…JANGAN SOK-SOKAN terhadap JUNIOR, karena bukan tidak mungkin kena batunya. Jadinya bukan hanya senjata makan tuan, tapi senjata membunuh tuan. Kuuuuuuuuullllllllllll…
Keajaiban kedua yang ditunjukkan Rancho pada hari-hari pertamanya di universitas adalah saat ia mendapatkan semi-kuliah umum dari sang rektor (yang belakangan menjadi mertuanya). Pagi itu, dengan gaya yang juga sok-sokan, si rektor mengucapkan salam selamat datang pada mahasiwa baru sekaligus memberikan motivasi agar mereka bisa berkompetisi dan menseriusi studinya di ICE. Pas itu si rektor juga sempat menunjukkan pena yang diterimanya sebagai hadiah penghargaan dari sang dosennya dahulu kala. Dan dia juga bilang, akan memberikan pena itu kepada mahasiswanya yang bisa menyamai dirinya. Meski sudah 33 tahun ia menunggu kedatangan mahasiswa itu namun tak kunjung dateng. Kalo di kampusku, tu pena mungkin bisa disamain dengan pin emas kali yeeeeee…Cuma prosedur dan kualifikasinya berbeda kaleeeeeee….
Keajaiban ketiga, si Rancho berhasil bikin seorang dosen malu setengah mampus saat dosen normatif tersebut ga mau menerima penjelasan Rancho yang coba menggunakan new theory yang lebih simplified. Pas itu si Rancho lagi disuruh jelasin definisi mesin, tapi dia memberikan penjelasan yang dak sama dengan buku meski esensinya sama. Akhirnya si Rancho dikeluarin—mungkin ini adalah senjata dosen saat tidak mau mengaku bahwa mahasiswanya, dalam satu moment saja, ternyata punya sesuatu baru yang bahkan belum pernah dipikirkannya—dari kelas dan di momen ini dia menunjukkan kehebatannya yang lain…Menjelaskan definsi buku. Aku masih inget bagaimana dengan wajah charmingnya dia mengatakan yang demikian…INSTRUMENT AND RECORD, ANALYSE, SUMMARISE, ORGANIZE, DEBATE AND EXPLAINED INFORMATION THAT ARE ELASTATIVE AND NON-ELASTATIVE HARD BOUND PAPER BAG-JACKETED NON-JACKETED WITH FORWARD INTRODUCTION, TABLE OF CONTENT INDEX THAT ARE INTENDED FOR THE ENLIGHTMENT UNDERSTANDING ENHANCEMENT AND EDUCATION HUMAN BRAINS OF SENSE IN ROOT OF VISION SOMETIMES TOUCH! Dan inilah salah satu momen saat aku melihat tawa si Farhan lepas banget..Natural seakan bukan di depan kamera, tapi di alam nyata. Lepass..Lepas banget…
Berbeda dengan si Raju yag karakternya –bisa dibilang—jauh lebih melow dibanding Farhan maupun Rancho. Raju maupun Farhan sebenere sama-sama memiliki masalah dengan keluarga mereka, yang ujung-ujungnya adalah masalah ekonomi. Mereka berdua menjadi tumpuan harapan keluarga dan sebab itulah, semua materi pun dilimpahkan agar mereka bisa menjadi insinyur…Dan harapan ini cukup ‘terancam’ saat mereka berkali-kali bermasalah dengan rektor maupun universitas…Hmm…Back to Raju. Dalam film ini, Raju pernah berkali-kali menitikkan aer mata dalam adegan yang emang cukup mengharukan. Tapi kupikir orang ini memang lebih cengeng dibanding dua temennya yang lain. Pertama kali aku melihat air mata Raju adalah pas dia panik ayahnya sakit namun akhirnya bahagia karena ternyata ayahnya berhasil diselamatkan dengan perantara Rancho. Kebetulah saat itu mereka masih renggang, sehingga air mata tersebut juga menjadi ucapan terimakasih dan janji bahwa mereka akan kembali bersama seperti semula. So swiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt…Air mata Ranju kembali menggenang saat dia dihadapkan pada pilihan yang sulit di kantor Virus (sebutan bagi rektor, Viru Shastrabuddhi). Pilihane simalakama bener..Dia atau Rancho yang dikeluarkan. Uda, abis itu dia ambil shortcut dengan bunuh diri..Untungnya ga sampe mati…
Raju hospitalized dan aku sangat terkesan dengan adegan saat aku liat Rancho (dengan mengendarai skuter Phia) heboh banget mendahului laju ambulan untuk bisa segera sampai di rumah sakit, meski malah kesane kayak petugas parkir ato penertib lalu lintas jalan…Bajunya penuh dengan darah Raju yang mengucur deras setelah dia melompat dari lantai –kalo ga salah—empat kantor Virus. Dan beginilah, air mata Raju kembali menggenang pada momen lain, saat ia berhasil mendapatkan pekerjaan, sesaat sesudah dia keluar dari rumah sakit dan bahagia pwol mendapati si Farhan juga telah berhasil menjadi diri sendiri dan menemukan hidupnya –serta telah berhasil meyakinkan orang taunya—bahwa ia adalah fotografer, tidak bisa dipaksa menjadi insinyur…
Cerita ini juga tak akan heboh jika tak ada tokoh yang bernama Chatur Ramalingam. Tokoh yang super duper oon dan culun (karena kancing teratas kemejanya selalu dipasang) ini adalah seorang yang sebenere pinter tapi cukup licik. Lha dia selalu mencari kesalahan orang lain (terutama Rancho dkk) dan berpandangan bahwa untuk mendapatkan nilai yang tinggi, dia tidak hanya harus belajar dengan giat, namun juga menjatuhkan nilai temannya. Secara otak, sebenere anak ini bisa disejajarkan dengan Rancho (terbukti salah satunya dengan posisinya yang pas di bawah Rancho), cuma karena dia terlalu oon, culun, licik, plus ga cerdas, jadinya dia seriiiing banget terbodohkan dengan kepintarannya sendiri. Aku inget pas masa orientasi mahasiswa baru, si Chatur ne dipermainin abis-abisan ma senior. Lha suruh siapa dia oon banget dan mau ajah disuruh ngelakuin hal yang sebenere bisa menjatuhkan derajat dia sebagai orang yang pinter…jadinya pinter tapi goblok orang ini, ceroboh lebih tepatnya…
Yang bikin si Chatur juga mudah dioon-in adalah karena dia kurang gitu ngerti Bahasa India…Dak salah juga jika kemudian ada adagium yang menyatakan bahwa, jika ingin selamat dari tipu daya suatu kaum, maka terlebih dahulu kau harus menguasai bahasa kaum tersebut. Bener banget! Andai ajah Chatur dak terlalu oon dan terlalu berpegangan saklek pada teks, dia tidak akan sukses malu-maluin kampusnya dalam TEACHER’S DAY. Hehehe…ne juga karena dikerjain ma Rancho yang ingin ngasih pelajaran pada si curang ‘Chatur’ sekaligus menyadarkan teman yang begitu dikasihinya, yakni Raju—pas itu Raju uda pindah lokomotif, sekamar ma Chatur-. Rancho mengubah KEAJAIBAN (chatmakar) menjadi CABUL (batatkar). Dan pidato itu pun dibawakan dengan penuh wibawa oleh Chatur. Ga kebayang gimana suksesnya dia bikin malu kampus di depan perdana menteri, Shri RD Tripati Ji. Pak rektor mpe harus mengkonsumsi obat penenang untuk merenggangkan syaraf-syarafnya…heheheh..
Dan peristiwa ini pulalah yang menjadi awal dan sebab dari reuni tiga sahabat ini setelah mereka berpisah dalam waktu lumayan lama. Saat itu Chatur tau kalo dia dikerjain ma Rancho dan Farhan (berhubung saat itu si Raju sedang ‘in gap’ dengan keduanya)..Dia marah banget dan menemui Rancho plus Farhan yang tengah ketawa penuh kemenangan di atas atap kampus. Nah…saat ini pulalah si Chatur dengan sok-sokan bikin perjanjian ga jelas, bahwa mereka akan bertemu sepuluh tahun mendatang di tempat dan tanggal yang sama, meski pastinya dalam tahun yang tidak sama. Perjanjian yang sebenere ndak disetujui secara legal dan meyakinkan inilah yang pad akhirnya menjadi awal sebuah kausalitas besar…
Jadi agaknya bagian ini emang harus aku penggal dulu, sebab jika harus diceritain sampe selese, waktunya jadi ga efektif dan akupun uda capek. Tak lanjutin lain waktu jika sempet. Bagian dua masih menyumpan cerita tentang banyak hal. Tentang hukuman-hukuman yang mendera 3 idiots, FARHANitrate, preRAJUlisation, ALL IZZ WELL, Joy Lobo, tentang orang tua, teori-teori guru besar Ranchoddas, cerita cinta, EVERYTHING IS FAIR IN LOVE AND WAR,
kesuksesan studi, arah hidup dna jati diri, Phunsuk Wangdu, dan terungkapnya siapa Rancho sebenernya…Hmm…
Namun satu hal lagi, sebelum kututup bagian ini, mungkin satu hal yang sangat melekat di ingatanku adalah karena…Karakter tiap orang bisa dilihat dengan busana yang paling sering dipakainya. Hm, you wanna know? Cekidot in the next one..Epilognya, there’s nothing to be skipped in this valuable life…
Lalu apa yang ada di bayanganmu jika kau bisa mendapat sesuatu—atau katakanlah informasi—mengenai beberpa hal tersebut dalam sebuah kemasan kecil? Menyenangkan tentu..Selain tercerahkan dan memperluas pandangan, merenungi hidup kerap memberikan nuansa 'entertainment' yang kadang menjadi 'pelarian' dari kejenuhan-kejenuhan yang mendera dalam mengarungi hidup…dan tentunya, be a cause to be a wiser one…
Ya, setidaknya itulah yang aku rasakan baru-baru ini. Berawal dari hobiku nonton dan komunitas kos yang juga mendukung, aku tak sengaja bertemu dengan sebuah film yang bagiku cukup mencerahkan, menterperangahkan, dan sekaligus menghibur..Judulnya three idiots. Tiga orang dungu jika diterjemahkan ke dalam bahasaku..Aku cukup impresif dengan film ini karena beberapa hal. Yang pertama, film ini cukup berhasil membawaku bernostalgia dengan masa-masa smp-smaku. Masa-masa yang bagaimana? He,,,masa-masa suka nonton pilem India karena lagi ikut trend. Nah, jadi pilem ini adalah pilem India…Yang kedua, seperti yang kusebut tadi, pilem ini menawarkan perenungan tentang banyak hal. Aku merasa tercerahkan ajah dan mendapatkan hal lain di balik rutinitasku yang itu-itu aja dan luar biasa membosankan…Yang ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, mungkin sambil jalan ajah,,,heheheh.
Pile mini settingnya di India. Aku ga tau persisnya di mana. Buat aku, pilem ini adalah pilem India kedua yang aku tonton setelah aku jadi mahasiswi. Hehe, berat banget kedengerannya. Mahasiswi gitu loch..Jadi sebelumnya aku uda cukup impresif dengan pilem Slumdog Millionaire yang dapat Oscar itu. Sayang emang, aku masih menjadi penonton yang payah. Penonton yang setia menunggu dirilisnya pilem-pilem baru, berebut untuk bisa nonton paling awal, heboh sendiri, lalu udah…Tak ada tindak lanjut atau perenungan yang menarik untuk bisa dilanjutkan. Bukan tak banyak pilem yang menggugah decak kagumku. Cuma aku masih suka dan betah berhenti pda tahap 'nonton', lalu kemudian tiada. Sekadar menyebutkan di sini, aku pernah getol pwol abis dengan Harry Potter , Kingdom of Heaven, Knowing, Love, Tentang Cinta, Jamila dan Sang Presiden, Virgin 2, Putih Abu-Abu dan Sepatu Kets, Otomatis Romantis, Merantau, Troy, Pathfinder, Slumdog Millionaore, Pirates of Carribean, Transporter 1-2, Final Destination, dan lain-lain yang mungkin sudah aku lupa krena aku belum sempat merekamnya dalam bentuk tulisan…
Kalo sudah suka sama sebuah filem atau hanya sebuah adegannya, beh..aku bisa gila-gilaan menontonnya more and more. Bahkan kerap, aku mpe hafal ma dialog maupun ekspresi aktor/aktrisnya. Tapi lama-kelamaan, bosan juga. Akhirnya cari pilem lain yang tak kalah menarik dan juga inspiratif. Dialog yang pernah aku hafal—meski sekarang uda rada lupa—adalah saat Miss. Taylor mengajar di kelasnya (Knowing), cara Balyan memanggil Sybilla (Kingdom of Heaven), sambungan telefon terakhir antara Nadia dan Reymond (Virgin 2), dan beberapa mantera serta bagaimana hebohnya Hermiony saat mendukung Harry di Goblet of Fire kompetisi kedua..(Harry Potter).
Namun otw btw, walaupun aku hobi banget sama yang namanya nonton, ada beberapa genre film yang—justeru—dak aku gemari sama sekali, untuk tidak mengatakan phobia. Yang pertama adalah pilem horror. Adan cerita kurang mengenakkan kenapa aku bisa phobia ma pilem horor, sebesar apapun rasa keingintahuanku. Aku juga kadang merasa bahwa aku tidak bole ketinggalan jaman, dalam konteks ini harus sudah nonton pilem yang sedang booming atau tagi hot-hotnya ditonton, khususnya oleh anak kos maupun anak kelas. Kalo lagi heboh di bioskop, ya mana aku peduli. Nunggu ada hacker yang berhasil membobol file tu pilem di internet. Mahasiswa maunya emang yang gratis-gratis thok. Hehehe..Nah, katagori kedua, sejauh ini aku hanya mau menggandrungi filem berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Pilem-pilem Taiwan, China, dna Korea yang lagi bikin heboh anak sekos dak cukup jadi alasna aku untuk ikut-ikutan gandrung.
Alasan sakleknya kurang tau juga sich,,mungkin ya…Karena aku belum tertarik dan sama sekali dak tau bahasa yang digunakan. Jadi, abis nonton, aku cuma mungkin dapet pengetahuan ‘alur yang baru’, ‘aktor yang cakep’, ‘gaya hidup dan kebudayaan di t4 itu’, dll tanpa ada input bahasa..(hehehe..mentang-mentang cah bahasa aku ne..). Beda dengan pilem Bahasa Inggris. Aku bisa belajara banyak pronounciation maupun speaking umum dari pilem-pilem Inggris ne. Dan dak tau kenapa, aku ngeroso kreativitas di balik pilem-pilem Inggris ne kuuuuul banget. Kalo alasan napa aku suka pilem Indonesia ya..secara, aku lahir, besar, dan akan mati di negara ini, ya aku harus punya banyak wawasan lah..tentang segala halnya. Jangan sampai status ke-Indonesia-anku masih dipertanyakan. Kecelakaan sejarah terbesar itu…Bisa jadi aku dicap sebagai warga negara yang tidak menyadari kebernegaraannya…Payah..Jangan sampai terjadi..
Leh, malah kebanyakan bikin prolog…jadi sebagai bagian akhir basa-basi ini, aku ingin menutupnya dengan cerita bahwa di luar segala batasan bahasa, kultur, dan kebiasaan masyarakat, aku suka pilem aksi. Ya meski aku bukan seorang karateka ato orang yang menseriusi olahraga fisik, aku suka aja karena biasane imajinasi dan kreativitas pun sangat bermain dalam pilem-pilem aksi ini…Alurnya menakjubkan, apalagi jika tokoh utamanya adalah seorang cowo kece… That’s the reason I like it so much..
Ok, tentang 3 idiots sekarang..Sebenarnya film ini cukup mengingatkanku pada film Mohabatein. Ya, sebab dua film ini sama-sama mengisahkan tiga mahasiswa yang tengah menyelesaikan masa studi di sebuah perguruan tinggi. Bedanya, universitas yang dijadikan setting 3 idiots adalah Imperial College of Engineering, sedangkan Mohabbatein mengambil setting universitas yang namanya Gurukul. Bedanya juga, tiga orang dalam 3idiots hidup dan berevolusi dengan sendirinya, mereka tidak memiliki seorang inspirator dan motivator khusus selayaknya sosok Shahruk Khan (aku lupa nama perannya) di Mohabbatein. Yang bikin beda lagi, hal yang paling identik dengan Mohabbetein adalah pemisahan mahasiswa-mahasiswi. Kayak pondokan ajah..Nah kalo di ICE, iklim kompetisinya yang lebih kental. Konon universitas ini adalah universitas unggulan yang barometer keunggulannya—salah satunya—ditentukan oleh seberapa banyak calon mahasiswa yang DENIED alias tertolak saat akan masuk pada universitas ini.
Satu hal lagi yang menyamakan antara dua film ini adalah karena digambarkannya sosok seoang leader yang—ampuuuuuuuun—killer banget. Di Mohabetein, aku lupa namanya. Cuma diperankan oleh Amitab Bachan. Sedangkan di 3idiots, namanya Viru Shastrabuddhi. Dua rektor ini adalah orang yang sama-sama terlampau idealis dan bikin sengak mahasiswa. Kesamaan nasib pula, karena idealismenya yang terlalu membabi buta, dua rektor ini terpaksa harus kehilangan darah dagingnya yang ‘menolak’ idealismenya dengan cara merenngang nyawa,,Namun kehilangan anak kandungnya ini pun belum cukup membuat dua rektor ini untuk re-examining, seberapa efektifkah idealisme yang mereka miliki.
Mmm…three idiots menghadirkan tiga mahasiswa yang tidak sengaja menjalin pertemanan karena mereka tinggal sekamar, dalam sebuah asrama yang nampak sebagai asrama universitas. Mereka adalah, Ranchhoddas (Shamaldas) Chancad, Raju Rastogi, dan Farhan Qureshi. Aku malah ga tau nama lengkap tiga cowo yang diceritakan di Muhabbetein (taunya cuma Karan—Kiran—Shamir—Shanju—dan Fiki—Ishika). Tiga orang, tiga cita-cita, dan tiga karakter yang berbeda. Jika hal pertama yang paling identik dengan Raju adalah kepercayaannya terhadap dunia mistis yang terlalu pwol, maka Farhan adalah orang yang selalu ingin mendokumentasikan segala hal yang dilihatnya dalam kamera yang selalu ia bawa ke mana-mana. Beda dengan Rancho. Dia adalah orang yang unik dan selalu ingin mendobrak segala hal yang sudah mapan dan dirasa sudah perlu diubah. Sebab itulah Rancho kemudian menjadi inspirator kawan-kawannya yang lain.
Cerita ini sebenere pake alur maju-mundur. Dan jika mau digambarkan dengan satu dua kata, maka alur film ini adalah..kejadian super menjengkelkan yang kemudian membawa cerita paling membahagiakan…Gara-gara si Chatur Ramalingam yang kurang gawean bikin perjanjian-perjanjian ga jelas, akhirnya ketiga sahabat itu kembali bertemu.. Sulit juga jika harus menceritakan pilem ini sesuai dengan skenario alur maju-mundurnya…Tapi, tak coba urutkan paku alur maju ajah, biar mudah…
Jadi dahulu kalaaaaaaaaaaaaaaa…Seorang yang dipanggil Rancho di ICE adalah seorang anak tukang kebun yang biasa dipanggil Chotee. Ayah ibunya meninggal saat ia masih kecil, sehingga anak ini ‘diasuh’ oleh majikan ayah ibunya. Ya bukan diasuh sih..istilane, dia tinggal di situ dan bantu-bantu layaknya anak kecil lah…Mengerjakan apa yang bisa dikerjakannya. Jadi ya…cukup menguntungkan juga. Yang lebih penting, selama masa kecilnya ini, si Chotee suka banget belajar, sampe dia bisa ngerjain soal pelajaran kelas 10 saat dia kelas 6. Sialnya saat itu, si Chotee selalu mengatasnamakan dirinya dengan nama anak majikannya yang males belajar. Penyamaran ini akhirnya ketauan sehingga Chotee kecil harus menerima konsekuensi yang dibebankan oleh si majikan..Ia harus melanjutkan sekolah dengan mengatasnamakah anak majikannya, Rancho.
Ada enak dan ga enaknya buat aku, tapi so Chotee ini tetap menerima dan menjalani semua konsekuensi itu..Yang ada di pikirannya cuma satu, dia ingin belajar dan untuk belajar, ia bisa melakukannya di mana-mana. Termasuk dengan menggunakan nama orang lain. And finally, dia lulus masuk di ICE dan memiliki dua orang teman sekamar yang akhirnya menjadi sahabat sejatinya. Kamar C 24 yang mereka diami menjadi tempat bermulanya segala hal, bermulanya mereka menemukan diri yang sebenarnya.
Ada cerita lucu saat pekan orientasi ato..apalah istilane buat mereka. Yang jelas tu pekan penggemblengan di asrama (ato di universitas?) dan inilah kali pertamanya si Rancho menunjukkan bahwa dia bukanlah mahasiswa biasa. Keren banget pas dia ngerjain si senior yang –ampuuuuuuuuunn—sok-sokan banget di depan para mahasiswa baru. Lha masa dia sampe ngencingin kamar si Rancho karena Rancho dak mau nuruti perintahnya. Untungnya dalam waktu yang tidak lama itu, Rancho segera menemukan ide dan berhasil dengan kesuksesan penuh memberi pelajaran pada senior yang pwol sok-sokan itu..He, dia kesetrum dan penghantarnya adalah kencingnya sendiri..Rasain, moral storynya adalah…JANGAN SOK-SOKAN terhadap JUNIOR, karena bukan tidak mungkin kena batunya. Jadinya bukan hanya senjata makan tuan, tapi senjata membunuh tuan. Kuuuuuuuuullllllllllll…
Keajaiban kedua yang ditunjukkan Rancho pada hari-hari pertamanya di universitas adalah saat ia mendapatkan semi-kuliah umum dari sang rektor (yang belakangan menjadi mertuanya). Pagi itu, dengan gaya yang juga sok-sokan, si rektor mengucapkan salam selamat datang pada mahasiwa baru sekaligus memberikan motivasi agar mereka bisa berkompetisi dan menseriusi studinya di ICE. Pas itu si rektor juga sempat menunjukkan pena yang diterimanya sebagai hadiah penghargaan dari sang dosennya dahulu kala. Dan dia juga bilang, akan memberikan pena itu kepada mahasiswanya yang bisa menyamai dirinya. Meski sudah 33 tahun ia menunggu kedatangan mahasiswa itu namun tak kunjung dateng. Kalo di kampusku, tu pena mungkin bisa disamain dengan pin emas kali yeeeeee…Cuma prosedur dan kualifikasinya berbeda kaleeeeeee….
Keajaiban ketiga, si Rancho berhasil bikin seorang dosen malu setengah mampus saat dosen normatif tersebut ga mau menerima penjelasan Rancho yang coba menggunakan new theory yang lebih simplified. Pas itu si Rancho lagi disuruh jelasin definisi mesin, tapi dia memberikan penjelasan yang dak sama dengan buku meski esensinya sama. Akhirnya si Rancho dikeluarin—mungkin ini adalah senjata dosen saat tidak mau mengaku bahwa mahasiswanya, dalam satu moment saja, ternyata punya sesuatu baru yang bahkan belum pernah dipikirkannya—dari kelas dan di momen ini dia menunjukkan kehebatannya yang lain…Menjelaskan definsi buku. Aku masih inget bagaimana dengan wajah charmingnya dia mengatakan yang demikian…INSTRUMENT AND RECORD, ANALYSE, SUMMARISE, ORGANIZE, DEBATE AND EXPLAINED INFORMATION THAT ARE ELASTATIVE AND NON-ELASTATIVE HARD BOUND PAPER BAG-JACKETED NON-JACKETED WITH FORWARD INTRODUCTION, TABLE OF CONTENT INDEX THAT ARE INTENDED FOR THE ENLIGHTMENT UNDERSTANDING ENHANCEMENT AND EDUCATION HUMAN BRAINS OF SENSE IN ROOT OF VISION SOMETIMES TOUCH! Dan inilah salah satu momen saat aku melihat tawa si Farhan lepas banget..Natural seakan bukan di depan kamera, tapi di alam nyata. Lepass..Lepas banget…
Berbeda dengan si Raju yag karakternya –bisa dibilang—jauh lebih melow dibanding Farhan maupun Rancho. Raju maupun Farhan sebenere sama-sama memiliki masalah dengan keluarga mereka, yang ujung-ujungnya adalah masalah ekonomi. Mereka berdua menjadi tumpuan harapan keluarga dan sebab itulah, semua materi pun dilimpahkan agar mereka bisa menjadi insinyur…Dan harapan ini cukup ‘terancam’ saat mereka berkali-kali bermasalah dengan rektor maupun universitas…Hmm…Back to Raju. Dalam film ini, Raju pernah berkali-kali menitikkan aer mata dalam adegan yang emang cukup mengharukan. Tapi kupikir orang ini memang lebih cengeng dibanding dua temennya yang lain. Pertama kali aku melihat air mata Raju adalah pas dia panik ayahnya sakit namun akhirnya bahagia karena ternyata ayahnya berhasil diselamatkan dengan perantara Rancho. Kebetulah saat itu mereka masih renggang, sehingga air mata tersebut juga menjadi ucapan terimakasih dan janji bahwa mereka akan kembali bersama seperti semula. So swiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt…Air mata Ranju kembali menggenang saat dia dihadapkan pada pilihan yang sulit di kantor Virus (sebutan bagi rektor, Viru Shastrabuddhi). Pilihane simalakama bener..Dia atau Rancho yang dikeluarkan. Uda, abis itu dia ambil shortcut dengan bunuh diri..Untungnya ga sampe mati…
Raju hospitalized dan aku sangat terkesan dengan adegan saat aku liat Rancho (dengan mengendarai skuter Phia) heboh banget mendahului laju ambulan untuk bisa segera sampai di rumah sakit, meski malah kesane kayak petugas parkir ato penertib lalu lintas jalan…Bajunya penuh dengan darah Raju yang mengucur deras setelah dia melompat dari lantai –kalo ga salah—empat kantor Virus. Dan beginilah, air mata Raju kembali menggenang pada momen lain, saat ia berhasil mendapatkan pekerjaan, sesaat sesudah dia keluar dari rumah sakit dan bahagia pwol mendapati si Farhan juga telah berhasil menjadi diri sendiri dan menemukan hidupnya –serta telah berhasil meyakinkan orang taunya—bahwa ia adalah fotografer, tidak bisa dipaksa menjadi insinyur…
Cerita ini juga tak akan heboh jika tak ada tokoh yang bernama Chatur Ramalingam. Tokoh yang super duper oon dan culun (karena kancing teratas kemejanya selalu dipasang) ini adalah seorang yang sebenere pinter tapi cukup licik. Lha dia selalu mencari kesalahan orang lain (terutama Rancho dkk) dan berpandangan bahwa untuk mendapatkan nilai yang tinggi, dia tidak hanya harus belajar dengan giat, namun juga menjatuhkan nilai temannya. Secara otak, sebenere anak ini bisa disejajarkan dengan Rancho (terbukti salah satunya dengan posisinya yang pas di bawah Rancho), cuma karena dia terlalu oon, culun, licik, plus ga cerdas, jadinya dia seriiiing banget terbodohkan dengan kepintarannya sendiri. Aku inget pas masa orientasi mahasiswa baru, si Chatur ne dipermainin abis-abisan ma senior. Lha suruh siapa dia oon banget dan mau ajah disuruh ngelakuin hal yang sebenere bisa menjatuhkan derajat dia sebagai orang yang pinter…jadinya pinter tapi goblok orang ini, ceroboh lebih tepatnya…
Yang bikin si Chatur juga mudah dioon-in adalah karena dia kurang gitu ngerti Bahasa India…Dak salah juga jika kemudian ada adagium yang menyatakan bahwa, jika ingin selamat dari tipu daya suatu kaum, maka terlebih dahulu kau harus menguasai bahasa kaum tersebut. Bener banget! Andai ajah Chatur dak terlalu oon dan terlalu berpegangan saklek pada teks, dia tidak akan sukses malu-maluin kampusnya dalam TEACHER’S DAY. Hehehe…ne juga karena dikerjain ma Rancho yang ingin ngasih pelajaran pada si curang ‘Chatur’ sekaligus menyadarkan teman yang begitu dikasihinya, yakni Raju—pas itu Raju uda pindah lokomotif, sekamar ma Chatur-. Rancho mengubah KEAJAIBAN (chatmakar) menjadi CABUL (batatkar). Dan pidato itu pun dibawakan dengan penuh wibawa oleh Chatur. Ga kebayang gimana suksesnya dia bikin malu kampus di depan perdana menteri, Shri RD Tripati Ji. Pak rektor mpe harus mengkonsumsi obat penenang untuk merenggangkan syaraf-syarafnya…heheheh..
Dan peristiwa ini pulalah yang menjadi awal dan sebab dari reuni tiga sahabat ini setelah mereka berpisah dalam waktu lumayan lama. Saat itu Chatur tau kalo dia dikerjain ma Rancho dan Farhan (berhubung saat itu si Raju sedang ‘in gap’ dengan keduanya)..Dia marah banget dan menemui Rancho plus Farhan yang tengah ketawa penuh kemenangan di atas atap kampus. Nah…saat ini pulalah si Chatur dengan sok-sokan bikin perjanjian ga jelas, bahwa mereka akan bertemu sepuluh tahun mendatang di tempat dan tanggal yang sama, meski pastinya dalam tahun yang tidak sama. Perjanjian yang sebenere ndak disetujui secara legal dan meyakinkan inilah yang pad akhirnya menjadi awal sebuah kausalitas besar…
Jadi agaknya bagian ini emang harus aku penggal dulu, sebab jika harus diceritain sampe selese, waktunya jadi ga efektif dan akupun uda capek. Tak lanjutin lain waktu jika sempet. Bagian dua masih menyumpan cerita tentang banyak hal. Tentang hukuman-hukuman yang mendera 3 idiots, FARHANitrate, preRAJUlisation, ALL IZZ WELL, Joy Lobo, tentang orang tua, teori-teori guru besar Ranchoddas, cerita cinta, EVERYTHING IS FAIR IN LOVE AND WAR,
kesuksesan studi, arah hidup dna jati diri, Phunsuk Wangdu, dan terungkapnya siapa Rancho sebenernya…Hmm…
Namun satu hal lagi, sebelum kututup bagian ini, mungkin satu hal yang sangat melekat di ingatanku adalah karena…Karakter tiap orang bisa dilihat dengan busana yang paling sering dipakainya. Hm, you wanna know? Cekidot in the next one..Epilognya, there’s nothing to be skipped in this valuable life…
Hmhm...
adventure of me..